OPINI
Gambaran Bentuk Gerakan Perubahan
Maka lahirlah poros perubahan semata untuk menyatukan semua kekuatan, menyamakan pikiran, langkah, dan tindakan bersama untuk bergerak secara bersama. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih JOHANN Gottfried Herder merupakan seorang filsuf berkebangsaan Jerman: “percaya bahwa kemajuan sejarah itu tercapai berkat kerjasama antara faktor eksternal dan semangat yang subyektif”. Herder juga berpendapat, “kemajuan sejarah manusia di suatu tempat dan suatu waktu akan terjadi dengan caranya sendiri-sendiri secara alami atau bisa disebut juga sejarah sebagai suatu fenomena alam”. Dalam periode pergerakan, setiap kurun waktu memiliki jiwa pada zamannya sendiri-sendiri. Gambaran situasi di alam kekuasaan Oligarki saat ini sudah sedemikian rupa membutuhkan gerakan rakyat yang benar-benar bergerak melawan situasi kebuntuan yang semua dikendalikan oligarki. Petaka yang terjadi saat ini, masyarakat bawah dan menengah yang terpantau dalam jejaring WA atau keluhan langsung yang kita tangkap itu, mereka terus mengiba, merintih dengan kalimat tolonglah kami, mohon segera… kami tetap berharap... cepatlah bertindak dan bergerak... kami meminta... atasi segera... jangan terlambat... kami sudah menyerah… Mereka pada situasi berharap-harap dan terus dalam penantian lahirnya pemimpin pergerakan yang bisa menggerakkan, menyatukan, dan juga mengkonsolidasikan kekuatan untuk bergerak, melakukan perubahan di Indonesia. Realitas yang terjadi sekarang ini belum ada kekuatan yang bisa menghadapi dan mengatasi kekuatan Oligark yang memang sangat kuat dengan kekuatan strategi dan finansialnya. Bentuk perlawanan masih sebatas artikel dan wacana di media sosial, belum ada tanda tanda terkonsolidasi. Oligarki sangat paham pergerakan masih berserak-serak sebatas ucapan, tak akan bisa muncul karena kekuatan perlawanan dan finansialnya sangatlah terbatas, bahkan sponsor yang mungkin bisa mem-backup, arus keuangan mereka sudah dalam pengawasan oligarki. Apalagi, bank-bank banyak yang dikuasai oligarki. Bahkan, beberapa bank plat merah pun sebagian sahamnya berada dalam kekuasaan Aseng. Akan lebih mudah diketahui, aliran dananya dari siapa. Jadi, kalau ada yang terlibat dalam pergerakan, oligarki bisa langsung bertindak melalui boneka binaan dan asuhannya untuk menjatuhkan siksaaan, ancaman dan bisnis mereka harus di sumbat dan dimatikan. Antar tokoh pergerakan kadang masih muncul saling menjegal satu sama lain, mengkoreksi kelemahan gaya pergerakan lainnya. Pada saat yang bersamaan yang suka mengkoreksi mereka hanya diam di tempatnya. Semestinya saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Bahkan, terlalu banyak para aktivis yang terkena pengakit sindrom, terus- menerus memunculkan bahwa dirinya angkatan ..77-98 – hanya membela dirinya pernah berjuang dan merasa dirinya hebat, dan merasa paling tahu melakukan gerakan, lupa situasinya sudah berubah. Mantan Panglima TNI Jenderal TNI Purn Gatot Nurmantyo pernah menyebut ciri ciri mereka yang yang hanya meminta dan berharap serta memiliki sifat sindrom. Saat ada gerakan riil – akan terjadi – mereka tetap di tempat, pada situasi krisis dan kritis mereka akan lari dari gelanggang. Situasi saat ini butuh kebersamaan, jiwa besar, negarawan dan kesadaran situasinya tidak bisa diatasi secara parsial masing masing merasa bisa dan paling tahu. Maka lahirlah poros perubahan semata untuk menyatukan semua kekuatan, menyamakan pikiran, langkah, dan tindakan bersama untuk bergerak secara bersama. Harus ada kesadaran kolektif satu pejuang di depan lebih utama dari ribuan cendekia yang hanya diam di tempat dan tak bergerak. Jangan saling menjegal dan melemahkan. Satukan niat, tekad, dan semangat, untuk tumbuhnya rasa kebersamaan berjuang besama. Dalam konteks gerakan mahasiswa, penguasa telah masuk melakukan politik kampus. Pengawalan isu saat ini harus masuk birokrasi yang ketat dengan ancaman dan segala resikonya sebagai mahasiswa menimpa beberapa gerakan mahasiswa. Membelit kepentingan penguasa untuk mengendalikan gerakan mahasiswa. Memaksa mahasiswa keluar dari kodratnya sebagai melting pot moralitas. Perubahan harus diperjuangkan bukan semata hanya berharap dengan khayalan mistis yang justru akan memperparah keadaan. (*)
Membincangkan Etika Bernegara, Berbangsa, dan Beragama
Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PERBINCANGAN ini bermula dari unggahan seorang teman di grup WA tentang komentar Zulkifli Hasan kepada Prabowo Subianto. Sejumlah nama calon Presiden mulai bermunculan, termasuk Prabowo Subianto. Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Prabowo Subianto akan kalah jika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berjalan rasional. Ada lima faktor yang akan membuat Prabowo kalah dalam Pilpres. Prabowo sudah berkali-kali maju Pilpres tetapi selalu kalah. “Kalau Pilpres rasional Pak Prabowo kalah. Kenapa? Pertama, tidak ada media yang mendukung Pak Prabowo. Kedua, pengusaha logistik tidak ada yang mendukungnya. Ketiga, operasional tidak mendukung. Keempat, ada sejarahnya. Kelima, berkali-berkali jadi calon kalah,” ujarnya saat Halal Bihalal DPD PAN Sulsel di Hotel Claro Makassar, Jumat (20/5/2022) malam. Zulhas menambahkan, hal sebaliknya jika Joko Widodo (Jokowi) kembali maju. Menurut dia, infrastruktur politik Jokowi sangat mendukung. “Untuk Pak Jokowi, TNI Polri mendukung, pengusaha mendukung, media mendukung, operasional mendukung,” ujarnya. Zulhas menyebut Koalisi Indoneia Bersatu (KIB) dibentuk agar di Pilpres nanti ada lebih dari dua pasangan calon. “Karena ini (syarat Presidential Threshold) 20 persen, supaya menghindari dua (paslon). Nanti kita coba dan dahului supaya ada tiga,” lanjut nya. Ia menyebut jika ada tiga paslon tidak terjadi perpecahan hingga tingkat dusun seperti yang terjadi pada Pilpres sebelumnya. “Kalau bisa calonnya tiga, syukur-syukur bisa lebih. Kita jangan sampai menjual/kampanye untuk pecah belah, tapi menawarkan gagasan, konsep, bagaimana Indonesia maju, swasembada pangan, bagaimana lingkungan Indonesia climate change juga tambah bagus lingkungannya, anak muda dapat kesempatan lapangan kerja yang baik.” Itulah pertimbangan PAN bergabung dengan Golkar dan PPP membangun KIB. Salah seorang teman menanggapinya demikian. “Ini gara-gara UUD Palsu 2002. Mosok, Ketum Partai menilai Ketum Partai lain di depan publik. Belum juga masa kampanye. Parah. Bgmana ...? Saya pun menimpali, Zulkifli Hasan mau bilang, “Hidupkan kembali pasal Presiden bisa 3 periode” saja kok pakai muter-muter. Tiba-tiba salah seorang kawan menulis, “Sudah berubahkah tauhid Prof. Jimly Asshidiqie?” Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie di ruang publik sebaiknya kita berbicara etika, bukan agama. Karena etika itu berlaku di ruang publik (universal), sedangkan kepercayaan-kepercayaan agama itu eksklusif, hubungan pribadi dengan sesembahan masing-masing. Ada etika hukum, politik, rekayasa, lingkungan, guru, kedokteran, arsitek dll. Agama hanya untuk ruang private dan hubungan kita dengan sesembahan. (Miky - Forum Asoterika Spiritualis). Nggak salah, Prof Jimly Asshidiqie? Teladan sempurna kita adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan Al-Quran yang hidup dengan segala sunah-sunahnya. Etika/akhlak/budi perkerti, baik personal maupun sosial, bukan justru kerdil jika diperkecil demikian? Nabi Muhammad Saw membangun Kostitusi Madinah/Traktat Kontrak Sosial Madinah, mengatur segala aspek: politik/bernegara, sosial/bermasyarakat, budaya nasional Madinah/kebangsaan Madinah, sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan Madinah, hukum yang berkeadilan, masyarakat egaliter dengan tata harmoninya, mengintegrasikan suku-suku di Madinah, mengonsolidasikan “demokrasi hikmah kebijaksanaan Madinah, membangun peradaban Madinah” dst-dst. Betapa naif jika Nabi yang berakhlak agung (khuluqin \'azim) sebagai rahmat, maitrea, cinta kasih, welas asih kepada segenap publik/alam (rahmatan lil \'alamin), maqamtingkatan yang paling tinggi (maqam mahfudz) terutama sifat rendah hati, pemurah, mengorbankan diri untuk orang lain, membalas kejahatan dengan berbuat baik, sampai menjadi rahmat bagi segenap alam semesta, jika cuma urusan yang privat berhubungan dengan Sang Pencipta. Yang jelas, kita punya nilai-nilai universal Pancasila sebagai standar dasar untuk dioperasionalkan dengan penjelasan turunannya yang berharkat bermartabat. Sahabat yang lain pun menimpali, “Sumber etika itu dari mana?” Sumber moral dari mana? Di ruang publik yang harus tegak itu etika atau moral? Dengan rujukan apa? Pejabat publik yang tidak jujur, tidak tunduk pada etika atau moral, dengan argumen apa?\" Anggota yang lain angkat bicara dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengutip narasi Bung Karno, “Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita. Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian: Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet. Jadi, kalau orang masih ngomong pilpres, pemilu kita membebek pada sistem Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, tidak berani mengembalikan UUD 1945 asli, artinya kita pengecut. Anggota grup yang lain pun menimpali, “Agama Islam itu ada di setiap jengkal kehidupan. Ada yang tampaknya seperti etika menurut ilmu pengetahuan, tapi Islam tetap menganggap itu agama. Kita melaksanakan etika/kebaikan, tanpa menghayatinya sebagai agama, maka kebaikan itu tidak terhubung dengan Allah swt, alias ketika kita melakukan sesuatu kebaikan tanpa disadari itu sebagai agama Islam, maka sejenak saat itu kita meninggalkan Tuhan (Allah dalam kehidupan kita, kadang ada kadang tidak ada. (Na\'uzubillah min zalik). Anggota lainnya pun menulis, “Saya setuju itu: Sesungguhnya shalatku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah SWT”. Allah Swt mendengar ucapan itu setiap kali dibaca. Tapi apakah itu sesuai dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari? Kepada Allah saja kerap manusia ingkar, apatah lagi kepada sesama manusia. Kita ini kebanyakan antara munafik-matre-takdir sosial buruk dst, yang \'baik-benar\' terseleksi melalui mekanisme \'pasti-imaginasi dan alam rendah (neraka-binatang-hantu-hantu setan kelaparan-hantu-hantu setan raksasa)\'. Di Indonesia formulasi kebenaran terasing dan langka, di alam pasti/mutlak. Dan memimpin mereka seperti bersamanya ke \'animal farm\' seakan menari-nari di atas ular-ular. Penulis lain menyatakan demikian. Sepengetahuan saya, agama samawi, wahyu Tuhan yang diturunkan itu untuk umat manusia, berarti untuk semua manusia, disampaikan terbuka, mengedukasi umat manusia untuk hidup yang baik di dunia dan akhirat, bukan dengan cara glenak-glenik di kamar tidur, cuma dengan istri dan anak doang. Kalau Pancasila diamalkan oleh para politisi dan pejabat politik, tak ada anasir radikalisme. Radikalisme yang diwacanakan oleh penguasa sejatinya adalah respons negatif terhadap Islam politik yang mengontrol kekuasaannya yang menyimpang. Saya sangat yakin bahwa tak akan pernah terdengar radikalisme dari mulut penguasa, andaikata kekuasaan dijalankan secara benar: berdasarkan Pancasila. “Satu idiot adalah salah satu idiot. Dua idiot adalah dua idiot. Sepuluh ribu orang idiot adalah partai politik.” - Frank Kafka. Dalam iklim \"takdir sosial yang buruk\", tapi dalam penghormatan manusia (membunuh satu orang sama membunuh seluruh manusia, menyelamatkan satu orang sama menyelamatkan seluruh manusia) seperti Selandia Baru, Luxemburg, Jepang, Kanada, Inggris, Turki, Chechnya, Iran, negara-negara Skandinavia dkk, semuanya \'indah & islami\', betapa kejamnya \'kuasa kerajaan kegelapan\' betapa indahnya \'iluminasi cahaya\'. Saya pun menutup perbincangan demikian. Di ruang publik maupun di ruang privat muslim senantiasa menggunakan dan menjalankan tuntunan agama. Berketuhanan Yang Maha Esa itu beragama. Berkemanusiaan yang adil dan beradab itu niscaya sesuai dengan tuntunan Tuhan Allah YME, bepersatuan Indonesia dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan/mengikuti kehendak Tuhan Allah swt, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dikehendaki Allah swt Tuhan Yang Maha Esa. Adil, jujur, benar, berani, sabar, tawakal, amanah, isiqamah adalah akhlak terpuji (mencakup etika, moral, budi pekerti, sopan santun dll) tuntunan agama. “Pengalaman beragama adalah keseluruhan pengalaman hidup setiap orang beragama”. Begitu kata filosof Pakistan Dr. Mohammad Iqbal. (*)
Anies Mengusung Politik Akhlak, Bukan Politik Identitas
