Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita.

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

(Pidato Kebangsaan Ketua DPD RI Diskusi Publik Komite Peduli Indonesia Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan Bandung, 26 Juni 2022)

SAYA sampaikan terima kasih kepada Komite Peduli Indonesia (KPI), yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara Diskusi Publik Kebangsaan yang diselenggarakan hari ini.

Tema yang diangkat cukup menarik. “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan”. Ini kalau dalam kalimat yang lebih singkat, padat dan jelas adalah; “Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!”

Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kalau kedaulatan ada di tangan rakyat.

Tetapi hari ini kita menyaksikan kesibukan ketua umum Partai Politik melakukan rapat-rapat terbatas. Pertemuan-pertemuan tertutup. Untuk membangun koalisi. Untuk menyiapkan pergantian pemimpin nasional. Dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan ini hanya menjadi penonton.

Mengapa ini semua bisa terjadi? Karena memang kita sebagai bangsa telah memberikan kewenangan penuh kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sejak kapan itu terjadi? Sejak kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.

Karena sejak saat itulah, kita sudah meninggalkan sistem Demokrasi Permusyawaratan. Dimana kedaulatan rakyat ada di Lembaga tertinggi.

Yang posisinya equal dengan DPR sebagai representasi Partai Politik. Karena di situ ada Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas.

Saya tidak mengatakan bahwa perilaku politik yang terjadi di era Orde Baru adalah baik. Tetapi sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa ini, adalah sistem yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kita memang wajib untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Termasuk pembatasan masa jabatan presiden. Dan penyempurnaan itu harus dilakukan melalui Adendum. Bukan mengganti sistem secara total.

Di sinilah inti dari problem fundamental bangsa ini. Karena dari penelitian akademik yang dilakukan oleh Profesor Kaelan dari UGM, Konstitusi hasil amandemen 20 tahun yang lalu itu, sudah bukan lagi konstitusi yang lahir dari semangat Proklamasi. Bahkan disebut oleh Profesor Kaelan bahwa Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu sudah tidak ada.

Akibatnya Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik.

Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial.

Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Bukan partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945.

Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat.

Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat dan Mamur.

Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa.

Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya.

Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu melemahkan perjuangan tersebut.

Sehingga harapan para pendiri bangsa agar tumbuh generasi yang lebih sempurna tidak terwujud. Karena hari ini yang tumbuh subur adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka.

Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya.

Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini.

Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi dari sini harus kita awali; Rakyat Juga Menyusun Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan Indonesia yang lebih baik.

Sebelum mengakhiri pidato ini, saya ingin sampaikan, bahwa saya sebagai Ketua DPD RI yang mewakili daerah, saya sudah berkeliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya bertemu langsung dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara.

Saya menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan.

Inilah yang menurut saya persoalan fundamental bangsa ini. Karena tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral. Karena penyebabnya ada di hulu. Bukan di hilir. Yaitu negara ini yang semakin menjadi negara yang sekuler, liberal dan kapitalistik.

Karena itu saya harus memutuskan untuk bertindak dan berpijak sebagai Negarawan. Sehingga saya tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral.

Sehingga bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas kepada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja. Tetapi harus lebih fundamental dari itu.

Saya bisa saja egois, dan hanya mendorong penguatan DPD RI melalui gagasan Amandemen berikutnya. Tetapi sebagai negarawan, saya harus adil sejak dalam pikiran. Harus jernih sejak dari hati. Dan harus memadukan Akal, Pikir dan Dzikir.

Karena persoalan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Persoalan ini menyangkut kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Dan persoalan inilah yang menimbulkan ketidakdilan dan kemiskinan struktural. Sehingga menyebabkan negara ini tidak bisa mewujudkan hakikat dari cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sehingga tidak ada pilihan bagi saya, untuk terus mendorong kesadaran seluruh elemen bangsa, bahwa kita harus kembali ke Pancasila. Kita harus kembalikan Konstitusi Negara ini kepada nilai-nilai Pancasila yang tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita.

Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita.

Dengan ciri utama adalah; semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.

Semoga ikhtiar kita untuk melakukan perubahan demi Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Sehingga ketidakadilan yang telah melampaui batas ini dapat kita akhiri dengan satu keyakinan, yaitu; Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! (*)

439

Related Post