OPINI

Dulu Dijajah Belanda dan Jepang, Sekarang Dijajah Oligarki

Oleh R. Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia Tak sengaja saya awalnya selintas menonton film jadul Si Pitung, seorang tokoh jawara legendaris asal Betawi yang diperankan aktor senior Dicky Zulkarnain. Dalam film yang kala itu hanya bisa kita tonton di rumah “orang kaya” yang punya TV dan video, diceritakan bagaimana penindasan bangsa “kumpeni” dari asal kata “commpany” perusahaan atau VOC (kongsi dagang) asal Belanda kalau tak salah, menperlakukan bangsa kita dengan semena-mena. Pajak yang tinggi, intimidasi dan penyiksaan, penangkapan, bahkan sampai pembunuhan bagi siapa saja yang melawan. Belum lagi perampasan tanah, sawah, dan ladang secara paksa milik rakyat untuk kepentingan orang kaya yang didukung tentara dan polisi Belanda. Dimana orang kaya tersebut diperagakan oleh Babah Akong dari warga keturunan China yang pelit, serakah dan sombong. Dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana, para Demang, bangsawan, centeng, polisi blondo ireng alias polisi dari pribumi, menjadi budak-budak pesuruh penjajah Belanda. Yang mau saja diperalat untuk menyiksa dan membunuhi masyarakat pribumi saudara setanah airnya. Demi uang, pekerjaan dan jabatan. Tidak puas sampai di situ, saya terus browsing film-film lain, apakah itu Jaka Sembung, Lebak Membara, Jaka Gledek, Serangan Umum 1 Maret,  Janur Kuning, hingga film kolosal G-30 S/PKI. Tidak puas juga, saya searching lagi film-film sejarah dokumenter dan berita-berita jadul baik yang berbahasa asing dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal apa yang membuat saya tiba-tiba begitu tertarik untuk menonton itu semua ? Meski itu kadang hanya film fiksi, dan ada skenarionya? Walaupun sebahagian itu adalah film fiksi, namun saya yakin, inspirasi dari cerita dalam film tersebut adalah gambaran nyata dari masa lalu bangsa nusantara ini. Bahwa selama 350 tahun atau ada juga yang berpendapat hanya 50 tahun, bangsa ini dijajah bangsa Eropa dan Jepang. Secara bergantian. Makanya untuk mempertahankan objektifitas, saya juga imbangi dan tonton juga film dokumenter dan file berita-berita jadul tentang sejarah Indonesia yang independent. Kesimpulan yang saya dapat dari puluhan film dan file dokumenter yang saya dapatkan tentang nasib bangsa ini adalah : Pertama. Hilangnya fungsi negara saat ini dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia sesuai amanah pembukaan UUD 1945. Karena, sudah tak terhitung Sumber Daya Alam bangsa ini dijarah dan dikelola Asing. Belum lagi perlindungan negara, khususnya pemerintahan hari ini terhadap kehormatan dan hak azazi rakyatnya juga sudah bergeser jauh.  Pemerintah yang seharusnya menjadi Bapak untuk semua golongan masyarakat, sekarang menjadi “Pemerintahan Fasis”, yang memisahkan dan mendiskriminasi mana yang masyarakat kelompok pro penguasa dan yang oposisi. Kedua. Kembali terjadi perampasan hak, penindasan, intimidasi, pajak yang tinggi dari pemerintah terhadap rakyatnya hari ini. Ribuan konflik agraria antara pemerintah dengan rakyatnya termasuk tanah adat dan ulayat. Tak terhitung terjadi jumlah penggusuran paksa, ganti rugi murah, serta persekusi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak tanahnya. Seperti tragedi tanah di Wadas Jawa Tengah, tanah adat di Kalimantan, banyak lagi kalau mau disebutkan. Dimana rakyat dipaksa dengan kekuatan aparat keamanan bersenjata menyerahkan hak tanahnya yang dikelola turun temurun dengan peluh keringat. Ketiga. Kembali terjadi apa yang namanya pengkhianatan, manusia munafik, yaitu, orang-orang yang mau menjual harga diri dan jabatannya demi melayani dan jadi budak penguasa. Para TNI/Polri tidak lagi jadi aparat negara, tetapi menjadi aparat pemerintah. Bahkan ada yanng dengan bangganya menyatakan “siap loyal tegak lurus loyal pada pemerintah”. Padahal itu jelas bertentangan dengan konstitusi dan sumpah prajuritnya. Keempat. Hilangnya makna kedaulatan ada di tangan rakyat. Dimana saat ini, kedaulatan atas negara ada di tangan tiga kelompok yaitu : Cukong, Aparat, dan partai politik. Rakyat yang berjuang mempertaruhkan jiwa raganya agar bangsa ini merdeka, justru saat ini menjadi masyarakat “kelas kedua”. Semua lini dikuasai oleh tiga elemen tadi.  Padahal, tiga elemen ini tidak ada dalam konstitusi, tidak ada dalam sejarah bangsa ini apa jasa dan konstribusinya. Tapi faktanya hari ini adalah ; mereka bertiga yang menguasai, menjarah, mengendalikan negara ini. Kelima. Tidak ada lagi yang namanya penghormatan terhadap kearifan lokal, terhadap Agama, Ulama dan tokoh. Padahal, peran agama, ulama dan tokoh adalah sumber energi kekuatan rakyat, yang membimbing masyarakat, untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Tapi justru saat ini, agama dan ulama malah dicaci-maki, dipenjarakan dan dianggap musuh negara. Ada kesamaan nasib dan sejarah antara kisah dan cerita yang ada dalam sekuel film dan dokumenter yang saya tonton itu dengan nasib bangsa kita hari ini. Namun yang membedakannya adalah:  Kalau dulu yang menjajah, menjalankan pemerintahan adalah bangsa Belanda. Hukum yang dipakai hukum Belanda, dengan azas konkordansi masyarakar pribumi hanya menjadi masyarakat kelas terbawah. Pejabat tinggi pemerintahannya pun orang Belanda. Komandan polisi dan bahasanya pun menggunakan bahasa Belanda. Namun hari ini yang menjadikan kita miris adalah  segenap pemerintahannya, pejabatnya, hukumnya, bahasa, bendera dan konstitusinya adalah sudah milik bangsa Indonesia sendiri. Sudah atas nama hak bangsa Indonesia itu sendiri. Tetapi kenapa perlakuan, nasib, dan penindasan atas hak, ketidakadilan hukum, serta penjarahan atas sumber kekayaan alam bangsa ini hampir sama persis dengan zaman penjajahan Belanda? Contohnya adalah : Kalau dulu yang menjadi masyarakat kelas atas adalah orang Belanda, timur jauh (bangsawan), baru pribumi. Sekarang yang jadi masyarakat kelas adalah cukong, aparat negara, dan orang partai politik. Di luar itu masyarakat pribumi hanyalah masyarakat kelas bawah. Kalau dulu hasil kekayaan alam dan pajak bangsa ini untuk pemerintahan Belanda. Kalau saat ini, hanya secuil untuk negara sisanya untuk mereka keruk dan bagi bersama/sama kelompoknya. Kalau dulu penjajah itu adalah bangsa Belanda ? Kalau saat ini penjajah itu adalah “Oligarki”. Yaitu sekelompok kecil manusia yang menguasai sekelompok manusia besar lainnya. Dimana mereka itu terdiri dari para Cukong, Politisi, dan Pejabat (aparat). Artinya, era “neo colonializm” itu kembali terjadi terhadap bangsa Indonesia. Yaitu ; penjajahan gaya baru, dengan infrastruktur baru, dengan “bohir” baru. Yaitu penjajahan oleh kelompok Oligharki. Kelompok Oligarki inilah yang menghisap, menjarah, menguasai, dan mengendalikan seluruh sumber daya nasional bangsa kita hari ini. Big Bossnya adalah cukong, Ki Demang nya adalah para birokrat dan politisi, sedangkan untuk centeng dan “blondo irengnya” adalah Aparat keamanan dan para BuzzerRp penjilat. Masih belum sadarkah kita? Bahwa bangsa kita hari ini sedang dijajah Oligharki ?? Mohon tanyakan pada rumput yang bergoyang. Merdeka ! Perth-Australia. 20 April 2022.

