Saya Belum Pernah Lihat Mega Semurka Itu

ilham Bintang. Foto: (FNN/Istimewa).

Dulu, Mega  pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang  kawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. 

Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat 

SAYA belun pernah  melihat Megawati semurka itu. Kasihan! 

Padahal, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) harusnya Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P). Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmat Allah. 

Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu  dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei  tetap  menempatkan PDI-P pada posisi tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK. 

Hasil survei Litbang Kompas teranyar yang baru kemarin diumumkan, bukan hanya masih  di puncak, tetapi PDIP mengalami kenaikan persentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah. 

Kurang apa lagi? Gelar doktor dan professor kehormatan pun sudah diraih. 

Coba lihat video pendek yang (dengan sengaja diedarkan) merekam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Selasa 21 Junk 2022, pas ayahanda Kaesang dan Gibran itu berulangtahun ke 61. Video itu kini viral. Semakin menyempurnakan berkah kenikmatan yang diperoleh Megawati di usia tigaperempat abad. 

Mega menerima Jokowi di ruang kerjanya. Meja kerja Mega membatasi keduanya dengan posisi presiden menghadap di depannya. Tidak beda dengan posisi Ratu Inggris ketika menerima perdana menterinya menghadap, seperti biasa kita tonton di film. 

Lihat juga Puan Maharani. Kita bisa komen, enak benar hidup Puan. Dia tampak leluasa membuat video selfie yang merekam pertemuan ibunya dengan Presiden Jokowi tanpa pengawalan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden). 

Puan sangat istimewa dalam peristiwa istimewa itu.  Puan seperti cucu kita yang tetiba  datang bermain mobil-mobilan remote control di ruangan saat kita berbincang serius dengan tamu. Siapa kira- kira yang berani menegur cucu seperti itu?

" Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)? " Demikian Allah berfirman dalam surat Ar Rahman yang diulang sampai 31 kali.

Ekspresi Marah

Dengan setting pertemuan yang divideokan itu, wajar kita terkejut menyaksikan Megawati sesudahnya, di hari yang sama, saat  berpidato  di dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P.  Ia seperti banteng terluka mengancam menyeruduk siapa saja yang dinilai mengganggu dan merintanginya. 

Dalam potongan pidatonya yang beredar luas, Megawati menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. Video itu  fokus mengambarkan kemurkaannya. Tidak jelas siapa yang mengedarkan video yang berpotensi jadi bumerang itu. 

"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati! Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver," kata  Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama, tetapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju.,

"Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out !," sambungnya dalam tone sama lantangnya. 

Kontras dengan kenyamanan yang ditampakkan Mega ketika menerima Jokowi. Di ruangan itu, ia dikelilingi elit  lingkar dalam Teuku Umar, antara lain Pramono Anung, Prananda dan Puan (lagi selfie ), Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Nasional/KaBIN).

Menyindir wartawan

Saya baru pertama kali melihat Mega semurka itu di depan publik. Yang sering saya saksikan, sebatas hanya sindiran ke berbagai pihak. Tidak  terkecuali kepada wartawan atau pers. 

Dulu, Mega  pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang  kawan wartawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan.

Puluhan tahun lalu, saya  pernah ngobrol dengan Sukmawati, adik Megawati, di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Mega yang sebenarnya pendiam. 

“Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau  memimpin partai,” kata Sukma. 

Waktu itu Megawati belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Tetapi sudah terjud ke dunia politik, walau elum lama. 

Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin berulangkali saya putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak. 

Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal.  Pilpres 2024 merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari trah Soekarno. 

Benar,  PDI-P telah berhasil mengantarkan  kader PDI-P  yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P inginkan. Jokowi  bukan pendiri partai tersebut dan bukan trah Soekarno.  Mega  sudah merasakan kesulitan "mengendalikan" kader yang bukan trah Soekarno yang menjadi Presiden RI. 

Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi  dia kerap berbuat "seperti anak nakal" tidak menurut  Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Banyak persoalan lagi. 

Sejak reformasi,  baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. "Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam," ujar Asep.

Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion , yang berarti tanda.  Ilmu yang  mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18). 

Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata tetapi, tidak bisa dengan ekspresi wajah. Alasannya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin Anda kontrol sebelumnya. Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda jika diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula. 

Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam. 

Sayang sekali. Mega mungkin lebih tepat me- replay kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo justru akan bisa mengantarkannya  ke istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI. 

Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu "banyak muka" dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang  tidak mendapat keadilan.

406

Related Post