OPINI

Adakah Kolerasi Hepatitis Misterius pada Anak dengan Vaksin Covid-19?

Perlu dibuktikan lagi secara lebih tajam dengan penelitian-penelitian dengan sample size lebih luas di negara-negara yang sudah memberlakukan Vaksinasi Covid kepada anak-anak. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, Epidemiolog dan Peneliti TULISAN ini dimuat Dr. Tifauzia Tyassuma di laman Facebook-nya, Kamis pagi (5/5/2022). Tapi, hanya dalam hitungan jam langsung kena banned selama 30 hari. Entah apa yang ada dalam benak penguasa saat seorang ilmuan peneliti yang selama tiga tahun terakhir ini telah menyampaikan kebenaran. Baik tentang pandemi, virus, vaksin maupun penyakit pasca pandemi. Riset empirisnya pun terbukti benar. Wartawan Senior FNN Iriani Pinontoan merajut kembali tulisan tersebut.   Ingat baik-baik dua tahun lalu. Pada Desember 2019 China melaporkan 20 kasus Pneumonia misterius, yang kemudian dinyatakan sebagai penyakit C0VID-19. Dari 20 kasus, menyebar ke 220 negara. Sampai 5 Mei 2022 tercatat lebih dari 500 juta orang terinfeksi ringan sampai berat, dan 6 juta orang meninggal (diperkirakan jumlah riil sekitar 3 kali lipat, atau sekitar 18 juta orang riil meninggal, perkiraan saya bahkan faktor pengaliannya bukan 3 tapi 4 artinya sebenarnya ada 24 juta orang meninggal karena Covid dan komplikasinya, bisa dikonfirmasi dari berapa banyak pertumbuhan Taman Pemakaman Umum di seluruh dunia baik yang dimakamkan dengan protokol Covid maupun tidak). Bila merujuk dari hal di atas, adanya KLB Hepatitis Misterius yang dalam 1 bulan menyebar di 12 negara dengan jumlah kasus sebanyak 169 dan beberapa di antaranya berakhir fatal. Tampaknya kita harus bersiap untuk terjadinya Interseksi Pandemi, yaitu Pandemi Covid yang belum berakhir dan Pandemi Adenovirus yang baru dimulai. Dari catatan kasus maka Hepatitis misterius ini memiliki CFR (Case Fatality Rate) sebesar 10%, equal dengan Covid awal dengan virus Corona tipe WIV1 yang menyerang dunia dalam kurun Desember 2019 sampai dengan Juli 2020 yang kemudian diikuti varian-varian hasil mutasi dengan CFR lebih rendah. \"Apakah ada kaitannya dengan Vaksinasi Covid yang diberikan pada anak-anak usia 0 sampai dengan 16 tahun sebagai susceptible population pada kasus Hepatitis Misterius ini?\" Beberapa laporan yang telah disampaikan Para Peneliti yang hasil simpulan sementaranya adalah: \"Antara Vaksinasi Covid dengan kejadian Hepatitis Misterius ini, sangat mungkin berkorelasi, dan hampir tidak mungkin sebuah koinsidens belaka\" Koinsidens = kebetulan. Secara mudah kita bisa mengkomparasikan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di tahun-tahun lalu: Januari - Desember 2019: No Vaks Covid - No Hepatitis Misterius. Januari - Desember 2020: No Vaks  Covid - No Hepatitis Misterius. Januari - Desember 2021: Vaks Covid Adult - No Hepatitis Misterius. Januari 2022 - April 2022: Vaks Covid for Children - Hepatitis Misterius existed. Apakah simpulan ini confirmed? Perlu dibuktikan lagi secara lebih tajam dengan penelitian-penelitian dengan sample size lebih luas di negara-negara yang sudah memberlakukan Vaksinasi Covid kepada anak-anak. Bagaimana seharusnya kita bersikap? Pemerintah seharusnya tanggap. Segera hentikan Proyek Vaksinasi Covid, lakukan pengkajian dan penelitian. Lindungi nyawa rakyat. Bukan malah sibuk menangkis dan menyangkal seakan-akan malah jadi jubirnya Pabrik Vaksin, bukan pasang badan membela rakyat. Ringkasan kasus seperti dilansir Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebagai berikut: 5 April 2022 Inggris Raya menemukan kasus hapatitis akut sebanyak 10 kasus pada anak. Mereka dirawat di rumah sakit. Tidak ditemukan virus hepatitis A-E dalam pemeriksaan laboratorium. Pada 8 April 2022 dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan 74 terjangkit, 8 diantaranya menjalani transplantasi hati. Hingga 11 April 2022 tak ditemukan kematiaan hepatitis akut. Sejak 21 April, berbagai negara melaporkan kasus ini, seperti Irlandia, Spanyol Amerika, Israel dengan variasi jumlah kasus dan usia anak antara 0 tahun sampai dengan 3 tahun. Menyusul kemudian Jepang, Kanada dan Mei 2022 ditemukan di Singapura. Gejala dan Tanda Hepatitis Misterius: Penurunan kesadaran, demam tinggi, warna urine gelap, kuning, sakit seluruh persendian, mual, muntah, nyeri perut, lesu, hilang nafsu makan dan diare. (IP)