Memaknai keberkahan Ramadan-02

 Mari rebut keberkahan (keutamaan) Ramadan dengan mengikat diri dengan Al-Quran sebagai dasar perenungan. Akal pikiran manusia boleh melanglang buana ke mana saja. Asal pijakannya tetap kepada inspirasi Ilahi (Al-Quran).  Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DI antara keberkahan (keutamaan-keutamaan) Ramadan adalah, selain sebagai bulan muhasabah (introspeksi), juga sebagai bulan refleksi (perenungan-perenungan). Di bulan ini orang-orang beriman tertantang untuk melakukan perenungan tentang berbagai hal. Tentang dirinya, siapa dari mana dan akan kemana. Apa tujuannya sehingga hadir di atas dunia ini.  Kenyataannya ketika manusia telah larut dalam hidup rutinitasnya pada umumnya akan kehilangan kesadaran hidup. Artinya manusia hidup tanpa kesadaran. Jadilah manusia itu bagaikan mesin berjalan yang berputar melakukan fungsi fisik/material tanpa sadar.  Ketidaksadaran seperti ini kalaupun tidak berujung pada hal negatif atau destruktif, minimal jadi kehidupan yang tidak berlebihan jika disebut sebagai kehidupan yang mengalami matisuri. Jadilah manusia seperti itu mayat-mayat yang berjalan.  Sesungguhnya inilah hikmah kenapa Al-Quran diturunkan di bulan Ramadan. Dan lebih spesifik lagi kenapa justeru ayat pertama yang diturunkan adalah perintah membaca “Iqra’”. Karena Al-Quran adalah GPS kehidupan dunia yang ganas dan penuh ketidak menentuan.  Dan kalau kita berbicara tentang Al-Qur’an maka perenungan (thinking, pondering, reflections, dan seterusnya) merupakan esensi dasarnya. Itulah makna Iqra sejatinya. Al-Quran tidak akan maksimal jika tidak disikapi dengan perenungan akal dan hati (fikir dan dzikir).  Oleh Karenanya dibulan keberkahan sebagai bulan Al-Quran ini harusnya mampu mengantar kita semua ke sebuah situasi di mana kesadaran tentang hidup itu terbangun. Hidup yang berkesadaran itulah hidup yang bermakna (bernilai/valuable).  Dan itu pulalah makna terpenting dari laelatul Qadar sebagai malam yang bernilai tinggi (Khaer min alfi syahr). Malam yang nilainya lebih dari seribu malam. Karena di malam itulah diturunkan Al-Quran yang menjadi dasar kehidupan yang bermakna.  Tapi untuk Al-Quran mampu menjadikan hidup manusia bermakna atau bernilai tinggi diperlukan perenungan-perenungan atau Iqra’ tadi. Di saat manusia berusaha melepaskan diri dari kungkungan dunia yang membebani (puasa) ketika itu akan lebih mudah untuk melakukan perenungan-perjuangan itu.  Karenanya dengan segala motivasi yang ada untuk melakukan ragam ritual yang ada di bulan Ramadan ini, harusnya juga dimaksimalkan untuk melakukan perenungan-perenungan itu. Perenungan yang tentunya menjadi tuntutan “Al-Furqan” (iqra’).  Mari rebut keberkahan (keutamaan) Ramadan dengan mengikat diri dengan Al-Quran sebagai dasar perenungan. Akal pikiran manusia boleh melanglang buana ke mana saja. Asal pijakannya tetap kepada inspirasi Ilahi (Al-Quran).  Ingat sekali lagi jangan sampai membatasi diri dengan Al-Quran pada dimensi ritual. Membaca sambil hitung-hitungan dengan Allah. Ini tentunya tanpa ada tendensi mengurangi nilai ritualnya. Membaca satu huruf itu sepuluh pahala. Dan di bulan Ramadan dilipat gandakan. Tapi mari kita “go beyond the ritual blessings”. Yaitu merenungi diri dan kehidupan melalui “tadabbur, ta’aqqul dan tafakkur” ayat-ayat Allah SWT.  Semoga Al-Quran jadi rahmah, pelipur lara, menjadi pembela bagi pembacanya di hari tiada pembelaan kecuali dari Allah SWT. Amin.  NYC, 19 April 2022. (Bersambung)     

