Wajah Politisi Dadu Sintir
Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi.
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih
ARTI kata dadu sintir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dadu pusing. Bawah permukaan dadu diberi tangkai untuk memutar (sintir). Kalau dadu sudah beputar di atas piring, baru ditutup tempurung. Itulah gambaran partai sekarang ini. Dengan kata lain, partai-partai harus terus-menerus berputar tetapi tetap dalam tempurung yang dimainkan oleh bandar Politik Oligarki.
Bandar politik oligarki memang canggih dan licik. Hampir semua partai dipaksa harus masuk dan mau bermain dadu Politik Sintir. Pertarungan yang seolah-olah heroik berpacu taktis dan strategi untuk meraih kemenangan pada Pilpres 2024, sibuk luar biasa beradu cerdas membuat koalisi, membidik dan menjaring capres.
Mereka sadar bahwa dalam politik ada dalam pertaruhan menang atau kalah. Menang berarti untung, kalah berarti buntung, atau menang berarti kondang dan kalah harus menanggung wirang. Tetapi mereka tidak sadar semua seperti bebek lumpuh dalam kendali remot Bandar Oligarki.
Wajah perpolitikan di Indonesia, sangat buram bahkan hitam pekat - tidak seindah layaknya partai harus berjuang memenangkan Pilpres dengan kesatria dalam alam demokrasi yang wajar. Hampir semua partai terperangkap permainan politik dadu Bandar Politik.
Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi.
Di samping terperangkap finansial dari Oligarki, sebagian partai gurem buka lapak menawarkan sewa partainya kepada para Capres dengan harga Rp 1 triliun, belum termasuk biaya operasional. Saat pilpres berlangsung mereka semua berada di belakang layar tidur semua.
Dalam kondisi kesurupan partai dan para politisi membentuk koalisi dan capres kesana-kemari tanpa akal sehat, itu ciri politisi amatiran tak punya disiplin berpikir. Sesungguhnya politisi dituntut disiplin, memahami perilaku politik dan mutlak harus memiliki kepekaan memahami sinyalnya dengan akurasi tinggi. Kalau tidak, berarti cuma muter-muter macam dadu sintir.
Dalam kajian komunikasi politik dikatakan, "Inti pesan komunikasi sering berada pada pernyataan yang tidak diungkapkan". Tipu sana-sini sesuai nafsu politik hitamnya, menyihir masyarakat agar bisa menjadi pengikutnya.
Rakyat dibuat ribet dengan tingkah laku politisi. Seolah merasa hebat tak ubahnya wajah partai dan para politisi di negeri ini seperti pelaku dadu sintir yang sedang dikendalikan oleh para bandar politik.
Benar yang dikatakan Bung Hersubeno Arief, wartawan senior FNN bahwa: "Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan".
"Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya hanya sebaga jongos dibayar murah oleh oligarki". (*)