Masih Adakah Masa Depan Islam di Indonesia?

Stop penindasan terhadap Islam.

Dan terakhr, bangsa Indonesia punya falsafah hidup Pancasila dimana sila pertamanya adalah bermakna ketegasan nilai Tauhid. Yaitu Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Dimana konsepsi Pancasila yang notabonenya adalah kristalisasi nilai-nilai Islam juga menjadi pintu pemersatu Nusantara yang majemuk. Keberagaman nusantara adalah miniatur keberagaman dunia saat ini.

Oleh: R. Baskoro Hutagalung, Forum Diaspora Indonesia

MENARIK membaca berita mainstream (Babenews, Kumparan, Detik.Com) yang memberitakan tentang pengepungan 10 jam rumah artis kontroversial Nikita Mirzani oleh anggota Polres Serang, yang kemudian pulang dengan tangan hampa.

Mengapa berita ini menarik khususnya bagi ummat Islam? Karena tampak sekali perbedaan perlakuan ketika aparat penegak hukum berurusan dengan kelompok Islam.

Seperti penangkapan paksa terhadap ex Sekjend FPI Munarman, Habieb Rizieq Shihab, Gus Nur, Ustad Alfian Tanjung, (Alm) Ustad Maheer, dan terakhir kelompok Ormas Khilafatul Muslimin. Belum lagi kalau kita bicara tentang tragedi KM50, Sutoyo Cs, yang “dibunuh” di tempat tanpa pengadilan.

Jawaban secara alibi hukum tentu akan ada saja diada-adakan oleh aparat penegak hukum kita. Apakah itu mereka karena menggunakan pasal terorisme, keamanan negara, atau karena ini kasus “extra ordinary” atau mungkin saja karena upaya perlawanan sehingga aparat penegak hukum mengambil langkah “tegas terukur” dimana maksud dan pengertiannya hanya mereka yang paham.

Artinya, kita melihat sebuah sketsa buram dan menyedihkan bagi nasib kelompok Islam saat ini di Indonesia. Dicap sebagai kelompok mayoritas, dikunci dengan stigma radikalisme dan intoleran, tetapi dalam kenyataan kehidupan sosial justru mendapatkan perlakuan diskriminasi dan intimidasi serta pengekangan dalam menjalankan syariat agamanya yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi UUD 1945 pasal 29 (ayat) 2 yang berbunyi, “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menjalankan agama dan kepercayaannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”.

Tapi yang kita saksikan hari ini adalah ketika pemeluk agama lain melakukan tindak kejahatan, tidak pernah dikaitkan dengan agama yang dianutnya. Tapi berbeda apabila yang melakukan tindak kejahatan dari agama Islam, langsung dikaitkan dengan agama dan ibadahnya.

Ketika pemeluk agama lain, atau ummat Islam itu sendiripun menggunakan pakaian yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau gaya baru dari luar, maka akan dianggap sebagai sebuah ekspresi kebebasan dalam HAM (Hak Azazi Manusia).

Namun ketika ummat Islam menggunakan pakaian yang disunnahkan Nabi Muhammad sebagai bahagian ibadah seperti cadar, Jilbab, Ghamis, Celana Cingkrang, Sorban, maka akan dicaci- maki dan distigmakan dengan radikalisme, kadrun, arab, dan bahkan teroris.

Banyak lagi kalau kita mau ungkap dan bahas tentang perlakuan diskriminasi dan intimidasi terhadap kehidupan ummat Islam di Indonesia. Yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hal ini bisa terjadi ? Sedangkan para pemimpin negara ini adalah Islam ? Bahkan wakil presidenya seorang Kiyai dan ulama besar ? Para menterinya juga banyak Islam, tokoh agama, guru besar ? Ditambah lagi, ratusan ribu pesantren, ribuan sekolah Islam, dan mungkin jutaan ulama, ustadz, Kiyai, dengan performance yang luar biasa.