Mengembalikan Tatanan Mula Republik Indonesia Berdasar UUD 1945 (1)

Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen. Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila APAKAH  Elite politik, para Ahli Tata Negara, kaum cerdik pandai kampus, para pengamandemen UUD 1945 tidak merasa bersalah atau berdosa terhadap bangsa ini yang terus tidak lagi mau memahami apa itu Indonesia yang dimerdekakan Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945? Kata Bung Karno, sejarah adalah kaca benggala yang harus terus disimak. Agar bangsa dan negara ini tidak melenceng dari cita-cita berdirinya negara Indonesia. Akibat tidak memahami dan mendalami hubungan Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945, tidak memahami apa ideologi Pancasila, maka diamandemenlah UUD 1945. Sekarang DPR mulai ngarang-ngarang menerbitkan UU Haluan Ideologi Pancasila. UU HIP. Aneh dan janggal. Bagaimana Ideologi Pancasila itu, ya UUD 1945 dari pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya itulah ideologi Pancasila. Kok mau dibuat UU. Secara hirarki bagaimana? Apa bisa UU lebih tinggi dari UUD 1945? Rupanya DPR semakin keblinger dan tidak mau membuka dokumen hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Hubungan Pembukaan dan Batang Bubuh UUD 1945 itu adalah hubungan sebab akibat yang tidak bisa dipisahkan atau dipenggal. Karena ada Pembukaan UUD 1945 itulah maka ada batang tubuh UUD 1945 dan penjelasannya. Mari kita bahas hubungan Pembukaan dan UUD 1945 asli hasil kajian Prof Noto Negoro. Kiranya perlu kita simak agar kita tidak kesasar dan tidak mengerti kalau negara sudah dikudeta. Bahkan, TNI POLRI sebagai penjaga Pancasila dan UUD 1945 tidak mengerti. Terus mereka yang lulusan Lemhamnas dan sekaligus dosen-dosen pengajarnya, apa yang diajarkan? Kok sampai tidak mengerti tentang ideologi negara Pancasila? Pendjelmaan (pelaksanaan objektif) Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Uraian Ideologi Pancasila di dalam batang tubuh UUD 1945. Udjud pelaksanaan objektif mengenai asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah sebagai berikut: 1. Asas “ke-Tuhanan Jang Maha Esa” Tersebut dalam Bab XI hal Agama, pasal 29 dari Undang-undang Dasar 1945. 2. Asas “kemanusiaan jang adil dan beradab” Terdapat dalam ketentuan-ketentuan hak asasi warganegara tertjantum dalam pasal-pasal 27, 28 dan 31 ajat 1 dari Undang-undang Dasar 1945. 3. Asas “persatuan Indonesia” Terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 26 tentang warganegara, pasal 31 ajat 2 tentang pengadjaran nasional, pasal 32 tentang kebudajaan nasional, pasal 35 tentang bendera negara dan pasal 36 tentang bahasa negara. Diantara pendjelmaan daripada asas “persatuan Indonesia” terdapat satu hal, jang amat penting untuk pada tempat ini dikemukakan. Karena djika hal ini disadari, sungguh akan merupakan dasar bagi tertjapainya realisasi sifat kesatuan daripada Negara dan bangsa. Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, dan menurut ketetapan ini “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang Negara, satu sungguhpun berbeda-beda. Negara Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri dari pulau-pulau jang amat banjak djumlahnja. Bangsa Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri atas suku-suku bangsa jang banjak djumlahnya. Tiap-tiap pulau dan daerah, tiap-tiap suku bangsa mempunjai tjorak dan ragam sendiri-sendiri, beraneka warna bentuk-sifat daripada susunan keluarga dan masjarakatnja, adat-istiadatnja, kesusilaannja, kebudajaannja, hukum adatnja dan tingkat hidupnja. Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen. Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu. Sedangkan disampingnja ada perbedaan pula dengan golongan bangsa Indonesia jang asli. Kalau ditambahkan terdapatnya pelbagai agama dan kepertjaan hidup lainnya, maka makin mendjadi besar perbedaan jang terdapat di dalam masjarakat dan bangsa Indonesia. Jang demikian itu disamping daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan menimbulkan djuga suasana dan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang, jang mungkin mengakibatkan perselisihan, akan tetapi mungkin pula, apabila dipenuhi hidup jang sewadjarnya, menjatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa jang malahan memperkaja masjarakat. Dimana dapat, perlu diusahakan peniadaan dan pengurangan perbedaan-perbedaan jang matjam terachir itu. Meskipun dengan harapan, bahwa usaha itu akan tidak berhasil sempurna. Dalam kesadaran akan adanja perbedaan-perbedaan jang demikian itu, orang harus berpedoman kepada lambang Negara “Bhinneka Tunggal Ika”, menghidup-hidupkan perbedaan jang mempunjai daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan jang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpetjahan atas dasar kesadaran akan kebidjaksanaan dan nilai-nilai hidup jang sewadjarnya. Lagipula dengan kesediaan, ketjakapan dan usaha untuk sedapat mungkin menurut pedoman-pedoman madjemuk-tunggal bagi pengertian kebangsaan, ialah menjatukan daerah, membangkitkan, memelihara dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunjai satu sedjarah dan nasib, satu kebudajaan di dalam lingkungan hidup bersama dalam suatu Negara jang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan. “Bhinneka Tunggal Ika” adalah merupakan suatu keseimbangan, suatu harmoni jang tentu akan berubah-ubah dalam bentuknja, akan tetapi akan tetap dalam dasarnja, antara kesatuan dan bagian-bagian dari kesatuan, dalam segala matjam hal tersebut di atas, dan djuga dalam hal susunan bentuk dan susunan pemerintahan Negara. 4. Asas “kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 2 ajat (1) tentang terdirinja Madjelis Permusjawaratan Rakjat atas wakil-wakil rakjat, pasal 5 ajat (1) tentang kekuasaan Presiden membentuk Undang-undang dipegang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat, pasal 6 ajat (2) tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 sampai dengan 22). Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah. 5. Asas “keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia” Terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara. Jadi jelas Ideologi Pancasila teruarai di dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh sebab itu amandemen UUD 1945 yang memisahkan Pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh sama artinya menghilangkan Ideologi Pancasila. Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan. Asas Politik Negara Indonesia Diamandemen. Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Diamandemennya pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diamandemen menjadi. Pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Akibat diamandemennya pasal 1 ayat 2 adalah mengamandemen asas politik negara, susunan Negara Republik Indonesia tidak lagi wujud dari kedaulatan rakyat. (Bersambung)