Islamphobia: Rekayasa Politik Yahudi

Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Gayung bersambut. Presiden George W. Bush Jr menyambut strategi tersebut. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia menulis sebuah artikel berjudul: “Rand Corporation and Fixing Islam”. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard. Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah Religious Building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif. Benard mengakui bahwa misi ini sangat berbahaya dan kompleks, jauh lebih menakutkan dibanding misi nation building. Sedangkan Pipes, menganalogikan misi ini sebagai upaya untuk masuk ke dalam wilayah yang belum terpetakan. “Ini adalah sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya”. Cheryl Benard, yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada Pemerintah Amerika Serikat. Strategi melemahkan dan menghancurkan Islam di Indonesia: Sudah dirancang dan dalam buku berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies”. Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Gayung bersambut. Presiden George W. Bush Jr menyambut strategi tersebut. Sasaran strategi mereka adalah akan mengerang dan menghantam soal konsep Khilafah.   Pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan: “Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan, yang mereka sebut Khilafah”. Konsep yang akan diserang/dihantam: 1. Bahwa khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter. 2. Bush pernah bersumpah, tak akan membiarkan khilafah tegak. “Saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dan tidak ada seorangpun Presiden Amerika di masa depan yang akan membiarkannya juga”. Sasarannya adalah motif ekonomi bahwa: 1. Mencegah pembentukan kekhalifahan, mengontrol minyak dan sumber daya energi lainnya. 2. Memaksakan/membuat kebijakan negara/UU, yang harus tunduk dengan strategi Yahudi tersebut. 3. Sesuai konsep Bernard, menciptakan teror dengan tuduhan terorisme, radikal dll. 4. Siap melanjutkan semangat Perang Aalib, seperti dikatakan Powel pada  2004. AS Yahudi mengerti ada kecurigaan umat Islam pada kebijakan “Islam ala Rand”. Atas kemunafikan AS yang mulai terbaca oleh umat Islam, maka AS mencoba menerapkan strategi: 1. Harus disembunyikan. Sementara, boneka Muslim yang dipilih dengan hati-hati harus berada di garis depan untuk mengantarkan Islam versi baru ini. 2. AS menciptakan mitra ideal untuk menjalankan pekerjaan ini adalah orang Islam sendiri (dari dalam komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika) sebagai boneka, Rand melabeli mereka sebagai kaum modernis/moderat. 3. Cirinya: ada gerakan “memodernkan dan mereformasi Islam, agar sejalan dengan zaman”. 4. Merekomendasikan penguasa agar muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. 5. Membuat kekuatan (seperti Buzzer) untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati. 6. Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, mereka akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. 7. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dan berpotensi sebagai penghalang. 8. Kaum modernis ciptaannya harus dipelihara dan ditampilkan secara publik sebagai wajah Islam kontemporer. 9. Kaum modernis harus dibangun (citranya) sebagai pemimpin hak-hak sipil yang pemberani. Publikasikan dan distribusikan karya mereka dengan dukungan biaya. 10. Ubah kurikulum pendidikan Islam. 11. Buat pendapat dan penilaian mereka tentang pertanyaan mendasar dari penafsiran agama tersedia bagi masyarakat, dalam persaingan dengan para fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki website, penerbitan, sekolah, institut, dan banyak kendaraan lain untuk menyebarkan pandangan mereka. 12. Para boneka modernis ini mampu membuat para pemuda Islam memeluk sekularisme, bangga dengan sejarah non-Islam dan pra-Islam, melalui kurikulum sekolah dan media lainnya. 13. Konsep mengenai syariat, jihad, dan khilafah yang benar akan rusak dalam pikiran para pemuda Islam, bahkan membuat mereka benci dan menjauhinya. 14. Menyarankan agar pemerintah AS mendukung pengembangan ormas yang bisa dimanfaatkan. 15. Memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan “tandingan” untuk para pemuda Islam yang tidak puas. Fasilitasi dan dorong kesadaran akan sejarah dan budaya pra-Islam dan non-Islam mereka, di media spsial. 16. Bantu pengembangan organisasi kemasyarakatan yang independen, untuk mempromosikan budaya sipil. Islam Nusantara - Islam Merah Putih. Jika kita lihat di Indonesia, semua strategi tersebut sudah ada dan sedang diterapkan. 1. Merekomendasikan perpecahan di dunia Islam dengan menciptakan Islam versi nasionalistik negara tertentu. 2. Kembangkan konsep Islam Nusantara, Islam Merah Putih, dipastikan akan lahir nama-nama lokalan lainnya. Bantu dalam memunculkan, mengekspresikan, dan “mengkodifikasi” pandangan mereka. 3. Pada bulan Maret 2016, strategi penerapannya di Asia Tenggara kembali digodok di Semarang. Beberapa pakar diundang untuk merumuskannya. 4. Tiga ajaran dalam Islam yang harus dimodifikasi, yaitu khilafah, jihad, dan al-wala’ wal-bara’. 5. Istilah-istilah Islami mulai dihindari, seperti jihad, syariah, dan ummah, dan lainnya. 6. Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia - Munculah Islam Nusantara, bahkan saat ini muncul Islam Merah Putih. 7. Narasi yang lebih dikedepankan adalah narasi toleransi dan pluralisme, dan bahwa Islam juga sama dengan agama-agama yang lain. 8. Mengatur dan mengembangkan materi khutbah dengan konteks lokal yang mengedepankan tema-tema toleransi, perdamaian, hak perempuan, dan seterusnya. 9. Sasaran utama dari proyek ini adalah pemuda dan wanita. 10. Membeli tokoh agama yang bisa digalang untuk menyebarkan Islam alternatif ini. Untuk medianya dan penyebarannya, dilakukan mulai dengan menggunakan media sosial, televisi, film, radio, media cetak, komik, buku, hingga kegiatan-kegiatan diskusi. 11. Menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan begitu buruk. Dari sinilah lahirnya Islamphobia. 1. Menyerang dengan memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dan semacamnya. 2. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Yahudi. 3. Misi adu domba mutlak harus diciptakan. Dari hambatan di atas, kalau umat Islam ingin tumbuhan sebagai Rohmatal lil alamin, harus memiliki kekuatan dengan arah perjuangan; 1. Umat Islam harus terus diberi pencerahan kalau ada kekuatan yang akan melemahkan dan menghancurkan umat Islam. 2. Menggalang ukhuwah Umat Islam bukan pada tataran Islam hanya soal ibadah dan muamalah, tetapi ada konsep syiasah 3. Hentikan umat Islam sebagai pengemis dan kuli para kapitalis dan Oligarki. 4. Hilangkan perselisihan soal khilafiah minimal pada tatataran pemahaman 4 Madzhab untuk mengindari saling menyalahkan dan merasa paling benar dan paling islami. 5. Umat Islam harus ada kerangka perjuangan dalam konteks Jihad Qital yang terukur dalam konsep keilmuan syariah - memiliki kekuatan gerakan dan dukungan finansial. 6. Hentikan umat Islam hanya sebagai permainan boneka politik sesaat dan menjual diri - melelang agamanya dengan harga dunia. (*)

Prabowo Sibuk Safari Politik, Persiapan Menggantikan Jokowi?

Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN PASCA Lebaran ini, Prabowo Subianto sibuk melakukan safari politik. Dikemas dengan narasi silaturahmi dalam rangka Hari Raya Idul Fitri, Prabowo sengaja pertama menemui dulu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Yogyakarta pada hari pertama Lebaran Senin 2 Mei 2022.  Setelah bertemu Jokowi, pada hari itu juga Prabowo kembali ke Jakarta menemui Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani serta Kepala BIN, Budi Gunawan. Keesokan harinya, Selasa 3 Mei 2022, Ketua Umum Partai Gerindra ini terbang ke Jatim untuk bersilaturahmi dengan para kiayai di sana. Seolah seperti dikejar waktu, pada Selasa malamnya, Prabowo Subianto sengaja menemui Gubernur Jatim  Khofifah Indar Parawansa di Gedung Grahadi Surabaya.  Di kalangan politisi, Khofifah disebut-sebut akan dipasangkan dengan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. Menurut sejumlah analis politik, jika Gubernur DKI dan Gubernur Jatim jadi berpasangan dalam Pilpres nanti, akan menjadi batu sandungan dan lawan berat bagi Menhan Prabowo Subianto yang akan maju dalam Pilpres berpasangan dengan Ketua DPR-RI Puan Maharani. Safari Prabowo ke Jatim ini sangat kental aroma politiknya karena dia kesana didampingi Sekjen dan Ketua Partai Gerindra, Ahmad Muzani dan Prasetyo Hadi.  Apakah manuver politik Prabowo ini dalam rangka persiapan menuju Pilpres 2024 ? Atau justru dalam rangka mengantisipasi kemungkinan Presiden Jokowi mundur dari jabatannya atau dipaksa mundur sebelum tahun 2024 ?.  Dalam dunia politik praktis, manuver Prabowo ini terbilang \"cerdas\" karena dia berusaha keras mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Disamping mempersiapkan rencana jelang Pilpres 2024, Prabowo kemungkinan juga menyiapkan rencana kekuasaan Triumvirat jika Jokowi mundur atau dimundurkan sebelum masa jabatannya berakhir 2024.  Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum. Dalam sebuah negara hukum Indonesia, ada sebuah celah hukum dalam konstitusi  mengenai kedudukan dan fungsi triumvirat (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan).  Triumvirat Belum Pernah Digunakan Bersarkan UUD 1945, implementasi kekuasaan triumvirat dilakukan jika Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berhalangan tetap dan kabinet telah dibubarkan.  Wapres Ma\'ruf Amin memang bisa menggantikan Jokowi jika beliau mundur sebelum 2O24. Namun Ma\'ruf Amin bisa dianggap kategori berhalangan tetap karena dianggap telah berusia uzur dimana beliau saat ini telah berumur 79 tahun.  Dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan Triumvirat belum pernah digunakan. Pada peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1966 dilakukan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Sedangkan ketika Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998, penggatinya adalah Wapres ketika itu BJ. Habibie. Demikian pula ketika Presiden Gus Dur dilengserkan MPR-RI pada bulan Juli tahun 2001, penggantinya adalah Wapres waktu itu Megawati Soekarnoputri.  Disadari bahwa saat ini masyarakat sedang dilanda berbagai persoalan seperti kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup, kemiskinan dan pengangguran yang meningkat, utang negara yang terus membengkak, praktek korupsi dimana-mana serta adanya ketidakadilan. Persoalan itu semua yang kemudian menyadarkan para mahasiswa, buruh dan emak-emak, kalangan purnawirawan dan tokoh masyarakat lainnya untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi masyarakat.  Aksi demonstrasi sudah dilakukan dan masih akan berlanjut karena tidak terlihat tanda-tanda Presiden Jokowi mampu mengatasi problem masyarakat ini. Yang bisa dipenuhi Jokowi cuma membatalkan skenario politik penundaan Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden yang digagas oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.  Oleh karena itu elemen mahasiswa, buruh, dan emak-emak dan purnawirawan yang akan melanjutkan aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi sebaiknya lebih berhati-hati dengan kelompok \"penumpang gelap\" yang akan ikut masuk di \"tikungan\". Anda semua kemungkinan akan dimanfaatkan dan ditunggangi oleh kelompok kepentingan kekuasaan.  Mereka semua sudah menyiapkan segala sesuatunya sampai ke hal-hal detil seperti nanti siapa dapat apa atau menduduki jabatan dimana. Sekali lagi Waspadalah!  ***

Hentikan Indonesia dari Stigma Islamophobia!

