OPINI
Memaknai keberkahan Ramadan-03
Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan dan dihadirkan di dunia ini untuk sebuah tujuan mulia. Yaitu, hadir untuk pengabdian kepada sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation RAMADAN sebagai bulan Al-Qur’an (syahrul Qur’an) menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai momentum untuk melakukan apa yang saya sebut “reorientasi kehidupan”. Manusia hadir di atas dunia ini dengan orientasi (tujuan) yang jelas. Hanya saja dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk dan rutinitas yang tiada henti menjadikan banyak manusia kemudian kehilangan orientasi hidup. Di sìnilah sejatinya Ramadan hadir menjadi momentum yang penuh dengan keberkahan (keutamaan) dalam upaya manusia melakukan reorientasi hidup. Dengan puasa seseorang akan lebih mampu memerdekakan dirinya dari kungkungan atau ikatan dunia yang kerap sangat kuat. Ketika seseorang dikungkung atau diikat oleh dunia pada umumnya akan kehilangan arah hidup. Pada galibnya akan mengalami disorientasi dalam hidupnya. Dia akan menjalani hidupnya secara rutin dan cenderung membosankan. Sehingga pada akhirnya ada dua kemungkinan: Satu, mengalami kebosanan atau kejenuhan hidup. Biasanya orang seperti ini akan mengalami goncangan batin, semakmur apapun kehidupan dunianya. Dia akan goyah, gersang, bahkan geram pada diri dan hidupnya yang boleh jadi mengantar kepada keputus asaan. Dua, mencoba atau mencari hal-hal yang tidak normal (tidak alami) dalam upaya menemukan kepuasan hidup. Di dunia Barat salah satu penyebab banyaknya gaya hidup yang tidak alami, termasuk kecenderungan terhadap sesama jenis misalnya karena hal ini. Yaitu ketidak puasan hidup yang menyebabkan orang mencari hal baru atau hal aneh yang kadang menjijikkan bahkan membahayakan diri sendiri. Dengan mengesampingkan sementara kesenangan dunia ini (puasa) seseorang akan lebih bebas, dan harusnya lebih mampu menguasai diri dan pikirannya. Ketika kesenangan dunia tidak lagi mengikat maka hawa nafsu bisa dikontrol dengan baik. Dengan mengontrol atau menguasai hawa nafsunya manusia harusnya akan lebih bijak dan logis dalam menyikapi warna warni kehidupan. Salah satu hal yang mendasar untuk disikapi oleh manusia adalah sadar selalu akan orientasi hidupnya. Bahwa keberadaannya di dunia bukan tanpa maksud dan tujuan. Tapi untuk sebuah misi besar dan tujuan mulia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Inilah amanah yang semuanya melarikan diri darinya kecuali manusia (fahamalaha al-insanu). Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan dan dihadirkan di dunia ini untuk sebuah tujuan mulia. Yaitu, hadir untuk pengabdian kepada sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Pengabdian inilah yang dikenal dalam bahasa agama itu dengan ibadah. Allah menggariskan hal ini dalam firmanNya: “dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada aku)”. Ramadan hendaknya membangun kembali kesadaran ini. Bahwa hidup dan wujud kita dalam dunia ini bertujuan untuk memenuhi amanah ubudiyah itu. Mengabdikan diri semata-mata hanya kepada Allah dalam segala bentuk dan manifestasinya. Semoga kesadaran tentang orientasi (tujuan) hidup ini menjadi bagian dari keberkahan (keutamaan) Ramadan kali ini. Sehingga selepas Ramadan nanti hidup kita lebih terarah, bernilai dan tentunya lebih barokah. Insya Allah! New York City, 20 April 2022. (*)
Dilema Puan Menjadi Presiden
Ketika Presiden Jokowi salah dalam kebijakannya, yang diolok-olok atau disalahkan oleh kaum Islam politik itu bukan Jokowi, atau Luhut Binsar Pandjaitan. Tetapi kalau tidak Megawati, ya bisa PDIP sendiri. Oleh: Uchok Sky Khadafi, Direktur, Center For Budget Analysis (CBA) PUAN Maharani adalah Ketua DPR. Ia terkenal bukan karena anak kandung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atau cucu dari Presiden Soekarno. Puan Maharani, dikenal dan dikenang, lantaran sengaja mematikan Mic saat Sidang Paripurna Omnibus Law. Dan, satu lagi yang tidak bisa dilupakan kepada lelaku Puan, adalah air matanya. Ternyata Puan bisa terisak-isak menangis, mengeluarkan air mata, air mata politik di depan publik. Air mata Puan menetes pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bukan masa Presidennya Joko Widodo meskipun sama sama tukang menaikan BBM. Setelah air mata politik, dan mematikan mic, kini Puan sedang digadang- gadang untuk menjadi calon Presiden. Calon Presiden dari kaum abangan, yang partainya PDIP itu. Yang sampai saat ini pencalonan Puan, tidak ada saingan sama sekali dari internal partai tersebut. Meskipun ada nama GP (Ganjar Pranowo) muncul sebagai saingan kuat Puan untuk calon Presiden, tetapi nasib GP tidak seberuntung seperti Jokowi. Nasib GP bakalan dicuekin PDIP walau elektabilitas GP sangat tinggi dibandingkan Puan. Sebentar lagi GP akan “ditampar” partai sendiri. Dan, disuruh pergi jauh meninggal PDIP jika ingin tetap GP bersaing dengan Puan. Dengan demikian Puan tinggal sendiri. Yang saat ini, sedang menimbang- nimbang mencari atau memilih pasangan yang cocok untuk “dinikahkan” dengannya. Bisa saja dengan Prabowo Subianto atau bisa juga dengan Anies Baswedan. Kedua calon pasangan ini salah satunya layak disandingkan dengan Puan. Apalagi kedua calon pasangan Puan ini mempunyai elektabilitas yang tinggi untuk memenangkan Puan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Dari selera Puan sepertinya lebih nyaman dan menguntungkan berpasangan atau dinikahkan dengan Anies Baswedan dibandingkan Prabowo Subianto. Ketika Puan berpasangan dengan Anies Baswedan, Puan bisa memilih sebagai nomor satu atau menjadi calon Presiden. Tapi, ketika berpasangan dengan Prabowo Subianto, Puan harus puas hanya sebagai wakil Presiden. Selain itu, ketika Puan sudah berpasangan dengan Anies Bawesdan, maka Anies diharapkan bisa sebagai magnet yang menarik kaum oposisi dan massa Islam Politik atau “Islam Radikal” untuk masuk ke dalam barisan koalisi Puan - Anies tersebut. Dengan modal massa Islam ini, dan akan ditambah dengan massa PDIP, diprediksi mereka bisa menang dalam Pilpres 2024 nanti. Memilih Anies Bawesdan sebagai pasangan Puan karena dianggap sebagai ikon oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Kaum oposisi dan Islam Politik menganggap Anies satu-satunya Gubernur yang selama ini berani melawan pemerintahan Jokowi. Dengan alasan inilah, mereka sangat mengidola Anies dibandingkan Prabowo sebagai Presiden selanjutnya untuk mengantikan Presiden Jokowi. Prabowo dianggap oleh kaum oposisi dan Islam Politik sudah bunuh diri politik setelah menjadi menterinya Jokowi. Prabowo lebih mengejar jabatan menteri daripada menjadi pemimpin umat untuk mengontrol jalannya kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Makanya banyak dari mereka lari atau meninggalkan Prabowo, dan lalu mendekati dan mengangkat Anies sebagai pemimpin mereka. Dengan pertimbangan Anies lebih dekat dengan kaum oposisi dan Islam politik, Puan sepertinya lebih memilih Anies dibandingkan Prabowo. Prabowo dianggap sudah ditinggalin massa Islam politik sebagai pendukung utama. Dan, massa Islam politik tersebut sudah menjadi pendukung fanatik Anies Bawesdan. Dan ketika Persekutuan Puan - Anies sudah terbentuk, maka hal ini menjadi fenomena luar biasa dalam politik. Sekali lagi, betul-betul luar biasa bisa menyatukan massa pendukung Puan dan Anies dalam bingkai kepentingan bersama. Padahal sebelumnya kedua massa pendukung ini adalah musuh bebuyutan dalam politik pratisi yang tidak bisa didamaikan. Oleh karena, yang namanya musuh Islam politik ialah orang orang PDIP itu sendiri, bukan pribadi Presiden Jokowi. Ketika Presiden Jokowi salah dalam kebijakannya, yang diolok-olok atau disalahkan oleh kaum Islam politik itu bukan Jokowi, atau Luhut Binsar Pandjaitan. Tetapi kalau tidak Megawati, ya bisa PDIP sendiri. Jadi, menyatukan massa Puan dengan Anies seperti mempertemukan air dan minyak yang tidak akan bersatu selamanya dalam dunia politik persilatan. Tetapi, kalau ingin ngotot mempersatukan Puan - Anies di KPU, maka prediksi yang terjadi adalah massa Islam politik akan kabur meninggalkan Anies dan Puan, dan akan kembali mendukung Prabowo lagi. (*)
LBP Mundur dan Menyerahlah!
Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih LUHUT Binsar Pandjaitan (LBP) mengaku capek mengurus negeri ini. Hal itu dilontarkannya ketika berbincang dengan Deddy Corbuzier, saat membahas tentang pihaknya yang memiliki big data soal sekitar 110 juta percakapan di media sosial yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024. LBP mengaku lelah dan capek juga mengurus negeri ini, jangan dipikir gampang. Memang berbeda big data sesuai pengakuannya dan big lies (kebohongan besar) dalam faktanya. Pengakuan memiliki big data wajar dan normal akan membuat lelah dan capai karena harus berhadapan dengan percakapan publik, apalagi masuk ke dunia maya, yang menuntut kebenaran datanya. Seseorang bisa berbohong kecil-kecilan dengan small data, tetapi kalau itu tidak akan bisa meyakinkan. Untuk lebih meyakinkan seseorang harus berbohong besar (big lies) dengan data besar (big data) - (How To Lie With Statistics). Big data yang digembar-gemborkan LBP indikasinya kuat bahwa klaim Luhut Binsar Pandjaitan dalam menyikapi Pemilu 2024, bahwa berisi 110 juta orang menghendaki penundaan Pemilu 2024, adalah bohong. Dalam percakapan dengan publik akhirnya benar harus berhadapan dengan data temuan Evello yang merupakan lembaga analitik data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Data tersebut menyebut bahwa hanya 693.289 akun media sosial saja yang membahas tentang penundaan Pemilu 2024. Sementara jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 110 juta akun. Semua harus terlibat rasa capai dan lelah karena banyak sekali kebohongan data yang disampaikan pejabat negara tak terkecuali oleh Presiden, tanpa beban dan merasa bersalah disampaikan di alam yang terang benderang sedangkan rakyat tahu kalian semua sedang berbohong. Mungkin di luar kalkulasi politik LBP pernyataannya tiba-tiba menjadi magnet lahirnya gelombang demo di mana-mana. Menyeret bukan hanya soal big data tetapi rakyat membongkar banyak kebohongan rezim selama berkuasa. Pejabat negara biasanya berbohong sebagai bentuk perlindungan diri dan berbohong untuk menghindari masalah. Ini bentuk perlindungan diri atau self defence saat merasa terancam. Daripada bicara jujur akan muncul banyak masalah, lebih baik berbohong mengira bisa mengatasi masalahnya. Ini kebiasaan pejabat kita ingin mengatasi masalah melahirkan masalah baru yang lebih besar. Berbohong juga dilakukan dalam rangka untuk melindungi orang lain supaya terhindar dari hukuman, atau perasaan terluka. LBP sepertinya mendapatkan mandat yang di luar kemampuannya untuk mengamankan kekuasaan oligarki dan misi OBOR China. Jika LBP tak berbohong soal dukungan data setuju Pilpres ditunda mungkin akan ada yang terluka. Bahkan, bisa merubah akan menjadi ancaman atas keselamatan dirinya. Ia lupa setelah berbohong justru memunculkan banyak luka dan mendatangkan bahaya yang lebih besar. Berbohong juga untuk mempertahankan kekuasaan memang harus dilakukan dan mungkin dianggap sebagai salah satu cara mudah untuk mendapatkan kekuasan rencana perpanjangan masa jabatan dan 3 periode untuk jabatan Presiden, dibandingkan cara lain, dengan terang-terangan memaksakan kehendak secara vulgar. Seperti selama ini banyak aturan dan UU yang dipaksakan melawan aspirasi rakyat. Terobsesi selama ini merasa jauh lebih mudah berbohong dalam berkuasanya daripada dengan cara melakukan kekerasan. Para peneliti juga percaya bahwa kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan yang diinginkan tanpa memerlukan kekerasan. Ketika berdialog dengan para mahasiswa UI, LBP menolak untuk membuka big data penundaan pemilu. LBP hanya bertahan dengan pertahanan klasiknya, jangan paksa saya untuk membuka big data-nya. Jelas, LBP tidak akan bisa membuka karena datanya indikasi kuat memang bohong. Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Konon pemerintah China akan menyeret atau membuat perhitungan dengan LBP jika sampai 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden sampai gagal. Karena syarat untuk meneruskan program OBOR antara lain adalah perpanjangan masa jabatan dan/atau 3 periode. Suasana psikologis dalam kondisi terjepit biasa orang yang berbohong suka cepat-cepat bersumpah bahwa datanya ada dan benar. Salah satu ungkapan yang dinisbahkan kepada al-Muhasibi: Indikasi seseorang yang berbohong itu adalah murah bersumpah meski tidak dimintai sumpah. “Pejabat kita sumpah bersikap jujur dan benar itu sampah, jangankan takut dengan sumpah Tuhan saja sudah tidak ditakuti. Apa lebih takut dengan Xi Jinping daripada takut kepada Tuhannya”. Kalau merasa lelah dan capai apalagi tugas yang diembanya sudah di luar kemampuannya dan membahayakan negara pilihannya mundur dari jabatan sebelum alam bertindak. Hanya saya mengira dia akan terus bertahan dengan segala resikonya. “Oye kalau tetap nekad lanjutkan”. (*)
Ada Apa di Balik Rusuh Papua dan Pindah Ibu Kota?
Oleh Anton Permana - Direktur Executive Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia BANYAK yang bertanya dan belum puas dengan ulasan penulis terkait isu di atas. Yakni tentang rusuh Papua yang masih membara hingga saat ini, dengan gema gempita pindah ibu kota ke Kalimantan. Kenapa dua hal krusial ini bisa terjadi beriringan. Tidak mungkin insiden besar ini terjadi tanpa ada perencanaan ataupun aktor yang menggerakkan. Untuk menjawab dua hal ini lebih spesifik, akhirnya penulis memutuskan mencoba membuat analisa lebih lanjut dan juga menukik lebih dalam, sebagai bentuk sharing informasi dan pengayaan pemahaman kita bersama, untuk Indonesia negeri tercinta. Empat tahun yang lalu di awal masa pemerintahan Jokowi. Ketika penulis melakukan perjalanan dan mendampingi Wagub Sumbar ketika itu (Alm) Muslim Kasim. Penulis dikenalkan dengan seorang pria (penulis lupa namanya) warga keturunan asal Kalimantan yang ketika itu mengaku sebagai aktor utama yang menggerakkan dan merancang ‘cyber force’ tim Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta dan berlanjut ke Pilpres. Atau umum dikenal dengan sebutan Jasmev. Singkat cerita. Percakapan kami ketika itu di Plaza Indonesia lantai 4, pria tersebut membuka I Pad nya yang memperlihatkan sebuah gambar animasi rancangan kota modern dengan design 4 dimensi yang begitu luar biasa. Sebuah design kota (meskipun belum sempurna ketika itu) sudah memperlihatkan sebuah tatanan kota metropolis yang moderen, hijau, artistik futuristik, lengkap dengan segala fasilitas digital, community centre, kondo apartemen, gedung pencakar langit, MRT, monorel, pelabuhan udara (dengan konsep aerotropolis), pelabuhan besar, jembatan-jembatan indah, serta sebuah Istana nan megah lengkap dengan bangunan perkantoran disekitarnya. Karena penasaran dan takjub, penulis bertanya rancangan kota dimanakah itu?. Kemudian si pria sambil setengah ketawa menjawab, “ ini adalah konsep Jakarta kedua 10 tahun kedepan setelah Ahok jadi Presiden. Hahahaa... “. Meskipun kedengarannya setengah bercanda, tetapi obrolan hari itu cukup berkesan bagi penulis hingga hari ini, ternyata gambar animasi sebuah kota besar yang beredar banyak di sosial media hari ini tentang Kalimantan, boleh dikatakan mirip dengan gambar empat tahun yang lalu penulis lihat. Walaupun ketika itu si pria sudah mengatakan bahwa rencana Jakarta kedua itu akan dibangun di Kalimantan. Ketika si pria berkata demikian, penulis jujur ketika itu kurang yakin dan percaya. Bahkan anggap angin lalu saja. Baru setelah presiden Jokowi mengumumkan secara terbuka bahwa akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan barulah penulis ‘ngeh’ dengan apa yang dikatakan si pria warga keturunan tersebut. Cuma yang akhirnya menjadi catatan penting bagi penulis adalah, berarti wacana pindah ibu kota ini dudah dirancang, dipersiapkan, sejak lama dengan demikian matang. Bukan kaleng-kaleng. Buktinya, Jokowi begitu percaya diri, optimis akan memindahkan ibu kota ditengah kerusakan ekonomi, tata kelola pemerintahan hari ini. Desakan hutang, defisit anggaran, BUMN bangkrut dan mau dicaplok China, seolah tak ada masalah dengan ini. Yang menarik lagi, pengumuman pindah ibu kota pada tanggal 16 Agustus yang lalu, langsung disambut dengan insiden rusuh Papua yang berdarah-darah penuh anarkisme, jatuh korban jiwa dari aparat bahkan sampai ke depan istana negara. Pada titik inilah, sebenarnya pokok bahasan judul di atas bisa kita cari benang merah untuk menganalisis apa motif dan orientasi dari dua kejadian besar dihari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 74 tahun ini. Berikut hasil analisis penulis yang dikumpulkan dari beberapa sumber dan refrensi data terpercaya. 1. Pindah ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan adalah skenario besar dari China. Kenapa ? Karena Kalimantan mempunyai peran penting dan posisi strategis bagi program OBOR (One Belt One Road) sebagai pintu masuk China untuk menancapkan hegemoninya lebih dalam di kawasan Asia. Dan kalimantan secara geografis juga sangat dekat dari China, dan juga secara demografis (data kependudukan) komposisi warga keturunan china di Kalimantan cukup dominan dan kuat. Jadi Kalimantan memang sangat seksi dimata China dan wajib dikuasai. 