Bahkan, juga banyak yang memiliki Ormas Islam, organisasi kepemudaan, bahkan juga partai politik Islam, para pejabat, aparat TNI-Polri juga Islam, jutaan mesjid dan Mushola, dan terakhir 83 persen penduduk Indonesia yang 270 juta ini adalah Islam. Namun kenapa semua ini bisa terjadi ?? Atau hal ini hanya dirasakan oleh barisan para sakit hati yang mengatasnamakan Islam saja ? Toh bagi kelompok Islam yang lain lagi tak ada merasakan apa-apa, dan tidak ada masalah dengan Islam di Indonesia?

Sekarang mungkin kita baru sadar. Bahwa sebelum rezim ini berkuasa, ummat Islam hidup tenang. Para ulama dan kiyai begitu dihormati. Bahkan ketika ada permasalahan konflik sosial di daerah misalnya, cukup seorang tokoh ulama atau Kiyai menelpon Kapolda atau Kapolres, selesai masalah. Kehidupan sakral beragama begitu dihormati. Tak ada yang saling merecoki. Jauh berbeda dengan sekarang. Semua dibalik, seolah agama jadi sumber masalah kesemrawutan bangsa ini.

Banyak tentunya pertanyaan kritis yang mesti kita jawab hari ini. Bagaimana gambaran nasib ummat Islam saat ini di Tanah Air. Ada yang menganggap lagi kritis dan bermasalah, tetapi ada juga malah sebaliknya. Menganggap bahwa Islam baik-baik saja. Dan menganggap justru Islam dirusak oleh para kelompok radikal dan kadrunisme.

Untuk itulah tulisan ini dibuat mencoba mengurai dan mendiferensiasikan semua agar kita jernih mengamatinya.

Pertama. Yang paling krusial terjadi terhadap ummat Islam itu sendiri adalah perpecahan dari internal Islam itu sendiri. Dan perpecahan ini sudah terjadi sejak zaman para Khalifah Urassyiddin. Dimana perpecahan yang awalnya hanya perbedaan pendapat terhadap kepemimpinan, lalu meluas dan melebar sampai kepada aliran, mahzab, dan manhaj (methode) dalam berdakwah.

Kedua. Perpecahan dan perbedaan ini yang kemudian dalam konteks Nusantara diteliti, diterjemahkan, dan dimodifikasi oleh seorang sosiolog dan missionaris Belanda bernama Snouck Ugronje kedalam bentuk menjadikan Islam ke dalam tiga kelompok yaitu ; Islam kelompok Ibadah, Islam Kelompok Ekonomi, dan Islam kelompok Politik.

Sehingga sejak pemerintahan Belanda telah terjadi kooptasi, apabila ber-Islam hanya untuk ibadah saja maka akan dibiarkan. Apalagi kalau ajaran Islamnya menjauhi dunia maka akan dijaga. Tetapi kalau ber-Islam nya mulai masuk wilayah ekonomi dan politik, maka akan dihabisi.

Ketiga. Polarisasi Islam ini semakin mengkristal setelah dilaksanakannya Pemilu pertama pada juli 1955. Hasil pemilu pertama dalam sejarah politik Indonesia ini, secara rinci membagi-bagi dan memetakan secara jelas basis-basis masyarakat berdasarkan pilihan partainya. Khususnya bagi kelompok Islam.

Akan terlihat masa yg basis NU, basis Muhammadiyah, Masyumi, Perti, kelompok Nasionalis hingga Komunis. Dan juga mana yang abu-abu tradisional.

Keempat. Kondisi geopolitik global pasca perang dunia I dan II, sehingga runtuhnya Kekhalifahan Utsmani pada tahun 1924 juga sangat berpengaruh terhadap perjalanan Islam di Nusantara. Ibarat anak ayam yang lepas dari induknya. Karena dalam catatan sejarah, banyak kesulthanan di Nusantara yang menjadi protektoratnya Kekhalifahan Utsmani (Salim A Fillah 2018).

