OPINI

Presiden Terkena Batunya

Gaya kepemimpinan yang sering mencla-mencle sangat berbahaya. Solitudinem faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian), celakanya ini terjadi dalam percaturan diplomasi global. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih BERBOHONGLAH ketika sudah pintar, jangan coba-coba berbohong di atas kedunguan. Memanipulasi informasi politik untuk mobilisasi cari dukungan politik, itu pekerjaan khas orang-orang dungu. Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar, kurang cakap bisa dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki. Pengamat politik Rocky Gerung menjelaskan bahwa jika sebuah negara ingin menjadi penengah bagi negara lain yang sedang berkonflik, maka dia harus memiliki moral standing yang kuat. Sebagian rakyat Indonesia, merasa was-was ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke luar negeri. Resonansi akhir yang didapat selalu berakhir menjadi berita dan kesan negatif. Skenarionya selalu gagal dan berantakan. Kalau jujur, faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat komplek mulai dari kemampuan dan kapasitas diri sang Presiden sendiri sampai para penasehat politiknya yang ngawur sama-sama konyolnya. Pantas juga menjadi renungan bersama kritik Cliffort Geertz, ahli antropologi asal Amerika (AS), yang mengatakan: “Ya Indonesia sudah berubah menjadi “negara panggung” alias theater state”. Simbolisme, persepsi, narasi, dan drama lebih penting ketimbang realitas. Selanjutnya kita coba pahami saat kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia atas inisiatifnya sendiri yang berakhir menjadi tertawaan para pengamat politik, dan bahkan rakyat biasa pun ahirnya mengetahui bahwa yang terjadi meski dibungkus dan dikemas seperti apapun, akhirnya memberi kesan hanya dagelan. Bersumber info dari Nikiforov mengatakannya kepada media lokal Ukrainska Pravda. Komentarnya juga dikutip media Rusia TASS. Bahwa Nikiforov lebih lanjut mengatakan, topik pembicaraan utama saat Jokowi ke Ukraina adalah blokade pelabuhan Ukraina yang membuat ekspor biji-bijian terganggu. Dan, “Indonesia adalah salah satu pengimpor biji-bijian terbesar dari Ukraina, fokus utama pembicaraan antara kedua presiden (Indonesia dan Ukraina) di Kyiv”. Inilah yang dibicarakan secara rinci dengan Joko Widodo,” kata Nikiforov. Topik ini kata Nikiforov, Rusia bertanggung jawab atas terganggunya ekspor biji-bijan Ukraina itu ke Indonesia, begitu pun dengan wilayah lain di dunia. Jangankan direspon positif yang terjadi langsung mentok dicegat Presiden Vladimer Putin. Pada kesempatan sebelumnya Jokowi mengatakan bahwa ke Ukraina pada Rabu (29/6/2022) dengan menawari Zelensky jika ingin titip pesan ke Putin, yang akan dia kunjungi keesokan harinya. Pada kesempatan berikutnya saat Jokowi di Rusia, Presiden Indonesia itu mengatakan bahwa sudah menyampaikan pesan Zelensky ke Putin. Jokowi mungkin terbawa kebiasaan menyampaikan bohong di dalam negeri. Lupa sedang dalam percaturan politik internasional. Tiba-tiba muncul info: Serhii Nikiforov, Sekretaris Pers Kantor Kepresidenan Ukraina berujar, sebenarnya jika Zelensky ingin mengucapkan sesuatu ke Putin, dia bisa melakukannya secara terbuka dalam pidato harian. Tidak ada pesan apapun dari Zelensky terkait dengan perang Ukraina dan Rusia kepada Putin. Zelensky hanya menyatakan bahwa menghargai misi perdamaiannya. Putin pun tidak mengapreasi pesan damai yang dibawa Jokowi. Putin hanya membahas rujukan mengenai hubungan ekonomi RI-Rusia, itupun terlihat gesturnya direspon dengan angin-anginan. Putin sama sekali tidak menyebut mengenai misi perdamaian dan yang dirujuk hanya mengenai hubungan ekonomi Indonesia-Rusia dan juga mengenai jika tidak salah ada mengenai ekspor gandum Ukraina. Jadi tidak sama sekali merujuk pada misi perdamaian Presiden Jokowi. Tidak ada sama sekali terobosan dalam misi damai yang dibawa Jokowi. Semua pengamat sudah mengetahui ini hanya dagelan konyol. Kalau misi perdamaian itu ada konsep perdamaian diterima oleh kedua pihak, baik Ukraina maupun Rusia, dan saat masing-masing kepala negara ketemu sudah siap dan tidak perlu lagi banyak basa basi, yang sia sia. Maka wajar dan benar kalau Internasional Ukraina membantah Zelensky titip pesan untuk Putin lewat Jokowi. Bahkan, Presiden Rusia nampaknya tidak mau dikotori dari kesan ecek-ecek oleh kedatangan Presiden Jokowi yang jauh dari level dengan Presiden Rusia. Begitu selesai pertemuan, Ukraina digempur kembali. Dan, bahkan bekas pertemuan Zelensky dan Jokowi juga dirudal. Artinya, setelah kedatangan Jokowi itu malah yang lebih fatal. Kebohongan Jokowi bukan saja akan membawa kesan buruk terhadap negara juga menjadi preseden buruk yang terus-menerus diulang-ulang. Bisa terjadi kepercayaan luar negeri terhadap kemampuan diplomasi Indonesia merosot, dan tidak dipercaya lagi? “Orang yang berani berkata terus terang adalah orang yang mendidik jiwanya sendiri untuk merdeka. Orang yang berani menerima perkataan terus terang adalah orang yang membimbing jiwanya kepada kemerdekaan.” (Buya Hamka). Gaya kepemimpinan yang sering mencla-mencle sangat berbahaya. Solitudinem faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian), celakanya ini terjadi dalam percaturan diplomasi global. Presiden suka atau tidak suka harus menerima kenyataan dan akhirnya kena batunya. Karena terbiasa melakukan perilaku politik berbeda yang diucapkan dan realitasnya. Dan berbohong dikira tidak terdeteksi apalagi dalam diplomasi internasional. Hitungan detik semua akan terbongkar dan tidak akan ada tempat untuk membela diri dan bersembunyi. (*) 