Resolusi Jihad, Penggerak Santri dan Rakyat di Pertempuran 10 November 1945. Resolusi Jihad membakar semangat juang arek-arek Suroboyo dan sekitarnya pada 10 November 1945. Oleh : Ir Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila INDONESIA dalam lintasan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Sebab dalam sejarahnya Islam-lah yang membangunkan kesadaran agar Indonesia merdeka dan mempunyai harkat dan martabat rakyat Indonesia Asli. Dimulai dari Syarekat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin oleh Haji Samahudi, sering disebut Kyai Haji Samanhudi adalah pendiri SDI, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Nama kecilnya ialah Sudarno Nadi. Pondok Pesantren yang pernah ia datangi untuk menimba ilmu di dalamnya. Sekitar tahun 1900, pedagang dari China memperoleh banyak bantuan dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk melancarkan usaha dagangnya. Sementara, pedagang dari pribumi justru tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Bahkan seringkali mendapatkan tekanan dari pemerintah Belanda dalam mengembangkan usahanya. Perlakuan yang tidak adil itulah yang membuat Haji Samanhudi tergerak hatinya untuk membela kaumnya, rakyat pribumi yang seringkali direndahkan. Dalam catatan sejarah, Haji Samanhudi telah banyak menaruh sumbangsih besar terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan rakyat pribumi yang sering kali dikucilkan. Sosok Haji Samanhudi yang banyak terlibat aktif dalam pergerakan nasional dan berteman akrab dengan beberapa pejuang Indonesia lainnya. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) yang sebelumnya dikenal dengan SDI dan terpilih menjadi ketua. Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu; Semurni-murni tauhid; Sepintar-pintar siasat. Di atas podium Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 17-24 Juni 1916, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto berorasi dengan nada tinggi. Pemimpin Besar SI ini menyerukan tentang ide kemerdekaan bagi bangsa Hindia Belanda (Indonesia). Itu disebutnya dengan istilah zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. “Orang semakin lama merasakan, baik di Belanda maupun di Hindia, bahwa zelfbestuur sungguh diperlukan,” lantang Tjokroaminoto di hadapan ratusan peserta kongres yang datang dari seluruh penjuru negeri. Mungkin bagi mereka yang hari ini selalu menghujat Islam dengan stikma Radikal, pecah-belah dan kemudian istilah PKI muncul lagi yang menyebut ulama, Habib Kadrun selalu melakukan penghinaan terhadap Islam harusnya sadar tanpa ide zelfbestuur SI sehingga membangkitkan bangsa Indonesia menjadi pergerakan kebangsaan yang membangunkan bangsa Indonesia untuk Merdeka. Mereka yang melakukan Islamophobia sebaiknya belajar sejarah kebangsaan, begitu besar peran Islam dalam mendirikan dan memerdekakan Indonesia. Tidak hanya memberikan ide merdeka, Umat Islam juga ikut serta merancang dasar negara Pancasila bahkan mau mengorbankan sila kesatu dari Ketuhanan dengan menjalankan Syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi penghujat Islamophobia tidak mau melihat sejarah bangsa ini. Peran umat Islam bukan hanya di tataran ide Kemerdekaan tetapi juga mempertahankan kemerdekaan dengan resolusi jihad para Ulama. Resolusi Jihad, Penggerak Santri dan Rakyat di Pertempuran 10 November 1945. Resolusi Jihad membakar semangat juang arek-arek Suroboyo dan sekitarnya pada 10 November 1945. Sehingga, kaum santri dan rakyat bersatu mengusir tentara sekutu dari Kota Pahlawan Surabaya. Sejak terbentuk pada 4 Desember 1944, Laskar Hizbullah menjadi tempat bagi para santri yang ingin mengembangkan waktu, tenaga, dan pikirannya demi Tanah Air. Walaupun terbentuk di masa pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah berbuat tidak untuk kemenangan Dai Nippon dalam Perang Dunia II. Jauh lebih luhur dari itu, niat kaum pesantren ini semata-mata berjihad fii sabilillah. Seperti yang pernah disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh Hasyim Asy\'ari, \"hubbul wathan minal iman\", cinta Tanah Air itu sebagian dari iman. Dalam buku Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Zainul Milal Bizawie menjelaskan, Laskar Hizbullah dan juga Sabilillah menjadi salah satu bukti sejarah peran kaum santri dalam membela Indonesia. Laskar yang namanya berarti \'para tentara Allah\' itu memiliki keislaman dan kebangsaan yang semangat tinggi. Sesudah Proklamasi RI, semangat itu kian menggelora. Mereka keras berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari kuasa-kuasa yang ingin menjajah lagi Bumi Pertiwi. Laskar Hizbullah dibentuk sebagai laskar kesatuan perjuangan semi militer dari kelompok Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, berjuang menegakkan agama dan Negara. Laskar Hizbullah berperan aktif dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Rasanya sangat disayangkan jika manajemen konflik yang dijalankan penguasa hari ini menyasar umat Islam, siapapun umat Islam akan merasa sakit hati jika Islam distigma radikal, teroris, bahkan BNPT juga menuding beberapa masjid tempat teroris ini sungguh penghinaan stigma yang menyakitkan. Buzer-buzer dengan mengumbar kebencian dengan stigma Kadrun. Islamophobia harus dihentikan, sebab hal demikian adalah pecah-belah tidak sesuai dengan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Jangan hanya Khilafah yang dianggap ideologi Trans Nasional, sementara Ideologi Pancasila diganti dengan Ideologi TransNasional Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme kita diam dan merasa nyaman saja. Apakah para punggawa, Esekutif, Yudikatif, Legislatif, dan MPR mengerti apa itu ideologi Trans Nasional, kok masih menjalankan Pilsung Pilpres Pilkadal, bukannya negara berdasarkan Pancasila tersebut sistemnya kolektivisme, kekeluargaan, permusyawaratan perwakilan? Bukannya pilsung Pilpres, Pilkada itu adalah ideologi liberal dan kapitalis itu  untuk meraih kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara berbasis pada individualisme? Indonesia dalam kegamangan hanya bisa selamat jika hentikan Islamophobia  kembali pada jati diri bangsa Pancasila dan UUD1945 asli. (*)

Prabowo Potensial Menjadi Pecundang Abadi?

