Bersatu Kita Runtuh, Bercerai Kita Teguh

Tak ada kata yang lebih pas dan lebih tepat utuk melukiskan Indonesia,  selain dengan sebutan sebagai negara kontradiksi atau paradoks. Dasar negara dan falsafah hidup bangsanya Pancasila, tapi kehidupan rakyatnya ditopang prinsip-prinsip kapitalisme dan komunisme. Konstitusinya pun secara substansi dan esensi, bahkan  telah berubah dari UUD 1945 menjadi UUD 2002, meski secara tersurat masih menggunakan penamaan lama. Sementara NKRI, menjadi seolah-olah  di tengah dominasi kelompok minoritas, etnis tertentu yang berkuasa penuh  dan begitu maraknya dramatisasi  primordialisme, sektarianisme  serta politik identitas.

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI 

SEGELINTIR orang kaya terus bertumbuh dan berkembang.  Di lain sisi kebanyakan rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan. Sumber daya alam yang berlimpah yang dikuasai negara, terlanjur diberikan dengan mudah dan cuma-cuma pada kalangan terbatas. Ada pejabat negara, ada politisi dan ada juga korporasi yang menikmati fasilitas dan aset negara secara berlebihan. Mereka semua yang secara perlahan namun cepat, telah menjadi mioritas yang menguasai mayoritas. Meniadi predator kecil yang mampu menerkam mangsa yang besar. Kekuatan oligarki dengan segala persekongkolannya dengan aparatur pemerintahan, secara terstruktur, sistematik, dan konstitusional berhasil menjadi kolonialis baru bagi rakyat, negara dan bangsa  Indonesia.

Prose penyelengaraan negara mutlak dirasuki praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hukum telah menjadi senjata efektif dan mematikan bagi orang-orang berpengaruh. Membutan luka yang menyayat bagi rakyat jelata menjadi obat yang menyembuhkan bagi sakitnya para kelompok lingkar kekuasaan.  Jabatan dan harta telah menjelma menjadi agama baru, disembah dan menghadirkan ritual yang membunuh kemanusiaan. Politik diterjemahkan secara kotor dan keji sebatas siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Siapa yang menang dan  siapa yang dikalahkan, juga siapa yang memangsa dan siapa yang dikorbankan.

Soal ekonomi, seperti perlombaan merebut sumber daya  makanan dan enegi, harus ada monopoli pasar yang berhak menentukan mana yang harus disuplai dan mana yang boleh ditelantarkan. Siapa saja yang boleh dipertahankan hidup sebagai manusia dan siapa saja yang wajar  harus mati layaknya binatang. Realitas obyektif suatu negara bangsa dimana hanya ada keuangan yang maha kuasa.

Betapa mengerikan kehidupan rakyat yang menyerahkan jiwa raga sepenuhnya kepada yang memiliki otoritasa negara. Sepanjang sejarah dan peradabannya, rakyat utamanya yang kecl-kecil dan berada di pinggiran, akan selalu menjadi budak dan korban eksploitasi. Menjadi orang-orang tertindas dan teraniaya, dari jaman kuno hingga jaman modern. Dari kebijakan sistem dan perilaku bangsa asing maupun oleh bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus rela  dan ikhlas,  menjadi babu di negara lain dan menjadi jongos di negeri sendiri. Hidup sebagai bangsa yang begitu berlimpah kewajibannya namun cekak haknya sebagai warga negara.

Kalau sudah begini dan kejadiannya seperti itu, rakyat  negara dan bangsa Indonesia mau apa lagi dan bisa bikin apalagi?.

Kemana perginya cita-cita proklamasi yang didengungkan para pendiri bangsa tentang kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas?.

Lalu bagaimana dengan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang dijamin konstitusi?. 

Kemudian bagaimana juga dengan persatuan dan kesatuan bangsa, tentang gotong-royong, dan soal-soal keadilan yang ada pada manisnya slogan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI?.

Kemana semua narasi dan jargon-jargon nasionalisme serta patriotisme yang  begitu memesona dan menggugah?. Di mana letak  tersembunyi kemanusiaan dan Ketuhanan  di negeri yang katanya religius?. Tampaknya, bangsa ini tak bisa lagi berhubungan mesra dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena begitu intim dan dalamnya merasakan kehangatan dan kenkimatan  liberalisasi dan sekulerisasi. Begitupun juga  kultur dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama tenggelam, terseret arus deras degradasi dan disintegrasi  sosial. Rakyat begitu mengabaikan  nilai-nilai ideal  dan terasa nyaman menikmati yang tidak ideal. Mungkin individualitas dan egosentris yang telah berkembangbiak lebih subur dalam negara yang masyarakatnya sarat spiritualitas. Boleh jadi yang perlu diprioritaskan selama ini berupa *'terserah gue dan yang penting gue selamat'*, telah menjadi nilai-nilai massal dalam masyarakat Indonesia. Hidup berkumpul dalam komuitas besar republik, namun mengambil lakon hidup masing-masing tanpa keharmonisan dan keselarasan.

Terlanjur sayang dan larut dalam mabuknya suasana bersatu kita runtuh bercerai kita teguh.  Seakan membawa kenangan polemik klasik saat awal kelahirannya, Republik Indonesia lebih tepat sebagai negara kesatuan atau negara federalis?.

Munjul-Cibubur, 27 Juni 2022.

309

Related Post