"Anjing Penjaga" Oligarki Itu Mulai Menyalak

  DPR sudah tidak berfungsi justru membangun oligarki dengan membuat barier Presidential Threshol 20%. Hal demikian yang ditentang habis-habisan oleh Ketua DPD RI tersebut. Karena jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan mengamputasi kehendak rakyat. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila EFFENDI Simbolon, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, telah membela Oligarki dengan menyerang Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Jelas apa yang dilakukan LaNyalla itu, setiap langkahnya selalu mendapat sambutan dari rakyat di mana-mana di negeri ini. Keresahan rakyat semakin membuncah itu ditumpahkan kepada LaNyalla. Karena, ada harapan yang ingin dinarasikan oleh rakyat yang selama ini terkungkung oleh ketidak-adilan dan semakin semena-menanya pengusa terhadap rakyatnya. Pasalnya, DPR sudah tidak menjadi harapan. Sebab, tidak pernah memikirkan kebutuhan rakyat, bak dahaga di tengah gurun, tiba-tiba ada LaNyalla dengan berani menentang arus politik elit yang sudah bukan isapan jempol, membela dan “bersetubuh” dengan Oligarki. Perjuangan LaNyalla inilah yang membuat Simbolon kebakaran jenggot. Sebab peran DPR yang seharusnya memperjuangkan kehendak rakyat justru mereka membuat UU yang menyengsarakan rakyat dan malah merugikan masa depan negara bangsa. Coba saja kita buka berbagai UU, mulai UU Omnibuslaw, UU Minerba, tentang persoalan agraria, persoalan minyak goreng, DPR tidak tanggap, tidak mampu membela kepentingan rakyat. Justru mereka ikut membelenggu kepentingan rakyatnya. Begitu juga dengan isu Islamophobia, stikma radikal, teroris yang disematkan pada Islam, justru DPR tak pernah bersuara, soal LGBT malah mick dimatikan Ketua DPR Puan Maharani (dari Fraksi PDIP juga) ketika ada yang bersuara. DPR sudah tidak berfungsi justru membangun oligarki dengan membuat barier Presidential Threshol 20%. Hal demikian yang ditentang habis-habisan oleh Ketua DPD RI tersebut. Karena jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan mengamputasi kehendak rakyat. Timor Leste dengan penduduk yang tidak banyak calon presidennya 16 orang. Justru Indonesia yang penduduknya 270 juta pemilihan presiden (pilpres), lu lagi, lu lagi. Apa yang dituduhkan Simbolon pada LaNyalla sangat tendensius. Memangnya LaNyalla sendirian, tentu saja tidak. Di belakangnya ada rakyat dari aktivis dan akar rumput riil mendukungnya. Sebab, perubahan kembali ke jati diri bangsa kembali ke UUD 1945 dan Pancasila sudah sangat meluas. Simbolon adalah simbol “politikus kardus” yang tak mampu membaca geliat rakyatnya akan perubahan, mengaku sebagai anak ideologis Soekarno justru mengkhianati ajaran Soekarno, membiarkan persatuan bangsanya terkoyak- koyak akibat keserakahan oligarki. Simbolon justru bagian dari oligarki, maka sebagai “anjing herder” penjaga oligarki akan menyalak jika ada kepentingan oligarki terusik. Rupanya genderang perubahan telah ditabuh oleh LaNyalla yang membuat rakyat terbangun dari tidurnya, yang bisa menatap lagi matahari masa depan. (*)  

Anies Radikal, Anies Pro-Oligarki

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN  HANYA di tangan buzzer bayaran, minyak dan air bisa bercampur. Inilah yang terjadi ketika para buzzer itu menuduh Anies Baswedan radikal sekaligus pro-oligarki. Percampuran radikal dan pro-oligarki di dalam diri Anies adalah persenyawaan mustahil antara minyak dan air. Tapi, bagi buzzer bayaran, percampuran yang aneh itu tidak masalah sepanjang itu dinisbatkan kepada Anies. Anies dilabel oleh buzzer sebagai figur radikal lantaran menutup 12 gerai Holywings di wilayah provinsi DKI Jakarta. Kata mereka, Anies mencabut izin Holywings atas permintaan seorang narapidana. Hampir pasti ini maksudnya Habib Rizieq Syihab.  Kemudian, Anies dilabel berpihak kepada, atau menjadi kaki tangan dari, oligarki cukong. Tak jelas dasar labelisasi ini. Pokoknya bagi buzzer bayaran apa saja bisa. Harus bisa. Ada kemungkinan yang dimaksud para buzzer itu adalah dukungan baru-baru ini dari salah seorang pengusaha besar untuk pencapresan Anies. Nah, sekarang bagaimana cara agar percampuran antara paham Islam radikal dan pro-oligarki di dalam diri Anies menjadi valid? Apa yang harus dilakukan agar tidak cacat logika? Satu-satunya cara yang konstruktif-akomodatif untuk ini adalah menghapus teori logika konvensional tentang “minyak dan air tidak akan bercampur”. Teori ini harus dibatalkan demi labelisasi “Anies radikal, Anies oligarki” yang digaungkan oleh kelompok buzzer cuan.  Kontradiksi, tak masalah. Illogical, biarkan saja. Toh, kaum buzzer bayaran memang tidak mengenal logis atau tak logis. Mereka telah membuang elemen isi kepala yang berfungsi untuk analisis buruk-baik. Jadi, tidak ada lagi pikiran analitis yang dimiliki manusia normal. Kaum buzzer adalah “robotical human being” (manusia robotik) yang berbasis perintah berbayar. Aktivasi otak mereka ada dalam kekangan pengguna (user) yang lumrah dijuluki sebagai pembina.[]