2. Sesama kita ketahui. Ibu kota adalah ‘centre of gravity’ sebuah negara. Didalam peperangan militer, ibu kota adalah simbol penaklukan dari sebuah negara. Apabila ibu kota negara berhasil direbut dan ditaklukan, berarti itu akan sama dengan keberhasilan menaklukan dan menguasai negara. Kondisi Jakarta yang begitu padat dan mengakar secara geokultural dan geografis (berada pada lingkar dalam pertahanan negara). Tentu akan sulit menembus dan menaklukan Jakarta yang begitu besar dan sudah berurat berakar dikuasai banyak negara (tidak saja Indonesia) lainnya berdasarkan kepentingannya masing-masing. Di sinilah cerdiknya China. Trauma akan lengsernya Ahok dan gagalnya proyek reklamasi Jakarta dan Meikarta. Menjadikan China mempercepat agenda pemindahan Ibu kota Indonesia ke Kalimantan. Tujuannya apa? Kalau ibu kota dipindah, maka Jakarta akan lumpuh. kekhususannya pun akan dipreteli dan dicabut. Semua kendali negara dipindahlan ke tempat ibu kota baru yaitu di Kalimantan. Nah apabila ibu kota baru sudah berdiri dan berjalan, maka secara otomatis ‘remote control’ negara Indonesia yang selama ini berada di Jakarta akan berpindah tangan ke Kalimantan. Dan ini sama artinya, semua kendali negara kita akan berpindah tangan ke Kalimantan. Secara paralel, seiring proses pembangunan ibu kota ini berjalan, China dengan mudah akan memobilisasi rakyatnya untuk masuk dan migrasi ke Kalimantan. Agar kemudian menjadi mayoritas dan menguasai mutlak Kalimantan secara penuh. Mulai dari fisik ekonomi, politik, dan komposisi jumlah penduduk seperti sejarah berdirinya Singapore dengan menyingkirkan pribumi melayu. Dan ini bukan hoax atau halusinasi karena fakta dan data ke arah itu sudah terbuka terang benderang. 3. Skenario peta jalan perpindahan ibu kota ini langsung terbaca oleh si adi kuasa Amerika bersama aliansinya. Kalau Kalimantan menjadi pintu masuk program OBOR China, Maka Papua adalah pintu masuk program TPP (Trans Pasific Partnership) Amerika dan aliansinya untuk membendung hegemoni China di Asia-Pasific. Papua sejak masa perang dunia pertama dan kedua pun sudah memiliki arti penting bagi Amerika. Bahkan juga, secara kebijakan pertahanan, Amerika sudah menjalanka konsep US INDOPACOM, yaitu membentuk border aliansi segitiga India-Australia-Jepang untuk menghadapi China. 4. Jadi, perpindahan ibu kota ke Kalimantan ini sangat berdampak besar bagi masa depan Indonesia diantara jepitan dua kekuatan besar (raksasa dunia). Perpindahan ibu kota ke Kalimantan adalah symbol kemenangan China atas Amerika dalam merebut dan menguasai Indonesia. Kalau ibu kota pindah ke Kalimantan yang notabonenya semua fasilitas, konsep, design, biaya, berasal dari China, maka Amerika bersama sekutunya akan gigit jari. Indonesia lepas dari kontrol dan hegemoni Amerika. Wajah Indonesia akan berganti menjadi Indochina. Indonesia yang selama ini ‘American Boy’ hanya tinggal sejarah dan cerita lama. So pasti, dampak perpindahan Ibu kota ke Kalimantan, semua yang terkait penguasaan atas tanah, bumi, air, birokrasi, sumberdaya alam, aparatur, semua bergeser serta juga pindah berada dibawah kendali ibu kota baru ‘made in China’. 5. Melihat skenario ini, Amerika langsung memainkan skenario tandingan rusuh Papua untuk memecah konsentrasi, menjegal, rencana perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Atau juga akan memutilasi Papua dari Indonesia dengan ancaman Papua merdeka, dan menjadi milik Amerika sebagai basis dan pintu masuk hegemoninya di kawasan Asia-Pasific. Karena pasti Amerika tidak akan rela ‘ladang’ suburnya selama ini akan diambil alih China. Karena sumber kekayaan alam Papua yang melimpah, serta letak grografis Papua yang tepat berada ditengah kawasan yang menghubungkan Amerika dengan Asia-Pasific-Australia. 6. Pihak Istana tentu sangat paham dan hati-hati dalam menghadapi manuver propaganda rusuh Papua yang begitu massive dan terencana ini. Makanya jangan heran, aparat Khususnya Polri, serta Istana seperti gagap menghadapi situasi ini. Bayangkan hanya dalam hitungan menit dan jam, rusuh anarkisme Papua begitu cepat meluas, massive bahkan sampai ke depan Istana dan Mabesad TNI mengibarkan bendera bintang kejora menuntut merdeka secara terbuka. Padahal kalau kita lihat antara perbandingan kekuatan TNI-Polri dengan perusuh Papua bukanlah apa-apanya. Namun yang terjadi sebaliknya. Korban nyawa dan pembakaranpun sudah merebak terjadi di Papua. Sorong, Manokrawi, Fak Fak, Wamena, Jayapura semua membara serentak bergerak menuntut merdeka. Anehnya lagi. Sudah jelas rusuh ini begitu radikal, anarkis, dan tuntutannya merdeka, Menkopolhukam Wiranto yang dulu juga menjabat Panglima ABRI ketika rusuh mei 1998, meminta aparat persuasif tanpa senjata. Apa yang terjadi kemudian, aparat tak bersenjata menghadapi perusuh pakai senjata ya habis dibantai dengan parang, panah dan tombak. Jadi aneh juga kalau penanganan rusuh Papua rezim saat ini bagai putri malu alias macan jadi kucing. Sangat berbeda ketika memghadapi aksi 212 dan rusuh 21-23 mei pada Pilpres yang lalu. Negara kelihatan begitu ganas, perkasa, malah semena-mena terhadap ummat Islam yang datang membawa sajadah dan kopiah. Ketimpangan dan perbedaan ini terjadi, karena negara pasti sudah tahu siapa aktor dan pemain dibelakang rusuh Papua. Artinya. Rusuh papua tidak lebih bentuk perlawanan Amerika melalui proxy dan aliansinya di Papua terhadap manuver China yang mau pindahkan ibu kota ke Kalimantan. Cuma yang kita sayangkan adalah sikap pemerintah hari ini yang tidak jelas alias pengecut. Seharusnya, Indonesia pandai memainkan prinsip politik luar negeri negara kita yaitu “ Bebas dan aktif “. Sehingga tidak perlu terkungkung dibawah ketiak satu negara secara total. Seharusnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bargainning yang paling menguntungkan dari tarik menarik dua raksasa dunia ini. Bukan malah terjepit tak berdaya seperti sekarang ini. Untuk itu penulis mempunyai beberapa pemikiran terhadap apa yang harus dilakukan Indonesia dalam menyikapi dua kejadian besar ini. 1. Ketika sudah berbicara kedaulatan. Apapun itu masalahnya, pemerintah harus berani dan tegas bersikap dan menyatakan bahwa aksi dan rusuh Papua itu adalah tindakan makar dan saparatisme. Dimana sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus memperlihatkan wibawanya sebagai sebuah bangsa yang besar dan terhormat. Caranya ; Stop komando operasi dari tangan Polri, dan serahkan penanganan rusuh Papua kepada TNI. Karena saparatisme adalah termasuk dalam dimensi pertahanan, maka ini sudah menjadi Tupoksinya TNI. Jangan paksakan lagi Polri dengan topeng bahasa klise KKSB (Kelompok Kriminal Bersenjata) untuk mengatasi hal ini. Polri itu ranahnya penegakan hukum, mengejar bandit (perampok) bukan melawan saparatisme bersenjata yang ingin merdeka dan buat negara. 2. Kalau sudah berbicara kedaulatan. Abaikan HAM yang menjadi standar ganda negara adi kuasa. NKRI harga mati mesti di implementasikan. Jangan cuma jadi slogan untuk gebuk PFI. Penulis heran, seharusnya disaat Indonesia sekarang ini menjadi anggota tidak tetap PBB, Indonesia semestinya mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menangkis isu HAM dalam penindakan rusuh Papua. Mainkan peran diplomasi luar negeri untuk meyakinkan bahwa Indonesia dalam rangka penegakan kedaulatan negaranya dari ancaman pemberontakan. Dan negara lain tidak bisa ikut campur apalagi mendikte urusan dalam negeri Indonesia. 3. Copot Panglima TNI, Kapolri, KaBIN, Menkopolhukam serta aparat terkait lainnya yang gagal meredam dan mengatasi rusuh Papua sampai meluas ke depan Istana. Insiden memalukan ini bisa terjadi berarti fungsi inteligent, TNI-Polri tidak berfungsi sama sekali. Atau ada yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu ? Perlu penyegaran aparatur dan pucuk pimpinan TNI-Polri agar clear dari segala bentuk ‘titipan’ dan infiltrasi kepentingan luar. 4. Indonesia harus kembali kepada jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan berdaulat. Yaitu prinsip politik bebas aktif dan tegas terhadap negara manapun kalau itu terkait kedaulatan bangsa dan negara. Indonesia adalah negara yang besar dan lahir dari tumpahan darah pejuang serta syuhada. Jadi Indonesia tak perlu lagi bertindak seperti pelayan atau calo dari kepentingan negara lain. 5. Menunda rencana perpindahan Ibu kota dan fokus penataan kembali kondisi sosial politik, ekonomi negara yang sudah hancur. Tidak ada sebaik memperkuat diri sendiri, berdikari, dari pada menggantungkan nasib bangsa ini kepada negara lain. Tak akan ada itu negara lain yang akan mensejeahterakan kita. Omong kosong itu semua. Semua pasti ada upeti dan imbalannya. Fakta sejarah Nusantara ini pernah berjaya karena berdikari. Seperti kejayaan masa Majapahit, Sriwijaya, dan fase kesulthanan kerajaan Islam. Kenapa ini penting, karena secara prinsip hubungan Internasional, kondisi perebutan dua raksasa saat ini terhadap Indonesia akan bisa jadi peluang dan menaikkan posisi tawar Indonesia, kalau bangsa ini kuat dan mandiri. Tapi kalau kepemimpinan negara ini lemah dan banci, maka Indonesia akan jadi bancahan atau bulan-bulanan bangsa asing. 