Kelima. Munculnya barat sebagai pemenang perang dunia ke-dua, lalu membangun tatanan dunia baru yang kita kenal dengan istilah “the new world order”. Tentu banyak belajar dengan masa lalunya. Yaitu bagaimana mempertahankan hegemoni kekuasaan tatanan dunia baru yang mereka buat selama-lamanya.

Sedangkan dalam fakta sejarah, ada satu kekuatan global dunia yang paling mereka takutkan, yaitu kekuatan global Islam. Karena kekuatan global Islam dalam system Khilafah pernah juga berkuasa selama 1333 tahun lamanya dan menguasai 1/3 bumi secara bertahap dalam 6 masa ke khalifahan hingga terakhir Kekhalifahan Utsmani Ottoman Turkey runtuh 1924.

Keenam. Kekuatan global yang saat ini dikuasai barat, mulai memainkan politik devide et impera (pecah belah adu domba), dengan melakukan operasi perang pemikiran (Ghouzul Fikri) terhadap ummat Islam. Mempelajari sendi-sendi kelemahan Ummat Islam lalu mengadu domba dengan cara memecah belah Ummat Islam ke dalam bentuk aliran ibadah, manhaj dakwah, dan liberalisme pemikiran. Sehingga akhirnya saat ini Islam terpecah belah.

Pintu dari pecah belah ummat Islam ini sangat efektif dilakukan melalui era kolonialisasi (Penjajahan). Membagi wilayah kekuasaan Islam yang dulunya satu payung akidah, menjadi terkotak-kotak menjadi negara bangsa (Nation State). Setelah terpecah belah melalui bentuk nasionalisme kenegaraan bukan agama lagi, lalu dipecah lagi melalui aliran-aliran ibadah, mahzab, harokah, manhaj dakwah, dan keorganisasian. Dimana akhirnya masing-masing aliran ini terjebak kepada ego sekterian alirannya.

Ketujuh. Dan yang paling berbahaya dari keterpecahbelahan aliran sekterian dalam Islam itu adalah upaya sekulerisasi dan liberalisasi Islam. Yaitu sebuah pemikiran bagaimana memisahkan kehidupan dengan ajaran agama Islam. Agama hanya untuk ritual ibadah private semata. Sedangkan tentang kehidupan sosial-politik-ekonomi- budaya dan pemerintahan tunduk pada hasil pikiran manusia.

Makanya tidak heran saat ini di Indonesia lagi tumbuh suburnya kelompok yang mengatas namakan pemeluk agama Islam, tetapi sering melecehkan bahkan bangga memperolok-olok ajaran dan simbol Islam.

Kedelapan. Kondisi keterpecahanbelahan ummat Islam di Indonesia ini diperburuk lagi dengan berhasilnya “perang pemikiran” sejak zaman kolonial oleh para musuh Islam, agar ummat Islam tidak melek politik. Menjauhi politik, dan menganggap politik kekuasaan itu kotor dan agama itu suci.

Hasil perang pemikiran destruktif terhadap ummat Islam itulah yang menjadi malapetaka bagi ummat Islam Indonesia saat ini. Dimana ketika kekuasaan politik dijauhi, maka diambil alih oleh kelompok Islam yang terafiliasi dengan kelompok Islam liberal-sekuler-syiah dan Islam opportunis.

Jadi jangan heran, perlakuan pemerintah terhadap ummat Islam saat ini banyak yang kontroversial dan menyakiti ummat Islam. Karena bagi penguasa hari ini didominasi oleh kelompok Islam yang secara pemikiran liberal dan sekuler. Bahkan ada juga disusupi Syiah.

Kesembilan. Yang menjadi masalah juga bagi ummat Islam itu sendiri adalah, penyakit “Wahn”. Yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Karena kalau kita semua ummat Islam Indonesia ini jujur. Tak ada alasan, saat ini Islam babak belur dikriminalisasi oleh kelompok liberal-sekuler tersebut. Ini bisa terjadi karena Ummat Islam itu sendiri yang lemah, tidak kompak, dan sibuk dengan kehidupan duniawinya sendiri.