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KELALAHAN Prabowo  dalam tiga Pilpres berturut-turut patut menjadi pengalaman dan perhatian. Tahun 2009 Megawati-Prabowo kalah oleh pasangan SBY-Budiono. Prabowo Hatta Rajasa dikalahkan Jokowi-JK tahun 2014  dan terakhir tahun 2019 Prabowo-Uno kalah oleh Jokowi-Ma\'ruf Amin.  Kini untuk Pilpres 2024 Prabowo mulai bersiap untuk maju kembali. Pasangan potensialnya adalah Puan Maharani dari PDIP.  Prabowo disorot hari-hari ini atas manuver \"politik lebaran\" yang atraktif. Satu-satunya Menteri yang segera menemui Presiden Jokowi di Istana Yogyakarta lalu makan opor dan tempe bacem bersama. Segera balik ke Jakarta untuk bertemu Mega dan Puan.  Terbang ke Jatim menemui Gubernur Khafifah dan ulama.  Ketika ditanya oleh Jokowi akankah maju dalam Pilpres ? Prabowo menjawab jika diizinkan Jokowi he hee.  Survey selalu menempatkan Prabowo di papan atas bahkan sering teratas. Mungkin efek dari kondisi peta pertarungan 2019 yang tersisa. Akan tetapi sebenarnya peta dukungan itu telah jauh berubah.  Sejak Prabowo masuk dalam Kabinet Jokowi, maka suara kecewa kerap terdengar. Banyak yang mengecam dan menilai Prabowo sebagai profil figur pecundang. Jikapun ia beralasan strategi, maka hal itu lebih pada jabatan dan keuntungan pribadi atau kelompok Prabowo sendiri.  Sejak puja puji berlebihan kepada Jokowi, Prabowo menampilkan integritas pribadi yang diragukan. Sebagaimana dirinya yang dinilai kurang demokratis, maka sikap kepada atasan lebih bernuansa ABS. Tidak terdengar gagasan kreatif apalagi progresif yang diterima  dan dijadikan sebagai kebijakan Presiden.  Sikap kritis dan pembelaan pada rakyat yang menderita tidak nampak. Soal korupsi minim  komentar, begitu juga saat rakyat ribut soal pemaksaan vaksin dan PCR. Minyak goreng langka, BBM naik, UU Cipta Kerja panas, proyek KA mangkrak, pindah IKN, penistaan agama dan lain-lainnya sepi dari suara Prabowo.  Soal pembantaian 6 laskar FPI maupun pembunuhan dokter pejuang kemanusiaan Prabowo tetap bungkam dan tenang-tenang  saja. Saat HRS dan aktivis eks pendukungnya ditangkap dan dipenjara ia tidak nampak gelisah. Sikapnya nyaris bersatu dengan kezaliman rezim. Menyakitkan.  Kini ia mulai aktif bermanuver demi jabatan Presiden ke depan. Bukan demi rakyat yang semakin terdesak dan muak dengan perilaku pemimpin negara yang serakah, memikirkan sendiri, serta korup. Bermain di dua kaki antara Jokowi dan Megawati. Kakinya tidak berpijak pada amanat penderitaan rakyat.  Jika berprinsip dapatkan dulu kursi Presiden baru berbuat untuk rakyat, maka itu adalah awal dari kebohongan dan modal bagi penghianatan. Oligarki dipastikan mengangkangi dan tetap memegang kendali.  Janji untuk rakyat tidak ada artinya jika tidak berjuang bersama rakyat. Tidak merasakan denyut nadi aspirasi dan keinginan rakyat untuk hidup lebih bebas, sejahtera, berkeadilan dan berkeadaban.  Prabowo bukan figur terbaik yang dinilai mampu  untuk memimpin negeri. Ia kini merepresentasi misi Istana yang nyatanya sudah berfriksi. Prabowo potensial menjadi wajah baru dari oligarki.  Masih banyak figur lain yang lebih berkualitas dan berintegritas seperti Anies Baswedan, LaNyalla Mattalitti, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan lainnya. Rakyat tidak boleh digiring untuk selalu ditipu oleh rekayasa politik pragmatik.  Dalam pertarungan yang sehat, sulit Prabowo untuk berhasil. Gebrakan politiknya tidak populis.  Dengan postur politik Prabowo saat ini maka untuk menang bukan hal yang mudah. Dukungan telah berubah. Prabowo kemarin berbeda dengan Prabowo saat ini.  Prabowo potensial untuk menjadi pecundang yang abadi.  Bandung, 5 Mei  2022

Solusi Krisis: Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli!