6. Para kelompok idealis, nasionalis, kalangan ulama dan aktifis Islam perlu mengantisipasi kondisi terburuk yang akan terjadi dengan menyiapkan segera skenario ke tiga diluar dari skenario dua raksasa dunia tersebut. Inilah saatnya kita melihat siapa yang Indonesia sejati itu sebenarnya. Siapa yang memang setia, loyal, terhadap Indonesia secara faktanya. Dan siapa sejatinya kelompok yang munafik dan para pengkhianat negara sebenarnya. Mana yang selama ini teriak NKRI harga mati, mengaku Pancasilais, anti radikalisme dan merah putih ? Semua bungkam membisu. Artinya, rakyat mesti sadar bahwa jargon-jargon diatas hanyalah topeng dalam menutupi kebusukan mereka selama ini. Jargon jargon manis diatas hanyalah senjata untuk melampiaskan kedengkian, kebencian mereka kepada Islam sebagai penduduk mayoritas dinegeri ini. Islam yang selama ini difitnah radikal, jahat, anti NKRI, ehh malah hari ini Papua yang terang-terangan memborong tuduhan itu semuanya. Pemerintah tidak bisa menganggap remeh atas insiden rusuh Papua ini. Khususnya bagi para aktifis 212. Papua yang gerakannya hanya segelintir itu saja, bisa begitu perkasa membantai aparat dengan panah dan parang bahkan didepan hidung Istana, markas besar TNI AD. Bayangkan juga kalau pada masa aksi 212 atau pada masa demonstrasi 21-23 mei yang lalu ummat Islam juga melakukan hal yang sama? Pasti sudah bubar negara ini. Artinya adalah. Semua pihak harus tobat dan sadar khususnya aparat negara. Kurang baik apalagi ummat Islam Indonesia. Bukan berarti ummat Islam tidak bisa bertindak seperti orang Papua. Tapi ummat Islam karena sangat cinta terhadap negeri ini dan tidak mau terjebak dalam adu domba antar sesama. Tapi kebaikan ini dibalas dengan perlakuan semena-mena dari rezim dan aparat. Nah dengan kejadian rusuh Papua saat ini. Hati-hati, telah membuka mata hati dan pikiran para aktifis dan mujahid Islam atau jadi inspirasi besar. Bahwa yang tertanam dalam benak rakyat hari ini adalah, “ Kalau aksi itu damai dan baik-baik saja. Maka aparat akan semena-mena dengan tuduhan makar dan radikal. Tetapi kalau aksi itu radikal, anarkis, maka aparat yang akan minta maaf. Parahnya lagi, diskriminasi antara perlakuan kepada perusuh Papua dengan ummat Islam sangat jauh berbeda. Dan diskriminasi perlakuan ini sangat menyakitkan hati ummat Islam Indinesia. Mereka baru sadar, bahwa selama ini telah dibodoh-bodohi dengan penjara stigma bahasa anti toleransi, anti bhineka. Padahal semua itu hanyalah cara licik rezim hari ini membungkam dan melemahkan Islam secara sistematis “. Untuk itu kembali kepada kesimpulan kita. Inilah saatnya bangsa Indonesia menyiapkan skenario ketiga untuk membebaskan Indonesia dari jepitan dua raksasa dunia ini. Cukup rakyat yang jadi korban. Negara diobok-obok, kita diadu domba. Indonesia harus bangkit dari kondisi keterjajahan ini. Mari rakyat Indonesia bersatu padu, untuk mendesak pemerintah agar berani bertindak tegas, menumpas saparatisme Papua dengan tuntas. Karena kalau tidak, rusuh Papua bisa menjadi pemicu utama dari disintegrasi bangsa. Selanjutnya masyarakat juga mendesak agar presiden serta legislatif untuk membatalkan wacana pindah Ibu kota ke Kalimantan. Karena ide ini hanyalah ibarat Indonesia memberikan lehernya kepada China. Stop jangan lagi jadi pengkhianat bangsa dengan menjadikan diri pelayan, penjilat, kepentingan China. Mari kita kembalikan Indonesia sebagaimana amanah konstitusi kita yaitu, menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dibawah panji Pancasila. NKRI Harga Mati !. InsyaAllah. Jakarta, 30 Agustus 2019. (Penulis adalah Alumni Lemhannas PPRA LVIII Tahun 2018). Dipost ulang, pada 21 April 2022.
Harus Diungkap Aktor Intelektual Ekspor CPO
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik KEJAKSAAN Agung (Kejakgung) menetapkan empat tersangka pelanggaran ekspor CPO. Ada seorang direktur jenderal (dirjen), dan tiga pejabat senior dari tiga raksasa sawit dan CPO. IWW (Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag), SMA (senior manager corporate affairs Permata Hijau Group), MPT (komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), dan PT (general manager PT Musim Mas) diduga terlibat dalam konspirasi untuk mendapatkan izin ekspor CPO yang melanggar berbagai peraturan. Good job! Bisalah diapesiasi. Tapi, apakah cukup sampai di empat orang itu saja? Jelas sekali tak cukup. Jauh dari memadai. Kejaksaan jangan cuma menghibur publik. Seolah keempat orang itu saja yang membuat heboh minyak goreng se-Indonesia. Sudah lelah rakyat menonton sinetron aparat penegak hukum selama ini. Ekspor CPO yang melanggar ketentuan itu melibatkan nominal yang sangat besar. Belasan atau bahkan ratusan trililiun rupiah. Tidak mungkin sebatas dirjen, manajer umum atau komisaris saja. Sebab, pelanggaran ekspor itu telah menghasilkan keuntungan besar bagi banyak perusahaan. Dipastikan ada aktor-aktor intelektual yang membidaninya. Merekalah yang patut diduga memberikan gagasan cemerlang untuk meraup untung besar. Merekalah yang diduga memberikan otoritas kepada keempat tersangka yang dijerat Kejaksaan Agung itu. Jadi, Kejakgung seharusnya naik ke orbit yang lebih tinggi dari keempat tersangka tersebut. Telusurilah orbit yang lebih tinggi itu. Sebab, keempat tersangka yang diumumkan dengan serius oleh Jaksa Agung itu hanya pejabat teknis administratif saja. Mereka hanya pelaksana. Mereka hanya orang-orang yang menandatangani dokumen-dokumen yang terkait dengan ekspor ilegal CPO. Mereka hanya jururunding alias negosiator. Berhentilah menyuguhkan tayangan penghibur. Rakyat ingin melihat agar Kejakgung membongkar tuntas kasus ini. Hadirkan semua orang yang patut diduga terlibat. Jangan ada yang dilindungi. Bukan hanya pemukulan, kerusuhan, penyiraman air keras, dan kejahatan-kejahatan serupa ini saja yang wajar diduga melibatkan para aktor intelektual. Para pelaku ekspor ilegal CPO itu pun mirip dengan berbagai posisi dalam pembuatan film. Ada “director” (sutradara), ada “producer” (penanggung jawab utama), ada “executive producer” (penanggung jawab khusus), ada “script writer” (penulis cerita), dll. Ada lagi “casting director” (yang mencari para pemeran yang tepat), dan sebagainya. Jadi, untuk membuat “film eskpor CPO” yang kemarin tampil sebagai “box office” dengan keuntungan siluman puluhan triliun itu, seharusnya melibatkan banyak awak (crew). Tidak mungkin dilakukan empat orang saja. Hari ini rakyat ingin melihat aktor intelektual kasus CPO dan kelangkaan minyak goreng. Carilah sutradaranya. Temukan dalangnya. Yang empat orang tersangka itu mungkin saja terlibat. Tetapi, jangan-jangan mereka hanya ‘crew’ biasa saja.[] Medan, 21 April 2022
Senja Kala Propaganda Islamophobia
Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD-MPR RI PROPAGANDA Islamophobia perlahan terbenam. Semburan stereotipe dan stigma terhadap umat Islam memasuki fase senja kala. Islamophobia bergerak terbenam. Teregelincir di balik horizon kesadaran jika kampanye Islamophobia merupakan proyek gagal. Kontraproduktif dengan misi membangun peradaban dunia yang humanis dan bermartabat. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merespons serius situasi sosial yang menegangkan. Kebencian dan keterbelahan masyarakat terjadi di berbagai belahan dunia. Letupan-letupan kebencian rasial seperti api dalam sekam. Membakar harmoni kemanusiaan. Melalui Sidang Umum, PBB menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia. PBB menyerukan penguatan upaya internasional untuk mendukung dialog global yang mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian, berlandaskan pada penghargaan terhadap HAM dan keberagaman beragama dan berkeyakinan. Efektivitas seruan ini memang masih tanda tanya. Pasalnya, Islamophobia telah menjadi proyek politik. Kampanye hitam menebar ketakutan terhadap umat Islam dinikmati di panggung kekuasaan. Preferensi politik salah satu pemicu maraknya Islamophobia yang satu sama lain bersenyawa dengan kebencian rasial. Di Amerika Serikat, ketegangan bermotif latar belakang suku, agama dan ras mendapatkan momentumnya di era Donald Trump. Secara promotif, Trump lantang menyerukan aksen aksen politik diskirminatif. Bahkan dilegitimasi melalui kebijakan publik. Tahun 2017 Trump melansir kebijakan Travel Ban. Melarang orang-orang dari enam negara Islam masuk ke AS. Tak sedikit warga AS bergembira dan merayakan hal itu sebagai kemenangan. Poling yang dilakukan oleh POLITICO dan Morning Consult misalnya, mengungkap jika sebanyak 57% responden menyatakan jika pelarangan warga dari enam negara Islam masuk ke AS merupakan kebijakan yang tepat. Temuan itu dikuatkan oleh poling Reuters dan Ipsos. Sebanyak 33% responden menyatakan merasa lebih aman dengan Travel Ban tersebut. Kebijakan imigrasi tersebut memang tidak secara spesifik disebut sebagai bentuk ekspresi politik pemerintahan Trump terhadap Islam. Namun pelarangan warga dari negara-negara Islam masuk ke AS sarat pesan Islamophobia. Sejalan dengan jargon-jargon kampanye Trump dan Partai Republik yang konservatif. Promosi Islamophobia dari negara yang katanya kiblat demokrasi dunia, berbuntut panjang. Gaung rasial dan Islamophobia berdegung ke seantero dunia. Jadi tunggangan politik populisme. Selain latar belakang politik, kampanye global mendiskreditkan Islam juga tumbuh subur