OPINI
Dua Puluh Persen adalah Kejahatan Politik
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADANYA Presidential Threshold (PT) 20 % adalah kezaliman atau kejahatan politik. Membunuh hak partai kecil untuk dapat mengajukan Calon Presiden kecuali hanya dengan Koalisi. Koalisi itu sendiri adalah sarana kooptasi partai besar atas partai kecil. Atau secara tidak langsung merupakan bentuk pemaksaan. Pola pemaksaan dalam politik merupakan wujud dari sistem politik yang tidak sehat alias sakit. Mahkamah Konstitusi telah menerima belasan gugatan untuk PT 20 % tersebut dan hebatnya seluruhnya ditolak. Alasan terbanyak adalah \"legal standing\" yang tidak tepat. MK ternyata memiliki pandangan yang sangat sempit dalam memahami pihak yang mengalami kerugian konstitusional. Partai politik peserta pemilu yang dirugikan, oleh karenanya partai politik atau gabungan partai politik itu saja yang berhak untuk menggugat. Sempit sekali cara pandang seperti ini. Soal Pilpres bukan semata urusan partai politik tetapi urusan semua elemen warga negara. Karena hal ini menyangkut hak dipilih dan memilih. Dengan PT 20 % terjadi pembatasan hak konstitusional untuk dipilih dan memilih. Proses menjadi tidak demokratis dan tentu semua tahu bahwa maksud dan tujuan kita ber-konstitusi itu bukan model pembatasan seperti ini. PT 20 % hanya memperkuat oligarki atau menyuburkan cukong alias bandar. Pemilik kapital sangat leluasa untuk bermain dalam Pilpres. Mengatur pasangan dan mencurangi kemenangan. Tragedi 2019 akan terulang bahkan mungkin lebih brutal nanti pada Pilpres 2024. Jokowi sendiri memang tamat tetapi boneka baru segera bisa dibuat. Produk pabrik PT 20 %. Hakim MK 2019 telah mendapat \"gratifikasi\" perpanjangan sehingga akan mengadili kembali gugatan Pilpres 2024. Hakimnya itu-itu juga dan terbukti telah berprestasi dalam memenangkan oligarki melalui sukses Jokowi. Tak berguna kalaupun ada \"dissenting opinion\". Hal itu hanya bagian dari kepura-puraan dalam berdemokrasi. Dengan banyaknya gugatan sudah terbukti UU No 7 tahun 2017 khususnya Pasal 222 secara sosiologis adalah UU yang buruk. Meskipun mungkin saja secara prosedur pembentukan undang-undang (juridis formal) sudah benar. Apalagi jika dilihat dari aspek filosofis maka kesimpulannya UU No 7 tahun 2017 ini adalah undang-undang yang zalim atau tidak adil. Harus dirombak atau dibatalkan. Dalam penerapan hukum Hakim MK telah memahami hukum secara sempit dan legistis atau berfilsafat legisme atau berfungsi hanya sebagai tukang tiup \"terompet undang-undang\". Padahal semestinya Hakim dalam menerapkan hukum harus mampu membaca perasaan keadilan masyarakat. Ajaran legisme adalah ajaran kuno dan sudah lama ditinggalkan. Faham Sociological Jurisprudence seperti yang dikemukakan Roescou Pound lebih layak untuk dianut apalagi jika sampai pada memahami hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat (law as a tool of social engineering) maka cara pandang Hakim Konstitusi yang positivis atau legistis dan tidak demokratis harus sudah dibuang ke keranjang sampah. PT 20 % adalah sampah politik, bau dan busuk. Mempertahankan PT 20% adalah suatu kejahatan politik dan catatan hitam hukum. Rekayasa oligarkis dalam membunuh demokrasi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi kumpulan para penjahat dan pembunuh itu. Bandung, 24 Juni 2022
Menunggu Rapat Politbiro Oligarki
Inilah mengapa banyak Ketum Parpol mendadak berlomba-lomba memasarkan partainya dengan aneka cara. Bahkan ada partai nekat, hanya bersandar pada hasil rentalan survei dan pencitraan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SIKON politik periode kedua Joko Widodo menjabat Presiden RI mencuatkan akrobatik kiat politik anomali berlumur aroma drama politik tanpa bentuk dan arah yang jelas. Ketika koalisi gemuk delapan parpol mulai retak, bahkan pecah telah menjadi pemantik utama mengeruhnya sikon politik terkini. Menimbulkan bara panas bagaikan api nan tak kunjung padam. Ditengarai publik, sepertinya ada yang sengaja merawat sang api supaya tetap membara. Presiden dengan kewenangan dan kekuasaan bermain tukar guling/tukar tambah kekuasaan dengan resaffel kabinet menarik kader dari partai gurem untuk menambah amunisi kekuatannya yang mulai lunglai. Presiden dengan leluasa menggunakan kekuasaannya untuk berbelanja “tameng” pelindung dari serangan politik pihak oposisi. Presiden harus berselancar di atas ombak politik yang tidak menentu dinamikanya dalam gelombang pasang surut. Menjual posisi di kementerian (ministerial portfolio) untuk merealisasikan platform politik, “rampasan perang” (spoils of office) berupa akses terhadap proyek negara .... baik yang terlihat maupun tak tercium oleh publik” (Arya Budi, Kompas, 18 Juni 2022). Pemilu 2024 mendatang pada 14 Februari 2024 masih 20 bulan lagi, namun elit politik mulai sibuk membangun koalisi. Target besarnya jelas: berlomba untung- untungan menanam investasi untuk presiden baru. Muncul KIB (Koalisi Indonesia Bersatu), disusul koalisi “Semut Merah”, Gemuruh konvensi partai NasDem dan Raker PDIP yang mengobrak-abrik akrobat rekayasa koalisi. Lahirlah pola politik gambler, berselancar spekulasi membuka lapak mencari peluang dari hasil jaringannya. Akibat