Kesadaran dan keinsyafan itu, bukan hanya membuat Anies mampu berdiri tegak pada rasionalitas, moralitas dan spiritualitasnya semata. Lebih dari itu, Anies berhasil menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan keseharian hidupnya. Nilai-nilai religi begitu kental menghiasi kejujuran, bersikap adil dan sebisanya mengangkat harkat hidup rakyat yang dhoif dan fakir. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI APA yang baik menurut manusia, belum tentu baik di hadapan Allah. Begitupun sebaliknya, apa yang buruk menurut manusia belum tentu buruk di hadapan Allah. Seperti halnya Anies Baswedan yang selalu dalam pandangan buruk konspirasi jahat. Anies justru terus menuai kebaikan rakyat karena politik akhlak yang menyertainya, bukan dari politik identitas. Begitulah sejatinya pemimpin yang selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap helaan nafasnya, bukan pada kekuasaan politik manusia yang absurd. Sejak memangku jabatan gubernur DKI Jakarta, Anies merupakan seorang pemimpin yang menjadi langganan framing jahat. Pembentukan opini Intoleran, radikalis, dan fundamentalis, hingga dicap sebagai pengusung politik identitas sampai menjadi anasir teroris, kerapkali bertubi-tubi menerpa Anies. Identifikasi personal yang sangat kentara sebagai upaya pembunuhan karakter figur Anies, begitu gencar dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif. Menghujani dengan isu, intrik, dan fitnah, tak pernah jeda dan membabi-buta ditujukan kepada Anies. Tak kurang mulai dari individu sampai organisasi berlomba-lomba ingin menjatuhkan Anies dengan cara-cara yang tak bermartabat. Sebut saja lakon tetap para buzzer cekak logika spesial recehan, seperti Ade Armando, Ferdinan Hutahaean, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Husin Shihab dan manusia sejenis lainnya. Tak ketinggalan yang paling menonjol dan getol dari Partai Solideritas Indonesia (PSI), yang program utamanya hanya mendiskredikan Anies. Baik para buzzer maupun PSI, keduanya cenderung merupakan pemain bayaran yang mendapatkan uang dan jabatan sebagai kompensasi atas kerja-kerja men-downgreed Anies. Anies sendiri bergeming, menghadapi badai stereotif, baik berupa narasi maupun manuver kekuasaan politik yang menyerangnya. Anies lebih memilih menghadapi semua itu dengan sikap tenang, penuh senyuman dan tidak meninggalkan sedikitpun adab dan sopan santun. Kesabaran, keuletan, fokus pada pekerjaan dan tanggungjawabnya sebagai gubernur Jakarta, selalu menjadi jawaban Anies terhadap pandangan \"under estimate\", pola agitasi dan propaganda serta semua sikap-sikap merendahkan yang mengarah kepada dirinya. Sikap rendah hati dan ketulusan Anies sebagai pemimpin membuahkan kinerja dan prestasi yang membanggakan bukan hanya bagi warga Jakarta, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja, fakta dan realitas keberhasilan Anies membuat para buzzer, partai sempit iman, dan kaum kesadaran pendek serta tipis akal, semakin kejang-kejang menampilkan kesetanan pada jiwa raganya. Mungkin saja fenomena itu menjadi pelajaran dan hikmah tersendiri bagi Anies khususnya dan para pemimpin lain pada umumnya. Sebagai manusia hendaknya jangan melakukan intervensi apalagi sampai mengambil alih peran Tuhan Yang Maha Esa. Bahwasanya setiap jodoh, maut dan rezeki itu ranahnya Illahi, di luar itu manusia boleh saja berkreasi dan melakukan improvisasi. Jangan sampai memaksakan diri dan memaksakan kehendak pada orang lain. Tugasnya manusia yaitu tetap bertahan sekuat daya menjadi manusia, jangan merubah dirinya karena kepentingan apapun termasuk menjadi tidak manusiawi. Pentingnya memahami kekuasaan yang sejati dan hakiki itu hanya milik Allah Yang Maha Besar. Anies sepertinya menyadari, tanpa jabatan apapun, sesungguhnya ia telah menjadi pemimpin. Setidaknya pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dan mungkin yang lebih luas bagi komunitasnya, jika belum sampai pada kemampuan memimpin masyararakat, negara dan bahkan dunia. Kesadaran dan keinsyafan itu, bukan hanya membuat Anies mampu berdiri tegak pada rasionalitas, moralitas dan spiritualitasnya semata. Lebih dari itu, Anies berhasil menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan keseharian hidupnya. Nilai-nilai religi begitu kental menghiasi kejujuran, bersikap adil dan sebisanya mengangkat harkat hidup rakyat yang dhoif dan fakir. Anies menjadikan kepemimpinan itu sebagai pertaruhan hubungan manusia dengan Ketuhanannya. Ketaatan dan ketaqwaan itu selayaknya lebih dulu hadir saat manusa tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri maupun pada orang lain. Dengan demikian segala motivasi dan tujuan kepemmpinannya, tidak lebih dan tidak bukan hanya karena dan untuk Sang Khalik. Bukan karena uang, populeritas dan jabatan, bukan pula karena pencitraan dan perangai menghalalkan segala cara. Anies sepertinya bersetia dan teguh dengan karakter pemimpin yang mengusung politik akhlak, bukan politik identitas. Munjul-Cibubur, 29 Juni 2022. (*)
Penghinaan dan Intoleransi
Karenanya kejadian ini menjadi pembuka mata bagi semua. Tapi lebih khusus lagi untuk pemerintah agar segera meraktifikasi Resolusi PBB Maret 2022 lalu tentang Islamophobia. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SERINGKALI orang mencoba mengelabui opini publik dengan melemparkan cara pandang yang kotor namun berselimut keindahan. Salah satunya adalah konsep toleransi yang tertunggangi intoleransi, bahkan kebencian. Baru-baru ini sebuah club di Jakarta membuat iklan bir dengan dua nama figur keagamaan yang sangat mulia. Yang pertama dengan nama Muhammad, nama nabi terakhir yang mulia. Dan kedua dengan nama Maria, nama Ibu nabi mulia Isa AS yang juga sangat dimuliakan baik oleh Islam maupun Umat Kristiani. Penamaan atau pengiklanan minuman keras dengan dua nama itu jelas merupakan penghinaan terhadap dua sosok atau figur dua agama yang sangat dimuliakan. Dan karenanya mengundang reaksi keras tidak saja dari kalangan umat Islam. Tapi juga dari sebagian kalangan umat Kristiani. Seperti yang sering saya sampaikan bahwa tindakan pengecut seperti ini sama sekali tidak mengurangi kemuliaan dan kehormatan baginda nabi (dan juga Maryam). Tapi umatnya yang mencintainya begitu dalam akan sangat tersinggung dan marah. Dan, karenanya memang perlu disikapi oleh semua pihak secara jelas dan tegas. Para Ulama harus menyuarakan resistensi sesuai koridor hukum yang ada. Rakyat luas juga perlu menyikapi sesuai batasan hukum yang ada. Mengenkspresikan resistensi tanpa melakukan hal-hal yang destruktif dan merusak. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah urgensi pemerintah untuk menyikapinya secara jelas dan tegas sesuai hukum yang ada. Jika pemerintah mendiamkan maka boleh jadi timbul kesalah-pahaman, jangan-jangan ini menjadi bagian dari phobia yang sedang dipiara. Jika peristiwa ini kita kaitkan dengan Islamophobia maka seharusnya mengingatkan kita, khususnya pemerintah, untuk segera menyikapi Resolusi SMU-PBB tentang anti Islamophobia bulan Maret lalu. Bahwa dengan disahkannya Resolusi itu pemerintah tidak lagi ada alasan dengan malu-malu kucing untuk merektifikasi dan menindak lanjutinya dalam bentuk perundang-undangan. Saya mengapresiasi sikap tegas dan kebijakan Pemerintah Daerah DKI yang menghentikan izin operasi seluruh outlets Holywings di Jakarta. Ini bukan masalah toleransi dan intoleransi. Tapi ini masalah keadilan dan penegakan hukum. Pemerintah memang seharusnya hadir untuk menghadirkan kepastian hukum. Sehingga masyarakat tidak meraba-raba, apalagi main hukum sendiri. Saya yakin semua Umat tidak ingin tokoh-tokoh agamanya dikaitkan dengan hal-hal yang jelas dilarang dalam agama itu. Mungkin alkohol tidak dilarang dalam agama Kristiani. Tapi Saya yakin mengaitkan nama figur terhormat, Maria atau Maryam, itu sangat melecehkan. Karena haram ataupun tidak dalam ajaran agama (kristiani) common sense mengatakan alkohol itu sering jadi jalan keburukan. Karenanya kejadian ini menjadi pembuka mata bagi semua. Tapi lebih khusus lagi untuk pemerintah agar segera meraktifikasi Resolusi PBB Maret 2022 lalu tentang Islamophobia. Dan secara khusus lagi tertantang untuk jeli dan sigap dalam mengambil sikap untuk menjaga kehormatan agama dan me memelihara sensitifitas pemeluknya. Thank you, Pak Gubernur. Allah keep and bless you! Soekarno Hatta, 29 Juni 2022. (*)
Teman Jokowi Itu Jin?
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERINGAT saat buku \"Saatnya Mundur\" terbit artikel pertama yang ada dalam buku tersebut berjudul \"Inaugurasi Horor\". Kisah penghelatan politik yang heboh dan mencekam pada tanggal 20 Oktober 2019 saat Jokowi dilantik. Adalah Ki Sabdo yang mengundang Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong hingga Jin Kahyangan untuk menjaga suksesnya inaugurasi Jokowi sebagai Presiden. Pengakuan Ki Sabdo undangan menghadirkan berbagai dedemit tersebut adalah atas perintah Jokowi. Mbah Yadi paranormal asal Pati menyatakan bahwa sosok gaib pelindung Jokowi bukan asal-asalan. Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan disebutnya, begitu juga sosok khadam Soekarno. Ada pula burung Garuda yang berputar-putar mengawasi Presiden Jokowi dari hal-hal gaib yang akan mencelakai. Pasukan Prabu Siliwangi juga bersenjata tombak, keris, dan pedang adalah leluhur yang menjaga. Menurut Mbah Yadi \"Bapak Presiden Jokowi ini dari sisi pakar di bagian Pemerintahan beliau ahli laku spiritual\" Ia menambahkan \"Presiden ditemani tokoh-tokoh gaib dilihat dari sehari-harinya\". Kesukaan pada penggunaan baju adat berbagai suku berhubungan dengan leluhur ini. Saat ritual kendi di IKN Penajam Kalimantan makhluk gaib yang tak lain para Jin itu berseliweran \"bukan hanya manusia yang hadir, tetapi juga sosok tidak kasat mata\", kata Mbah Mijan. Paranormal yang berkomentar soal makhluk makhluk di IKN ini, di samping Mbah Mijan juga Ki Surau, Ki Bedul Sakti, dan Gus Fatah ketua Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu). Jokowi sebagai \"inspektur upacara\" ritual mistik Kendi Nusantara juga harus berkemah di tengah hutan. Semua ini menjadi pertanyaan bahwa benarkah teman-teman Jokowi adalah Jin ? Jika demikian maka rezim oligarki saat ini bukan saja terdiri dari elemen taipan atau politisi tetapi juga Jin dedemit. Ketuhanan Yang Maha Esa tekah berubah menjadi Kehantuan Yang Sok Kuasa. Jika \"fatwa-fatwa gaib\" ikut menentukan pengambilan keputusan politik, maka bahaya sekali pola penyelenggaraan negara ini. Dukun-dukun ikut menjadi pembisik. Jin itu memang ada tetapi berlindung pada Jin adalah sesat. \"Wa annahu kaana rijaalun minal insi ya\'uudzuuna birijaalin minal jinni fazaaduuhum rohaqan\" (dan sesungguhnya ada beberapa laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada Jin, maka Jin itu membuat mereka bertambah sesat)--QS Jinn 6. Bangsa Indonesia yang ber-Ketuhanan YME sesuai sila Pancasila tidak boleh dipimpin oleh orang-orang yang sesat apalagi menyesatkan. Nah pak Jokowi, segera bertaubatlah sebab akan berat urusan akherat nanti. Bandung, 29 Juni 2022
Politisi Telepon Koin
Akibat kekuatan koin seringkali, pemimpin negara ini diasosiasikan ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara (oligarki). Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TELEPON umum koin adalah jenis telepon umum yang menggunakan koin atau uang koin sebagai alat pembayarannya. Lama pembicaran yang tersedia bagi pengguna tergantung pada nominal koin yang dimasukkan. Perintah telepon koin sangat efektif bicara terbatas dengan instruksi singkat dan jelas dampak dan akibatnya bisa bermacam macam, dari tingkah laku para pionir yang menerima pesan dan harus dilaksanakan dengan tepat waktu dengan pengawasan yang sangat ketat. Pengamat politik Dr. Mulyadi Opu Andi Tadampali pada tahun 2017 telah memperkenalkan Teori Oligarki kembar tiga: Oligarki Politik (Badut politik), Oligarki Ekonomi (Bandar politik), dan Oligarki Sosial (Bandit politik). Teori ini telah melahirkan politisi bahkan intelektual telpon koin, yaitu politisi atau intelektual sejenis bandit politik, belakangnya oligarki politik dan oligarki ekonomi dengan target jangka pendek guna meruntuhkan institusi penjelmaan politik rakyat indonesia. Andi Tadampuli menjelaskan lebih lanjut bahwa target jangka panjang oligarki ingin: (1) kuasai presiden Indonesia dengan cara menghilangkan kata asli; (2) kuasai ekonomi Indonesia dengan cara adu kuat usaha pribumi dengan usaha konglo taipan melalui demokrasi ekonomi, yaitu ekonomi kerakyatan versus