dengan memboncengi isu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terutama di Eropa. Kebebasan berpendapat dan berekspresi ditumpahkan melalui aksi-aksi provokatif. Terlihat sangat tendensius. Bahkan berupaya memicu kegaduhan. Teranyar, di bulan April ini, pendiri gerakan Garis Keras di Swedia, Rasmus Paludan menyiarkan secara langsung video streaming membakar Alquran di berbagai kota di Swedia. Publik, khususnya umat Islam bereaksi. John L. Esposito dan Karen Armstrong, ilmuwan yang banyak menjadi advokat aspirasi Islam di Barat, menyebutkan bahwa Islamophobia salah satunya timbul sebagai respons terhadap fenomena gerakan revivalisme Islam. Merujuk pada kelompok yang membawa bendera purifikasi. Respons itu lahir dari konstruksi pemberitaan dan opini secara terus menerus. Media-media Barat membangun stereotip, bahwa muslim yang taat berarti radikal. Mereka yang menampakkan simbol-simbol keislaman dianggap gandrung melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Stereotip seperti ini ditelan mentah-mentah oleh para petualang politik yang larut dalam proyek memerangi apa yang disebut oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy sebagai gerakan revivalisme Islam. Melihat perkembangan kontemporer, tesis tentang pemicu Islamophobia tampaknya perlu mendapatkan pengayaan. Pemicu Islamophobia perlu direvisi dan dilengkapi. Fenomena memupuk Islamophobia dan dijajakan sebagai komoditas politik satu fragmen baru dalam etalase akademis yang menarik digali lebih dalam. Lucu dan ambivalen. Kelompok pengasong Islamophobia kerap membawa-bawa jargon perang terhadap politik identitas. Namun pada saat yang sama mereka menikmati dan berselancar memanfatkan isu-isu Islamophobia. Seni berbohong Paltering ini tampaknya digemari sebagai sajian komplementer fabrikasi distorsi informasi ala buzzer politik. Paltering yang dipopulerkan oleh John F. Kennedy School of Government merupakan satu bentuk penipuan berbasis cherry picking. Memilah informasi atau sebuah fakta untuk menyesatkan dan digunakan secara luas dalam negosiasi maupun propaganda. Dalam isu politik identitas, sekelompok petualang politik getol melawan aspirasi yang mereka labeli sebagai populisme Islam. Politik yang berwarna dianggap sebagai ancaman keberagaman cuma lantaran corak Islam turut mengambil peran. Jika di internal kampanye Islamophobia diembuskan dengan narasi terorisme, radikalisme, fundamentalisme dan sederet jargon lainnya, maka di ekstrenal, kemasannya atas nama toleransi. Penyebaran Islamophobia menumpang pada isu kebinekaan dan keberagaman. Masyarakat Indonesia yang heterogen dan telah lama hidup rukun, tiba-tiba dibuat tegang. Dibelah oleh momok utopia kelompok intoleran. Sebuah metafora politik yang jahat, mereka ciptakan sendiri melalui propaganda dan opini-opini menyesatkan. Karena itu, Islamophobia tumbuh subur di Indonesia. Disambut suka cita. Kebencian pada simbol-simbol Islam bahkan dipelihara. Aneka konotasi mendiskreditkan digaungkan. Toa masjid dipermasalahkan. Budaya takbiran di malam lebaran yang sudah ada sejak zaman dahulu dihilangkan atas nama ketertiban. Istilah kadal gurun (kadrun) dipopulerkan. Labeling itu merujuk pada masyarakat muslim kritis yang menampakkan identitas keislaman. Baik melalui gaya berbusana (fashion) maupun kerangka berpikir (fikrah) namun memiliki pilihan politik berseberangan. Penyematan konotasi-konotasi negatif intens dilakukan seiring populisme kampanye Islamophobia yang seolah mendapatkan sambutan dari entitas masyarakat tertentu. Gejala tidak sehat semakin intens. Ruang-ruang publik disesaki ujaran kebencian. Media sosial jadi arena melontarkan stigma. Pelabelan (labeling) disematkan ke kepada orang atau kelompok-kelompok lain. Di saat yang sama, mengglorifikasi diri sebagai kelompok paling toleran, terbuka dan religius. Ada kelompok dan elit masyarakat tertentu yang diuntungkan secara politik dan ekonomi oleh proyek perang melawan terorisme, radikalisme dan segala komoditas turunannya. Sialnya, negara turut mengambil peran mengusung semangat Islamophobia. Pemerintah mengamini argumen-argumen yang menjual jargon anti radikalisme dan sederet dengung propaganda lainnya dengan memberi ruang kepada kelompok-kelompok tersebut. Pengistimewaan perlakuan secara hukum diobral. Beberapa buzzer yang getol mengasong Islamophobia dan bahkan disinyalir melanggar hukum, namun tidak diproses oleh aparat. Hal itu mengakumulasi perasaan tidak adil di hati maryarakat. Mereka menciptakan pengadilan dengan caranya sendiri. Di saat bersamaan, kelompok-kelompok kritis yang menampakkan simbol-simbol keislaman begitu cepat diproses secara hukum. Dua organisasi kemasyarakatan, HTI dan FPI bahkan dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan. Secara teknis hanya dengan modal secarik argumen bahwa izin kedua ormas tersebut sudah kedaluarsa. Di luar itu, keduanya dianggap mengusung ideologi Islam yang bertentangan dan mengancam eksistensi negara. Tuduhan sumir dan prematur yang sayangnya tidak diuji di pengadilan. Pembubaran ormas secara serampangan akhirnya mempermalukan bangsa Indonesia. Dalam laporan berjudul \"2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia” yang diterbitkan kedutaan Besar AS di Indonesia, disebutkan jika sejumlah lembaga HAM terkemuka menilai pemerintah tidak konsisten dalam penegakan HAM. Pembubaran dan pelarangan FPI merupakan potret ketidakadilan atas hak berserikat dan berekspresi. Kita bisa menerka. Spirit pembubaran FPI tersebut adalah Islamophobia. Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Kumandang perang terhadap Islamophobia membawa secercah harapan. Jika seruan tersebut diimplementasikan secara konsekuen, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh propaganda Islamophobia bisa mulai dipulihkan. Ketegangan, rasa curiga dan disharmoni bisa direstorasi. Kita rindu wajah ramah Indonesia. Wajah itu sudah cukup lama tertutup tabir propaganda buzzer. Benalu demokrasi yang kita harapkan terbenam bersama senja kala Islamophobia. (*)
Menggulingkan Pemerintah dengan Golok
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA sensasi muncul di media yakni penangkapan kelompok NII di Sumbar yang katanya bervisi seperti NII Kartosuwiryo. Ditemukan senjata berupa golok diantara salah satu tersangka. Hebatnya kelompok ini katanya akan menggulingkan Pemerintah Jokowi sebelum 2024. Dengan bermodal visi, sebilah golok dan usaha untuk mencari pandai besi. Fadli Zon meragukan kelompok di Sumbar ini benar-benar ingin menggulingkan Pemerintahan Jokowi. \"Golok biasanya digunakan untuk mengambil kelapa dan berbuka puasa\", selorohnya. Bukan hanya orang dewasa tetapi Densus 88 juga menyasar anak-anak. Keraguan itu lebih kuat ternyata yang berniat akan menggulingkan itu hanya satu orang. Penangkapan kelompok NII ini bersamaan momen dengan maraknya aksi mahasiswa yang memprotes agenda penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode. Ada pula aspirasi yang mendesak Presiden untuk mundur. Di tengah memanasnya tekanan pada Presiden Jokowi maka keterkaitan gerakan penggulingan oleh NII sepertinya dicoba untuk didekat-dekatkan. Bila melihat sejarah penggulingan Pemerintahan dan agenda penggantian ideologi oleh PKI pada tahun 1926, 1948, dan terakhir 1965 maka \"penggulingan golok\" NII di Sumbar ini nampaknya lebih pada halusinasi daripada benar-benar aksi. PKI jauh lebih matang dan terkonsolidasi. Kesiapan kekuatan jauh lebih nyata. Untuk agenda penggulingan, kekuatan riel jutaan massa PKI telah siap mendukung. Tentara disusupi dan berada di lingkaran Istana. Cakrabirawa menjadi pasukan penyusup yang solid. Belum lagi Angkatan Udara. Aparat birokrasi yang terafiliasi PKI juga cukup banyak termasuk Menteri. Jadi kondisi seperti ini yang memang siap untuk melakukan penggulingan. Dan itupun ternyata dapat digagalkan. Terlalu menyederhanakan dan memalukan jika sedemikian ketakutan atas puluhan orang NII yang baru diduga hendak melakukan teror, entah bagamaina caranya, dan hanya satu orang yang terkuak ingin menggulingkan Pemerintahan. Modal untuk itupun hanya satu golok panjang. Densus 88 terlalu mahal untuk klaim murahan seperti ini. Jika aksi mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya mendesak Presiden untuk mengundurkan diri atau menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR agar melakukan proses pemakzulan Presiden, maka hal itu sah-sah saja. Tak perlu ada penangkapan seperti terhadap kekuatan \"berlevel Kecamatan\" di Sumbar atas nama kelompok NII. Aksi mahasiswa atau elemen masyarakat di atas tidak bisa di kualifikasi penggulingan yang bernama makar atau kudeta. Oleh karenanya Densus 88 tidak perlu terlalu cepat mengumbar ancaman \"penggulingan\" pada Pemerintahan Jokowi atas penangkapan mereka yang menamakan dirinya sebagai NII di Sumatera Barat. OPM yang menjadi KKB dan Teroris di Papua saja Pemerintah ragu untuk bertindak padahal aksi kekerasan mereka nyata. Tentara dan masyarakat sipil banyak yang terbunuh sebagai korban dari kelompok separatis yang sebenarnya adalah \"upaya penggulingan\". Ini NII di Sumbar yang belum terdengar ada kekerassn kerusuhan, atau pembunuhan sudah diposisikan sebagai \"akan menggulingkan\". Di masa Orde Baru munculnya kelompok seperti Komando Jihad, NII dan sejenisnya disinyalir sebagai buatan. Bahan untuk menciptakan hantu dan memecah belah umat Islam. Semoga saja dipopulerkan kembali NII, JI dan sejenisnya bukan mengambil oper pola Orde Baru dulu. Dengan tujuannya yang jelas adalah fitnah dan memecah belah. Jadi menggulingkan Pemerintah dengan hanya bersenjatakan golok jelas absurd dan tidak nyambung...golok ! Bandung, 21 April 2022