Presiden Jokowi tentu saja tak perlu copy paste Dekrit Presiden Soekarno itu. Cukup menyatakan “Diberlakukannya Kembali UUD 1945”. Tiga poin lainnya tinggal disesuaikan dan ditata kembali saja. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN INDONESIA di ambang krisis ekonomi dan politik. Apalagi, hutang kita sudah mencapai angka lebih dari Rp 7.000 triliun. Entah berapa tahun lagi hutang ini terlunasi. Entah presiden siapa yang berhasil melunasinya. Anehnya, Pemerintah justru lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur daripada membangun ekonomi kerakyatan. Tuntutan mahasiswa dalam setiap kali unjuk rasa sepertinya nyaris tak terdengar dan sulit dipenuhi. Dari 6 tuntutan mahasiswa dalam unjuk rasa BEM SI, Senin, 11 April 2022, yang dipenuhi baru tuntutan perpanjangan masa jabatan presiden dan soal penundaan Pemilu 2024. Pemilu tetap digelar 24 Februari 2024. Apakah tuntutan janji-janji semasa kampanye Pilpres 2019 pasangan Joko Widodo - Ma’ruf Amin bakal dipenuhi dalam waktu sekitar 2,5 tahun lagi? Belum ada jawaban dari Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin.  Anggaran Pemilu 2024 pun sudah ditetapkan KPU sebesar Rp 110,4 Triliun. Jangan sampai proses demokrasi mahal ini menghasilkan pemimpin petugas partai seperti yang terjadi selama 2 kali Pemilu (2014 dan 2019) ini. Ketika harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, yang sebelumnya didahului dengan “hilangnya” minyak goreng di pasaran, pemerintah dan DPR tidak bisa berbuat banyak. Padahal, rakyat sangat susah mencarinya. Begitulah kalau sumber-sumber kekayaan negara dikuasai segelintir menusia serakah yang dikenal sebagai Oligarki. Ribuan, bahkan jutaan hektar lahan di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, misalnya, dikuasai oligarki. Mereka menguasai perkebunan kelapa sawit. Ketika rakyat kesulitan mencari minyak goreng, ternyata mereka malah mengekspornya karena keuntungan yang diperolehnya lebih besar ketimbang dijual di dalam negeri. Itulah jahatnya oligarki! Mereka lebih mementingkan kelompoknya ketimbang rakyat yang mesti antri berjam-jam untuk membeli minyaknya. Meskipun ada upaya “mengendalikan” harga minyak goreng, pemerintah tidak dianggap oleh oligarki penguasa minyak goreng dan lahan kelapa sawit. Harga minyak goreng tetap saja mereka yang tentukan. Inilah akibat dari UUD 1945 yang telah mengalami Amandemen sampai 4 kali oleh MPR RI. Sepanjang sejarahnya, UUD 1945 itu telah mengalami 4 kali amandemen atau perubahan dalam kurun waktu dari 1999 hingga 2002 yang dilakukan dalam Sidang Umum maupun Sidang Tahunan MPR. Rangkaian pelaksanaan amandemen UUD 1945 seperti dikutip dari buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945? (2019) karya Taufiequrachman Ruki dan kawan-kawan bisa dibaca berikut ini: 1. Amandemen Pertama UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999; 2. Amandemen Kedua UUD 1945 dilakukan di Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000; 3. Amandemen Ketiga UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001; 4. Amandemen Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002. Pasal apa saja yang Mengalami Perubahan dalam Amandemen UUD 1945? Amandemen UUD 1945 yang pertama dalam Sidang Umum MPR 1999 diterapkan terhadap 9 pasal dari total 37 Pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Sedangkan Amandemen UUD 1945 kedua yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 2000 meliputi 5 Bab dan 25 Pasal. Amandemen UUD 1945 ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 2001 mencakup beberapa pasal dan bab tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman, dan lainnya. Terakhir, Amandemen UUD 1945 keempat yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 2002 menyempurnakan penyesuaian untuk perubahan-perubahan sebelumnya termasuk penghapusan atau penambahan pasal/bab. Salah satu contoh ekses negatif dari amandemen UUD 1945 bisa dibaca dalam tulisan Koordinator INVEST Ahmad Daryoko, “Ternyata Penjualan PLN Tetap Jalan dengan UU Omnibuslaw!” Sebenarnya program penjualan PLN itu ada dalam UU Nomor 20/2002 dan UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang sudah dibatalkan MK dengan putusan MK Nomor 001-021-022/PUU - I/2003 pada 15 Desember 2004 dan putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 pada 14 Desember 2016. Tetapi, tulis Ahmad Daryoko, Rezim ini ternyata tetap “ngotot” menjual PLN dengan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dalam Kluster Kelistrikan pasal 42 halaman 243 ) yang terbit pada 2020 kemarin.  Akibatnya saat ini aset PLN nyaris habis. Hanya tersisa luar Jawa-Bali (atau 15 persen dari kelistrikan Nasional). Yang di Jawa-Bali, operasi pembangkit PLN kurang dari 10 persen perhari. Sementara pembangkit swasta IPP menyediakan 90 persen dari kebutuhan total rata-rata sekitar 25.000 MW. Sementara retail sudah dikuasai oligarki. Dekrit Presiden Untuk keluar dari krisis multidimensi yang sudah di depan mata ini, Presiden Joko Widodo bisa segera mengeluarkan Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli. Sebab, sumber kegaduhan selama ini bermula dari amandemen UUD 1945 itu. Pasca amandemen UUD 1945 itu, banyak UU akhirnya diubah sesuai pesanan Asing dan Aseng. Untuk menyelamatkan Indonesia, Presiden Jokowi bisa mencontoh langkah yang dilakukan Presiden Soekarno yang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Itulah dekrit pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Puluhan tahun kemudian, yakni setelah Reformasi 1998 yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, tepatnya tanggal 23 Juli 2001, Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga mengeluarkan dekrit tapi ditolak oleh MPR kala itu. Latar belakang dan alasan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 adalah dari kegagalan Konstituante menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950. Konstituante adalah badan atau dewan perwakilan yang dibentuk pada 1956 dan ditugaskan untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia. UUDS 1950 sendiri digunakan sejak 1950 seiring dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang semula dipakai sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949. Sejak dibentuk sebagai hasil dari Pemilu 1955, Konstituante mulai melakukan sidang pada 10 November 1956 untuk merumuskan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya itu, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959. Kegagalan Konstituante merumuskan UUD baru yang disebabkan banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok memunculkan berbagai gejolak di berbagai daerah. Situasi negara ketika itu tidak kondusif dan cukup kacau karena gejolak tersebut. Kondisi tersebut membuat Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden 1959 sebagai “Hukum Keselamatan Negara”. Sehingga, tujuan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 itu adalah untuk menyelamatkan negara berdasarkan staatsnoodrecht atau hukum keadaan bahaya bagi negara. Dengan adanya Dekrit Presiden 1959, maka masa Demokrasi Liberal atau Parlementer di Indonesia resmi berakhir dan dilanjutkan dengan masa Demokrasi Terpimpin. Dikutip dari buku Sejarah Hukum Indonesia (2021) yang ditulis oleh Sutan Remy Sjahdeini, isi Dekrit Presiden 1959 secara ringkas adalah sebagai berikut: Dibubarkannya Konstituante; Diberlakukannya kembali UUD 1945; Tidak berlakunya lagi UUD 1950; Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Adapun isi Dekrit Presiden 1959 dalam format aslinya adalah sebagai berikut: DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Dengan ini menjatakan dengan chidmat: Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja; Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja. Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959 Atas nama Rakjat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang SOEKARNO Presiden Jokowi tentu saja tak perlu copy paste Dekrit Presiden Soekarno itu. Cukup menyatakan “Diberlakukannya Kembali UUD 1945”. Tiga poin lainnya tinggal disesuaikan dan ditata kembali saja. Sehingga, dalam sisa masa jabatan Presiden Jokowi hingga 2024, penyesuaian yang dimaksud itu bisa segera dilakukan. Peraturan Perundangan yang dinilai merugikan rakyat, bisa dihapus seperti UU Omnibuslaw. Bila ini dilakukan oleh Presiden Jokowi, insya’ Allah, pada akhir masa jabatan periode kedua ini, Jokowi bisa menjadi “Pahlawan” di mata rakyat karena telah menyelamatkan Indonesia dari krisis politik berkepanjangan. Mengenai hal-hal lain yang bersifat teknis dan sebagainya bisa dibicarakan di Senayan secara bersama dalam tempo sesingkat-singkatnya. (*)

Islamofobia Musuh Pancasila!

Musuh Pancasila bukan Islam, maka tak ada alasan menebarkan Islamofobia. Musuh Pancasila adalah mereka yang mulutnya berteriak NKRI harga mati, namun tindakannya mengangkangi konstitusi. Oleh: Tamsil Linrung, Penulis adalah Ketua Kelompok DPD–MPR RI HARI-hari belakangan ini, wajah Islam dan umat Islam Indonesia terlihat kusam. Senyum yang dulu merekah, kini sirna terkoyak oleh narasi radikal, intoleran, ekstrem dan sejenisnya. Stigma yang demikian popular ini sambung-menyambung menari di atas isu demi isu. Isu itu ditiup bukan hanya dari mulut buzzer. Sejumlah pejabat, komisaris Badan Usaha Milik Negara, aparat keamanan, dan bahkan pimpinan Institusi Perguruan Tinggi ramai mengompori. Terbaru dilakukan oleh Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof. Budi Santosa Purwakartiko yang menuduh orang mengenakan jilbab sebagai manusia gurun. Begitulah, beberapa tahun belakangan ini, Islam seolah tiba-tiba menjelma menjadi agama penuh kontroversi. Dulu, jarang sekali ajaran atau simbol-simbol Islam dipersoalkan. Sesekali mungkin ada geliat, namun intensitasnya tidak seperti sekarang. Sangat disayangkan, diantara penyebar Islamofobia adalah mereka yang justru beragama Islam. Demi kepentingan tertentu, mereka mengolok-olok simbol Islam secara terbuka. Urusan jenggot yang sunnah dibilang kambing, urusan cadar dibilang ninja, urusan jilbab dibilang manusia gurun. Acapkali lagu Islamofobia didendangkan dari mulut pejabat atau pemangku kepentingan negeri. Narasi-narasi yang menyudutkan Islam tersebut malah menyembur dari mulut Menteri Agama, sosok yang seharusnya mengayomi dan menjaga keteduhan hati semua pemeluk agama. Uniknya, semua Menteri Agama yang telah menjabat di Pemerintahan Presiden Joko Widodo seolah kompak dalam satu sikap kontroversial itu. Apakah ini kebetulan? Wallahu a’lam. Lontaran narasi gonggongan anjing justru muncul saat Menag Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan aturan penggunaan toa atau pengeras suara masjid, misalnya. Belum usai kontroversinya, Yaqut kembali dengan narasi agar masyarakat menghargai LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender). Sebelumnya lagi, saat diangkat menjadi menag, Menag Yaqut mengatakan bahwa Kemenag adalah hadiah untuk NU, bukan umat Islam secara umum. Setali tiga uang, Menteri Agama pilihan Jokowi sebelumnya juga seperti itu. Sebutlah Menag Lukman Hakim Sjaefuddin. Jejak digital membaca Al-Quran dengan langgam Jawa, menghargai orang yang tidak berpuasa, atau list 200 mubaligh masih mudah ditemukan. Begitu pula dengan menag Fahru Razy yang dulu heboh dengan wacana larangan cadar atau celana cingkrang bagi PNS dan sertifikasi penceramah. Pertanyaannya, apa relevansi semua argumentasi itu dengan persoalan utama bangsa? Tidak ada, kecuali membuat kita bertengkar satu sama lain, semakin terbelah, dan menjauhkan fokus perhatian rakyat dari masalah riil bangsa. Apa masalah riil itu? Tentu bukan Islam. Masalah riil bangsa itu antara lain ekonomi yang terus memburuk, juga syahwat memperpanjang masa jabatan, kemiskinan, kesenjangan, atau utang negara yang semakin menggunung yang kini telah menembus angka lebih dari tujuh ribu triliun rupiah. Masalah riil lainnya adalah harga-harga kebutuhan dasar (seperti sembako) yang terus merangkak tinggi, sementara kesejahteraan semakin menurun. Survei Penelitian dan Pengembangan Kompas menemukan, 7 dari 10 orang warga negara Indonesia pada awal April 2022 sulit membeli kebutuhan pokok. Jadi, Islamofobia di Indonesia boleh jadi tidak berdiri sendiri sebagai penyakit sosial an sich. Ada peluang Islamofobia sengaja dimunculkan. Untuk apa? Pertama, sebagai pengalihan isu. Kedua, sebagai cara oligarki mempertahankan eksistensinya, berkembang, dan memamah biak. Islamofobia membelah masyarakat, memunculkan pengelompokan politik yang saling berhadapan. Pertentangan dua kutub besar yang sering kita dengar dengan sebutan (maaf) Kadrun versus Kampret terus dipelihara, agar rakyat jauh dari persatuan. Dengan cara seperti itu, oligarki mengukuhkan kekuatannya. Padahal, dunia mulai tersadar bahaya Islamofobia. Baru-baru ini, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari internasional memerangi Islamofobia melalui resolusi GA/12408. Indonesia seharusnya mengikuti tren positif itu. Apalagi, kita memiliki jimat kebangsaan bernama Pancasila. Sebagai pedoman hidup bangsa, Pancasila menjadi koridor kita menjalani hidup selaku warga negara Indonesia. Itu dimungkinkan karena Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama yang diakui Indonesia, termasuk ajaran agama Islam. Islam dan Pancasila justru saling mendukung satu sama lain. Islamofobia bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengharuskan menghargai agama yang diakui di Indonesia sekaligus menghargai pengikut-pengikutnya. Islamofobia juga bertentangan dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, penting menguatkan kembali cita rasa Pancasila kita. Ini sama pentingnya dengan menguatkan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan semboyan NKRI harga mati. Penguatan itu diperlukan agar kita sebagai bangsa dapat mengokohkan jati diri di tengah dinamika politik yang semakin menjauh dari nilai-nilai bangsa. Nilai-nilai Pancasila itu untuk dilaksanakan, bukan dijadikan alat agitasi untuk membelah anak bangsa atau menggebuk mereka yang tidak sepaham akibat perbedaan politik dan persepsi. Pancasila adalah milik kita semua. Bukan milik satu golongan tertentu, kelompok tertentu, atau partai politik tertentu. Musuh Pancasila bukan Islam, maka tak ada alasan menebarkan Islamofobia. Musuh Pancasila adalah mereka yang mulutnya berteriak NKRI harga mati, namun tindakannya mengangkangi konstitusi. Musuh Pancasila adalah mereka yang ingin memperpanjang masa jabatannya, sementara konstitusi mengatakan cukup lima tahun atau paling lama dua periode. Musuh Pancasila adalah  koruptor, oligarki, dan mereka yang nyata-nyata ingin mengotak-atik Pancasila. Dan, musuh Pancasila adalah Islamofobia! (*)