ekonomi kapitalisme; dan (3) kuasai politik Indonesia dengan cara kuasai politisinya melalui gabungan partai alias \"kolisi kumpul kebo\". Politisi telepon koin saat ini bersenyawa dengan kaum intelektual. Telepon koin itu memiliki sifat enjoy life (kekinian) yang menyimpang dari kepribadiannya, yang semestinya memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan – justru hanya berperan sebagai pembenar penguasa. ( Edward Said, 1996 ) Remote politik oligarki selalu mulus ketika memesan UU dan berbagai macam kebijakan yang harus dilakukan oleh pelaksana teknis atau seringkali disebut sebagai rezim boneka itu terbaca dengan sangat jelas. Semua berjalan dengan pesanan telepon koin yang diterima atau dengan tekanan resiko hutang koin yang telah diterimanya. Bung Hatta Taliwang (aktivis pergerakan 98) dengan nada jengkel mengatakan bahwa para dalang telah berhasil menyeret sebagian besar dari kita ke dalam pembahasan yang akan membuat kita to be or not to be terbawa arus sistem sekarang yang akan membawa kita suka atau tidak suka, harus menerima hasil kompromi para oligarki dan lagi-lagi kita akan dipimpin “boneka” baru. Kekuatan koin benar-benar telah membuat petinggi negara kesurupan, In the struggle, I\'m selling my self more often than not on the highest bidder purely for thrill and money (Dalam berjuang, saya lebih sering menjual diri saya pada penawar tertinggi semata-mata untuk kesenangan dan uang), membabi buta tidak peduli akibat/dampak kebijakannya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Akibat perilaku politisi telepon koin, Ir. Prihandoyo Kuswanto (Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila) mengatakan bahwa: bangsa ini telah terhipnotis dengan berbagai cara sehingga tidak sadar, bahwa negara ini sudah tidak lagi negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, negara yang didasarkan Pancasila telah dibuat oleh pendiri negeri ini sesuai dengan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Akibat kekuatan koin seringkali, pemimpin negara ini diasosiasikan ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara (oligarki). Semua berperan seperti jongos politik. Wajar Prof Daniel M Rosyid berpesan stop menjadi jongos ekonomi dan politik. Karena oligarki sungguh riil sebagai pengendali politik dan ekonomi negara ini dengan kekuatan koin yang sangat besar dan pergerakan sangat taktis dengan kekuatan telepon koinnya. (*)
Dukung Anies Tutup Holywings
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan BLUNDER iklan Holywings berakibat fatal. Reaksi keras umat Islam atas promosi minuman keras dengan melabel atau menggratiskan orang yang bernama \"Muhammad dan Maria\" telah menyeret 6 karyawan Holywings ke proses hukum. Polres Jakarta Selatan cepat menetapkan keenamnya sebagai tersangka. Titel tuduhannya adalah ujaran kebencian, menimbulkan keonaran dan penistaan agama. Desakan agar ada tindakan lebih jauh atas promosi outlet di bawah PT Aneka Bintang Gading milik Eka Wijaya dan Ivan Tanjaya dengan tiga produk Holywings Club, Holywings Restaurant, dan Holywings Bar yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Medan hingga Makasar ini berbuah hasil. Gubernur DKI Anies Baswedan memelopori penutupan seluruh outlet di Jakarta. Berdasarkan atas rekomendasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (DPPKUKM) maka Gubernur DKI Anies Baswedan mencabut izin usaha 12 outlet Holywings di Jakarta. Alasan hukumnya adalah di samping tidak memiliki Sertifikat Standar KLBI 56301Jenis Usaha Bar terverifikasi, juga melanggar penjualan minuman beralkohol yang hanya bisa dibawa pulang. Tidak diminum di tempat. Pencabutan izin usaha atau penutupan outlet Holywings di Jakarta patut didukung karena Gubernur DKI mengambil langkah cepat dan tanggap merespon keluhan masyarakat terhadap perilaku pengusaha Holywings yang telah membuat keonaran akibat penistaan agama. Diharapkan muncul sikap serupa di berbagai daerah yang lain. Model Holywings tak layak hidup. Nikita Mirzani yang katanya salah satu pemegang saham, mengkritisi pencabutan izin oleh Anies sebagai menutup hak hidup ribuan pekerja Holywings. Mirzani lupa bahwa hal itu di samping konsekuensi dari usaha jorok juga sebenarnya banyak hak hidup pekerja pribumi yang jumlahnya ribuan atau ratusan ribu pun telah diambil oleh TKA asal China. Dan Nikita diam saja. Bagi muslim yang memiliki kesadaran keagamaan yang baik tentu tidak akan bekerja di restoran atau bar yang membuka peluang untuk perilaku mabuk-mabukan. Minuman keras beralkohol adalah barang haram. Dukungan kepada Anies itu penting, sekurangnya untuk tiga hal : Pertama, agar perlawanan terhadap kebijakan konsisten Gubernur DKI tidak menciptakan kegaduhan atau kekacauan. Sikap melawan hukum harus diredam dengan ketegasan dan sanksi yang memberi efek jera. Kedua, dukungan adalah kristalisasi dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat khususnya umat Islam. Adalah zalim siapapun termasuk pemerintah yang membiarkan penistaan agama itu marak atau masif. Ketiga, dengan dukungan nyata dari masyarakat maka Anies Baswedan akan semakin kuat untuk menjalankan amanat sebagaimana sumpah jabatannya. Menerobos kultur dusta dan khianat yang merajalela di kalangan para pejabat kita. Jangan beri kesempatan kelompok anti agama atau nir-moral untuk terus menerus mengganggu dan menciptakan instabilitas melalui keberanian untuk menyentuh aspek-aspek peka keagamaan. Musuh agama adalah musuh negara. Musuh ideologi bangsa. Setelah penutupan Holywings di Jakarta, maka tutup semua outlet Holywings di seluruh Indonesia. Sayap suci palsu itu telah menodai kesucian ibu pertiwi. Bandung, 28 Juni 2022
Rakyat Menuntut MK (2): Batalkan UU IKN No.3/2022, Tunjukkan MK Bebas Moral Hazard