Berdiam diri dengan kemungkaran yang jelas terjadi di depan matanya. Membiarkan saja para pejuang Islam, ulama, aktifis dikriminalisasi di depan hidungnya. Dan menutup mata atau juga “pengecut” melihat segala kemungkaran dan kesewenang-wenangan yang terjadi.

Kesepuluh. Dalam konteks politik Indonesia. Keterbelahan ini juga yang dimanfaatkan oleh penguasa rezim hari ini untuk menutupi kegagalan-kerusakan roda pemerintahan. Yaitu, membagi kelompok Islam fundamentalis menjadi kelompok radikal kanan yang jadi musuh utama bersama pemerintah bersama kelompok radikal kiri dan kelompok tengah (opportunis-nasionalis).

Karena rezim ini tahu, watak perilaku kelompok radikal kanan yang gemar bernahi munkar akan jadi ancaman bagi kekuasaannya yang di belakangnya adalah oligarkhi.

Jadi untuk membendung dan menghadapi kelompok radikal kanan ini, maka pemerintah “memelihara” kelompok radikal kiri dan memanfaatkan tangan kekuasaan untuk menghabisi setiap gerak langkah kelompok radikal kanan tanpa ampun.

Mana kelompok yang ikut, manut, patuh pada pemerintah akan aman dan diamankan. Mana yang bandel dan “sok-sok”an kritis dan menentang kepentingan oligarki melalui pemerintahan, maka akan disikat dengan berbagai cara.

Dari sepuluh bahasan di atas, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa kita mesti instropeksi dan jujur. Bahwa keterpurukan peran ummat Islam yang istiqomah (fundamentalis) saat ini juga adalah tak lain berawal dari internal kita sendiri. Sudah saatnya kita mulai perbaiki dari niat, keikhlasan, ilmu pengetahuan (hikmah yang hilang), ghiroh (semangat), fikroh (ruang pikir), dan aljuhdu (kesungguh-sungguhan), tajjarud dan tahadud (totalitas dan pengorbanan) dalam membangun sebuah gerakan ukuwah (persatuan).

Tentu juga ini sesuatu yang tidak mudah. Tapi ini adalah sebuah keharusan. Karena pertolongan Allah SWT itu akan datang apabila ada “assbab” (penyebab/alasan) hasil ikhtiar kita semua. Dan kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di Nusantara harus yakin dan optimis dengan segala potensi yang kita punya.

Bangsa Nusantara punya sejarah kegemilangan nenek moyang yang menguasai Asia Tenggara, dimana kalau secara luas itu melebihi luas kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Selanjutnya bangsa ini juga mempunyai modal sosial dan modal sumber daya alam yang melimpah. Dimana justru potensi ini akan bisa menjadi pintu bangsa Indonesia menjadi negara Super Power baru dunia.

Dan terakhr, bangsa Indonesia punya falsafah hidup Pancasila dimana sila pertamanya adalah bermakna ketegasan nilai Tauhid. Yaitu Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Dimana konsepsi Pancasila yang notabonenya adalah kristalisasi nilai-nilai Islam juga menjadi pintu pemersatu Nusantara yang majemuk. Keberagaman nusantara adalah miniatur keberagaman dunia saat ini.

Jadi, kalau kita pahami ini semua. Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, harus merubah mental dan  mindset dari inferior menjadi superior. Secara otomatis, sikap mental ini akan melahirkan semangat (ghiroh), dan Jihad (Kesungguh-sungguhan) dalam mendakwahkan Islam secara kaffah. Tidak kaku, tidak jumud, tidak ego, tapi juga tidak berlebih-lebihan. Insya’ Allah.

Perth-Australia. 16 Juni 2022. (*)

458

Related Post