Gelora Bung Karno, Gelora Anies

Bung Karno itu seorang pemimpin yang banyak bicara dan banyak bekerja. Menjadi politisi dan negarawan sekaligus seorang teknokrat. Banyak karya monumental yang telah ia hasilkan. Salah satunya yang menjadi cita-cita dan semangat nasionalismenya, berupa pembangunan Kawasan Senayan atau sekarang dikenal dengan nama Gelora Bung Karno (GBK). Tak ada langkah-langkah politiknya yang tidak ideologis, begitupun dengan kesehariannya. Kini dalam  rentang waktu yang cukup jauh, lahir kepemimpinan Anies yang mengikuti jejaknya. Pemimpin yang menjadi harapan dan masa depan Indonesia. Salah satu prestasinya yaitu kehadiran  Jakarta Internasional Stadium (JIS) di Jakarta, yang  menjadi mahakarya,  juga  gelora Anies Baswedan. Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI BUNG Karno merupakan figur pemimpin Indonesia yang begitu dinamis dan meledak-ledak. Begitu banyak pemikiran dan gagasan-gagasan besar mewarnai kepemimpinannya. Ide-ide yang visioner dan melampau jamannya, seperti lekat dengan presiden pertama Indonesia yang dijuluki Putra Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Maka wajar saja pemilik nama kecil Kusno yang menjadi presiden pertama Indonesia itu, melahirkan karya-karya spektakuler dan bersifat mercusuar, baik skala nasional maupun internasional yang berhasil maupun yang terpaksa mengalami mangkrak.  Proyek-proyek pembangunan fenomenal yang bersejarah, prestisius dan mencerminkan identitas bangsa, tak sedikit berhasil diwujudkan Bung Karno. Beberapa yang sampai sekarang menjadi warisan seluruh rakyat Indonesia, masih bisa dinikmati dan menjadi kebanggaan baik yang berupa fisik maupun maupun warisan nilai-nilai dan semangatnya.  Proyek-proyek pembangunan fisik  inisiasi Bung Karno yang sebagian besar berhasil dilaksanakan, boleh dibilang sangat istimewa di jamannya. Sebut saja Gelora Bung Karno yang biasa disebut rakyat dengan Senayan. Ada juga Jembatan Semanggi dan Masjid Istiqlal yang arsitekturnya kaya estetika dan langka setidaknya di kawasan Asia pada waktu itu. Selain itu yang sampai sekarang berdiri kokoh, Bung Karno juga menyisakan patung-patung besar nan heroik yang menghampar di penjuru kota Jakarta. Ada patung Pak Tani, Ada Tugu monumen selamat datang, patung Pancoran dll. Semua proyek dan bangunan-bangunan yang menguras perhatian dan biaya besar itu, tergolong menakjubkan dan luar biasa. Mengingat Indonesia saat itu menjadi negara yang baru menikmati kemerdekaan seumur jagung, dibayangi ambisi kolonialisme yang ingin menjajah kembali, dipenuhi konflik politik dan pemberontakan dalam negeri serta ekonomi dan demokrasi yang belum tumbuh dan menguat.  Belum lagi, cita-cita dan semangat Bung Karno yang ingin membangun Indonesia secara mental spiritual. Pembangunan yang tidak sekedar fisiknya semata, namun juga pembangunan yang meliputi jiwa raganya, mental spiritualnya , pembangunan semesta alam seperti istilah Bung Karno. Seperti \"Bangunlah jiwanya bangunlah badannya\" yang ada dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya. Seperti itulah Bung Karno memaknai upaya pembangunan Indonesia.  Bung Karno memang penuh gairah, eksotis dan begitu berambisi menjadikan Indonesia sebagai  kekuatan besar di dunia. Salah satu penggali Pancasila itu, menghentak dunia dengan politik gerakan Non-Blok yang kemudian mengemuka dalam pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Tak cukup sampai disitu, Bung Karno juga  menawarkan Pancasila sebagai sebuah nilai-nilai universal di atas hegemoni kapitalisme dan Komunisme, dalam suatu kesempatan sidang PBB. Bung Karno begitu giat dan gigih menggelontorkan ide-ide progressif terkait nasionalisme dan internasionalisme untuk membawa Indonesia sebagai negara bangsa yang diperhitungkan dan disegani dunia. Cukup menggetarkan dan menyita perhatian dalam negeri dan dunia, Bung Karno terus melakukan propaganda dan provokasi kebangsaan dengan jargon-jargon seperti \"To Build The World A New\", \"Go To Hell With The Aid\" dan tak kalah mengusiknya semboyan kekuatan berbalut  \"New Emerging Forces\" dsb. Bahkan telah merancang Pusat reaktor tenaga atom dan menjadikan Indonesia sebagai poros ekonomi dunia dengan program \"Decon\". Pelbagai diksi dan narasi sarat historis, filosofis dan ideologis  yang ikut menggerakan revolusi Indonesia.  Betapa sangat radikal dan fundamental  hasrat dan gelora jiwa Bung Karno ingin diwujudkan dalam pembangunan karakter nasional bangsa. Menjadikan Indonesia berdaulat dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Membuat  Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam pergaulan antar bangsa. Menempatkan rakyat Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Bukan sebagai bangsa kuli di atas kuli dan bangsa yang menjadi korban eksploitasi bangsa atas bangsa serta korban eksploitasi manusia atas  manusia. Meskipun pada akhirnya spirit Bung Karno yang berujung pada politik revolusi, sosialisme Indonesia dan pimpinan nasional (resopim) itu harus pupus berhadapan dengan neo kolonialisme dan neo imperialisme. Bung Karno harus jatuh dan tersingkir oleh kekuatan bangsa asing maupun penghianatan segelintir bangsanya dan juga oleh kelengahannya sendiri. Dalam kekinian,  situasi Bung Karno mirip dengan kecenderungan negara gagal yang dihadapi Indonesia karena pengaruh kekuatan kapitalisasi global mewujud oligarki. Pada  saat itulah, empiris yang menjadi kegagalan Bung Karno atau dalam kata populer generasi sekarang, disebut proyek mangkrak Bung Karno, khususnya dalam pembangunan non fisik. Anies Seorang Soekarnois Meskipun serupa tapi tak sama. Anies seakan mengikuti jejak langkah Bung Karno. Boleh dibilang Anies menjadi pewaris pemikiran dan gagasan-gagasan Bung Karno. Terutama dalam soal-soal nasionalisme dan patriotisme. Apa yang diimpikan dan menjadi obsesi Bung Karno soal Marhaenisme, seperti tanpa banyak kata-kata oleh Anies direalisasikan dalam kebijakan populis. Menjadi Marhaenisme sejati yang satu kata dengan perbuatannya. Menjadi Gubernur Jakarta, Anies bukan hanya berhasil memajukan kotanya dan membahagiakan warganya. Ia juga menjadikan kota Jakarta sebagai kota megapolitan yang modern namun tetap humanis. Anies mempercantik Jakarta tapi tetap tak menghilangkan kesalehan sosialnya. Pembangunan kota Jakarta  berteknologi dan memiliki estetika tinggi layaknya yang dilakukan Bung Karno kala itu, seakan menegaskan Anies itulah figur pemimpin nasionalis Marhaenis.  Tak tumbang dicerca, tak terbang terbang dipuja, sebagaimana yang dilansir penulis Ady Amar. Anies memang pemimpin yang tangguh dan berintegritas meski dihujani isu, intrik dan fitnah. Framing jahat dan stereotif dengan cap politik identitas, intoleran, radikal dan fundamental tak mampu menggoyahkan apalagi sampai membunuh karakter Anies. Semua politisasi dan upaya kriminalisasi yang mengarah ke Anies, selalu dijawab dengan prestasi yang ditampuk penghargaan. Dedikasi dan pengabdian Anies kepada kepentingan publik, mampu mengalahkan rekayasa dan permukatan politik busuk. Terutama dari kelompok kepentingan yang bersembunyi di balik para buzzer dan kalangan haters. Anies bergeming dan berhasil merepresentasikan dirinya sebagai seorang marhaen, marhaenis dan penganut marhaenisme, tanpa pencitraan semu dan tanpa kamuflase.  Anies perlahan dan pasti menjawab keraguan banyak kalangan akan kepemimpinannya. Anies  menegaskan, Kata-kata seorang pemimpin itu bukan janji yang diingkari. Cita-cita dan pengabdian pemimpin kepada rakyatnya itu bukan mimpi. Anies mampu memberikan pengertian, sesungguhnya pemimpin itu adalah nama lain sekaligus perwujudan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Memaknai perjuangan wong cilik itu tidak sebatas pada panggung-pangung kampanye dan retorika politik.  Seiring waktu dan terbukti, dari mulai program-program sosial politik, sosial ekonomi dan sosial ekonomi. Anies telah berupaya membangun jiwa raga warganya. Membangun lahir dan batin kotanya. Memodernisasi Jakarta dan memanusiakan manusia seluruh warganya.  Bukan hanya sekedar nasionalis, Anies juga  seorang Soekarnois.  Secara substansi, seperti Gelora Bung Karno dengan manifestasi bangunan stadion Senayan. Maka kiprah generasi penerusnya, Gelora Anies membuncah pada   Jakarta Internasional Stadium (JIS). Sebuah mahakarya  kebanggaan warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia, dengan roh kebangsaan dan untuk semua anak negeri berkiprah dalam multi even. JIS siap menggelar agenda nasional maupun internasional demi  kebanggaan Indonesia. (*)

