Big Mouth Elite dan Narasi Sejarah
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
DALAM bahasa Betawi big mouth disebut Gedé Bacot.
Omongan tak cocok dengan realita. Sehari-hari, terutama dalam dunia politik, hal ini banyak kita jumpai. Transformasi big mouth malah di sekolah melalui pelajaran sejarah yang kontenmya ditulis lebih banyak berdasarkan khayalan.
Buku "sejarah" pertama diterbitkan Belanda tahun 1894 berjudul Hikayat Tanah Hindia. Buku ini ditulus berbasis bual.
Kemudian di abad XX didatangkan kepala library Paris yakni George Codees.
Prasasti Kedukan Bukit tentang Weltaanschuwung kaum Saba diklaim sebagai "bukti" adanya sebuah kerajaan.
Belanda kemudian menelorkan seorang yang disebutnya "maha sejarahwan" Prof DR RM Ng Purbotjaroko. Pak Maha mengklaim ada kerajaan Tarumanagara nun di abad IV M. Pak Maha menggunakan dua alat bukri: prasasti Campea dan Batu Tumbuh. Dua prasasti itu dibuat migran Khmer pada medio XIII M dengan aksara Venggi bahasa Khmer Hind.
Kebobongan ini berlanjut sampai kini. Tanpa disadari hal ini turut menyumbang pembentukan behaviour Gedé Bacot. Proyek apa pun yang didahulukan gembar-gembor reklame yang ujung-ujungnya mangkrak.
Apakah ini sifat dasar orang Indonesia? Bukan. Nama-nama perikakas kelamin tidak ada yang asli Indonesia, semua bahasa serapan. (RSaidi)