Indonesia Darurat (3): Bubarkan Mahkamah Konstitusi!
Kejahatan pelanggaran konstitusi tersebut dipertontonkan dengan vulgar dan telanjang.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
DEMOKRASI melalui proses Pilpres tersumbat dan hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara dikebiri adalah dengan adanya Presidential Threshold 20%.
Suara rakyat dihadang dengan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Jelas-jelas Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng keadilan justru sebagai perampok keadilan. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti yang tertulis di dalam “Naskah Pembukaan Konstitusi” kita.
Bergelombang masyarakat sampai lembaga tinggi negara DPD RI mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut semuanya kandas. Kekuatan kekuasaan rezim bersama oligarki seperti begitu kokoh menghadangnya.
Khusus DPD RI secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke MK atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang kami gugat adalah Pasal tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.
Ketua DPD RI Bung AA LaNyala Mattalitti, sampai marah dan berkeyakinan, pasal ini adalah Pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Karena melalui Pasal inilah, maka Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini.
Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan, pasal ini telah pula mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Karena Pasal ini memaksa parpol untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres.
Dan, ini mematikan hak parpol baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena adanya kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar kita.
Pasal seperti drakula ini memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas.
Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendesain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres.
Bisa ditebak secara politik dengan terang benderang Oligargi sekuat tenaga ingin bertahan dan mempertahankan kekuasaan mencengkeram Indonesia. Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, hingga biaya untuk pemenangan dalam proses Pilpres.
Kejahatan pelanggaran konstitusi tersebut dipertontonkan dengan vulgar dan telanjang.
Jadi, wajar juga bahwa sebagai lembaga tinggi negara penjaga konstitusi, DPD RI sampai mengancam apabila MK nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini bahwa MK telah dengan sengaja memberikan ruang kepada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan ikut mengendalikan negara ini untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan.
Karena, tidak lagi bisa menjaga negara ini dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini.
Rezim ini dipengaruhi dan dikuasai oleh kapitalis banci yang merupakan persekongkolan (conspiracy) antara lain, para Taipan, juga korporatokrasi (penghancur lingkungan alam dan sosial), sembilan Barongsai, Oligarchy, Gorilla Betina Merah, dan Neo Colonialism.
Mereka bersekongkol untuk berkuasa secara absolut bagi kehancuran bangsa dan NKRI. (*)