Bernegara Gak Asik Lagi

Oleh: Gde Siriana - Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus) BERNEGARA udah gak asik lagi karena orang yang dekat dengan penguasa menyingkirkan orang yang punya integritas dan prestasi. Bernegara udah gak asik lagi karena kearifan lokal gak lagi punya arti kecuali menjilat atasan demi posisi dan naik gaji. Bernegara udah gak asik lagi karena birokrasi hanya jadi sarang korupsi dan elit penguasa bangun dinasti-dinasti. Bernegara udah gak asik lagi karena ruang dan gerak kita dibatasi, diawasi dan dimata-matai oleh centeng oligarki Bernegara udah gak asik lagi karena yang berani bersuara diintimidasi dan dikriminalisasi. Bernegara udah gak asik lagi karena para profesor tidak lagi punya pendapat sendiri, pilih memuji rezim atau gak boleh ngajar lagi. Bernegera udah gak asik lagi karena yang kita pilih setiap lima tahun sekali ternyata kacung die lagi kacung die lagi. Bernegara udah gak asik lagi karena aspirasi dan kritik dimusuhi, tanpa pernah mau memahami makna aspirasi. Bernegara udah gak asik lagi, karena berteman dengan yang berjenggot atau berkerudung dianggap terpapar radikalisme dan anti toleransi. Bernegara udah gak asik lagi karena perkawanan jadi sensitif seperti pantat bayi dan admin WAG bilang jangan share yang berbau politik dan oposisi. Bernegara udah gak asik lagi karena beli PCR pun mesti pake duit sendiri dan beli minyak goreng mesti antri dari pagi. Bernegara udah gak asik lagi karena mau dapat sembako pun mesti mengejar berlari-lari ngikutin mobil Jokowi pergi. Bernegara udah gak asik lagi karena yang salah dan benar dibolak-balik dan kenyataan dimanipulasi dan diamputasi. Bernegara udah gak asik lagi karena pejabat lebih suka menjual negeri menghianati proklamasi, gak perduli menindas bangsa sendiri. Bernegara udah gak asik lagi karena bhineka tinggal rasa, bukan tunggal ika, dan tafsir tunggal Pancasila  ditentukan penguasa semata padahal nilai-nilai kehidupan berkembang setiap zaman berganti. Bernegara udah gak asik lagi karena big data jadi big dusta dan lembaga opini bayaran berkedok lembaga survei berdedikasi. Bernegara udah gak asik lagi karena aktivis teriak revolusi pasti ditangkapi, diadili dan masuk bui. Bernegara udah gak asik lagi karena mimpi dan harapan tentang perubahan pun gak boleh diobrolin di WAG  dan warung kopi. Bernegara udah gak asik lagi karena mahasiswa demonstrasi selalu dibilang ditunggangi padahal rakyat maki-maki penguasa dan oligarki menunggangi pandemi pun mereka gak perduli. Bernegara udah gak asik lagi karena ujung reformasi ada di bawah tahta oligarki. ***

Wow, Cak Imin Menolong Kyai Amin

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan LUCU Cak Imin ini, di satu sisi ia semangat mengkampanyekan diri sebagai Capres 2024 melalui baliho dan spanduk yang dipasang dimana-mana. Rakyat sebenarnya tidak begitu peduli atau mendukung tokoh ini. Polling atau survey menunjukkan posisinya yang jeblok-jeblok saja. Di sisi lain, anehnya Cak Imin juga memelopori usulan agar Pilpres ditunda, artinya masa jabatan Presiden diperpanjang melebihi tahun 2024.  Posisi di PKB nya pun sempat goyang karena keterpilihan Yahya Staquf sebagai Ketum PBNU. Cak Imin adalah pendukung Said Aqil Siradj kompetitor Staquf. Manuver yang dilakukannya menunjukkan bahwa ia sedang berusaha untuk memperkuat posisi politiknya. Sekurangnya bertahan. Bila tidak, maka karier politik Cak Imin akan semakin ambruk. Struktural NU nyatanya  sedang tidak memihak.  Menarik alasan pengusulan penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menolong Wapres KH Ma\'ruf Amin. Tidak tanggung-tanggung urusan akherat lagi. Konon jika tidak diperpanjang maka KH Ma\'ruf Amin  bakal bermasalah di akherat. Pandemi 2 tahun membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.  Mungkin menurut Cak Imin jika ditambah 2 tahun lagi Kyai Ma\'ruf Amin dapat menambal dosa-dosanya. Padahal semua juga tahu, bahwa sejak mulai dilantik, pak Kyai Wapres ini sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Tugas Wapres bukanlah  bidang yang pas baginya \"bighoiri ahlihi\". Ada dan tiadanya sama saja.  Sebaliknya dengan ditambah masa jabatan sebagai Wapres akan bertambah banyak pula dosa-dosa yang harus ditanggung. Cak Imin sesungguhnya bukan sedang menolong akherat Kyai Ma\'ruf Amin tetapi justru menjerumuskan pada tanggung jawab akherat yang jauh lebih berat.  Ketika gelombang penolakan semakin menguat, termasuk aksi-aksi mahasiswa, Cak Imin berkilah enteng bahwa ia hanya usul dan di negara demokrasi terbuka untuk menyatakan pendapat. Cak Imin lupa bahwa masalahnya bukan boleh atau tidak usul atau berpendapat, akan tetapi usul yang melabrak Konstitusi itu tentu berkonsekuensi. Wajar jika mendapat kecaman dan perlawanan keras.  Memperpanjang masa jabatan Presiden/Wakil Presiden adalah terang-terangan melanggar Konstitusi.  Jokowi pernah menyatakan mereka yang mendorong dirinya untuk memperpanjang kekuasaan adalah mereka yang mencari muka, menampar muka, atau menjerumuskan. Nah usulan Cak imin nampaknya bukan semata usul tetapi ada skenario untuk tiga kemungkinan yang disinyalir oleh Jokowi itu.  Kembali pada agenda penyelamatan Ma\'ruf Amin, maka Cak Imin sebenarnya tidak sedang menyelamatkan tetapi melecehkan Ma\'ruf Amin seakan-akan ketidakmampuan selama dua tahun pandemi itu adalah dosa akherat. Lalu dengan memperpanjang jabatan maka akherat Ma\'ruf Amin menjadi tertolong.  Sebenarnya KH Ma\'ruf Amin juga dapat berkata sama dengan Jokowi, bahwa mereka yang usul dan mendorong perpanjangan masa jabatan adalah mereka yang sedang mencari muka, menampar muka, atau menjerumuskan.  Kasihan orang tua yang sudah payah dan tidak mampu itu jika masih dipaksa untuk menambah masa jabatan sebagai Wapres.  Bagaimana urusan akherat nanti? Bandung, 20 April 2022