Ah, Amburadul Semua

Di negeri para bedebah, negeri ketika para bajingan menguasai pemerintahan. Maka kedzoliman menjadi menu sehari-hari. Hanya ada  santapan buat tuan-tuan borjuis yang diolah dari keringat, airmata dan darah rakyat. Unjuk kekuasaan  menjadi atraksi saban hari, dimana yang kuat menindas dan membunuh yang lemah. Kebenaran menjadi sesuatu hal yang tabu dan begitu menakutkan. Karena kedaulatan rakyat semakin tergerus oleh intimidasi, teror dan ancaman maut dari manusia-manusia durjana. Para penjahat pemilik kekuasaan yang digaji oleh negara dan  berasal dari uang rakyat sendiri. Oleh: Yusuf Blegur Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KALAU bangsa ini selalu bangga  pada slogan-slogan moralitas dan spiritualitas. Begitu kuat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan warisan kebaikan nenek moyang. Terkesan sangat tekun mempelajari sejarah dan menghargai jasa para pahlawan serta berlimpah kecintaannya pada tanah air. Kemudian begitu gencar mengagungkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.  Lalu mengapa saat ini, negara sedang tidak baik-baik saja?, kenapa negara semakin dalam terpuruk?. Mengapa keberadaban semakin hilang di negeri ini?. Bagaimana mungkin pula  republik ini terus-menerus  melahirkan para pejabat dan pemimpin yang tuna susila?. Sumber daya alam semakin menipis dikuras bangsa asing, kekayaan negara terus digerogoti oleh segelintir bangsanya sendiri. Atas nama konstitusi dan demokrasi, pemerintah berhasil memperkosa kedaulatan rakyat. Rezim kekuasaan leluasa berkali-kali merampas kesadaran dan harapan rakyat untuk hidup layak. Tak peduli rakyat kecil, orang dewasa atau manula, lelaki atau perempuan dan anak-anak atau balita. Rakyat yang lemah dan tak berdaya itu, berangsur-angsur secara masif telah menjadi korban kejahatan negara yang terstruktur dan sistematik. Kebijakan pemerintahan yang berorientasi memuaskan nafsu syahwat para oligarki korporasi, partai politik  dan birokrasi. Hanya menghasilkan semakin suburnya kelompok marginal dan meningkatnya angka  kemiskinan. Situasi dan kondisi yang demikian menjadi cermin dari penderitaan hidup rakyat karena kehilangan pekerjaan,  terancam kelaparan dan bahkan memicu kematian. Kecenderungan hal tersebut semakin terlihat dari banyak indikator, termasuk beberapa realitas terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang meniadi denyut nadi kehidupan rakyat. Rakyat sebagai pemiliki kedaulatan harus menerima dampak dari praktek-praktek distorsi kepemimpinan dan kesewenang-wenangan penyelenggaraan negara. Dalam krisis ekonomi baik yang disebabkan oleh pandemi maupun bobroknya mental aparatur pemerintahan. Para hipokrat dan penghianat negara itu secara terbuka dan angkuh memamerkan kejahatannya kepada rakyat. Mereka memperkaya diri dengan semakin  menumpuk harta dan aset yang sejatinya milik rakyat. Seiring itu, rakyat terus dihimpit kesulitan bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Harga sembako dan bahan pangan melambung tinggi, diikuti pelbagai kenaikan sektor fundamen kehidupan rakyat seperti naiknya pajak, tarif listri, harga bbm, biaya pulsa dsb. Utang negara yang ugal-ugalan dan serampangan hanya jadi ajang proyek rente dan tak bermanfaat, tak bisa dinikmati namun menjadi beban berat rakyat.  Kenyataan itu bukan saja mengakibatkan kemampuan  daya beli rakyat semakin menurun, melainkan juga rakyat terancam gagal memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya secara umum. Sepertinya ada upaya memiskinkan rakyat dengan cara menghapus subsidi untuk membayar utang dan  membiayai gaya hidup mewah para pejabat, sembari terus memeras rakyat melalui  upeti dengan cara-cara membajak konstitusi dan berkedok demokrasi. Sementara korupsi tetap terus mewabah di semua sektor dan  institusi pemerintahan. Jadilah rakyat harus menerima kenyataan pahit, negara telah mempertontonkan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Para pejabat dan pucuk pimpinan pengambil keputusan, tanpa rasa malu dan bersalah hidup mewah serta tak sungkan lagi mencuri dan merampok uang rakyat secara telanjang. Untuk menutupi dan melindungi rantai kejahatannya, penguasa memanfaatkan negara dan aparaturnya menghukum rakyat yang kritis dan sadar untuk peduli dan menyelamatkan hari ini, esok dan masa depan Indonesia. Negara hanya hanya menjadi kumpulan populasi manusia antara predator dan rantai makanan, ada penguasa yang buas dan rakyat yang siap menjadi mangsa. Entahlah, apakah kejahatan yang begitu terorganisir tak mampu dikalahkan oleh semangat menegakkan kebenaran yang belum terkonsolidasi?. Mungkinkah riak-riak gerakan perubahan di dalam negeri yang sakit dan dikuassi rezim yang dzolim akan sia-sia?. Bisa ya bisa tidak, selain upaya yang seadanya, rakyat Indonesia tak cukup hanya menumpahkan keringat, darah dan nyawa melawan penguasa. Terkadang butuh sejarah dan  takdir yang akan bicara dan menuliskan guratannya. Tapi setidaknya, untuk saat ini dan mungkin beberapa tahun ke depan. Bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia, tak perlu berpikir keras dan menganalisa dengan tajam. Betapa situasi dan kondisi sekarang, begitu kroditnya hingga layak disebut \"ah amburadul semua\". Masihkah rakyat  membutuhkan kehadiran  negara?. Masihkah rakyat perlu keberadaan pemerintah?.  Apakah Pancasila, UUD 1945 dan NKRI masih penting untuk diharapkan?. Sampai kapan agama dijadikan komoditas?, hingga  bisa tetap dipakai untuk dinista sekaligus dimanfaatkan?. Haruskah negeri ini menunggu amuk massa, menunggu momen yang tepat  munculnya pemberontakan?. Akankah republik ini akan melahirkan revolusinya sendiri?. Tak ada yang tahu, coba kita tanyakan pada hutan yang ditebang, koruptor yang menghilang dan para pemimpin yang keahliannya hanya bisa  jual tampang dan bergaya tanpa isi kepala.  \"Ah amburadul semua, semuanya memang amburadul?\" (*)

