Piagam Jakarta: Kesepakatan Agung Yang Dikhianati
Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan supaya hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
AMANDEMEN ugal-ugalan atas UUD 1945 sebagai kudeta konstitusi adalah pengkhianatan atas kesepakatan langit para pendiri bangsa ini.
Akibat dari pengkhianatan itu kini berbuah adanya deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang berpuncak pada pemusatan sumberdaya politik pada segelintir elit partai politik dan sumberdaya ekonomi pada segelintir taipan.
Berbagai mal-administrasi publik terjadi, termasuk dengan memanfaatkan situasi pandemi, sehingga lahir berbagai regulasi yang hanya menguntungkan oligarki politik dan ekonomi tersebut.
Gejala negara gagal yang kini menguat merupakan puncak sikap kufur nikmat yang dipertontonkan oleh para elit yang kemudian ditiru secara masif oleh masyarakat luas.
Pengkhianatan atas kesepakatan para pendiri bangsa dari berbagai golongan dan daerah dalam Piagam Jakarta terus terjadi. Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang sesungguhnya masih berlaku hingga saat ini dengan berbagai cara diabaikan begitu saja oleh para elit penguasa, bahkan dengan secara terbuka menjadikan agama sebagai musuh terbesar Pancasila.
Oleh Prof. Kaelan UGM dikatakan bahwa elit penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila.
Sementara itu kekuatan-kekuatan masyarakat madani dan daerah-daerah otonom terus melemah, bahkan banyak kampus sekarang ini dengan suka cita menjadi bagian dari pembusukan demokrasi, pelemahan gerakan anti-korupsi, dan proses desentralisasi. Agenda reformasi kini berbalik arah menuju ORLA yang jauh lebuh buruk.
Untuk melawan arus balik ini, kekuatan moral mahasiswa ini harus segera dimulai dengan membangkitkan kembali daya kritis mahasiswa di internal kampus bukan hanya dengan demonstrasi di jalan-jalan di luar kampus.
Template kehidupan dangkal pada banyak mahasiswa semacam lulus tepat waktu, meraih predikat cumlaude lalu bekerja di BUMN dan MNC atau menjadi youtubers telah melemahkan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Sebagian besar koruptor adalah alumni perguruan tinggi terkenal dengan kualifikasi magister.
Setelah berhasil mengubur Pancasila di bawah kaki mereka sendiri, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal terus-menerus menuduh Islam sebagai musuh Pancasila, intoleran, bahkan anti-NKRI.
Sambil terus mempropagandakan agenda sekulerisasi mereka, yang terakhir soal LGBT, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal tersebut menabuh genderang Islamophobia, sehingga ummat Islam semakin terbungkam untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam secara bebas dan terbuka.
Tuduhan politik identitas bahkan telah disematkan oleh elit parpol berkuasa untuk mematikan politik Islam sebagai imajinasi politik baru.
Model pengelolaan pemerintahan Islam alternatif perlu diwacanakan secara akademik dan lebih luas agar menjadi opsi yang wajar saat negara terjebak hutang yang makin menggunung, kesenjangan spasial yang meluas, dan juga ketimpangan ekonomi yang memburuk, serta kedaulatan negara yang telah menghilang. Dinamika global dan regional telah menyeret Republik ini menjadi hanya sekedar negeri satelit Amerika atau China.
Rangkaian Pemilu yang dibanggakan sebagai “praktek demokrasi terbesar ke-4 di dunia”, bahkan “Islam terbukti compatible dengan demokrasi” telah pula mengalami devolusi.
Pemilu makin terbukti hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan para elit politik yang disokong para taipan, bukan sebagai platform rekrutmen pejabat publik yang dapat dipercaya untuk bekerja bagi kepentingan publik.
Dengan ongkos yang makin mahal, Pemilu telah dijadikan sebagai instrumen net transfer hak-hak politik rakyat pada partai-partai politik yang kemudian hampir secara sengaja tidak disalurkan ke Parlemen untuk diperjuangkan bagi kepentingan publik.
Tanpa Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya, prosedur pemungutan dan rekapitulasi yang rumit dan rentan manipulasi, sering terjadi praktek jual-beli suara siluman antara peserta Pemilu dengan oknum penyelenggara Pemilu.
Pemilu langsung pejabat publik terutama Presiden di negara kepulauan yang bentang alam seluas Eropa ini adalah sebuah praktek demokrasi yang paling muskil di seantero planet ini.
Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan supaya hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik.
Piagam Jakarta menunjukkan bahwa Umat Islam adalah pemilik sah Republik ini yang bersama unsur-unsur bangsa yang lain harus bekerjasama untuk menyelamatkan dan membela NKRI dari proxy and neo-cortex war kekuatan-kekuatan nekolimik.
Sumberdaya spiritual dan kultural pesantren perlu diperkuat justru pada saat sistem pendidikan nasional makin dimonopoli secara radikal oleh sistem persekolahan massal paksa yang dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik penyediaan buruh trampil murah, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
Berbagai upaya untuk "menyekolahkan" pesantren perlu diwaspadai karena akan mengancam kemandirian pesantren sebagai benteng terakhir simpul-simpul sumberdaya spiritual dan kultural ummat Islam.
Gunung Anyar, 20 Juni 2022. (*)