Mengembalikan Tatanan Mula Republik Indonesia Berdasar UUD 1945 (2)
Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila ADAPUN tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara. Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja. Besar artinja telah dapat ditundjukkan tadi, bahwa Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya merupakan pendjelamaan dari Pembukaan dan bagaimana pendjelmaan itu. Dapat dikatakan, bahwa hal ini kebanjakan masih belum diperhatikan, sampai sepertinya dapat ada pendapat, bahwa asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah kosong. Menurut pendjelasan resmi daripada Undang-undang Dasar 1945, termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, Pembukaan adalah “suasana kebatinannja (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar ………… (jang) tidak dapat dipahamkan, kalau hanja dibatja teksnja sadja”, dan bahwa “pokok-pokok pikiran (dalam Pembukaan) …. mewujudkan tjita-tjita Hukum (rechsidee) jang menguasai Hukum Dasar Negara, baik jang tertulis (Undang-undang Dasar) maupun Hukum jang tidak tertulis. Undang-undang Dasar mentjiptakan pokok-pokok pikiran jang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnja”. Jadi, jelas amandemen UUD 1945 merupakan tindakan yang menghilangkan penjelasan UUD 1945 merupakan tidakan kudeta agar generasi penerus tidak bisa mengerti tentang pokok-pokok pikiran yang ada di Pembukaan UUD 1945, menghilangkan suasana kebatinan dari UUD 1945 sehingga dengan dihilangkannya pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 hilanglah cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar . Dengan demikian ada hubungan hierarchis dan organis antara Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan, ialah mempunjai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan. Dengan lain perkataan Undang-undang Dasar itu adalah merupakan isi daripada asas kerohanian Negara, asal politik Negara dan tudjuan Negara. Pantjasila tidak tinggal tjita-tjita dalam abstraktonja, tidak tinggal tjita-tjita dalam angan-angan, akan tetapi telah mempunjai bentuk dan isi jang formil dan materiil untuk mendjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia dalam konkretonja. Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan merupakan kesatuan, jang berarti bahwa: Tafsir Undang-undang Dasar 1945 harus dilihat dari sudut Pembukaan; Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar jang tertjantum dalam Pembukaan. Adapun interpretasi dan pelaksanaan undang-undang seharusnja dalam arti jang selengkapnya, ialah meliputi pula seluruh perundang-undangan di bawah undang-undang dan putusan-putusan administratif dari semua tingkat penguasa Negara, mulai dari Pemerintah Pusat sampai alat-alat perlengkapan Negara di daerah, Angkatan Perang, Pamong Pradja dan Polisi dan alat-alat perlengkapan Pemerintah Daerah, alat perlengkapannja. Semuanja harus dilihat dari sudut dasar-dasar jang terkandung dalam Pembukaan. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan (tata) tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditudjukan kepada dan diliputi oleh asas kerohanian, asas politik dan tudjuan Negara jang tertjantum dalam Pembukaan. Tidak ada jang diketjualikan, djuga dalam hal menentukan kebidjaksanaan haluan Negara, kebidjaksanaan hukum dan perundang-undangan, kebidjaksanaan pemerintahan, kebidjaksanaan kesedjahteraan, kebudajaan, kesusilaan dan keagamaan, kebidjaksanaan politik dalam dan luar negeri, kebidjaksanaan keselamatan, pertahanan dan keamanan Negara. Barang sekiranya di sinilah letaknja batas, bentuk dan isi daripada pengertian “nasional’, jang kita inginkan bersama sebagai sifat mutlak bagi kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudayaan kita. Hal ini tidak boleh dilupakan pula bagi kehidupan politik (kepartaian) kita, baik dalam bidang dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai bawaan daripada dasar kerakjatan dan dasar perikemanusiaan terdjelma dalam hak asaasi manusia sebagai individu dan machluk sosial kedua-duanya, maka kepartaian kita dan pemerintahan kita didasarkan atas dan diliputi oleh aliran agama dan aliran hidup, jang mempunjai djuga sifat universil dan atau internasional. Akan tetapi di dalam segala matjam kebidjaksanaan tersebut di atas sifat universil dan internasional itu seharusnja direalisasi dalam bentuk jang “nasional” itu agar supaja kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudajaan kita adalah merupakan realisasi jang tjotjok dengan pribadi bangsa kita. Kesimpulan ini adalah timbul dengan djelas dan dengan sendirinja dari perdjalanan pikiran seperti berturut-turut diadjukan di atas. Dapat masih diterangkan lagi atas dasar prinsip ilmiah, ialah bahwa tjita-tjita, dan ideologi adalah tjita-tjita, untuk realisasinja dalan kenjataan membutuhkan suatu bentuk tertentu. Dalam pada itu halnja tidak demikian, bahwa suatu tjita-tjita hanja mempunjai satu bentuk realisasi tertentu atau tjita-tjita jang berlainan djuga bentuk realisasinja, akan tetapi suatu tjita-tjita mempunjai banyak kemungkinan bentuk untuk diwudjudkan dalam kenjataan, sedangkan tjita-tjita jang berlainan mungkin pula sama dalam bentuk realitasinja. Bagaimana dapat terdjadi, itu adalah bawaan dan pengaruh daripada perbedaan dan perubahan segala sesuatu di dunia, sepertinja keadaan, tempat, waktu, pribadi kemanusiaan baik dari orang-perseorangan maupun bersama, jang tergolong-golong dengan mempunjai keagamaan, kebudajaan, kebutuhan dan kepentingan jang berlainan. Tidak dengan sendirinja bentuk realisasi jang berlainan dari tjita-tjita satu atau serupa menimbulkan pertentangan, akan tetapi dapat berdampingan dalam harmoni keaneka-ragaman jang memperkaja. Inilah jang terutama mendjelma dalam hidup perseorangan. Sebaliknya kesamaan bentuk realitasi tjita-tjita jang berlainan tidak djarang terudjud, dan terutama dalam hidup bersama, dan djustru inilah jang memungkinkan terdjadinja golongan-golongan, terdjadinja masjarakat. Dapat pula masih dikemukakan suatu kenjataan dalam sedjarah bangsa Indonesia, jang menundjukkan pertemuan dan hidup berdampingan dalam keaneka-tunggalan pelbagai tjita-tjita jang berlainan, jang asli dan jang datang dari luar, dalam lapangan hidup jang pokok-pokok, kerohanian dan kedjasmanian, sepertinja dalam hal keagamaan, kedjiwaan, kebudajaan, kesusasteraan, kesenian, mata pentjaharian hidup. Telah terbukti dalam sedjarahnja itu, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan sintetis. Begitulah tjita-tjita kenegaraan dan hukum daripada Pembukaan dan bentuk realisasinja jang setjara ilmiah dapat digambarkan di atas, dapat didjelaskan dan dikuatkan atas dasar suatu prinsip ilmiah, jang sungguh terdjelma dalam hidup kemanusiaan, dan djuga oleh bukti sedjarah bangsa Indonesia sendiri dengan kemampuannja sintetis itu. Dengan segala sesuatu itu sebagai dasar dan pedoman, maka ada sjarat-sjarat mutlak keharusan, agar supaja perbedaan ideologi dalam hidup kepartaian kita dengan pengaruhnja dalam pemerintahan, sama saling menjesuaikan diri dalam pertemuan bentuk realisasi jang “nasional” itu, sebagaimana terdjelma dalam tjita-tjita kenegaraan jang telah tetap terkandung dalam Pembukaan itu, dengan realisasinja jang dinamis. Dari uraian di atas harusnya bangsa dan elit ini sadar bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 telah dikudeta dengan diamandemen UUD 1945 sehingga tatanan kenegaraan tidak lagi mencerminkan perjanjian luhur bangsa Indonesia yang dituangkan pada pembukaan UUD 1945. Sekarang bisa disaksikan kebingungan-kebingungan yang terjadi terhadap ketatanegaraan, bagaimana Presiden mengangkat dirinya sendiri, di akhir masa jabatannya tidak perlu mempertangungjawabkan apa yang sudah dilakukan bahkan pembangunan tidak lagi dirancang oleh MPR dan seluruh anak bangsa yang tertuang di dalam GBHN, tetapi disandarkan pada negara China dengan proyek OBOR, apakah itu kepentingan negara bangsa? Apakah pindah Ibukota kepentingan Bangsa dan Negara? Begitu juga dengan puluhan UU yang dilahirkan untuk kepentingan Investor Asing, Aseng. Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Jika tidak bangsa dan negara ini akan musnah, sebab hari ini NKRI bukan lagi yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang mempunyai asas kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sudah diganti dengan dasar Liberal Kapitalisme. Kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara. Dosa kolegtif bangsa ini bukan hanya pada pendiri bangsa tetapi dosa terbesar adalah pada masa depan anak cucu kita, bisa jadi perbuatan kita hari ini adalah dalam rangka membuat anak cucu kita sebagai jongos di negerinya sendiri kelak. (*)
Terang Baru Setelah Gelap Istana