adanya presidential threshold (PT) 20 persen hasil Pemilu 2019, semua terperangkap: partai besar elektabilitasnya capresnya rendah. Capres yang elektabilitasnya memenuhi standar partai tidak kuat ngungkit. Partai gurem pun berusaha merekayasa angkat kader dari luar partainya. Capres yang elektabilitasnya tinggi ternyata tidak memiliki partai. Sehingga, ini semua blunder menerpa dirinya yang tidak sadar ada pemain (Politbiro) di balik layar yang mengendalikan. Terpantau terpaksa beberapa partai bermanuver mondar-mandir tidak jelas akan kemana. Dinamika politik “lari berputar-putar” di situ-situ saja: tidak jelas siapa mengejar siapa dan akan kemana. Inilah mengapa banyak Ketum Parpol mendadak berlomba-lomba memasarkan partainya dengan aneka cara. Bahkan ada partai nekat, hanya bersandar pada hasil rentalan survei dan pencitraan. Apa yang akan terjadi dari akrobat maut para partai berkoalisi, semua akan berakhir dalam penantian menunggu hasil rapat politbiro Oligarki. Siapa yang akan dipanggil ke Istana Oligarki. Dan, siapa yang akan dianggap layak jadi presiden dan siapa yang akan dibuang ke got politik Oligarki. Pilpres 2024 sesungguhnya saat ini sudah selesai, hanya dengan keajaiban Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang bisa merubahnya. Beberapa partai akan berakhir tragis mengais belas kasih Oligargi berharap mendapatkan pundi-pundi finansial agar bisa berlaga dalam Pilpres 2024. Tragis memang. Itulah wajah politik Indonesia saat ini. (*)
“Presidential Threshold” 20 Persen Tanpa Pilpres
Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PERHELATAN Pilpres akan dilaksanakan 2 tahun lagi, pada tahun 2024. Salah satu perubahan UUD 1945 melalui amandemen ialah tentang Pemilihan Presiden dan pembatasan masa jabatan Presiden. Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (sistem presidentil). Pemilihan presiden tersebut dilakukan langsung oleh rakyat di mana calon presiden dicalonkan dalam satu paket berpasangan dengan calon wakil presiden oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu. Pemenang adalah pasangan yang memperoleh suara 50% + 1 secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar sebagai mayoritas di paling tidak 2/3 provinsi. Bila tidak ada yang memperoleh dukungan demikian, maka digelar pemilihan ulang. Pemenang pertama dan kedua dalam putaran pertama akan bertanding lagi dalam putaran kedua. Kali ini pasangan yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang. Aturan ini ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan, masyarakat Indonesia itu tersebar dan amat majemuk. Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan dukungan jumlah suara 50% + 1 yang terpusat di daerah tertentu saja, tetapi Presiden bagi segenap bangsa dan tanah air. Tata cara Pemilihan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2017. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang akan datang masih menggunakan UU Pemilu 2017 yang telah digunakan pada Pilpres 2019 yang diikuti oleh dua pasang Capres-Cawapres, yakni Pasangan 01 Joko Widodo – Ma\'ruf Amin, dan Pasangan 02, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Dampak Pilpres 2019 lalu berupa pembelahan rakyat masih ada hingga kini yang dahulu populer dengan sebutan Cebong dan Kampret. Pasal 222 UU Pemilu adalah paling krusial, apalagi menyangkut Presidential Threshold 20%. Gde Siriana menulis di Twitter, 16 juni 2022, 20:56, “Sy melihat hanya ada 3 jenis Capres mendatang. 1) Capres Istana (penerus kekuasaan rezim dan Oligarki), 2) Capres Joki (Capres maju untuk kalah, hny sekedar penuhi syarat Pilpres demokratis), dan 3) Capres Perubahan (tetapi akan dihambat melalui syarat PT 20%). Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan dalam Musyawarah Daerah tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta, Sabtu (11/6/2022), bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Oleh sebab itu, secara kelembagaan DPD RI telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 tersebut. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur kongsi untuk menentukan siapa pimpinan nasional bangsa. Pasal 222 memaksa partai politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas. Akibatnya, Capres dan Cawapres yang akan dipilih oleh rakyat menjadi sangat terbatas. Pasal tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural, Pilpres. Dengan begitu janji-janji manis Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena, yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dari kebijakan yang tentu harus berpihak kepada mereka. LaNyalla mempertanyakan kemampuan seorang Capres untuk menghentikan impor garam, gula, dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendesain Capres itu bagian dari penikmat uang rente dari keuntungan Impor. Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar bila Oligarki Ekonomi yang membiayai Capres tersebut adalah penikmat konsesi lahan atas sumber daya alam hutan dan tambang? Seorang Capres juga tidak akan mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, jika Oligarki Ekonomi adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut. Bila LaNyalla berpendapat bahwa Presidential Threshold 20% adalah akar masalah ketidakadilan dalam Pemilihan Presiden, menurut hemat saya, akar dari akar masalah tersebut adalah Amandemen UUD 1945 yang menetapkan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Padahal Sila ke-4 Pancasila mengamanatkan Pemilihan Presiden melalui perwakilan. Pilpres pasca amandemen menganut prinsip demokrasi liberal, memberikan hak suara pada setiap warga negara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya. Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Jika hal itu benar-benar terealisasi, maka boleh jadi Presidential Threshold 20% tetap ada, tapi tanpa Pilpres 2024! (*)