Effendi Simbolon Omong Besar

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERNYATAAN politisi PDIP Effendi Simbolon yang menyerang LaNyalla Mattalitti dapat menyeret peperangan antara DPR lawan DPD. Meski masih personal tetapi serangan sudah mengarah institusi. Effendi Simbolon adalah kader PDIP vokal. Partai dengan suara terbanyak di DPR RI. LaNyalla Mattalitti adalah Ketua DPD RI.  La Nyalla Mattalitti bersemangat untuk memperkuat posisi DPD sebagai penyambung aspirasi daerah dan orang daerah yang artinya juga rakyat di daerah. Berdasarkan aspirasi yang diterima tentu disampaikan ke instansi yang kompeten. Sebagai anggota yang dipilih langsung oleh seluruh rakyat, maka kewenangan DPD semestinya jauh ebih besar daripada yang di atur saat ini.  Effendi Simbolon mempermasalahkan Ketua  DPD yang berkeliling daerah dan meminta bantuan Kapolri untuk menegur. Sebaiknya Simbolon introspeksi pada kerja DPR dan orang-orang DPR dalam melaksanakan tugas sebagai wakil-wakil rakyat, sejauh mana serius atau benar-benar berjuang demi rakyat  ?  Demikian juga perlu pemeriksaan keuangan atas penggunaan dana APBN yang bernuansa penghambur-hamburan uang rakyat oleh anggota DPR. Banyak kegiatan yang bersifat seremonial, dibuat-buat atau tidak bermanfaat. Belum lagi gaya hidup hedonis yang menyakitkan hati rakyat. Tidak empati pada kesulitan hidup rakyat akibat berbagai kebijakan yang sangat memberatkan.  LaNyalla sering menyatakan akan mengawal pemerintahan hingga akhir meskipun banyak aspirasi pemakzulan dalam forum pertemuan di daerah maupun yang beraudiensi ke DPD. Rupanya Effendi Simbolon justru ketakutan sendiri, mungkin karena dukungan atas Jokowi tiga periode yang bakal terganggu.  Effendi gelagapan saat ditanya soal dukungan Capres. Sebagai kader sulit untuk tidak menyebut Puan, sementara simpati pada perjalanan Jokowi ke Rusia dan Ukraina membuatnya semangat untuk mendorong agar Jokowi dapat menjabat tiga periode. Pujian berlebihan pada langkah \"piknik\" Jokowi.  Warga tertawa sendiri karena pasca bertemu Putin, Putin \"memotong telinga\" sang kurir dengan cara membombardir lebih dahsyat Ukraina. Pujian Effendi atas langkah Jokowi hanya tontonan kebodohan dan omong besar.  Serangan Simbolon kepada DPD yang menggugat PT 20 % bukti omong besar dan tidak berdasar. Alasan ribuan calon akan muncul jika PT 0 % diberlakukan adalah ocehan hiperbolis. Partai politik peserta Pemilu saja tidak mungkin ada seribu. Gugatan DPD justru membantu suara aspirasi rakyat yang faktanya terus dibantai oleh MK dengan kekalahan gugatan. MK adalah penyambung lidah kekuasaan bukan penegak suara keadilan.  Simbolon harus faham akan hal ini. Jika beradu kualitas demokrasi, DPD tentu lebih demokratis. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat sedangkan anggota DPR harus melalui pilihan partai. Anggota DPD lebih leluasa menyuarakan secara personal sedangkan Anggota DPR \"terkungkung\" oleh kebijakan Fraksi. Tuntutan ke depan sebaiknya Pemilu untuk keanggotaan DPR dilakukan dengan sistem distrik.  Nah Simbolon tidak perlu meminta Kapolri untuk menegur LaNyalla karena itu tidak relevan dan bukti hanya omong besar tanpa dasar pengetahuan hukum, justru sebaiknya Puan Maharani yang harus menegur anggotanya yang bernama Effendi Simbolon. Dua hal yang mendasarinya, pertama karena Simbolon telah mendorong Jokowi menjabat untuk tiga periode, p uupsstttadahal Puan adalah kandidat Capres 2024.  Kedua, ujaran Effendi dapat menyeret perang DPR lawan DPD bagai memindahkan perang Rusia-Ukraina. DPD yang membuktikan kesolidannya akan menyerang balik DPR dengan membongkar berbagai perkeliruan DPR baik produk perundang-undangan maupun perilaku anggota dalam berbagai konspirasinya.  Rakyat akan lebih percaya pada DPD jika masuk ke ruang pilihan. Belum ada suara yang meminta DPD dibubarkan akan tetapi untuk DPR suara itu sudah banyak. Terlalu banyak.  Bandung, 2 Juli 2022

Bukan LaNyalla, Justru Simbolon yang Pernah Minta Jokowi Mundur!