Kita semua ingin tahu, nafas Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan) sepanjang apa sih? Nafas Erick Thohir sepanjang apa? Nafas Luthfi (Muhammad Lutfhi) sepanjang apa? Nafas Muhaimin (Muhaimin Iskandar) sepanjang apa? Oleh: Rocky Gerung, Pengamat Politik dan Akademisi SEBENARNYA tak perlu dipertanyakan panjangnya nafas gerakan mahasiswa. Dengan sendirinya itu akan terjawab. Berkali-kali orang meragukan gerakan mahasiswa bahwa mahasiswa sudah bisa dibeli dan segalam macam. Disogok beasiswa, amplop, iya itu sebagian saja. Tapi, nafas utama mahasiswa adalah nafas rakyat. Jadi, tidak mungkin ada keraguan bahwa nafas mahasiswa itu pendek. Nafas gerakan mahasiswa itu panjang karena tersambung dengan nafas rakyat. Nafas rakyat itu panjang karena tersambung dengan nafas zaman. Nafas zaman itu panjang karena tersambung juga dengan nafas alam semesta. Jadi, gerakan mahasiswa itu nafasnya di-backup oleh alam semesta. Itu kira-kira yang perlu saya terangkan terlabih dahulu. Yang perlu kita tanyakan, nafas kekuasaan cukup panjang enggak? Jangan-jangan dua minggu lagi semua ventilator di negeri ini dipakai oleh kekuasaan. Dan, itu sebenarnya lebih penting kita bicarakan. Kita semua ingin tahu, nafas Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan) sepanjang apa sih? Nafas Erick Thohir sepanjang apa? Nafas Luthfi (Muhammad Lutfhi) sepanjang apa? Nafas Muhaimin (Muhaimin Iskandar) sepanjang apa? Jangan-jangan sudah pakai ventilator semua mereka. Karena mereka semua itu punya komorbit. Kalau gerakan mahasiswa itu jelas tak ada komorbitnya. Dan, sejarah memanggil gerakan ini untuk selalu datang pada saatnya itu. Jadi, kalau tadi kita mau bahas fungsi dari gerakan mahasiswa, itu bukan fungsi yang tiba-tiba bisa diajukan sebagai hal yang sifatnya tentatif karena keadaan darurat, tidak. Gerakan mahasiswa ini semacam, bukan variabel lagi, tapi faktor, konstanta dalam semua gerakan sosial. Jadi itu yang penting saya terangkan dulu, tidak perlu dipertanyakan panjangnya nafas gerakan mahasiswa. Lebih dari itu. Yang kita ingin tahu sebenarnya adalah potensi pergerakan mahasiswa ini, di dalam dua hari terakhir ini kan bahwa ditangkapnya Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, lalu ada komisaris perusahaan swasta segala macam, itu harus dibaca sebagai semacam sogokan bahwa seolah-olah dengan ditangkapnya tokoh-tokoh ini yang mempermainkan izin ekspor itu selesailah tuntutan mahasiswa soal minyak goreng. Tidak begitu. Tidak bisa dilihat seperti itu. Ya Dirjen sih kita mau lihat, tapi Dirjen kan tidak punya kemampuan untuk mengambil keputusan. Dirjen itu pelaksana teknis dari Menteri. Lalu, menterinya kemana. Tidak sekalian saja dalam persoalan ini ya dibuka semua dong? Lalu ada pertanyaan lagi, kenapa yang menangkap itu Kejaksaan, bukan KPK atau Polisi. Ini semua pertanyaan yang terarah kepada semacam kesimpulan bahwa Istana ini masih mau “tukar tambah”. Dan, yang harus kita persoalkan adalah sampai mana penangkapan ini akan memulihkan kembali kepercayaan publik. Jadi, ini seolah-olah Presiden Joko Widodo akan cicil tagihannya itu mulai dari soal tiga periode, lalu soal minyak goreng, sehingga emak-emak senang karena sudah ditangkap, bukan soal itu. Tapi orang tidak lagi percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh presiden. Mahasiswa menganggap, buat apa sih masih ada pidato-pidato seolah-olah nanti semua akan tertangani. “Jokowi: The King of Lip Service” Selama BEM UI belum mencabut plakat “Jokowi: The King of Lip Service” maka orang menganggap, semua yang diucapkan presiden, itu cuma tipu muslihat saja. Jadi, itu yang lebih penting kita bahas, situasi psikologis Istana sekarang ini semacam apa itu. Saya membayangkan, setiap kali ada buka puasa di GELORA semua orang akan datang karena ada arus perubahan. Ada gelombang zaman yang sedang bergolak. Dan gelombang di situ akan berselancar gerakan mahasiswa, buruh, dan rakyat serta macam-macam seperi LSM. Karena ada narasi alternatif. Istana tidak mau mendengar narasi alternatif, kan? Itu intinya mengapa ada pembicaraan politik hari-hari ini di luar Istana. Sementara di Istana kalau buka puasa semua orang akan melihat, yang buka puasa tinggal Pak Jokowi dan Pak Luhut berduaan. Karena tidak ada isi yang mau dibahas, itu karena semua orang menganggap, sebaiknya saya direshufle deh, supaya tidak ada beban. Kita bayangkan psikologinya seperti itu. Ada satu polarisasi antara mereka yang menunggu momentum 21 April, dan ada yang berharap supaya dipecat presiden supaya lepas bebannya. Jadi, ini soalnya. Dan besok, 21 April 2022, kenapa gerakan mahasiswa tidak menghormati Ibu Kartini, mending kita rayakan Peringatan Ibu Kartini. Pakai kebaya dan bicara tentang hal-hal konseptual daripada turun ke jalan lagi. Banyak yang bicara sinis pada gerakan mahasiswa. Tapi saya mau pastikan bahwa Ibu Kartini pun mau mendorong anak-anaknya untuk kesetaraan manusia. Karena Ibu Kartini lah yang memulai konsep emansipasi. Jadi, akhirnya, besok akan muncul “Terang Baru Setelah Gelap Istana”. Kita analisis, menjadi: “Habis Gelap Istana Terbitlah Terang Gelora Junto Terang Mahasiswa”. Ini saya anggap lebih produktif yang perlu kita bahas. Sekali lagi, tetapi di belakang kita masih ada problem ekonomi. Betul kata Pak Anis (Anis Matta) dan teman-teman mahasiswa tadi. Ada problem struktur ekonomi, betul itu. Jadi, kalau dibilang dengan minyak goreng problemnya selesai, enggak. Masih ada minyak yang lain. Pertalite, minyak BBM itu yang sampai sekarang kita tidak tahu bagaimana presiden selesaikan itu. Karena presiden sendiri, pemerintah, berhutang pada Pertamina sebesar Rp 90 triliun. Pertamina juga berhutang pada publik karena dia ngeluarin SUN (Surat Utang Negara), dan dia harus banyar, mungkin Rp 40 triliun yang dia harus bayar. Sekarang kita tidak tahu dalam 2 minggu ke depan, bisa enggak ada bensin di SPBU-SPBU. Bisa enggak ada elpiji 3 kg itu di rumah emak-emak itu. Semua itu menyangkut kepentingan paling dasar dari rumah tangga, yaitu bagi emak-emak. Ibu Kartini adalah emak-emak, jadi pasti Ibu Kartini akhirnya merestui juga. Kalau Ibu Kartini masih hidup, dia pasti ikut demo itu. Karena Ibu Kartini pemakai gas elpiji. Jadi, sekali lagi, ini momentum untuk menghasilkan ulang Indonesia. Ini yang sering kita sebut “Ketakterhindaran Sejarah”. Dan itu tidak mungkin disogok lagi dengan semacam. Mungkin nanti malam presiden akan datang dan bilang Pertamina beres-beres saja, karena kita sudah keluarin tagihannya Rp 50 triliun. Orang bertanya, lo koq 40 triliun, utang Anda Rp 90 triliun. Ambil dong dari IKN, tapi presiden kan tidak mau batalkan IKN. Ini akan cost fire. Ini akan berpotongan dengan dunia internasional. Dunia itu kan sudah menyebutkan bahwa Indonesia ini negara yang gagal. AS sendiri belum pernah dalam sejarahnya, Deplu AS juga mengeluarkan data detail tentang Pelanggaran HAM di masa Presiden Jokowi. Lengkap. Sampai mahasiswa yang ditangkap. Kasus KM-50 diucapkan. Itu artinya ada sesuatu yang serius. Kita enggak tahu apakah faktor ini akan mempercepat kejatuhan presiden. Jadi, kalau presiden jatuh itu bukan karena gerakan mahasiswa an sich, tapi karena juga ada isu global HAM. Dan semua itu juga karena faktor yang dipersiapkan oleh alam. Semacam Sunnatullah. Atau hukum sosiologi bahwa semua hal akan tiba pada masanya. Nah, itu yang kita tunggu pada 21 April 2022. Tapi nanti ada juga 20 Mei 2022. Semua titik itu nanti dipakai oleh semua gerakan mahasiswa. Dan, pada saatnya semua gerakan mahasiswa itu akan terakumulasi menjadi gelombang rakyat. Itu bahayanya. Bukan hahaya buat kita. Buat kita sih enak saja. Yang paling konyol kini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai pajakin semacam tempurung kelapa. Sudah kacau itu. Jadi sumbernya benar-benar sudah tidak ada. Tempurung kelapa pun, industri yang paling sederhana itu dipajakin. Kenapa tempurung kelapa yang dipajakin, ya karena gak mungkin Sri Mulyani itu pajakin “tempurung kepala” dari buzzer-buzzer yang kosong isinya itu kan? Kita mengerti sekarang, akhirnya pemerintah gak mungkin lagi untuk pinjam, gak mungkin lagi naikin batas defisit karena dilarang undang-undang. Jadi, naikin pajak seperti hal-hal yang elementer. Saya beri ilustrasi, dulu dalam sejarah Prancis ada seorang Menteri Keuangan, dan karena bingung bagaimana menghasilkan uang karena anggaran Prancis sudah habis dipakai perang, lalu menteri ini keliling desa, termasuk keluar masuk dusun, di mana ada sandal jepit baru, dia kenain pajak. Pajak sandal jepit. Kalau melihat ada gagang pintu baru, maka gagang pintunya dikenai pajak. Karena dia tidak tahu harus ambil uang darimana lagi untuk membiayai APBN Prancis itu. Pers Prancis pada waktu itu sangat jengkel dengan kelakuan menteri itu. Lalu oleh koran Prancis, dia digambarkan hitam-putih dalam bentuk silhouette. Nah, nama menteri itu Ètienne de Silhouette. Kata silhouette itu datang dari nama menteri yang goblok ini. Apakah ini akan menjadi Sri “Silhouette”? Kita tunggu saja Kongres Rakyat Indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa. (*) Catatan: Materi disampaikan dalam GELORA Talks Edisi #43, Rabu, 20 April 2022, dengan tema Mengukur Nafas Gerakan Mahasiswa Indonesia.