Oleh Marwan Batubara, PNKN Pada tulisan pertama PNKN telah menguraikan berbagai alasan objektif, logis, dan faktual mengapa UU IKN No.3/2022 harus dibatalkan. Proses pembentukan tidak sesuai konstitusi dan kaidah hukum berlaku. Karena itu, PNKN telah meminta MK memutus Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN, terregistrasi sebagai Perkara No.25/PUU-XX/2022 sesuai tuntutan, yakni membatalkan UU IKN. PNKN telah mengingatkan MK untuk bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK *otomatis* akan membatalkan UU IKN, karena proses pembentukannya inskonstitusional. Jika akhirnya putusannya justru meloloskan UU IKN, maka PNKN yakin ada masalah besar dengan MK dan Para Yang Mulia Hakim-Hakim MK. Tulisan ini sedikit mengungkap sebagian isu yang diduga terjadi seputar hakim-hakim tersebut. Tapi tulisan ini sekaligus ingin mengingatkan Para Yang Mulia untuk memutus Perkara No.25 sebagaimana seharusnya. Pada tanggal 20 Juni 2022, MK telah menolak Permohonan Uji Formil & Materil UU MK No.7/2022. Putusan MK atas uji formil dan materil UU MK tersebut merujuk pada Putusan Perkara-perkara No.90, 96, 100/PUU-XVII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. Dari putusan tersebut, minimal publik perlu paham dan mendapat sedikit gambaran tentang siapa, serta bagaimana sepak terjang dan “profil” Para Yang Mulia Hakim MK. Dalam perkara *Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020*, Para Yang Mulia telah menyatakan menolak tuntutan para pemohon. Prinsipnya, Para Yang Mulia menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku, dengan berbagai alasan dan argumentasi tidak relevan. Padahal proses pembentukan UU MK berlangsung melawan konstitusi dan kaidah hukum yang berlaku. Pembentukan UU MK tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan tidak pula didukung naskah akademik yang seharusnya dipersiapkan sesuai perintah UU No.12/2011. Revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over dan azas pembentukan peraturan yang baik. Bahkan, diduga terjadi penyelundupan hukum, memasukkan norma yang sebelumnya tidak dibahas dalam RUU, dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Penyeludupan norma hukum ini diduga terjadi karena didorong kepentingan pragmatis para penguasa oligarkis. Proses pembentukan UU MK berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami pandemi Covid-19, para pemegang kekuasaan seolah bertindak seperti mengail di air keruh. Pembentuk UU telah merampas hak-hak konstitusional rakyat, mengabaikan koridor formil, melanggar konstitusi dan merampas hak partisipasi publik. Tampaknya pembentuk UU telah bertindak otoriter dan prilaku sarat moral hazard. Dalam perkara Permohohonan Uji Materil UU MK No.7/2020, norma-norma yang digugat antara lain termaktub dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf a dan b. Khusus Pasal 87 huruf a yang digugat adalah norma tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedang *Pasal 87 huruf b yang digugat adalah norma batas usia hakim*, akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Terkait Pasal 87 huruf a, mayoritas hakim MK mengabulkan permohonan uji material UU MK, bahwa ketua dan wakil ketua MK tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatan hingga lima tahun. Dengan putusan MK ini, maka ketua dan wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan. Sebelum berubah menjadi lima tahun (dalam UU No.7/20202), masa jabatan ketua/wakil Ketua MK dalam UU No.24/2003 adalah 2,5 tahun. Kita tidak yakin akhirnya akan terjadi perubahan pimpinan MK, jika kepentingan sempit berpran lebih dominan. Terkait Pasal 87 huruf b, semua hakim MK, kecuali hakim Wahiduddin Adam, telah menolak gugatan para pemohon. Artinya, meskipun bermasalah, mayoritas Yang Mulia Hakim MK tersebut setuju dan jusru mendukung norma atau “fasilitas” menguntungkan yang diatur dalam UU MK No.7/2020. Mereka akan mendapat kenikmatan, bisa menjabat hingga mencapai usia 70 tahun, atau paling lama menjabat hingga 15 tahun. Padahal mestinya masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, sebagaimana berlaku untuk jabatan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR. Karena aspek politik dalam lingkup tugas sangat dominan, dan mayoritas hakimnya dipilih lembaga politik (Presiden dan DPR), maka sangat relevan membatasi jabatan hakim MK selama lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi. Terlepas dari persoalan lingkup tugas MK, pada dasarnya seperti disinggung di atas, masalah “fasilitas” peningkatan batas usia jabatan hakim MK sejak semula memang tidak dibahas atau tercantum dalam naskah akademik UU MK. Norma tersebut, out of the blue, tiba-tiba masuk dalam RUU. Telah terjadi penyeludupan norma hukum yang tampaknya sengaja direkayasa: memberi fasilitas kepada para hakim MK dengan tujuan agar MK terpengaruh, dapat dikendalikan atau berhutang-budi kepada pemberi fasilitas, sehingga berpotensi gagal bersikap independen. Rakyat bisa saja menilai telah terjadi suap-menyuap atau gratifikasi jabatan atau tindakan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan. Dengan adanya kenikmatan/gratifikasi yang diperoleh, Para Yang Mulia Hakim MK bisa terpengaruh, sehingga gagal membuat putusan-putusan yang adil, objektif, konstitusional, dan sesuai kepentingan rakyat. Namun pada saat yang sama, putusan tersebut akan menguntungkan para oligarki kekuasaan, karena tampaknya itulah tujuan gratifikasi atau norma peningkatan usia masa jabatan tersebut. Faktanya, meskipun proses pembentukannya cacat konstitusional dan diduga sarat moral hazard dan conflict of interest, secara sadar MK telah menolak Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020 yang. MK menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku. Tampaknya MK sangat menikmati fasilitas yang disediakan para pembentuk UU yang diduga sarat kepentingan oligarki tersebut. Sikap MK yang berwenang mensahkan aturan untuk diri sendiri ini, meskipun sarat conflict of interest, bukan saja menyangkut aspek kenegarwanan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut aspek moralitas. Apakah “nasib” Permohonan Uji Formil UU IKN No.3/2020 sama seperti Uji Formil UU MK No.7/2020, akhirnya akan ditolak MK? Apakah MK akhirnya akan menerbitkan putusan yang akan menyatakan UU IKN No.3/2020 akan tetap berlaku? Jawabannya kemunginan besar YA! Meski demikian, sebelum putusan diambil, kami dari PNKN ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk menyadari bahwa mayoritas rakyat sudah paham “what is going on”, apa yang terjadi. Para Yang Mulia Hakim MK harus ingat akan Sumpah Jabatan, memihak kepentingan rakyat dan adanya pengadilan sesudah kematian. Tulisan kami dari PNKN ini lebih ditujukan untuk berfungsi sebagai pengingat: friendly reminder.[] Jakarta, 28 Juni 2022.