Mengapa Tidak Berempati Pada 6 Ayah yang Putranya Dibunuh dan Disiksa
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan KINI meski masih berduka, Ridwan Kamil sudah mulai \"ngabodor\" yang membuat nitizen bingung antara harus tertawa atau sedih. Bodoran seperti lokasi makam Cimaung disebut Tigerwater, salah tulis Bern menjadi Berlin dikoreksi Bekasi, petazi\'ah yang menyatakan mohon maaf lahir bathin dikomentari dikira halal bihalal, serta netizen yang khawatir trauma, jawabannya tidak phobia kecuali bayar hutang. Ada nuansa empati berlebihan dalam peristiwa musibah tenggelamnya Emmeril Kahn Mumtadz putera Gubernur Ridwan Kamil. Kita tentu berduka dan simpati pada orang tua yang kehilangan putera tercintanya. Apalagi tenggelam saat berenang. Semoga Eril kembali dengan bahagia dan kedua orang tua sabar menerimanya. Tentu hal ini menjadi ujian berat bagi keluarga. Tetapi fenomenanya menjadi sedikit terganggu, terutama pada saat penyambutan \"semarak\" yang berlangsung hingga pemakaman. Pengerahan anak-anak sekolah menjadi di luar kelaziman. Apalagi tersiar berita bahwa pengerahan tersebut bersumber atas surat resmi instansi atau dinas. Tanpa harus menyinggung pertanyaan akan prestasi dan kontribusi Eril bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara nyatanya prosesi itu dinilai berlebihan. Netizen yang banyak bersimpati sudahlah pasti, sementara yang mengkritisi juga ada. Hal yang biasa untuk penilaian baik atau buruk. Ibrah atau pelajaran kesedihan dan rasa sayang orang tua pada putera yang meninggal karena musibah juga berlaku sama pada orang tua enam putera yang meninggal dibunuh dan disiksa aparat. Enam anggota laskar FPI yang tanpa dosa telah dihabisi. Sangat tragis. Orang tua itu merasakan lebih sakit lagi karena si pembunuh dan penyiksanya ternyata dilepaskan oleh Hakim Pengadilan di negara Pancasila. Adakah simpati atau empati kita sama seperti meninggalnya Eril putera Gubernur Ridwan Kamil yang meninggal tenggelam saat rekreasi berenang ? Tentu tidak ! Karena orang tua keenam putera yang dibunuh dan disiksa itu bukan pejabat yang terkenal. Mereka orang biasa yang tidak punya kekuasaan dan kekayaan. Orang tua yang hanya mampu sekedar memberi makan anak-anaknya. Untuk menyekolahkan pun sudah teramat berat. Adakah karangan bunga atau ucapan duka cita di media satu halaman ? Adakah penyambutan yang dikerahkan di sepanjang jalan ? Jika Eril diberi predikat syahid, adakah keenam putera yang meninggal itu berpredikat biasa-biasa saja ? Padahal mereka itu sedang mengawal gurunya, membela dengan nyawa atas ulama yang dihormati, mereka menjadi martir agar guru, pemimpin, ulama yang dijaganya dapat lolos dari pengejaran dan upaya pembunuhan oleh orang tidak dikenal ? Alangkah indahnya setelah merasakan betapa beratnya hati ditinggal putera tercinta, Bapak Gubernur Ridwan Kamil tiba-tiba datang bersimpati kepada enam ayah yang puteranya meninggal karena ditembak oleh aparat dahulu. Bukanlah menunjukkan empati itu adalah sikap yang membahagiakan? Keenam putera itu sedang berjuang di jalan Allah lalu dibunuh dan disiksa dengan keji. Di negeri sendiri bukan di luar negeri. Sayang minim empati. Difitnah membawa senjata dan melawan petugas, bahkan awalnya didisain untuk menjadi tersangka. Kita perlu belajar jujur, apa adanya, jauh dari sekedar membangun pencitraan. Siapapun menyadari bahwa anak adalah titipan Allah yang dapat diminta kembali titipannya itu. Begitu juga dengan titipan lain seperti kekayaan atau kekuasaan. Tidak ada guna habis-habisan untuk menumpuk kekayaan dan tidak ada gunanya pula berambisi untuk memperbesar kekuasaan. Semua itu tidak akan abadi, kelak akan diambil kembali. Mungkin tiba-tiba. Kita belasungkawa atas meninggalnya Eril putera Ridwan Kamil, kita pun harus berempati dan berbelasungkawa pula pada keluarga keenam syuhada yang dibunuh dan disiksa sadis dalam kasus KM 50. Jangan ada perlakuan diskriminasi dan penyikapan berlebihan terhadap peristiwa musibah seperti ini. Khawatir ditegur Allah nantinya. Bandung, 23 Juni 2022
Wajah Politisi Dadu Sintir
Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih ARTI kata dadu sintir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dadu pusing. Bawah permukaan dadu diberi tangkai untuk memutar (sintir). Kalau dadu sudah beputar di atas piring, baru ditutup tempurung. Itulah gambaran partai sekarang ini. Dengan kata lain, partai-partai harus terus-menerus berputar tetapi tetap dalam tempurung yang dimainkan oleh bandar Politik Oligarki. Bandar politik oligarki memang canggih dan licik. Hampir semua partai dipaksa harus masuk dan mau bermain dadu Politik Sintir. Pertarungan yang seolah-olah heroik berpacu taktis dan strategi untuk meraih kemenangan pada Pilpres 2024, sibuk luar biasa beradu cerdas membuat koalisi, membidik dan menjaring capres. Mereka sadar bahwa dalam politik ada dalam pertaruhan menang atau kalah. Menang berarti untung, kalah berarti buntung, atau menang berarti kondang dan kalah harus menanggung wirang. Tetapi mereka tidak sadar semua seperti bebek lumpuh dalam kendali remot Bandar Oligarki. Wajah perpolitikan di Indonesia, sangat buram bahkan hitam pekat - tidak seindah layaknya partai harus berjuang memenangkan Pilpres dengan kesatria dalam alam demokrasi yang wajar. Hampir semua partai terperangkap permainan politik dadu Bandar Politik. Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Di samping terperangkap finansial dari Oligarki, sebagian partai gurem buka lapak menawarkan sewa partainya kepada para Capres dengan harga Rp 1 triliun, belum termasuk biaya operasional. Saat pilpres berlangsung mereka semua berada di belakang layar tidur semua. Dalam kondisi kesurupan partai dan para politisi membentuk koalisi dan capres kesana-kemari tanpa akal sehat, itu ciri politisi amatiran tak punya disiplin berpikir. Sesungguhnya politisi dituntut disiplin, memahami perilaku politik dan mutlak harus memiliki kepekaan memahami sinyalnya dengan akurasi tinggi. Kalau tidak, berarti cuma muter-muter macam dadu sintir. Dalam kajian komunikasi politik dikatakan, \"Inti pesan komunikasi sering berada pada pernyataan yang tidak diungkapkan\". Tipu sana-sini sesuai nafsu politik hitamnya, menyihir masyarakat agar bisa menjadi pengikutnya. Rakyat dibuat ribet dengan tingkah laku politisi. Seolah merasa hebat tak ubahnya wajah partai dan para politisi di negeri ini seperti pelaku dadu sintir yang sedang dikendalikan oleh para bandar politik. Benar yang dikatakan Bung Hersubeno Arief, wartawan senior FNN bahwa: \"Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan\". \"Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya hanya sebaga jongos dibayar murah oleh oligarki\". (*)
Saya Belum Pernah Lihat Mega Semurka Itu
Dulu, Mega pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang kawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat SAYA belun pernah melihat Megawati semurka itu. Kasihan! Padahal, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) harusnya Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P). Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmat Allah. Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei tetap menempatkan PDI-P pada posisi tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK. Hasil survei Litbang Kompas teranyar yang baru kemarin diumumkan, bukan hanya masih di puncak, tetapi PDIP mengalami kenaikan persentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah. Kurang apa lagi? Gelar doktor dan professor kehormatan pun sudah diraih. Coba lihat video pendek yang (dengan sengaja diedarkan) merekam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Selasa 21 Junk 2022, pas ayahanda Kaesang dan Gibran itu berulangtahun ke 61. Video itu kini viral. Semakin menyempurnakan berkah kenikmatan yang diperoleh Megawati di usia tigaperempat abad. Mega menerima Jokowi di ruang kerjanya. Meja kerja Mega membatasi keduanya dengan posisi presiden menghadap di depannya. Tidak beda dengan posisi Ratu Inggris ketika menerima perdana menterinya menghadap, seperti biasa kita tonton di film. Lihat juga Puan Maharani. Kita bisa komen, enak benar hidup Puan. Dia tampak leluasa membuat video selfie yang merekam pertemuan ibunya dengan Presiden Jokowi tanpa pengawalan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden). Puan sangat istimewa dalam peristiwa istimewa itu. Puan seperti cucu kita yang tetiba datang bermain mobil-mobilan remote control di ruangan saat kita berbincang serius dengan tamu. Siapa kira- kira yang berani menegur cucu seperti itu? \" Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)? \" Demikian Allah berfirman dalam surat Ar Rahman yang diulang sampai 31 kali. Ekspresi Marah Dengan setting pertemuan yang divideokan itu, wajar kita terkejut menyaksikan Megawati sesudahnya, di hari yang sama, saat berpidato di dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P. Ia seperti banteng terluka mengancam menyeruduk siapa saja yang dinilai mengganggu dan merintanginya. Dalam potongan pidatonya yang beredar luas, Megawati menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. Video itu fokus mengambarkan kemurkaannya. Tidak jelas siapa yang mengedarkan video yang berpotensi jadi bumerang itu. \"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati! Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,\" kata Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama, tetapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju., \"Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out !,\" sambungnya dalam tone sama lantangnya. Kontras dengan kenyamanan yang ditampakkan Mega ketika menerima Jokowi. Di ruangan itu, ia dikelilingi elit lingkar dalam Teuku Umar, antara lain Pramono Anung, Prananda dan Puan (lagi selfie ), Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Nasional/KaBIN). Menyindir wartawan Saya baru pertama kali melihat Mega semurka itu di depan publik. Yang sering saya saksikan, sebatas hanya sindiran ke berbagai pihak. Tidak terkecuali kepada wartawan atau pers. Dulu, Mega pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang kawan wartawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. Puluhan tahun lalu, saya pernah ngobrol dengan Sukmawati, adik Megawati, di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Mega yang sebenarnya pendiam. “Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau memimpin partai,” kata Sukma. Waktu itu Megawati belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Tetapi sudah terjud ke dunia politik, walau elum lama. Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin berulangkali saya putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak. Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal. Pilpres 2024 merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari trah Soekarno. Benar, PDI-P telah berhasil mengantarkan kader PDI-P yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P inginkan. Jokowi bukan pendiri partai tersebut dan bukan trah Soekarno. Mega sudah merasakan kesulitan \"mengendalikan\" kader yang bukan trah Soekarno yang menjadi Presiden RI. Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi dia kerap berbuat \"seperti anak nakal\" tidak menurut Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Banyak persoalan lagi. Sejak reformasi, baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. \"Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam,\" ujar Asep. Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion , yang berarti tanda. Ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18). Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata tetapi, tidak bisa dengan ekspresi wajah. Alasannya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin Anda kontrol sebelumnya. Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda jika diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula. Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam. Sayang sekali. Mega mungkin lebih tepat me- replay kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo justru akan bisa mengantarkannya ke istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI. Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu \"banyak muka\" dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang tidak mendapat keadilan.
Efek Puan dan Ganjar, Adu Kuat Megawati vs Jokowi
Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN BEREDAR narasi di medsos seperti berikut ketika berlangsungnya Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2022. “Kok melas banget yaaa? Malah dia yg hrs menghadap. Emaaaak. Udah menghadap kursinya yg diduduki gak layak untuk seorang kepala negara. Emaaaknya duduk di kursi lebih waaah. Dan menghadap meja besarnya”. “Bentuk lain dari keangkuhan dan kebodohan? Kok bisa perlakukan Presiden, spt staf koorlap sedang menghadap manajer”. Dalam video berdurasi 7 menit yang sudah ditonton 31,2 ribu tayangan itu, tampak sekali Presiden Joko Widodo menghadap Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Tampak pula Ketua DPR RI Puan Maharani disaksikan kakaknya, Prananda Prabowo, sedang mengambil gambar saat Presiden Jokowi menghadap Mega. Dalam narasi yang beredar, video ini diambil sebelum pembukaan Rakernas PDIP tersebut. Entah petuah apa yang disampaikan kepada Jokowi, sayangnya nyaris tidak terdengar suaranya. Namun, jika melihat posisi tempat duduknya, layaknya seorang anak buah yang sedang menghadap The Godfather seperti dalam film mafioso. Jokowi tampak gelisah seakan sedang dimarahi Megawati. Sikap Megawati itu baru diketahui ketika Mega menyampaikan pidatonya. Ia bicara keras kepada kader PDIP yang dinilai “menyimpang” dari kebijakan partai. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Tidak salah, peringatan keras itu jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Apalagi, belakangan ini Ganjar memang sibuk bermanuver untuk membangun citranya untuk kepentingan Pilpres 2024 mendatang. Ganjar telah melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Teguran keras Megawati itu tampaknya juga ditujukan kepada Jokowi yang dinilainya bermain di “dua-tiga kaki” dan ikut bermanuver untuk muluskan Ganjar jika manuver tiga periode dan perpanjang masa jabatan presiden itu ternyata gagal total. Untuk mengantisipasi semua, maka Jokowi bersama Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai orang kepercayaannya, menyiapkan Ganjar sebagai “sekoci” Jokowi. Mereka menyiapkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP. Di sisi lainnya pula, Partai NasDem ternyata memasukkan nama Ganjar yang menjadi salah satu dari tiga nama yang bakal diajukan NasDem sebagai calon presiden 2024. Nama Ganjar muncul bersama Gubernur DKI Anies Baswedan dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Mungkin inilah yang dimaksud main di “tiga-kaki” itu. Jurnalis Senior Asyari Usman menggambarkan ceramah pembukaan Rakernas oleh Megawati itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Sekoci darurat ini disiapkan Jokowi untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap Gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bahwa Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Teguran keras Megawati ini masih patut dipertanyakan. Apakah benar ini untuk partai atau pribadi terkait dengan keinginan putrinya, Puan Maharani, yang juga mengincar tiket Capres PDIP itu. Manuver Ganjar ini pula yang menyebabkan perpecahan Banteng dan Celang di Jawa Tengah. Banteng mendukung Puan. Sedangkan Celeng menyokong Ganjar. Untuk meredakan amarah Megawati sebenarnya tidak terlalu sulit. Coba ikuti saran saya. Satukan dua kekuatan PDIP ini: Puan dan Ganjar. Apalagi, PDIP sendiri, jika mengikuti aturan Presidential Threshold 20%, toh bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri tanpa “kerjasama” dengan partai lainnya. Dan, sebagai “petugas partai”, sebaiknya Ganjar mengalah dulu, dia Cawapres dan Puan sebagai Capresnya. Ganjar baru boleh nyapres setelah dua periode Puan jabat presiden. Jadi, Ganjar bisa maju Capres pada Pilpres 2034 nanti. Maka, pada saat itu, tidak akan ada lagi penghalang bagi Ganjar untuk maju Pilpres, karena toh Puan – atas nama Undang-Undang – jabatan Presiden itu dibatasi 2 periode saja. Jadi, Ganjar akan mulus menuju Kursi Presiden. Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Ini agar Ganjar tak “dibajak” oleh NasDem yang sudah memasukkan namanya sebagai salah satu Capres juga berpeluang diusung NasDem pada Pilpres 2024 sebagai Capres. Terkait Ganjar, Asyari Usman menulis, Megawati tidak akan sampai hati jika memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Tidak Pantas Perlakuan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang seolah sedang mengadili Jokowi di dalam “ruang rektor” yang videonya tersebar luas itu, sangat “tidak pantas”. Jabatan Presiden itu tidak identik dengan Jokowi. Sekalipun saat ini kursi itu sedang di tempati oleh “petugas” partai bernama Jokowi, toh faktanya, Jokowi itu adalah Presiden Republik Indonesia yang sah secara hukum. Sejak dilantik MPR, Jokowi itu presiden Rakyat Indonesia. Mungkin ada rasa tidak suka, bahkan benci kepada Jokowi. Tapi, seharusnya Megawati tidak memperlakukan Jokowi seperti layaknya seorang anak buah mafioso yang sedang “diadili” oleh The Godfather PDIP. Sebagai rakyat yang menyaksikan perlakuan atas Presiden Jokowi, tentunya tidak salah kalau kita marah, kecuali kita memang sudah menganggap bahwa kita sudah tidak punya presiden lagi. Artinya, keberadaan Jokowi sudah kita anggap, tidak ada! Ketika menerima Jokowi, seharusnya Megawati menemuinya di sofa yang ada di ruang tamu sehingga posisi duduknya bisa melingkar dan tampak santai. Saat itulah Megawati bisa memberikan petuah jika ada perilaku Jokowi yang dinilainya “salah langkah”. Sebagai sesepuh PDIP, tugas Megawati itu menasehati dan mengayomi semua “petugas” partai. Kalau dia sakit, Megawati harus mengobati. Jabatan Presiden menempati tempat tersendiri. Jabatan presiden silih berganti. Ketika Presiden sedang lupa diri, jangan hanya ditertawai, meskipun terlihat kerjanya hanya menyakiti rakyat dengan beragam kebijakannya. Lepas kendali konstitusi, melepas kebijakan halusinasi yang penuh hanya fantasi. Sehingga, semua larut hanya ikut berimajinasi. Jangan perlakukan nista saat masih ditugasi sebagai Presiden. Jangan merasa tersaingi. Jabatan Presiden harus tetap dihormati. Jangan saling mengunci dan melucutinya. Apalagi dengan rasa iri dan dengki. Jokowi harus tetap didampingi. Sebagai Ketum PDIP, Megawati seharusnya bisa menasehati, saling melengkapi. Bukan apriori, seolah merasa membawahi Jokowi. Melihat kejadian itu semua merasa ngeri. Terkesan Presiden sedang diadili oleh Ketum Parpol. Mawas dirilah dan hormati, jabatan Presiden itu milik negeri. Bukan milik Partai! (*)
Megawati Hajar Jokowi dan Ganjar, Mungkinkah Mereka Diam Saja?
Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bicara keras. Tidak tanggung-tanggung, Bu Mega menyindir dan mempermalukan Presiden Joko Widodo, juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di depan Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, 21 Juni 2022. Mega menceramahi, tepatnya memarahi, Jokowi dan Ganjar. Megawati menghajar kedua “petugas partai” itu terkait dua hal. Pertama, langkah Jokowi menyiapkan kendaraan pilpres untuk Ganjar. Kedua, soal “prime minister” (perdana menteri) Jokowi – dalam hal ini Luhut Binsar Panjaitan. Harus diakui, Bu Mega cukup piawai. Beliau menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi yang telah kenyang dengan pengalaman. Ceramah pembukaan Rakernas itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Kita lihat substansi yang pertama, yaitu langkah Jokowi menyiapkan sekoci darurat untuk Ganjar pada pilpres 2024. Sekoci darurat ini disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bu Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Beliau memperingatkan Jokowi dan Ganjar agar tidak melakukan politik dua-kaki, tiga-kaki, dst. Dia mengancam akan memecat mereka dari PDIP. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Peringtan keras ini jelas tertuju kepada Ganjar. Sejak setahun ini, dia sibuk bermanuver untuk membangun jalan menuju pilpres. Ganjar melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Sedangkan Jokowi –melalui orang kepercayaannya, Luhut Binsar Panjaitan – menyiapkan koalisi beberapa partai politik, yaitu Golkar, PAN, dan PPP. Melalui sejumlah kader PDIP, Megawati memperingatkan agar Jokowi tidak mengusahakan tiga periode atau penundaan pilpres. Masinton Pasaribu, misalnya, langsung menggempur Luhut soal ini. Sedangkan Puan Maharani menyindir Ganjar yang tidak berbuat apa-apa untuk Jawa Tengah. Substansi kedua adalah soal peranan Luhut di pemerintahan. Bu Mega memang tidak menyebutkan secara langsung kekuasaan besar Luhut di kabinet Jokowi. Tetapi, dia mengatakan bahwa pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial. Bukan sistem parlementer. Bu Mega agak kesulitan ketika menggunakan analogi sistem parlementer ini untuk menyindir Luhut. Tetapi, sangat jelas bisa dipahami bahwa Bu Ketua Umum menegur keras Jokowi karena menyerahkan begitu banyak tugas kepada Menko Marinves (Kemaritiman dan Investasi) itu. Bahkan, banyak kekuasaan yang berada di luar lingkup dan keahliannya juga diserahkan kepada Luhut. Dengan peringatan keras dan sindiran tajam tentang penyiapan Ganjar sebagai capres, apakah Jokowi akan diam saja? Dan, apakah Ganjar tidak takut dipecat kalau terus sibuk dengan pilpres? Terkait Jokowi, yang perlu diingat bahwa dia sebetulnya lebih merasa dirinya sebagai “kader oligarki” ketimbang sebagai kader PDIP. Artinya, Jokowi tidak akan berhenti menyiapkan Ganjar untuk pilpres 2024 sampai dia pasti masuk ke Istana. Jokowi sekarang merasa sudah sangat kuat. Bagi dia, peringatan keras Bu Mega itu bisa dijinakkan melalui diskusi-diskusi tertutup tentang sistem moneter, sistem barter, investasi politik, tentang ‘how to make money from power’, atau diskusi mengenai operasi penggantian “kelamin politik” menjadi “kelamin uang”. Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Terkait Ganjar, Bu Mega tidak akan sampai hati memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Jadi, tak diragukan lagi bahwa Jokowi akan jalan terus untuk menyiapkan Ganjar; dan Ganjar akan berkampanye semakin gencar. Medan, 22 Juni 2022. (*)
Kapan Reshuffle Presiden?
Sang presiden baru saja melakukan reshuffle kabinet, sebuah jurus usang menyalahkan kinerja menteri yang notabene sebagai pembantunya. Presiden seperti sedang memainkan lakon, seorang supir yang mabuk dan ugal-ugalan, kemudian menyalahkan kondektur karena kecelakaan pada bis yang dikemudikannya sendiri. Memang kambing hitam, kambing putih ataupun kambing warna lainnya, terbiasa untuk dipelihara, dijual dan dipotong untuk dimakan sendiri atau dikurbankan. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI Belum lama ini presiden melakukan pergantian menteri dan pengangkatan wakil menteri di tengah negara yang terus mengalami kemerosotan ekonomi dan politik. Sayangnya, pemilihan menteri baru itu tidak serta-merta menunjukan sosok yang penuh integritas dan dapat membangun kepercayaan publik. Mengingkari janjinya sendiri, presiden masih mengakomodir representasi partai politik dan mengesankan kebiasaan bagi-bagi kursi jabatan dan kompromi politik sebagai siasat menghadapi pemilu dan pilpres 2024. Presiden tidak hanya menelanjangi diri sendiri, ia juga membongkar aib dari kerumunan gerombolan politik yang berlindung di balik belenggu konstitusi dan tirani kekuasaan. Presiden bahkan tidak mampu melihat realitas di depan mata dan sekelilingnya, mana yang bisa bekerja dan mana yang ngga becus meski sekedar menyandang gelar pejabat. Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presideh seharusnya mampu membedakan mana orang jujur dan baik serta mana orang jahat yang bersemayam dalam istana dan institusi negara lainnya. Mirisnya lagi ketika reshuffle kabinet, menteri barunya selain tidak kompeten dan kapabel, juga dirundung kontoversi dan polemik. Ada menteri yang masih tersandera kasus pidana korupsi, ada juga yang perwakilan partai politik yang elektabilitasnya 0%. Lucunya lagi banyak menteri lama yang masih bertengger di singgasana kabinet, padahal kinerjanya. buruk, disinyalir terseret kasus korupsi dan banyak melakukan distorsi kebijakan yang ikut memperburuk kondisi negara dan bangsa. Terlebih ada seorang menteri yang kekuasaanya melebihi presiden, menjadi menteri segala urusan dan menentukan semua persoalan rakyat. Menteri senior itu masih kuat bertahan dan tak ada siapapun yang dapat mengusiknya. Pada akhirnya publik menilai, antara hubungan presiden dengan menterinya, sangat sumir siapa sesungguhnya yang jadi presiden dan siapa yang jadi pembantunya. Ada seloroh sebagian besar masyarakat, bahwasanya ada menteri yang rasa presiden, ada presiden yang rasa pembantu. Bahkan secara ekstrim ada yang menyebut presiden sebagai boneka atau setidaknya jongos dari kekuatan yang lebih besar, semisal oligarki atau para pemilik modal besar. Dengan tidak adanya korelasi yang signifikan antara pergantian menteri dengan perbaikan kondisi negara dan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan politik, perbaikan kualitas demokrasi, disipin dan keteladanan para pemimpin, tanggap darurat terhadap kesengsaraan dan penderitaan hidup rakyat akibat pandemi serta krisis multi efek yang ditimbulkannya. Membuat rakyat semakin yakin pada satu konklusi