Memaknai Keberkahan Ramadan-01

Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket (attached) dengan sangat dekat dengan dunia ini. Mereka terlalu melebih-lebihkan kehidupan dunianya (bal tu’tsirunal hayatad dunia). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation KITA mengetahui bahwa Ramadan adalah bulan yang penuh dengan ragam kebaikan dan manfaat. Berbagai kebaikan atau manfaat itu tersimpulkan dalam satu kata “barokah”. Bahwa bulan Ramadan adalah bulan barokah yang dimaknai sebagai “azziyadatu fil khaer” (bertambahnya kebaikan). Sayangnya seringkali keberkahan-keberkahan atau nilai tambah itu hanya dimaknai secara terbatas pada aspek ritual. Sehingga kepedulian mayoritas Umat tertuju pada ragam ritual, dari puasa itu sendiri, tarawih, hingga ke dzikir dan bacaan Al-Quran dengan tujuan mengumpulkan pahala. Hitung-hitungan pun terjadi. Saya melakukan sholat malam dengan ikhlas. Insya’Allah dosa saya dihapuskan oleh Allah setahun lalu. Atau saya telah menyelesaikan bacaan Al-Quran saya sekian juz dengan jumlah huruf sekian. Pahala dari bacaan saya sudah sekian. Tendensi hitung-hitungan seperti ini bisa keliru bahkan berakibat pada terbangunnya sikap yang kurang etis kepada Allah SWT. Benar ada kata “isytara” (transaksi antara Allah dan hamba) sebagai penggambaran komitmen ketaatan seorang hamba pada Tuhannya. Tapi itu tidak dimaksudkan sebagai kalkulasi-kalkulasi yang harus terjadi antara hamba dan Tuhannya. Keberkahan Ramadan hendaknya dipahami dengan makna yang lebih luas dan komprehensif. Bahwa Ramadan adalah bulan berbagai ritual yang pahalanya dilipat gandakan itu pasti. Amalan-amalan wajib dilipatgandakan pahalanya. Sunnah-sunnah dinilai dengan penilaian amalan wajib. Umrah misalnya di bulan Ramadan dimaknai seolah amalan haji. Kalau saja kita paham, bulan Ramadan ini memang dahsyat. Kita kenal bahwa Allah itu melebihkan sebagian waktu dan/atau tempat tertentu di atas waktu dan tempat yang lain. Ada waktu-waktu atau tempat-tempat tertentu yang yang diberikan keutamaan (fadhilah) lebih dari lainnya. Contoh tempat yang diutamakan misalnya adalah Masjidil Haram dan Multazam. Demikian pula padang Arafah di hari Arafah. Mihrab (tempat Imam memimpin sholat) itu bukan sembarang tempat. Tapi di sana Allah jadikan doa lebih utama dan diutamakan dalam pengabulan. Contoh terdekat adalah doa nabi Zakariyah yang meminta anak di Mihrab dan dikabulkan ketika itu. Padahal logikanya Zakariyah AS tidak mungkin lagi punya anak. Untuk waktu yang diutamakan ambillah sebagai contoh waktu sahur. Yaitu 2/3 malam hingga menjelang masuk waktu fajar. Keutamaan sahur sesungguhnya bukan saja karena di saat itu orang-orang yang akan berpuasa menikmati makanan yang penuh keberkahan (sahur). Tapi karena waktu sahur itu Allah turun ke langit dunia (terdekat) membuka kesempatan bagi yang berdoa untuk dikabulkan dan bagi yang meminta ampun diampuni. Allah menegaskan keutamaan waktu itu dalam Al-Quran: “dan mereka yang di waktu sahur beristigfar”. Karena semua keutamaan (keberkahan) ritual Ramadan itu menjadikan banyak di kalangan Umat ini membatasi diri. Mereka hanya memburu keutamaan-keutamaan (keberkahan atau pahala) ritual Ramadan dan melupakan keutamaan-keutamaan lainnya yang tidak kalah dahsyatnya. Di antara keberkahan Ramadan adalah bahwa bulan ini adalah bulan “muhasabah”. Yaitu bulan kalkulasi-kalkulasi dalam banyak hal. Seperti yang pernah diingatkan oleh Umar: “lakukanlah kalkulasi pada diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat) kelak”. Satu di antara hal yang urgen untuk selalu dikalkulasi atau dihitung-hitung adalah kenyataan hidup yang kerap salah kaprah dan salah destinasi. Manusia sering berpikir jika hidup dunianya panjang. Bahkan seringkali merasa hidup dunianya yang nyaman itu akan menjadikannya seolah-olah akan hidup abadi (Al-Lumazah). Selain salah kaprah juga manusia seringkali salah destinasi dalam hidupnya. Manusia menjadikan dunia ini sebagai destinasi hidup. Akibatnya semua hidupnya diorientasikan untuk memenuhi hajat dunianya. Sementara kehidupan Sesungguhnya (Akhirat dalam istilah Al-Qur’an lahiya al-hayawanu) mereka lalaikan. Situasi ini digambarkan oleh Surah Ar-Rum: “mereka mengetahui lahiriyah kehidupan dunia tapi mengenai Akhirat mereka lalaikan”. Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket (attached) dengan sangat dekat dengan dunia ini. Mereka terlalu melebih-lebihkan kehidupan dunianya (bal tu’tsirunal hayatad dunia). Di sìnilah puasa melatih seseorang untuk melepaskan ikatan atau kungkungan dunianya. Dengan puasa orang beriman belajar meletakkan dunianya pada porsi dan posisi yang sesuai. Mungkin ungkapan yang indah tentang itu adalah: “letakkan dunia ini di tanganmu dan bukan di hatimu”. Atau “milikilah dunia ini tapi jangan dimiliki oleh dunia”. Dengan puasa seorang Mukmin akan melakukan reorientasi destinasi hidup. Dari material oriented life menjadi “akhirah oriented life”. Insya Allah! New York, 19 April 2021. (Bersambung)