Setelah Mega, Anies Bakal Menghadapi Tragedi Demokrasi Konstitusi
Hanya Soekarno dan Soeharto yang mampu menampilkan demokrasi yang bersumber dari pikiran, ucapan dan tindakannya sendiri. Dua figur pemimpin besar yang menjabat presiden Indonesia itu, bahkan menjadi superior di atas konstitusi dalam proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Soekarno dengan demokrasi terpimpin, Soeharto identik dengan demokrasi semu. Pun demikian, sejarah melukiskan kedua pemimin sipil dan militer itu, cenderung sama-sama memiliki karakter anti demokrasi. Mereka merupakan putra-putra terbaik Indonesia yang berhasil menaklukkan sekaligus menjadi korban demokrasi konstitusi. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI PASCA kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, terutama di ujung berakhirnya kekuasaan orde baru. Politik Indonesia berupaya menampilkan transisi kekuasaan yang otoriterian menuju kehidupan rakyat yang lebih demokratis. Selain karena tekanan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, geliat perubahan mengemuka juga dipengaruhi oleh bangkitnya kesadaran dan gerakan \"civil society\". Isu HAM, demokratisasi, penerapan Pancasila dan UUD 1945 serta tema-tema strategis lainnya, begitu deras mengalir hingga bermuara pada kelahiran era reformasi. Banyak catatan historis dan ideologis yang mewarnai kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia terutama setelah lepas dari cengkeraman orde baru dan orde lama. Meskipun pada akhirnya rakyat merasakan betapa iklim reformasi tak luput mengalami distorsi. Apa yang kemudian diperjuangkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, bebas dari praktek-praktek KKN, supremasi hukum, profesionalitas birokrasi dan militer. tanpa eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan dll. Ternyata tak lebih baik dapat diwujudkan dalam era reformasi. Bahkan kecenderungan semakin merosotnya kualitas dan kuantitas kehidupan rakyat, terlihat begitu kentara. Rezim reformasi jauh lebih bengis dan lebih buruk ketimbang pelbagai gugatan dan perlawanan rakyat yang pernah dilakukan pada era orde lama dan ode baru. Simbol Perlawanan Rakyat Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, biar bagaimanapun sejarah pernah menjadi saksi bahwasanya kehudupan demokrasi di Indonesia pernah menghadirkan Megawati Soekarno Putri seorang figur yang gigih memperjuangkannya. Mega sedikit pemimpin di jamannya yang mampu bersikap tegas dan mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan rezim saat itu. Sebagai pegiat demokrasi dan pemimpin partai politik, Mega telah melewati masa-masa sulit dan mengambil beragam resiko dari pandangan dan sikap politiknya. Putri sulung Bung Karno itu harus mengalami teror, intimdasi, hujatan dan fitnah langsung dari rezim dan anasir kekuasaannya. Bukan hanya diselimuti rasa permusuhan dan kebencian. Mega juga ditempatkan sebagai lawan berbahaya pemerintahan dan telah menjadi musuh negara versi rezim. Begitupun dengan Anies Rasyid Baswedan, tak pernah lepas dari pengalaman-pengalaman yang sama yang pernah dialami Megawati Soekarno Putri. Baik Anies yang lebih banyak menyelami dunia pendikan, maupun Mega yang lebih intens dengan partai politik. Keduanya tak pernah bisa menghindari pusaran politik yang memikul beban hajat hidup orang banyak. Secara empiris, keduanya bisa dibilang matang bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Menariknya, antara Mega dan Anies memiliki irisan yang kuat yang berkorelasi erat dengan dinamika dan konstelasi politik nasional. Mega sebagai ketua umum PDIP yang menjadi \"the rolling party\" dan memiliki kader sebagai presiden Indonesia sekaligus petugas partai. Di lain sisi, Anies sebagai figur pemimpin masa depan yang memangku jabatan gubernur Jakarta dan capres potensial yang tidak memiliki partai politik. Mega dan Anies seperti sebuah hubungan sosial yang saling kenal, tidak jauh tapi tidak dekat juga, sewaktu-waktu bisa intim dan tidak berjarak untuk bertemu dan saling berinteraksi. Pada akhirnya bukan hanya \"inner circle\" Mega dan Anies, lebih dari itu seluruh rakyat Indonesia akan menanti sejaumana episode hubungan keduanya. Apakah sebatas hubungan politik praktis kontemporer yang hanya bisa jenghasilkan koalisi atau oposisi semata di antara keduanya, atau akan ada hubungan antar dua figur negarawan. Mega dan Anies akan bertemu dalam konstelasi dan konfigurasi pilpres 2024. Akankah karakter sejati keduanya bertemu dalam hubungan yang hangat dan mesra menjadi sinergi dan harmoni. Menjadi kedua kekuatan politik yang bukan sekedar berkolaborasi, akan tetapi mendorong Mega dan Anies sebagai faktor penting dan berengaruh menghasilkan solusi problematika negara dan bangsa. Mega yang pernah menjadi harapan dan simbol perlawanan rakyat terhadap kedzoliman rezim, akankah berubah setelah memiliki kekuasaan. Sanggupkah Mega melihat figur Anies seperti dirinya sendiri yang pernah berjuang untuk tegaknya demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik. Mungkinkah Mega menjadi ahistoris dan kontra revolusioner, terus memelihara dendam sejarah dan dendam sosial ke panggung politik nasional. Akankah Mega terjebak pada demokrasi konstitusi yang pernah menjadi tragedi dalam kehidupan pribadi dan rekam jejak politiknya.Kalau itu tak akan terjadi, besar kemungkinan karakter simbol perlawanan rakyat tak akan hilang dan tetap diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Siapa pemegang estafetnya yang mumpuni dan layak mengemban amanat itu?. Tak harus biologis yang penting ideologis, sebagai pemimpin rvolusioner bagi kepentingan nasional dan internasional. Setidaknya nilai-nilai dan kepribadian itu ada pada Anies yang ideologis Soekarno, dan bisa saja Puan yang biologis Mega yang mendampinginya. Keduanya mungkin saja menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang ada pada etalase kepemimpinan nasional. Minimal mampu menghindari tirani dan tragedi demokrasi konstitusi atau pseudo demokrasi. Terlihat samar-samar dalam lampu temaram republik, rakyat Indonesia belum punya kemampuan mengambil keputusan politik dan masa depannya sendiri. Kecuali hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir sejarah. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 28 Juni 2022.
Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat
Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI (Disampaikan Dalam Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan, Palembang, 28 Juni 2022) SAYA sampaikan terima kasih kepada Pengurus Lembaga Simpul Jaringan Umat Institute, yang begitu cepat merespon pertemuan di Kota Bandung kemarin, dengan menggelar kegiatan serupa untuk terus menggelorakan semangat merebut kembali Kedaulatan Rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sehingga rakyat tidak hanya menjadi penonton kesibukan para ketua umum partai politik yang saling berkunjung, dan menggelar rapat-rapat tertutup untuk menentukan suksesi kepemimpinan nasional negara ini. Karena pada hakikatnya; Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kedaulatan ada di tangan rakyat. Beberapa hari ini, sudah banyak pertanyaan yang saya dengar dari beberapa kalangan. Baik di grup WhatsApp, maupun di media sosial, yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara. Dulu-dulu LaNyalla kemana aja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam. Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Sehingga saya wajib berbicara tentang negara. Karena sebelum menjadi pejabat negara, saya aktif di beberapa organisasi. Tentu saya berbicara dalam skup organisasi tersebut. Seperti saat saya aktif di Kadin, saya bicara dunia Usaha dan Industri. Saat aktif di PSSI, saya berbicara tentang Sepakbola dan Tim Nasional. Begitu juga di Pemuda Pancasila, yang sampai hari ini saya masih menjadi Ketua di Jawa Timur, tentu saya aktif berbicara tentang Pancasila. Tetapi sejak saya dilantik sebagai pejabat negara, saya harus menjalankan sumpah saya sebagai pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Sebagai Ketua Lembaga Negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar Lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di masa Pandemi Covid. Dan dari perjalanan turun langsung itu, saya menemukan dua persoalan yang hampir sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan. Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat-sahabat saya. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini semua tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui Konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan. Ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua Lembaga Negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu, saya terus menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin Sekuler, Liberal dan Kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation. Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Saya melihat ada persoalan di dalam Konstitusi kita. Dan ada masalah di dalam perundang-undangan kita. Dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Dan puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain dan tercerabut dari akar sejarahnya. Bangsa yang super majemuk ini tiba-tiba melakukan copy paste sistem demokrasi barat secara murni dan konsekuen. Dan secara sadar dan sengaja, meninggalkan sistem demokrasi Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Saya tidak pernah mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru itu yang terbaik. Karena Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 memang harus disempurnakan, untuk memastikan tidak terjadi Abuse of Power. Tetapi bukan diganti total seperti hari ini. Karena fakta membuktikan. Sejak Amandemen Reformasi kemarin, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Atau menang-menangan yang dihasilkan dari membeli suara, atau melakukan kecurangan pemilu. Dan sejak Amandemen reformasi itu, tidak ada lagi ruang bagi elemen non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu tunggal perjalanan bangsa ini. Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah Durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang mungkin bagi generasi muda saat ini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘Agar tumbuh generasi yang lebih baik’. Tetapi apa yang tumbuh? Yang tumbuh subur hari ini adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini dibajak kalangan Oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, yang bermoral dan yang berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Kita merdeka bukan atas jasa partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Mamur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, dan seterusnya. Saya percaya, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme untuk membawa Indonesia lebih baik. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka yang idealis seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya dalam membiayai kampanye yang mahal. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang mampu ‘memborong’ suara rakyat. Saya juga percaya, masih ada anggota DPR RI yang memiliki idealisme. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu akan melemahkan perjuangan tersebut. Sehingga memberikan kewenangan tunggal kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa tanpa reserve, dan tanpa penyeimbang dari kekuatan non-partisan adalah kesalahan kita sebagai bangsa. Karena bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Saya menyampaikan ini bukan karena keinginan saya menjadi presiden. Saya tidak akan pernah meminta jabatan. Karena bagi saya jabatan bukan urusan saya, tetapi menjadi urusan dan takdir dari Allah SWT. Dan saya sudah sampaikan di Bandung kemarin, jika saya ditakdirkan Allah SWT memimpin bangsa ini, maka pekerjaan besar yang saya lakukan adalah mengembalikan Kedaulatan Rakyat kepada pemilik negara ini, yaitu Rakyat Indonesia Asli. Karena pekerjaan mengembalikan kedaulatan rakyat tersebut kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak untuk diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat. Karena secara prinsip, seluruh kekayaan yang luar biasa di negara ini mutlak sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk segelintir orang yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan di luar negeri. Jadi, silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi. Silakan partai politik bersatu untuk menang. Tetapi Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. (*)