Wajah Kekuasaan Makin Bengis

Presiden Jokowi. (Foto: Demokrasi.co.id)mokrasi

Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi dengan cara bengis persis pola pemerintahan gaya komunis.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

MESIN kapitalis mutakhir telah menjelma menjadi media pemutus hubungan yang radikal dengan masa lalu, dengan presentasi, dan dengan representasi yang a-historis, cacat budaya, bengis, fragmentatif, hiperdramatis, namun nyata dan luar biasa mempesona.

Interpretasi tersebut, menurut Toffler (2000) telah “mengubah media (massa) menjadi suatu sistem global”. Toffler bahkan menyimpulkan, bahwa yang berlangsung “bukanlah kekuasan media semata, melainkan perpaduan kekuasaan media”.

Alvin Toffler adalah seorang penulis dan futurolog Amerika Serikat, yang telah dikenal karena karya-karyanya membahas mengenai revolusi digital, revolusi komunikasi, dan singularitas teknologi.

Saat ini apapun yang akan dilakukan oleh Jokowi (baik atau buruk) tidak lagi akan bisa disembunyikan dengan cara atau rekayasa apapun. Rakyat akan melihat, merekam, dan akan bertindak sebagai respon pantulan atas sikap, tindakan, ucapan dan tindakannya.

Dalam kegalauannya saat ini merasa banyak kritik mengarah kepada diri Presiden, itu konsekuensi dari alam yang sudah terbuka tanpa atap lagi.

Tiba-tiba akan memunculkan perangkap RUU KUHP dengan pasal tentang resiko penghinaan para presiden dan wakil presiden. Itu rekayasa bodoh dan sia-sia. Sekalipun saat ini eskalasi politik untuk memakzulkan Jokowi makin nyata.

Paska protokol Covid sudah tidak bisa digunakan lagi sebagai pengaman presiden. Rezim blingsatan harus mencari cara lain untuk mengamankan kekuasaan dengan cara akan menutup udara kritik dari masyarakat.

Mereka, para bandit politik dan kapitalis sebenarnya mengetahui rekayasanya akan sia-sia tetapi tampaknya sudah menemui jalan buntu selain harus tetap melakukan rekayasa politik tolol dan sontoloyo.

Siapa sebenarnya yang berkuasa di Indonesia saat ini. “Apakah Presiden Jokowi berkuasa? Tidak. Apakah Megawati berkuasa? Tidak. Apakah anak-anaknya Megawati berkuasa? Semakin tidak. Terus siapa yang sebenarnya berkuasa? Dia yang berkuasa tidak pernah muncul di media massa,” ungkap Kiai Mbeling Emha Ainun Najib alias Cak Nun.

Kenapa Jokowi harus diamankan mati-matian, karena Jokowi bisa dijadikan boneka membantu rekayasa untuk melangsungkan kekuasaan pada bandit politik oligarki. 

Maka dimunculkan kembali rekayasa pasal penghinaan presiden yang saat ini dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Bunyi pasal tersebut (Pasal 218 Ayat 1 RKUH) sebagai berikut: Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan mengenai pasal penghinaan presiden. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006.

Kemudian dimuat kembali dalam RKUHP dengan konsep yang sedikit berbeda. Perbedaan itu terlihat dari delik pasal tersebut. Dahulu, pasal penghinaan presiden dikategorikan sebagai delik biasa, sedangkan saat ini pasal itu dikategorikan sebagai delik aduan, dan dikecualikan terhadap kepentingan umum serta pembelaan diri.

Masuknya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP bukan hanya bermakna kemunduran demokrasi. Tetapi itu sinyal rezim yang semakin bengis akan menciptakan dirinya menjadi rezim tirani dan otoriter. Fungsi negara sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat, akan dimusnahkan. Negara akan menjadi negara ala pemerintahan komunis.

Kekuasaan akan tampil dengan wajah beringas dan bengis, represif dan otoriter. Kemudian ekspresi masyarakat yang dianggap menghina kekuasan, dianggap sebagai sampah langsung dibakar.

Dalam simulakrum diperlakukan bukan menjadi inti karya budaya fisik yang lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagas, rasa, dan jiwa penciptanya; melainkan merupakan reproduksi tanda-tanda yang banal, dangkal, tanpa kedalaman makna, bersifat gimmick, dan semata-mata perayaan hasrat pemuasan nafsu.

Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi dengan cara bengis persis pola pemerintahan gaya komunis.

Keadaan ini akan memunculkan dua kemungkinan. Rakyat menjadi lemah dan terpuruk sehingga menerima nasibnya karena tidak lagi mampu melawan kekuasaan yang bengis.

Kemungkinan lainnya, justru akan mempercepat lahirnya perlawanan rakyat dalam bentuk People Power yang menemukan momentumnya.

Jangan sampai rezim Jokowi nantinya dikenang sebagai perusak negeri dan bengis terhadap anak bangsanya sendiri.

“Rezim @jokowi akan dikenang bkn hanya sbg rezim perusak negerinya, tetapi juga rezim yg bengis,” tulis akun Twitter Institut Ecosoc Rights @ecosocrights (11:29 PM · Jan 20, 2020). (*)

787

Related Post