Jadi, tudingan Simbolon itu terlalu berlebihan dan mengada-ada. Jika melihat jejak digital, justru Simbolon pernah meminta Jokowi mundur dari jabatannya pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) TIDAK ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba politisi PDIP DR Effendi Simbolon menyoroti langkah Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang selama ini dianggapnya banyak menggunakan fasilitas, bahlan institusi DPD untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. “Kemana-mana bicara politik atas nama DPD RI itu tidak boleh. Misalnya, gugat president threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dihapus menjadi nol persen. Itu kan untuk kepentingan pribadinya agar bisa nyapres 2024. Itu tidak boleh,” tegas anggota Komisi I DPR RI itu pada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (30/6/2022). Menurutnya, PT 20 persen itu agar para capres itu terseleksi dengan baik. Sehingga tidak semua orang dengan bebas bisa nyapres. “Kalau nol persen, yang mau nyapres bisa ribuan orang. Itu mau pilpres atau Sipenmaru?” tanya Effendi Simbolon. Kalau memang mau nyapres lanjut Simbolon, ya bikin partai. Apakah nanti partainya dipilih atau tidak oleh rakyat? “Kalau dipilih dan dapat suaranya berapa, itulah kau jadikan mandat amanat rakyat itu untuk maju nyapres. Jangan pakai lembaga DPD RI untuk gugat PT untuk nyapres,” ungkapnya. Apalagi, kata Simbolon, sampai mengumpulkan para aktivis dan tokoh di DPD RI dengan alasan diskusi Kebangsaan, namun isinya debat untuk pemakzulan Presiden demi kepentingan politik pribadinya dan itu dilakukan di Gedung DPD RI, pakai Anggaran DPD RI, dan dibiarkan oleh Sekjen DPD RI dan anggota DPD RI lainnya, ditambah lagi berikut anggaran DPD RI. “Untuk itu saya minta kepada Kapolri agar menegur LaNyalla dan meminta kepada Mensegneg agar memberikan pemahaman fungsi DPD RI kepada Sekjen DPD,” ucapnya. “Mau jadi apa republik ini kalau mau-maunya sendiri. Saya anggota DPR RI dari FPDI-P terikat dengan 9 fraksi DPR RI yang lain. Kalau keluar gedung ini tidak bisa saya membawa-bawa DPR RI,” tambahnya. Ia menilai kesibukan politik LaNyalla tersebut luar biasa. “Pagi ini di sini, siang di situ, sore di sana, dan malam di luar sana. Tulis itu. Lalu, anggota DPD RI yang lain pada kemana? Tidak ada yang berani mengkritisi?” ujarnya. Sebaiknya Effendi Simbolon membaca kembali apa Tuposi DPD tersebut. DPD adalah lembaga negara yang diakui secara konstitusional. DPD itu dibentuk untuk “mewakili aspirasi daerah”. Aspirasi di tingkat daerah akan mempengaruhi pembentukan kebijakan atau pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. DPD merupakan wakil DPD yang dipilih melalui pemilu di tiap provinsi di Indonesia. DPD merupakan salah satu lembaga negara yang lahir setelah Amandemen UUD 1945. DPD mengemban tugas dan wewenang yang diatur dalam UUD 1945 dan UU. Kewenangan DPD diatur dalam pasal 22D UUD 1945, yaitu: Berwenang dalam pengajuan Rancangan Undang-undang atau RUU tertentu. Berwenang untuk ikut membahas bersama DPR dan pemerintah atas penyusunan RUU tertentu. Berwenang memberikan pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu; Berwenang memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang atau UU tertentu. Jika mengacu pada Tupoksi dan kewenangan DPD seperti yang diatur dalam pasal 22D UUD 1945, semua yang dilakukan LaNyalla selama ini tidak ada yang menyimpang dan melanggar UU. Perlu ditegaskan kembali, DPD itu dibentuk untuk “mewakili aspirasi daerah”. Tidak salah jika sejak dilantik menjadi anggota DPD dan terpilih sebagai Ketua DPD, LaNyalla mengaku sudah berkeliling ke 34 provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. “Saya bertemu langsung dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara,” ungkapnya dalam setiap pidatonya yang pernah saya ikuti beberapa kali melalui Zoom Meeting. Menurut LaNyalla, ia menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. “Yaitu Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan Kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan,” tegasnya. “Inilah yang menurut saya persoalan fundamental bangsa ini. Karena tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral,” lanjutnya. Mengapa? Karena, menurut LaNyalla, penyebabnya itu ada di hulu. Bukan di hilir. Yaitu negara ini yang semakin menjadi negara yang sekuler, liberal, dan kapitalistik. Karena itu, LaNyalla mengaku harus memutuskan untuk segera bertindak dan berpijak sebagai Negarawan. “Sehingga saya tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral,” tegasnya. Sehingga bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas kepada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja. Tetapi harus lebih fundamental dari itu. Dan, yang perlu dicatat oleh Simbolon, sampai sejauh ini LaNyalla tak pernah melontarkan pernyataan seperti yang dituduhkannya: “debat untuk pemakzulan Presiden”. Yang lebih aneh lagi, apa urgensinya Simbolon minta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menegur LaNyalla? Soal sederhana hirarki seperti ini saja Simbolon tidak paham. Tidak ada kewenangan Kapolri menegur LaNyalla. Rakyatlah yang berhak menegur LaNyalla dan anggota DPD lainnya. Sebab, mereka ini mendapat amanah langsung dari rakyat. Makanya, ketika DPR “mandul” aspirasi, berbagai elemen masyarakat mengadunya ke DPD RI. Makanya, jujur saja, hingga detik ini saya tidak tahu, mengapa Simbolon punya pikiran LaNyalla melakukan “debat untuk pemakzulan Presiden” itu. Mengucap kata “pemakzulan” saja seingat saya, tidak pernah. LaNyalla sudah berkali-kali menyatakan akan mengawal pemerintahan Jokowi hingga akhir masa jabatannya, 2024. Benar kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, “Effendi Simbolon, diduga kuat setiap ada info hanya dibaca judulnya, sehingga berakibat fatal ketika melepas komentarnya ke publik melalui media.” Jika LaNyalla punya niat memakzulkan Presiden, tak mungkn sampai mantan Panglima ABRI dan Wapres Try Sutrisno sampai memberikan semacam Wasiat dan menitipkan kepada LaNyalla untuk menyelamatkan Indonesia. Beruntung LaNyalla bukan seorang Panglima TNI seperti Jenderal TNI Andika Perkasa. Kalau dia menjabat Panglima TNI, dapat dipastikan, LaNyalla akan menyatakan “Siap, Laksanakan!” Dan, entah apa yang terjadi setelah itu. Jadi, tudingan Simbolon itu terlalu berlebihan dan mengada-ada. Jika melihat jejak digital, justru Simbolon pernah meminta Jokowi mundur dari jabatannya pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Judul berita yang tayang di Merdeka.com (Rabu, 2015/09/02 12:34 in Politik, Warta): “Effendi Simbolon: Sebaiknya Jokowi Mundur Saja”. Desakan mundur itu terjadi karena Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak bisa mengatasi kondisi ekonomi yang saat itu mengalami perlambatan dan nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar (USD). Diberitakan, di tengah persoalan itu, Presiden Jokowi juga menghapus syarat tenaga kerja asing bisa berbahasa Indonesia. Hal ini sontak menuai reaksi dari berbagai kalangan. Menariknya, Effendi Simbolon yang notabene kader PDIP, partai pengusung dan pendukung Jokowi-JK, justru melancarkan kritik keras kepada Jokowi. Tak tanggung-tanggung, anggota Komisi I DPR itu bahkan meminta Jokowi mundur dari jabatan Presiden karena tak bisa mengatasi masalah ekonomi dan menghapuskan syarat bisa bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing. “Lebih baik Jokowi turun tahta karena tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Presiden seharusnya mampu menyelesaikannya bukan menterinya,” kata Effendi Simbolon di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/8/2015). Jadi, dari jejak digital itu sudah jelas, justru Simbolon yang punya keinginan untuk “menjatuhkan” Presiden Jokowi. (*)

Simbolon Terperangkap Sendiri!