Big Data, Big Dusta Luhut Pandjaitan

Jawabannya, tidak. Jawaban ini ditemukan dari hasil survei. Beberapa saat lalu, empat lembaga survei telah meriset ide penundaan pemilu. Hasilnya sangat meyakinkan. Baik lembaga survei Indikator Politik, Lembaga Survei Indonesia (LSI), LSI Denny JA dan Indonesia Political Opinion (IPO) menemukan hasil serupa: mayoritas masyarakat Indonesia menolak penundaan pemilu. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD-MPR RI BIG data versi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terus menuai kontroversi. Tak hanya diragukan oleh mahasiswa, elit politik pun ramai-ramai mempertanyakan. Klaim 110 juta percakapan di media sosial yang menginginkan penundaan Pemilu 2024 ditengarai tak berdasar. Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, A.A. LaNyalla Mattilitti bahkan terang-terangan menyebutnya bohong. Pun dengan Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI Puan Maharani. Dua sanggahan menohok dari dua ketua lembaga legislatif ini menegaskan betapa bobot kontroversi big data bukan kaleng-kaleng. LaNyalla tentu tidak asal menuding. Dia paham, kredibiltasnya dipertaruhkan. Maka, LaNyalla datang dengan data. Berdasarkan analisa big data yang ia miliki, percakapan tentang Pemilu 2024 di platform paling besar di Indonesia yaitu Instagram, YouTube dan TikTok disebut tidak sampai 1 juta orang. Lebih rinci, LaNyalla memaparkan secara detail. Jumlah pasti akun yang terlibat dalam percakapan wacana tersebut disebut sebanyak 693.289 percakapan. Jumlah itu terbagi atas 87.000  percakapan di YouTube, 134.000  percakapan di Instagram dan 454.000  di TikTok. Data rinci seperti itu seharusnya diterangkan pula oleh Luhut. Sebagaimana LaNyalla, kredibilitas Luhut tentu juga dipertaruhkan. Dan dalam konteks yang lebih besar, kredibilitas Jokowi sebagai kepala pemerintahan ikut pula diseret. Itu terjadi karena wajah Luhut sedikit banyaknya mencerminkan wajah pemerintahan Jokowi. Selain Menko Marves, Luhut dipercaya presiden memegang sejumlah jabatan penting lainnya. Boleh dibilang, Luhut tangan kanan presiden. Beberapa pihak bahkan menyebutnya dua sejoli. Anehnya, hingga saat ini tak ada respon Jokowi menyikapi polemik big data. Padahal, campur tangan presiden diperlukan karena beberapa hal. Pertama, presiden telah menegaskan agar wacana penundaan Pemilu dihentikan. Sementara itu, big data berorientasi membangun logika urgensi penundaan pemilu. Sepanjang data 110 juta percakapan netizen itu tidak dibuka, sepanjang itu pula perbincangan soal Pemilu ditunda sulit berhenti. Kedua, agar polemik berakhir, presiden sebaiknya meminta Luhut membuka big data sebagai bentuk pertanggungjawaban pejabat publik ke hadapan rakyat. Klaim seorang pejabat publik yang disampaikan secara terbuka merupakan informasi publik yang layak diketahui masyarakat. Mengapa? Karena klaim tersebut dapat dijadikan referensi oleh masyarakat, selain memengaruhi persepsi mereka. Agar masyarakat tidak keliru menyimpulkan, maka semua harus dijelaskan dengan baik agar big data dapat dipelajari bersama. Lembaga pengkaji big data siapa? Metode sampling-nya bagaimana? Ketiga, tidak sedikit yang menilai, sikap Luhut terlihat arogan saat berdialog dengan mahasiswa Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswa meminta Luhut membuka data 110 juta percakapan netizen yang mendukung Pemilu ditunda. Tapi Luhut bergeming dengan sikap pongah. Ini tak elok bagi seorang menteri. Presiden selayaknya menegur. Bila tidak, masyarakat dapat memersepsikan bahwa Jokowi berdamai atau setidaknya membiarkan sikap arogansi bawahan dekatnya. Keempat, klaim big data tersebut berpotensi memunculkan keputusan politik mahapenting. Big data versi Luhut dijadikan salah satu dasar untuk membangun gagasan penundaan Pemilu. Ini bukan persoalan sepele. Penundaan pemilu hanya bisa dilakukan dengan mengamandemen UUD 1945. Dengan kata lain, big data dapat menjadi entry poin dilakukannya perubahan konstitusi. Jadi, sepantasnyalah big data dibuka. Angka 110 juta percakapan yang mendukung penundaan Pemilu memang sangat bombastis dan tidak masuk akal. Pada Pemilu 2019, perolehan suara Jokowi adalah 55,50 persen atau sebesar 85,6 juta. Bila disebut 110 juta percakapan media sosial mendukung penundaan pemilu alias memerpanjang masa jabatan Presiden, maka dapat disimpulkan bahwa Jokowi mendapat tambahan dukungan dari 25 juta orang. Dari mana tambahan dukungan itu? Kita tahu pasti ekonomi Indonesia tak kunjung membaik, APBN terus menerus defisit, harga-harga melambung tinggi, belum lagi sejumlah problem besar lainnya semisal utang negara yang menumpuk hingga melebihi Rp 7.000 triliun. Pertanyaannya, apakah fakta ini relevan dengan penambahan dukungan 25 juta itu? Jawabannya, tidak. Jawaban ini ditemukan dari hasil survei. Beberapa saat lalu, empat lembaga survei telah meriset ide penundaan pemilu. Hasilnya sangat meyakinkan. Baik lembaga survei Indikator Politik, Lembaga Survei Indonesia (LSI), LSI Denny JA dan Indonesia Political Opinion (IPO) menemukan hasil serupa: mayoritas masyarakat Indonesia menolak penundaan pemilu. Agar pembandingnya apple to apple, riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang secara khusus menyorot pendapat netizen dapat menjadi rujukan tepat. Hasilnya konsisten, sebanyak 78,9 persen responden menyatakan menolak penundaan Pemilu. Survei ini telak meruntuhkan klaim big data versi Luhut. Big data adalah cara licik membangun argumentasi penundaan pemilu. Karena pemerintahan ini miskin prestasi, maka narasi yang dibangun kebanyakan bersifat situasional, tidak mengedepankan alasan prestasi sebagai tolak ukur. Contoh narasi situasional lainnya adalah pandemi Covid -19 atau kondisi ekonomi bangsa yang sedang terpuruk. Keduanya pernah dijadikan alasan penundaan pemilu. Big data pun demikian. Hanya sekadar klaim tanpa bukti, hanya sebatas syahwat kekuasaan tanpa empati. Tidak berlebihan bila sebagian pihak memelesetkan dengan nyelekit: big dusta! (*)