Rakyat Menggugat Sepak Terjang LBP (5): Proyek IKN Baru Pro Oligarki
Oleh Marwan Batubara, IRESS – PNKN SANGAT banyak pakar, tokoh, akademisi, politisi, ormas dan berbagai kalangan menolak dan menggugat pembangunan IKN baru di Penajam Paser Utara (Kaltim). Mereka umumnya yakin motif utama pemindahan IKN bukanlah untuk kepentingan objektif nasional, tetapi untuk bisnis, perburuan rente dan oligarki kekuasaan. Motif lain adalah memenuhi agenda one belt one road (OBOR) China dan juga diduga agenda PKI gaya baru. Prinsipnya rakyat tidak butuh IKN baru. Kondisi ekonomi dan keuangan negara saat ini sudah morat-marit, hutang negara sudah menggunung di atas Rp 7.000 triliun, harga-harga barang dan jasa terus naik, hidup rakyat semakin susah, pengangguran terbuka di atas 26 juta, populasi rakyat miskin lebih 100 juta orang, dan daya beli terus turun. Kesulitan hidup malah ditambah kenaikan PPN menjadi 11% yang ditengarai untuk mendukung pendanaan IKN. Sebenarnya saat pandemi korona mulai merebak, mayoritas anggota kabinet pemerintah cenderung menunda atau membatalkan proyek IKN. Namun Menko Marves Luhut atau LBP) menyatakan pemindahkan IKN tetap diteruskan (24/3/2020). Dikatakan, tim dari Kemenko Marves bersama Kementerian BUMN dan Kemenkeu terus koordinasi dengan berbagai calon investor dan mitra untuk pengembangan IKN. Saat itu Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan dana proyek IKN belum dialokasikan, karena payung hukum/UU IKN belum ada (7/4/2020). Dikatakan, kewenangan membatalkan, menunda, atau melanjutkan IKN ada di Presiden. Ternyata Presiden Jokowi berkeinginan sama dan tunduk pada keinginan LBP. LBP bilang IKN baru harus berlanjut, maka Jokowi ikut setuju, tak peduli kondisi keuangan, prioritas negara dan kesulitan rakyat. Dominasi LBP mengusung IKN baru antara lain ditandai dengan mengungkap komitmen SoftBank Corp berinvestasi sebesar US$ 100 miliar (7/1/2020). Lalu, dalam rapat virtual dengan Komisi V DPR (21/4/2020), LBP menyatakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Abu Dhabi akan ikut mendanai poryek IKN. Selanjutnya disebutkan pula akan adanya investasi dari UAE, AS dan China. Detail investasi oleh China ini “tersembunyi” dari publik. Intinya, LBP dan Jokowi ingin membangun IKN baru dengan mengandalkan investasi asing! Belakangan SoftBank SoftBank Group mundur dari proyek IKN (11/3/2022). Lantas LBP berkunjung ke Saudi Arabia, guna melobi Muhammad Bin Salman (MBS) investasi di IKN (3/3/2022). Namun MBS mengatakan masih akan menjajaki. Karena dana investasi yang dibutuhkan sangat besar dan ekonomi dunia belum pulih, tampaknya ambisi LBP dan Jokowi untuk merealisasikan *proyek oligarki mengandalkan asing* sulit mendapat komitmen. Maka muncul gagasan penggalangan dana masyarakat (crowfunding) dari Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono. Rencana skema urun dana publik mengindikasikan adanya problematika dan kesalahan kalkulasi menyusun skema pembiayaan IKN di tengah sepinya minat investor. Hal ini bisa menggiring moral hazard atau manipulasi informasi terkait porsi pendanaan APBN: dimumkan porsinya kecil, namun nyatanya lebih besar dan memberatkan. Pada 2019 lalu, Kemenkeu merilis dana APBN yang digunakan untuk pemindahan IKN sebesar 20%, dan 80% sisanya dari swasta dan BUMN. Namun, dilansir dari situs IKN dan dikutip beberapa media, tertulis bahwa dari total sekitar Rp 466 triliun biaya proyek, 53,5% pendanaannya berasal dari APBN. Sedangkan 46,5% pembiyaan sisanya berasal dari BUMN dan swasta menggunakan skema KPBU (17/1/2022). Menkeu Sri Mulyani membantah alokasi APBN mencapai 53,5% karena katanya pemerintah masih menghitung (18/01/2022). Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso M. mengatakan, proyek IKN tidak akan memberatkan APBN dan pemerintah menghindari pembiayaan utang jangka panjang. Namun, karena sepinya minat investor di satu sisi, dan besarnya nafsu oigarki berburu rente, bisa saja porsi APBN untuk proyek IKN lebih besar dari sekedar 20%. Jika porsi APBN mendanai proyek IKN dipaksa meningkat, maka *hutang negara pasti naik dan program untuk rakyat dan pemulihan ekonomi dikorbankan.* Ternyata, guna mendanai proyek IKN, di tengah kesulitan ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, rakyat sudah dikorbankan! Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 11%. Bagi rakyat, kebijakan penaikan PPN 11% untuk IKN ini sangat otoriter, tiranis dan zolim! Semula, pada 2019, Kemenkeu merinci skema pembiayaan berbagai sarana IKN yang bernilai Rp 466 triliun adalah sbb (27/8/2019): *• Melalui APBN (20%):* Infrastruktur pelayanan dasar; Istana dan bangunan strategis TNI/Polri; Rumah dinas PNS/TNI/Polri; Pengadaan lahan; Pangkalan militer; dan RTH. *• Melalui Swasta (26%):* Perumahan umum; Perguruan tinggi; Peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol; Sarana kesehatan; Shopping mall; MICE. *• Melalui KPBU (54%)*: Gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif; Infrastruktur selain tercakup APBN; Sarana Pendidikan & Kesehatan; Museum LP; Sarana penunjang. Belakangan Jokowi mengatakan porsi APBN hanya Rp 90 triliun dan dipakai untuk *kawasan inti* berisi gedung-gedung istana dan kementrian (22/2/2022). Dalam hal ini, menurut logika umum, kawasan inti mestinya juga termasuk kantor-kantor legislatif dan yudikatif (silakan rujuk Canberra atau Washington). Karena banyaknya sarana atau gedung yang akan dibangun, maka anggaran Rp 90 triliun tersebut pasti tidak cukup. Artinya, agar porsi APBN terkesan rendah (hanya 20%) diduga telah terjadi manipulasi informasi. Di sisi lain, jika gedung-gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif benar akan dibangun melalui skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), maka akan terjadi pula pelanggaran aturan. Sebab pembangunan melalui skema KPBU pada prinsipnya melibatkan swasta. Sementara, yang dibangun kantor-kantor lembaga negara yang merupakan objek vital nasional (obvitnas). Jelas membangun obvitnas sesuai skema KPBU melanggar aturan. Sebenarnya, sesuai Pasal 5 Perpres No.38/2015 tentang KPBU, sarana yang boleh dikerja-samakan melalui KPBU adalah sarana ekonomi dan sosial. Sarana gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif jelas tidak eligible memakai skema KPBU. Jika tetap dipaksakan, maka terjadi pembisnisan obvitnas guna memberi untung BESAR bagi swasta, asing dan oligarki, namun sekaligus menggadaikan kedaulatan negara dan martabat bangsa. Selanjutnya, meski pembangunan melalui skema KPBU, pada akhirnya pemerintah harus membayar biaya sewa menggunakan APBN. Bahkan biaya yang ditanggung pasti lebih besar, sebab dalam skema KBPU terkandung unsur profit. Belum lagi jika nilai proyek dimark-up (5-6 tahun terkahir meningkat), maka biaya sewa dan beban APBN semakin berat. Karena itu, meski sarana IKN dibangun swasta (skema KPBU dan swasta murni), pada akhirnya tanggungan APBN sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun sebagai beban bagi generasi mendatang. Di sisi lain pihak swasta dan oligarki akan mendapat untung BESAR. Sebab rente BESAR-lah yang jadi motif pemindahan IKN. Maka bagi oligarki proyek IKN baru meruapakan pertaruhan besar yang tidak boleh gagal. Berbagai upaya ditempuh, termasuk membentuk UU IKN hanya 43 hari melalui proses inskonstitusional, melanggar UU, dan diduga sarat moral hazard. Berikutnya, dimotori LBP, sedang dicari cara agar Presiden Jokowi menjabat 3 periode. Tak tertutup kemungkinan “tercipta” kondisi darurat yang membuat terbitnya “dekrit” dan berujung pada perpanjangan masa jabatan presiden. Sesuai konstitusi, negara didirikan guna melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Uraian di atas menunjukkan dengan memaksakan proyek IKN secara otoriter, pemerintah gagal menjalankan tugas konstitusional, karena lebih memihak kepentingan sekelompok pengusaha, oligarki kekuasaan dan asing, sekaligus tidak peduli nasib rakyat. Jika sepak terjang LBP dan Jokowi ini dibiarkan, proyek IKN oligarkis tetap dilanjutkan, maka keadilan sosial dan tujuan pendirian NKRI gagal tercapai. Rakyat harus melawan! [] Jakarta, 20 April 2022.