Pak Jokowi, Mengapa Tidak Shalat Idul Fitri di Mesjid Istiqlal Jakarta?

Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN DALAM setiap Hari Raya Idul Fitri, biasanya kepala negara berada di Jakarta. Presiden Republik Indonesia biasanya melaksanakan Shalat Ied di Mesjid Istiqlal Jakarta didampingi para menterinya. Namun, pada Hari Raya Idul Fitri 1443 H Tahun 2022 ini, Presiden Jokowi justru terbang ke Yogyakarta. Beliau memilih Shalat Idul Fitri  di Istana Kepresidenan Yogyakarta, pada Senin (2/5).  Shalat Idul Fitri memang bisa dilakukan dimana saja, tapi harus diingat Pak Jokowi sampai sekarang masih Presiden RI. Ketidakhadiran Jokowi di Mesjid Istiqlal saat Shalat Idul Fitri 1443 H, patut dipertanyakan karena Mesjid Istiqlal Jakarta adalah masjid nasional negara Republik Indonesia. Mesjid yang baru saja selesai direnovasi ini bukan hanya simbol Umat Islam Indonesia tetapi juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara.  Apalagi jika mengingat dalam dua tahun ini Mesjid Istiqlal Jakarta ditutup karena adanya pandemi, seharusnya begitu sekarang mesjid ini dibuka kembali maka kehadiran Kepala Negara di Mesjid Istiqlal Jakarta seharusnya menjadi sesuatu yang penting bagi seorang Presiden RI.  Namun bukan kali ini saja peringatan hari-hari kebesaran umat Islam seolah hilang dari perhatian Presiden Jokowi. Pada masa Presiden sebelumnya, pelaksanaan peringatan hari-hari besar umat Islam senantiasa dilakukan di Istana Kepresidenan. Namun pada era Presiden Jokowi ini, tempat penyelenggaraan acara-acara penting hari-hari besar umat Islam sengaja dipindahkan ke Gedung di Kantor Kementerian Agama di Jl. Thamrin Jakarta.  Sepanjang pengamatan penulis, peringatan Isra Mi\'raj dan Nuzulul Qur\'an tahun 2022, dilaksanakan di Gedung Kemenag itu. Padahal sudah puluhan tahun peringatan hari-hari besar Umat Islam dilakukan di Istana Negara Jakarta. Umat Islam di Indonesia memang mayoritas, namun di era Presiden Jokowi ini tidak dianggap penting lagi.  Ternyata bukan hanya penulis yang melihat adanya keanehan dari Pak Jokowi di Hari Raya Idul Fitri 1443 H ini. Wakil Ketua MPR-RI, Fadel Muhammad,  menyayangkan Presiden Jokowi yang memilih Shalat Idul Fitri 2022 di Yogyakarta. Presiden Jokowi, kata Fadel, sebaiknya shalat di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat yang terletak di ibu kota negara. Prabowo menemui Jokowi Kata Fadel Muhammad, shalat di Yogyakarta memang tidak salah. Namun, absennya Jokowi di Jakarta saat hari besar menurut dia membuat rakyat bertanya-tanya. Ketika shalat Idul Fitri di Halaman Istana Yogyakarta, Jokowi didampingi istrinya Iriana dan anak bungsunya, Kaesang Pangarep.  Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad mengaku dirinya mendapat keluhan atas absennya kehadiran Jokowi di Masjid Istiqlal. Banyak warga yang mengungkapkan kekecewaan. Mereka pantas kecewa karena tahun ini merupakan tahun pertama shalat Idul Fitri dilkasanakan di Masjid Istiqlal setelah dua tahun pandemi Covid-19. \"\'Kenapa presiden tidak melaksanakan Idulfitri di ibu kota padahal ini pertama kali dibuka setelah dua tahun.\' Saya jawab saya juga tidak tahu,\" kata Fadel sebagaimana dikutip portal berita CNN Indonesia.  Bukan hanya ketidakhadiran Jokowi di Mesjid Istiqlal Jakarta yang mengundang tanda tanya, tapi kedatangan Menhan Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Yogyakarta juga menimbulkan keanehan. Kalau untuk saling mengucapkan maaf memaafkan, kenapa Prabowo sampai harus terbang secara khusus ke Yogyakarta. Sebab dengan Wapres Ma\'ruf Amin, Presiden Jokowi cukup bersilaturahmi melalui video call. Aneh kan?  Kalau tujuannya untuk silaturahmi pada Hari Raya Idul Fitri, mengapa juga para menteri lainnya tidak diundang Presiden Jokowi untuk datang ke Istana kepresidenan Yogyakarta?.  Sebelum terbang ke Yogyakarta, Prabowo Subianto shalat Idul Fitri di kompleks rumahnya di Kawasan Hambalang Sentul, Jawa Barat. Kemudian Prabowo bersama anaknya Didit Hediprasetyo pergi ke Yogyakarta menemui Presiden Jokowi.  Entah apa yang dibicarakan diantara keduanya di hari raya Idul Fitri ini. Apakah sekedar maaf memaafkan atau cuma makan opor, bakso dan tempe bacem seperti diberitakan media massa?  Kepada wartawan, Jokowi menyebutkan bahwa pertemuannya dengan Prabowo berlangsung cair. Tak ada topik tentang ekonomi maupun politik. Namun, rasanya publik agak sulit menerima argumen Pa Jokowi ini mengingat yang diundang datang ke Istana kepresidenan Yogyakarta hanya Menhan Prabowo Subianto.  ‌Apalagi setelah menemui Jokowi di Yogyakarta, Prabowo Subianto langsung kembali ke Jakarta  menemui Megawati Soekarnoputri dan keluarganya. Dalam foto yang beredar luas di media sosial, Ketua Umum DPP PDI-P, Megawati Soekarnoputri nampak didampingi anaknya Puan Maharani yang juga Ketua DPR-RI dan Prananda. Selain itu juga terlihat Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) , Budi Gunawan, yang nampak sedang duduk sambil memegang tongkat.***