Tuan Simbolon Yang Terhormat, sebenarnya Anda terjebak karena kapasitas dan kualitasnya sendiri sebagai politisi asal-asalan. Strategi tanpa taktik itu adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MEMINJAM kata Sun Tzu: “Jika Anda mengenal musuh dan mengenal diri Anda sendiri, Anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran. Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan”. Info siapa Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Matalitti dengan melimpahnya narasi yang mengalir setiap hari, sangat mudah didapat. Arah dan tujuannya akan ke mana mudah dideteksi. KAMI Lintas Provinsi mem-backup langkah Bung LaNyalla karena arah perjuangannya jelas dan senyawa dengan KAMI untuk menyelamatkan Indonesia. Effendi Simbolon, diduga kuat setiap ada info hanya dibaca judulnya, sehingga berakibat fatal ketika melepas komentarnya ke publik melalui media. Dalam olahraga bola basket itu ada beberapa teknik, mendekatkan seni dan teknik berpolitik, antara lain passing (mengoper) dan catching (menerima) bola dari rekan satu tim, harus ada dan kompak. Simbolon tampaknya bermain politik sendirian tanpa tim. Tidak mampu dan tidak paham membaca, menggiring, dan mengarahkan bola politiknya akan ke mana. Politik dribbling harus memantulkan bola di lantai sambil berjalan atau berlari dengan cepat. Simbolon asal melempar bola. Tidak mampu melihat ke arah depan dan mengontrol bola dengan baik. Sehingga berakibat bola tersebut direbut oleh pemain tim lawan, memantul dan balik kepada dirinya. Dia tidak mampu menguasai teknik shooting untuk menembakkan bola ke arah ring lawan. Politik dribbling bola harus ke arah ring sambil mengunci target. Simbolon asal melepas bola menjadi liar, sehingga tidak sanggup kembali mengendalikannya. Jangankan mendekati ring, masih jauh dari ring saja harus terpental. Tetiba bola memantulkan rekam jejaknya yang berbau korupsi muncul ke media sosial. Simbolon gagal melakukan politik pivot, melakukan gerakan memutar, untuk merebut simpati, bahkan akhirnya energi politiknya membakar dirinya karena serangan balik dari lawan tidak bisa diatasi, karena tidak ada persiapan untuk antisipasi. Akibatnya pertahan dirinya sangat rapuh dan keteteran. Pertahanan diri untuk menerima pantulan balik sama sekali tidak ada karena asal bunyi (asbun). Ketika bola memantul semestinya sikap menangkap dan membuka bola itu dengan melompat. Saat seperti ini Simbolon kebingungan. Politik screen jelas mentah. Jangankan milindungi teman, melindungi dirinya sendiri tidak mampu dan ketika ada serangan balik pertahanan kosong, dan jebol berantakan. Seni politik lay up tidak dikuasai, yaitu menembak lawan dengan jarak jauh. Apalagi akan melakukan tembakan jarak dekat, pasti melesat tanpa arah asal melepas bola. Kalau sudah begini Simbolon akan ke mana. Ketika ada kawan sesama wakil rakyat sedang berjuang karena ada masalah fundamental tentang konstitusi yang membajak kedaulatan rakyat, malah dleming tidak jelas juntrungannya. Sebenarnya apa sih arti dari kata ndleming itu sendiri? Arti ndleming menurut kamus bahasa Jawa-Indonesia adalah Ngomong karepedewe/ngelantur atau dalam bahasa Indonesia mempunyai arti “berbicara tak terkontrol”. Inilah gambaran wakil rakyat yang sedang mempertontonkan kedunguannya. Diduga kuat di DPR banyak “Simbolon” sombong lainnya. Itulah fakta kualitas anggota DPR (Rakyat) yang “terhormat”, bukan anggota DPD (Daerah) seperti Bung LaNyalla yang selalu menghormati dan menghargai aspirasi Rakyat! Tuan Simbolon Yang Terhormat, sebenarnya Anda terjebak karena kapasitas dan kualitasnya sendiri sebagai politisi asal-asalan. Strategi tanpa taktik itu adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan. Politisi tanpa taktik dan strategi bukan saja kekalahan tetapi “politik dungu”. (*)

Partai Politik Menjadi Penentu Masa Depan Bangsa: Saat Ini Cenderung Membawa Kehancuran