terhadap apa yang menyebabkan dan siapa yang paling bertanggungjawab terhadap keterpurukan rakyat, negara dan bangsa selama hampir dua periode ini. Bukan hanya kalangan oposisi, sebagian besar dari dalam lingkar kekuasaan dan irisannya. Belakangan meski tak bersuara nyaring juga sudah mulai gelisah, menjaga jarak dan saling menyalahkan. Ada keengganan untuk melakukan kritik oto kritik dari para menteri dan pejabat lainnya kepada pimpinannya dalam hal ini sang presiden. Entah karena takut tersingkir dan terlempat dari zona nyaman atau takut tak bisa ikut juga menikmati kue kekuasaan yang menggiurkan. Orang disekelilingnya dan para pendukungnya ramai-ramai berjamaah berlaku asal bapak senang (abs) dan menjadi penjilat kekuasaan. Ikut secara sadar dan sukarela membenarkan kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan presiden. Kalau sudah seorang presiden yang menjadi sumber dan akar masalah pemerintahan, negara dan bangsa. Maka semua masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk dan menggunung, akan menjadi krisis yang terstruktur, sistematik dan masif. Rakyat akam menanggung semua bebannnya dan negara bangsa telah berada diambang kehancuran. Tidak ada pilihan lain dan tak ada solusi kongkrit untuk menyelamatkan Indonesia dan generasi masa depannya, kecuali kemauan dan keberanian rakyatnya sendiri. Tentunya sambil melakukan refleksi dan evaluasi perjalanan kebangsaan selamai ini. Seluruh kompomen rakyat selayaknya mulai menyadari dan mengingatkan kapan berlangsungnya reshuffle presiden? (*)
Piagam Jakarta adalah Kompromi Bangsa
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERJADI perdebatan gagasan mengenai dasar negara dalam Sidang BPUPKI 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Kutub besarnya adalah antara konsepsi dasar negara Islam dengan konsepsi netral atau kebangsaan. Sebutan mudahnya antara kubu agamis dengan kubu kebangsaan. Solusi BPUPKI adalah membentuk panitia kecil untuk merumuskan dasar negara yang belum final dan menjadikan dokumen itu sebagai teks proklamasi. 1 Juni adalah hari lahirnya panitia kecil. Sidang BPUPKI ditutup untuk mempersilahkan panitia kecil bekerja. Komposisi panitia kecil berjumlah 9 (sembilan) orang itu dari kubu agamis (Islam) 4 orang yaitu Prof. A Kahar Muzakir, SH, Abikusno Tjokrosujoso, KH Wahid Hasyim, dan H Agus Salim. Sedangkan kubu kebangsaan juga 4 orang yaitu Ir. Soekarno, Drs Moh Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Mr Moh Yamin. Satu orang Kristen yaitu Mr. A.A Maramis. Pada tanggal 22 Juni 1945 panitia kecil yang dikenal sebagai Panitia Sembilan tuntas menunaikan tugasnya. Hasil konsensus dengan prosedur yang manis ini menghasilkan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Dasar negara adalah sebagaimana rumusan Pancasila saat ini. Hanya sila pertama berbunyi \"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari\'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya\". Prof Soepomo menyebut konsensus itu sebagai \"Perjanjian Luhur\" sedangkan Dr. Sukiman menyebutnya sebagai \"Gentlemen Agreement\". Rumusan Piagam Jakarta inilah yang diamanatkan sebagai teks proklamasi yang harus dibacakan saat kemerdekaan. Meskipun ada AA Maramis yang beragama Kristen rumusan sila pertama yang ditetapkan 22 Juni 1945 itu tidak dirasakan sebagai masalah. Moh Hatta menulis dalam \"Mohammad Hatta : Memoir\" bahwa \"Mr Maramis.. tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah diskriminasi\". Akhirnya dalam Sidang PPKI 18 Agustus 1945 sebagaimana diketahui \"tujuh kata\" sila pertama Pancasila itu dihapus. Dengan proses penghapusan yang juga alot dan dramatis bahkan mungkin kontroversial. Namun kubu Islam akhirnya memahami dan dapat menerima \"Ketuhanan Yang Maha Esa\". Pancasila adalah hadiah dari umat Islam. Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 telah dinyatakan final sebagai \"konsensus kedua\" setelah 22 Juni 1945. Bangsa Indonesia berpedoman pada rumusan akhir ini. Masalahnya adalah adapula yang mencoba menarik ke area beda pandangan atau konflik masa lalu yaitu dengan adanya penetapan 1Juni sebagai \"hari lahir Pancasila\" bahkan melalui Keputusan Presiden segala. Hal ini bertautan dengan upaya melemahkan makna Pancasila 18 Agustus 1945 khususnya dalam kaitan dengan sejarah dan peran umat Islam. Adalah \"bid\'ah politik\" mengangkat 1 Juni dengan melupakan 22 Juni. Hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945 masih pro dan kontra. Jika kubu \"kebangsaan\" mendeklarasikan 1Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila, maka kubu \"Islam\" wajib untuk mendeklarasikan 22 Juni 1945 sehagai hari lahirnya Pancasila. Piagam Jakarta adalah kompromi bangsa. Umat Islam sudah dapat menerima untuk menyelesaikan konflik pandangan dengan menyepakati hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Akan tetapi jika tetap dipaksakan bahwa lahir dan makna dinisbahkan pada Pancasila 1 Juni 1945, maka umat Islam wajar untuk kembali pada lahir dan makna Pancasila 22 Juni 1945. Dekrit Presiden Ir. Soekarno 5 Juli 1959 menyatakan : \"Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut\" Remember Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Bandung, 22 Juni 2022