Apa Kira-kira Penyebab Rektor ITK Menjadi Anti-Islam?

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior, Pemerhati Sosial-Politik CUKUP menarik bedah ‘post mortem’ terkait ujaran kebencian “Mahasiswi Berhijab Manusia Gurun” yang dilontarkan oleh rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof Budi Santosa Purwokartiko. Dia jelas tidak suka mahasiswi berjilbab. Lebih lebar lagi, bisa terbaca bahwa Pak Rektor adalah seorang islamofobik. Seorang yang tidak suka Islam. Bedah ‘post mortem’ ini dimaksudkan untuk menjawab apa kira-kira penyebab Pak Rektor menjadi tidak suka mahasiswi berjilbab? Mengapa dia sangat membenci Islam? Sangat anti-Islam? Ada yang mengatakan bahwa Prof Budi pernah menumpahkan isi hatinya kepada seorang perempuan bercadar. Perempuan itu menolak. Inilah yang, konon, membuat Budi putar haluan dalam melihat Islam. Tapi, apa semudah itu Prof Budi mengubah total cara pandangnya terhadap Islam? Kelihatannya tidak mungkin. Sebab, cara pandang terhadap Islam itu biasanya terbangun di atas proses pencarian spiritual yang panjang dan tidak mudah. Hasil pencarian itu tidak mungkin tergoyahkan hanya oleh penolakan panah asmara. Tak masuk akal. Kecuali proses pencarian spiritual itu tidak tuntas. Atau, kecuali penolakan cinta oleh perempuan bercadar itu merupakan hasil istikharah si perempuan tersebut yang membuat dia tegas menolak cinta Prof Budi. Dalam hal ini, kelihatannya si perempuan bercadar itu ‘dikawal’ oleh Yang Maha Mengetahui agar dia menolak. Si perempuan bercadar kemungkinan mendapat ‘pengarahan’ dari Langit bahwa pria yang kemudian menjadi rektor ITK itu, tidak tulus. Dan jika dilihat apa yang terjadi sekarang, penolakan cinta Budi itu sangat tepat. Seandainya cinta itu terima, bisa dibayangkan bagaimana jadinya cadar si perempuan. Mungkin saja dia didesak oleh Budi untuk melepas cadarnya. Itu yang pertama. Yang kedua, ada yang mengatakan bahwa Prof Budi harus bernarasi ekstrem anti-Islam agar dia bisa terus memimpin ITK atau bahkan dipromosikan. Kebetulan, di era Jokowi ini orang-orang yang menghina atau melecehkan Islam pasti dirangkul oleh para penguasa dan diamplifikasi oleh para buzzer cuan. Dia menjadi viral. Diangap berani. Hadiahnya besar. Paling tidak direktur jenderal. Yang ketiga, bisa jadi Prof Budi merasa senang sekali ditunjuk sebagai salah satu pewawancara calon penerima beasiswa LPDP. Saking senangnya dan saking merasa terhormatnya sebagai pewawancara, Prof Budi lupa bahwa kecerdasan itu bisa ada di dalam diri siapa pun juga, yang berhijab atau tidak berhijab. Kebetulan, di hari yang naas itu Budi merasa gembira karena ‘interviewee’ LPDP yang datang menghadap dia semuanya tidak berhijab. Dan semua mereka ini cerdas, pintar, dan tak suka demo. Catat: tak suka demo. Prof Budi kagum sekali. Dari sinilah Pak Rektor ITK menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan berjilbab yang disebutnya ‘manusia gurun’ itu tidak bisa apa-apa. Dalam pikirannya yang mulai dibalut lemak-lemak liberalisme, hijab atau jilbab itu menunjukkan keterbelakangan. Dia kemudian menjauhkan diri dari Islam. Setelah cukup jauh, dia lalu masuk ke sarang anti-Islam. Setelah kadar anti-Islam di pikirannya berada di stadium empat, meluncurlah postingan yang mengungkapkan ketakjubannya pada mahasiswi tak berjilbab dan sebaliknya penghinaan terhadap mahasiswi gurun. Postingan ini tersebar sampai ke Sapce-X di Hawthorne, Kalifornia. Di situ ada seorang manusia gurun Indonesia yang berjilbab. Namnya Ars-Vita Alamsyah. Lulusan S-2 Massachusetts Institute of Technology (MIT), universitas nomor satu peringkat dunia. Dia bekerja sebagai salah seorang insinyur di perusahaan pembuat pesawat antariksa itu. Mbak Vita meminta klarifikasi dari Prod Budi tentang manusia gurun itu. Prof Budi sudah bikin klarifikasi umum. Kalau dipahami bahasa klarifikasinya itu, kelihatan pak rektor ITN agak ketakutan bercampur ciut. Barangkali dia tiba-tiba sadar bahwa jilbab dan manusia gurun tidak identik dengan kebodohan, keterbelakangan, maupun ketertindasan.  Yang keempat. Bisa jadi Prof Budi SP merasa ilmu sains yang dia kuasai sudah sangat luas. Merasa sudah berada di limit teratas. Yaitu, limit yang menurut dia sudah berhak menyandang keangkuhan. Meksipun Allah Yang Maha Mengetahui sudah mengingatkan di QS Isra’ bahwa ilmu yang diberikan kepada manusia sedikit sekali, termasuk yang di MIT itu. Nah, di posisi mana mau kita tempatkan ITK?[]