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, kalimat Lord Acton yang terkenal mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah. “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup”. Karena itu, kekuasaan Eksekutif atau Presiden harus dibatasi. Melalui pengawasan ketat agar tidak menyimpang dan berkembang menjadi kekuasaan absolut, kekuasaan tirani, kekuasaan sewenang-wenang, yang pasti korup. Lembaga yang mengawasi Eksekutif dinamakan Parlemen, terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang menyebut dirinya ‘perwakilan rakyat’. Kelompok tersebut diberi identitas Partai Politik. Parlemen yang terdiri dari perwakilan Partai Politik tersebut mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi membuat undang-undang sebagai lembaga Legislatif. Parlemen harus mengawasi Presiden agar roda pemerintahan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Parlemen juga harus mengawasi penggunaan anggaran (fiskal) negara, untuk kepentingan masyarakat luas, untuk mencapai keadilan sosial. Selain itu, Parlemen juga wajib membuat undang-undang yang berpihak kepada kepentingan bangsa, dan mengawasi pemerintah agar selalu patuh terhadap perintah undang-undang tersebut. Semua itu menjelaskan betapa pentingnya fungsi Parlemen sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan Presiden, khususnya di dalam sistem presidensial di mana Presiden mempunyai kekuasaan sangat besar. Kalau fungsi Parlemen ini dijalankan dengan benar dan jujur maka praktis sebagian besar permasalahan bangsa sudah terselesaikan dengan sendirinya, dengan memberlakukan dan melaksanakan peraturan dan undang-undang yang adil dan berpihak kepada kepentingan bangsa.  Sebagai contoh, peraturan dan undang-undang anti-monopoli diberlakukan untuk menciptakan persaingan pasar sempurna (prefect market competition) yang adil bagi semua pelaku pasar. Kalau undang-undang anti-monopoli tersebut dijalankan dengan benar, maka dengan sendirinya akan tercipta industri yang lebih efisien, alokasi faktor produksi lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan merata. Sebaliknya, apabila undang-undang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu, tidak adil, dan bertentangan dengan kepentingan bangsa, maka undang-undang tirani tersebut dapat memicu kekacauan, memicu perpecahan bangsa, menuju jurang kehancuran. Misalnya, UU KPK atau UU Cipta Kerja, yang ditengarai banyak pihak tidak pro kepentingan bangsa, sempat memicu protes dan demo dari berbagai kelompok masyarakat, bahkan menelan korban. Apa jadinya kalau undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, atau undang-undang anti-demokrasi, diberlakukan? Apakah bangsa ini akan menjadi lebih baik, atau malah membawa negara ini menjadi negara tirani menuju jurang kehancuran? Artinya, Parlemen mempunyai peran kritikal dalam menentukan nasib bangsa di masa depan, menentukan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Semua ini tergantung dari Partai Politik, apakah dapat mengendalikan Parlemen dan membuat undang-undang yang pro-rakyat, apakah dapat mengawasi Presiden secara efektif, atau malah mendukung Presiden menjalankan roda pemerintahan secara tirani? Kalau Parlemen menjalankan fungsinya secara benar, maka fungsi Presiden menjadi tidak terlalu penting lagi. Pemilihan Presiden (Pilpres) bukan lagi merupakan peristiwa istimewa. Pilpres menjadi lebih sederhana, hanya fokus kepada calon presiden yang mampu taat hukum berdasarkan rule-of-law, serta bermoral dan beretika tinggi. Permasalahan kementerian teknis dapat dengan mudah diselesaikan oleh para teknokrat dalam bidangnya masing-masing. Karena, tugas utama Presiden hanya menjalankan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Apabila Presiden tidak taat dan menyimpang dari peraturan dan undang-undang tersebut, maka Parlemen wajib menegur, kalau perlu memberhentikan Presiden dalam hal terjadi pelanggaran berat, misalnya pelanggaran konstitusi, pelanggaran HAM atau pelanggaran berat lainnya. Karena itu, Partai Politik tidak perlu memagari kekuasaannya dengan menetapkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi 20 persen. Sebaliknya, semakin banyak calon presiden, semakin baik bagi bangsa ini, dan semakin besar kemungkinan mendapat calon presiden yang taat hukum dan bermoral tinggi, yang dapat menjalankan peraturan dan undang-undang secara adil. Partai Politik tidak boleh menjadikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’. Setiap orang yang menjadi Presiden wajib membebaskan dirinya dari identitas Partai Politik. Mereka harus bersumpah untuk taat pada semua peraturan dan undang-undang, serta konstitusi. Partai Politik yang menyatakan Presiden (dan Kepala Daerah) sebagai ‘Petugas Partai’ secara jelas berniat melanggar konstitusi. Karena, Partai Politik secara konstitusi mengendalikan Parlemen, dan kini juga berniat mengendalikan Presiden sebagai ‘Petugas Partai’, melanggar fungsi Parlemen sebagai pengawas Presiden, dan menciptakan tirani Partai Politik. Penyatuan fungsi Eksekutif dan Parlemen oleh Partai Politik sedang berlangsung sangat cepat di era reformasi, terus berkembang dan memburuk sejak 2014 ketika pengusaha ikut mengatur calon presiden. Karena itu, demi masa depan Bangsa Indonesia, rakyat wajib menuntut Partai Politik kembali kepada fungsi sebenarnya. Sebagai tahap awal, Partai Politik wajib menghapus presidential threshold menjadi nol persen.

Jokowi Akan Menjadi Sekjen PBB?

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan PRESIDEN Jokowi ke luar negeri lagi. Kali ini ke Ukraina dan Rusia dengan didahului ikut dalam pertemuan KTT G-7 di Jerman. Konon ke Ukraina dan Rusia tujuannya adalah mendamaikan kedua negara yang sedang berperang. Sebagai presidency G-20 rute perjalanan ini boleh terbilang menarik, akan tetapi kunjungan tersebut ternyata sepi dari pemberitaan dunia. Mungkin dianggap perjalanan piknik.  Piknik karena di samping berangkat bersama istri bu Iriana juga dengan basis keraguan publik. Ragu akan kemampuan Jokowi untuk menjadi penengah. Presiden Jokowi yang di dalam negeri saja gagal mendapat simpati rakyat apalagi dipercaya penuh baik oleh Ukraina maupun Rusia.  Bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskiy di Kiev. Pembicaraan antara lain soal kepedulian Indonesia terhadap perdamaian, siap sampaikan pesan ke Putin, kran impor pangan, serta undangan pertemuan G-20 November di Bali. Ketika bertemu Presiden Rusia pesan Zelensky tersebut konon telah disampaikan. Jokowi mengundang Putin ke G-20 dan Putin sejak awal telah menyatakan siap hadir.  Zelensky akan hadir tetapi melihat kondisi dalam negeri dahulu katanya, demikian juga akan melihat komposisi peserta pertemuan di Bali tersebut. Sebagaimana diketahui Amerika dan sekutunya menyatakan tidak akan hadir jika Putin diundang. Jokowi tentu pusing.  Tiga hal menarik dari perjalanan Jokowi dan Iriana ini, yaitu : Pertama, tampilan \"Islami\" Ibu Iriani berjilbab tertutup. Padahal pertemuan G-7 maupun Rusia-Ukraina tidak berhubungan dengan langkah keagamaan. Politisi PDIP Efendi Simbolon mengaitkan dengan \"G-3\" soal keinginan Jokowi untuk jabatan 3 periode. Kedua, langkah \"luar\" yang gencar adalah untuk menutupi situasi \"dalam\" yang ambyar. Sebenarnya keduanya juga ambyar. Komunikasi global Jokowi tidak lancar. Penghargaan dunia internasional atas Presiden Jokowi lebih pada basa basi ketimbang apresiasi.  Ketiga, efekivitas kunjungan masih disangsikan. Misi penengah perdamaian perang Rusia dan Ukraina adalah \"mission impossible\". Rusia menyerang Ukraina atas dasar \"kill or to be killed\" ada NATO dan kepentingan Barat di Ukraina.  Perdamaian terjadi jika ada kesepakatan antara Putin dengan Biden bersama NATO. Itu yang semestinya diarah oleh Jokowi.  Pertanyaan mendasar dari misi Jokowi adalah kepentingan mana yang lebih dominan luar negeri atau domestik. Semakin sering bergerak ke luar negeri sebenarnya Jokowi sedang lari dari masalah dalam negeri. Mencoba mengalihkan diri melalui performance sebagai tokoh internasional. Sesuatu yang dianggap ilusi karena Jokowi sendiri gagap dalam berkomunikasi.  Sangat berlebihan ungkapan anggota DPR bahwa upaya-upaya mendamaikan Rusia dan Ukraina akan membawa Jokowi mendapat hadiah perdamaian Nobel dan membuka jalan untuk jabatan Sekjen PBB.  Mungkin ada netizen yang bergembira dan berujar bahwa lebih baik Jokowi menjadi Presiden dunia daripada menjadi Presiden Indonesia. Biar dunia pun ikut merasakan betapa nikmatnya banyak dibohongi oleh janji dan ocehan Jokowi.  Bandung, 1 Juli 2022