Tegak Lurus Itu Pada Negara Bukan Pemerintah

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan HUT Kopassus ke 70 yang diselenggarakan di Makopassus Cijantung dilaksanakan sederhana dengan Inspektur Upacara Danjen Kopassus Brigjen TNI Iwan Setiawan. Acara berlangsung lancar dan khidmat. Seusai acara Danjen Kopassus dengan semangat menyampaikan amanat atau pesan kepada prajurit, Sesepuh, dan Purnawirawan di manapun berada.  Ada dua hal yang menjadi substansi dari amanat atau pesannya. Pertama, agar membantu dirinya menjaga kehormatan korps baret merah jangan sampai ternodai oleh kepentingan apapun. Kedua, \"Saya Kopassus akan tegak lurus kepada Pemerintah dan menjaga keutuhan NKRI\".  Substansi kedua inilah yang dinilai salah dan bermasalah.  Sebenarnya kurang tepat amanat atau pesan Danjen Kopassus yang di samping ditujukan kepada prajurit juga kepada Sesepuh dan Purnawirawan. Meski para Sesepuh dan Purnawirawan itu \"alumni Kopassus\" tetapi status mereka kini berada di luar komando. Amanat atau pesan menjadi tidak relevan.  Yang paling mencolok dan kontroversial tentu ucapan \"Saya, Kopassus akan tegak lurus kepada Pemerintah\" disinilah salahnya pak Danjen. Kopassus semestinya tegak lurus kepada Negara bukan Pemerintah. Ungkapan yang diulang kembali ini menandakan Danjen Kopassus itu yakin dan sadar akan keharusan \"tegak lurus kepada Pemerintah\". Kopassus sebagai bagian dari TNI harus tunduk pada UU No 34 tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 5). Bukan keputusan politik Pemerintah.  Demikian juga dalam Konsiderans butir d dinyatakan dengan tegas : \"bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai dengan kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola  secara transparan dan akuntabel\". Menyamakan Negara dengan Pemerintah tentu fatal. Pemerintah dapat berganti-ganti sedangkan Negara permanen. Pemerintah dapat berperilaku otoriter, menindas rakyat, atau menyimpang dari tujuan yang dirumuskan oleh Negara. Pemerintah oligarki tidak sejalan dengan Negara demokrasi. Negara terdiri dari Pemerintah dan Rakyat. Semata mendukung Pemerintah dapat memosisikan berhadapan dengan Rakyat.  Kopassus yang tegak lurus dengan Pemerintah tanpa melihat perilaku dari Pemerintah justru berbahaya bagi Negara. Kopassus adalah TNI yang seharusnya tegak lurus dengan kepentingan rakyat yang berbasis ideologi Pancasila dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran.  Kopassus tidak boleh tegak lurus pada Pemerintah yang menjual kedaulatan negara kepada asing, memperbanyak hutang yang menyulitkan generasi mendatang, meminggirkan kelompok agama, bernafsu tanpa  modal ingin Ibu Kota Negara baru, berpihak pada pengusaha bukan pekerja, atau Pemerintah yang seenaknya menaikan harga, serta hipokrit soal korupsi, kolusi, dan nepotisme.  Tegak lurus lah pada Negara, bela rakyat sebagai pemilik kedaulatan, lindungi hukum dari penyiasatan politik. Kopassus adalah pasukan khusus yang diharapkan dan dirindukan rakyat. Jangan menjadi alat untuk menyusahkan rakyat dan menggendutkan para pengkhianat bangsa. Kopassus adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.  Tidak satupun kalimat dalam Undang-Undang yang menyatakan bahwa TNI adalah tentara Pemerintah. Artinya TNI itu bukan tentara Jokowi, Luhut, Mahfud ataupun Yaqut. Bukan pula tentara Airlangga, Manoarfa, Lahadalia, atau Siti Nurbaya. Pemerintah berbeda dengan Negara.  Dirgahayu Kopassus ke 70. Selamat \"Kopasus ku, Kopassus kita, Kopassus Indonesia\". Bandung, 19 April 2022