Apa Itu Negara Indonesia

Apakah kita sadar dengan keadaan negara ini? Apa kita masih berdebat lagi soal Presidential Threshold 20 %? Apa tidak sebaiknya kita kembali ke UUD 1945 dengan sistem sendiri atau sistem MPR melalui demokrasi konsensus? Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila SEJAK UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002, maka apa itu negara Indonesia sudah tidak lagi ada. Negara dengan Uniknya Bangsa dilahirkan baru negaranya dibentuk yang kemudian Indonesia adalah negara Kebangsaan. Perjuangan para pendiri negeri ini dinistakan oleh para pengamandemen UUD 1945. Fudamental negara berdasarkan Pancasila dirobohkan, dicabut, diganti dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Padahal, negara ini melalui proses panjang dalam pembentukannya dan melalui konsensus untuk meletakkan dasar negara, Philisophy groundslag bukan sesuatu yang asal comot tetapi melalui pemikiran yang bersumber dari akar budaya bangsa yang ribuan tahun sudah ada di dasar sejarah bangsa Indonesia. Pemikiran paradikmatika Philisophy tentu membutuhkan perenungan yang sangat fundamental. Mengganti UUD 1945 yang para komprador menyebutnya amandemen itu tak lebih dari penipuan terhadap bangsa ini. Nyatanya yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Lebih aneh lagi PDIP dan BPIP masih mengunya-ngunya Pancasila. Padahal ideologi negara berdasarkan Pancasila sudah dibuang. BPIP tidak akan mampu bicara ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme. Bagaimana mungkin ajaran Soekarno tentang imperalisme justru mau disetubuhkan dengan liberalisme kapitalisme.    Jadi tujuan bernegara masyarakat adil dan makmur tidak mungkin terwujud jika diletakkan pada sistem Kapitalisme Liberalisme. Padahal Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia itu adalah Protes Bung Karno terhadap ajaran individualisme. Pertanyaan besarnya apakah Megawati Soekarnoputri dengan BPIP mengerti bahwa sejak UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002 negara ini sudah tidak berideologi Pancasila lagi? Apa tidak mengerti yang dimaksud dengan ideologi negara berdasarkan Pancasila itu adalah UUD 1945? Yang lebih aneh lagi visi-misi negara yang tertuang di Pembukaan UUD 1945 diganti dengan visi-misi Presiden karena alasan sistem Presidensial. Visi Negara Republik Indonesia di dalam Pembukaan dituliskan Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur. Misi Negara Republik Indonesia ada pedoman, jang dalam Pembukaan sendiri ditentukan sebagai tudjuan dan tugas bekerdjanja Negara dalam kalimat keempat: bersifat nasional, ialah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum serta mentjerdaskan kehidupan bangsa”; bersifat internasional, ”ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dua pedoman tersebut apabila dipersatukan, maka merupakan perwujudan daripada matjam-matjam kepentingan jang mendjadi tugas pemeliharaan Negara tidak tjuma bangsa Indonesia dalam keseluruhannja harus dilindungi, djuga suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, warga negara perseorangan; Tidak tjukup ada kesedjahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi seluruh bangsa, djuga harus ada kesedjahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi setiap suku bangsa, setiap golongan warga negara, setiap keluarga, setiap warga negara perseorangan. Dengan lain perkataan harus ada keadilan sosial, jang pemeliharaannja baik diselenggarakan oleh Negara maupun oleh perseorangan sendiri, tidak dengan atau dengan bantuan Negara. Amandemen UUD 1945 adalah UUD 2002, berbeda dengan UUD 1945. Artinya UUD 2002 adalah UUD yang tidak berdasarkan Pancasila, UUD yang tidak ada hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945, bahkan tidak ada hubungannya dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Negara kita ini sudah dikudeta oleh mereka yang mengatakan dirinya reformis yang jelas-jelas bertolak belakang dengan negara Pancasila mempunyai sistem sendiri yang disebut sistem MPR, kita menciptakan sendiri sistem yaitu sistem sendiri atau sistem MPR. Jadi, negara yang berdasarkan Pancasila itu sistemnya MPR, di mana seluruh elemen bangsa terwakili di lembaga tersebut. Karena negara ini semua buat semua, bukan buat sebagian orang yang merasa menang dalam pemilu. Bukan hanya golongan politik saja maka dari itu anggota MPR adalah selain DPR dari golongan politik juga utusan golongan, utusan daerah, sehingga di MPR lah kedaulatan tertinggi itu terwujud, kemudian tugas MPR menyusun GBHN dan mengangkat presiden untuk menjalankan GBHN. Maka Presiden adalah Mandataris MPR. Kita telah terjerumus dengan penipuan dan kebohongan bahwa UUD 2002 masih dikatakan UUD 1945. Padahal tidak ada hubungannya, sama sekali berbeda dan tidak ada hubungannya dengan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Apakah negara Indonesia itu? Negara, jang – begitoe boenjinja – negara jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dengan berdasar persatoean, dengan mewoedjoedkan keadilan bagi seloeroeh rakjat Indonesia”. Ini terkandoeng dalam pemboekaan. Tadi soedah saja katakan, oleh karena itoe kita menolak bentoekan negara jang berdasar individualisme dan djoega kita menolak bentoekan negara sebagai klasse-staat, sebagai negara jang hanja mengoetamakan satoe klasses, satoe golongan, oempamanja sadja, negara menoeroet sistem sovjet, jang ada sekarang, ialah mengoetamakan klasse pekerdja, proletariaat, klasse pekerdja dan tani, – itoe jang dioetamakan, maka itoe poen kita tolak dengan menerimanja pemboekaan ini, sebab dalam pemboekaan ini kita menerima aliran, pengertian negara persatoean, negara jang melindoengi dan melipoeti segenap bangsa seloeroehnja. Apakah kita sadar dengan keadaan negara ini? Apa kita masih berdebat lagi soal Presidential Threshold 20 %? Apa tidak sebaiknya kita kembali ke UUD 1945 dengan sistem sendiri atau sistem MPR melalui demokrasi konsensus? Apa kita akan terus berdebat dengan oligarki, sementara kita terus masuk dalam cengkeramannya tanpa bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini? Sadarlah hanya kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila, maka bangsa ini akan selamat. (*)