Sah Dimakzulkan dan Bubarkan Kabinet

Rezim saat ini sudah memenuhi syarat untuk di makzulkan - hanya kabut tebal terhalang oleh kekuatan Oligargi yang sudah luar biasa kuasanya mencengkeram dan mengendalikan negara ini. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PENCITRAAN, tipuan dan kebohongan dari janji-janji bohong adalah watak permanen dan sudah sulit untuk diperbaiki, dampak ikutannya adalah bising terjadinya kegaduhan dan adu-domba, carut-marut dalam mengelola negara dan negara terus meluncur ke arah kehancurannya. Rakyat terus mengalami tekanan, intimidasi dan sebagai objek mainan dari para bandar, bandit dan badut politik. Tidak ada tempat mengadu karena para penguasa sendiri sipelakunya. Negara menghilang sebagai penegak hukum (the basic law of survival). Dampak ikutan lainnya banyak penghianat, penjilat pada kekuasaan, banyak tokoh masyarakat bahkan intelektual menjadi budak kekuasaan. Ironisnya, presiden sebagai boneka yang defisit kapasitas dan kemampuan perilakunya hanya berdasar remote dari luar, bahkan rakyat telah memberi stigma hanya sebagai boneka dari pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Setiap hari hanya membawa batok tua sebagai pengemis utang ke penjuru dunia. Itulah nasib terbaik dan terkeren hidup di negara yang serba defisit. Rakyat hilang harapan terjadinya kehidupan dalam kemakmuran bersama (a commonwealth) dan kebahagiaan bersama (a common happines). Sirkulasi diskursus dari para jenius pemilik pikiran jernih untuk perbaikan negara dalam bentuk demokrasi ditutup karena kedunguan dan kebodohan akal yang sempit dan dangkal. Esensi terjadinya aksiologi ide adalah keniscayaan kesetaraan manusia dalam bernegara, untuk terus koreksi dari terjadinya penyimpangan untuk kembali pada arah tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45. Pergulatan ide, saran, gagasan dan alternatif terbaik untuk perbaikan dan menjaga arah dan eksistensi tujuan negara sudah mentok. Soal hidup bersama itu; adil, berdaulat, bermartabat dan sejahtera bersama. Tentu bukan soal hidup berbasis enjoy life kekinian asal saat ini hidup senang masa depan bangsa dan negara bukan urusannya (aji mumpung), semuanya sudah diborong oleh kekuatan oligarki. Rakyat mulai bergolak karena akibat yang ditimbulkan tidak ada tanda-tanda ke arah koreksi diri dan perbaikan, yang meminta pemimpin seperti ini harus dimakzulkan. Sebab telah memenuhi syarat pemakzulan yang harus dipenuhi. Syarat pemakzulan, menurut dr Al Mawardi, bahwa pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan: adanya ketidak-adilan, ketiadaan ilmu pengetahuan, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis. Negara tertekan kekuatan dari luar, dan kondisi itu suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing. Apabila pemimpin tertekan terus terdikte kekuatan lain, itu memenuhi syarat sebagai mahar untuk dimakzulkan. Pemakzulan juga sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator. Pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional. Bentuk kediktatoran konstitusional ini terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah boneka yang leluasa membuat UU dan perangkat aturan semua sesuai keinginan kolonialisme gaya baru yang telah dikendalikan oleh Peking. Rasyid Ridho (pemikir) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan agar melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi. Sah agar masyarakat tak segan melawan kepemimpinan yang zalim apalagi jika melanggar konstitusi. Dalam Pasal 7A disebutkan presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. Pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usul pemberhentian presiden dan wakil presiden ini dapat diajukan DPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat bahwa dua pemimpin itu melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR paling lama 90 hari setelah menerima permintaan DPR. Jika MK memutuskan presiden dan wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang - kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Rezim saat ini sudah memenuhi syarat untuk di makzulkan - hanya kabut tebal terhalang oleh kekuatan Oligargi yang sudah luar biasa kuasanya mencengkeram dan mengendalikan negara ini. Rakyat menggugat dan melawan tidak ada kaitannya dengan DI/TII yang konon akan menggulingkan rezim dan mendirikan negara Islam. Ini kondisi riil memang sulit terjadi dengan cara-cara konstitusional, ketika semua lembaga negara sudah dalam kendali oleh kekuatan berwajah raksasa para oligarki. Pilihannya adalah dipaksa mundur dan bubarkan kabinet pemerintah saat ini yang sudah menyimpang dari konstitusi dan telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan. (*)

TNI dan Kerancuan Politik Negara (2)

Sejak amandemen UUD 1945 dan digantinya dengan UUD 2002, dengan segala kelicikan, maka UUD 2002 masih juga dikatakan UUD 1945, agar rakyat dan TNI tidak berontak. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila BUNG Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga permusyawaratan perwakilan. Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu MPR dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi. Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia. Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi: “Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara”, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi MPR adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka MPR yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka MPR menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … “ Demikianlah pokok-pokok pikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya “political paralysis“ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya “Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan dipahami jalan pikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan. …..” (Prof. Dr. Sofian Effendi, mantan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia) Sejak amandemen UUD 1945 dan digradasinya MPR menjadi lembaga tinggi setara dengan lembaga tinggi negara dihilangkannya GBHN, maka politik negara GBHN yang menjadi rujukan semua penyelenggara negara menjadi hilang. GBHN merupakan kompas penunjuk arah dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara telah hilang. Apakah kita bisa menjawab atas pertanyaan: Presiden Joko Widodo menegaskan kepada prajurit TNI agar mendukung kebijakan politik negara dan tidak melakukan politik praktis. Memang benar politik TNI adalah politik negara. Pertanyaannya menjadi tidak sederhana apakah politik negara yang dimaksud oleh UUD amandemen itu? Siapa yang membuat politik negara? Presiden? DPR? Atau MPR? Kalau politik negara adalah politik presiden, ada di mana klausul itu pada UUD amandemen? Selanjutnya menjadi pertanyaan besar, apakah politik negara yang menyusun presiden? Atau siapa? Sungguh dampak amandemen UUD akibat dirubahnya aliran pemikiran dan tidak singkronnya dengan Pembukaan UUD 1945 menjadi sebuah persepsi yang akan kacau-balau di dalam ketatanegaraan republik ini. Apakah kita akan berada pada ketidakpastian? Mari kita semua lebih mendalami apa yang terjadi sesungguhnya pada bangsa dan negara yang kita cintai ini, apakah kita akan berada pada ketidakpastian kekacauan atau kita kembali pada Pancasila dan UUD 1945 naskah asli butuh sebuah keberanian bersama. Sejak amandemen UUD 1945 dan digantinya dengan UUD 2002, dengan segala kelicikan, maka UUD 2002 masih juga dikatakan UUD 1945, agar rakyat dan TNI tidak berontak. Strategi penipuan ini memang jitu sebab selama 20 tahun reformasi TNI, POLRI, diam bahkan menikmati keadaan, padahal apa yang dijaganya itu Pancasila dan UUD 1945 sudah tidak bermakna sejak Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 diamandemen. (*)