Demokrasi dan Keadilan Sosial: Tantangan Menuju Kepemimpinan Baru 2024

Syahganda Nainggolan saat bicara di Sarasehan Syarikat Islam.

Selain urusan minyak goreng, kesejahteraan buruh juga semakin buruk saat ini, khususnya ketika UU Omnibus Law diberlakukan dan upah buruh hanya mengalami kenaikan 0,85% saja (2022).

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.

MAKALAH ini saya sampaikan dalam seminar kebangsaan Syarikat Islam (SI), “Demokrasi dan Keadilan Sosial”, di Jakarta, Ahad (3/7/22). Menurut saya, demokrasi dan keadilan sosial dalam diskursus sosial sering membingungkan.

Pertama, apakah demokrasi itu hanya sebuah “tools” untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, apakah demokrasi itu, seperti juga keadilan sosial adalah keduanya merupakan tujuan. Ketiga, apakah sesungguhnya keduanya mempunyai korelasi?

Ketiga isu di atas penting kita pikirkan saat ini, sebab indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan drastis selama pemerintahan Presiden Joko Widodo 8 tahun terakhir ini. Begitu juga kemiskinan terus memburuk dan ketimpangan sosial semakin menganga.

Padahal Jokowi awalnya hadir itu sebagai sosok pemimpin sederhana yang menawarkan diri untuk memberantas kemiskinan dan menegakkan keadilan sosial melalui berbagai jargon dan platform perjuangannya, seperti “Revolusi Mental”, Trisakti, dan Nawacita.

Jika indeks demokrasi memburuk, namun menghasilkan kesejahteraan yang tinggi dan merata, maka orang mampu membayangkan bahwa pengurangan demokrasi akan berkorelasi terhadap pemberantasan kemiskinan. Artinya, tingkatan demokrasi itu sekedar alat saja.

Indeks demokrasi kita (Source: A new low for global democracy|The Economist) menurut EIU (European Inteligent Unit), dengan mengambil 5 kluster besar indikator, yakni, “electoral process and pluralism, the functioning of government, political participation, democratic political culture and civil liberties”, menempatkan Indonesia pada ranking 52 dari 167 negara, dengan skore 6,71.

EIU mengklasifikasikan 4 tingkatan dari negara otoriter, hybrid, flaw democracy dan full democracy. Dengan skore yang ada Indonesia saat ini selalu berada pada “Flaw Democracy” atau demokrasi yang cacat. Demokrasi yang cacat disebutkan karena indikator yang dipenuhi hanya sebagian, seperti “fair election dan basic liberties”. Cacat dikarenakan partisipasi publik yang lebih besar tidak terjadi, media tidak bebas dan pemerintah tidak ingin dikontrol.

Indeks demokrasi selama pemerintahan Jokowi dapat dilihat dari trend grafik di bawah ini, di mana awal-awalnya indeks tersebut naik melampaui skor 7, namun kemudian menurun drastis.

Secara kualitatif, Amnesty Internasional Indonesia (AII), pada seminar tentang demokrasi di Jakarta tahun ini, seperti dikutip pada suara.com (20/5/2022), mengatakan bahwa selama 14 tahun terakhir, tahun inilah tahun demokrasi yang paling buruk. Menurut Ketua AII, kemunduran ini akibat pemerintah ingin mengembalikan kekuasaan menjadi sentralistik, otoriter, dan melemahkan institusi reformasi seperti KPK dan MK.

Sejalan dengan EIU dan AII di atas, berbagai Indonesianis, khususnya yang berbasis di Australia melihat Indonesia dalam sitasi “illiberal democracy” atau “Jokowi’s Turn-Back Authoritarian”.

Mereka menggambarkan bahwa demokrasi yang dijalankan Jokowi melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang benar, seperti melakukan langkah otoritarian dalam membubarkan ”ormas radikal”, padahal belum ada suatu pembuktian pengadilan atas kesalahan ormas tersebut.

Secara kualitatif, sebenarnya kita sendiri mengetahui buruknya demokrasi di era Jokowi melebihi apa yang dilukiskan beberapa lembaga di atas.

Pembungkaman demokrasi, kebebasan sipil, pembungkaman media sosial dan spying, serta pemenjaraan aktifis politik kembali terjadi secara massif dalam era Jokowi. Jika AII belum meyakini setuasi demokrasi kita kembali ke sama dengan pada masa orde baru, maka apa yang kita semua saksikan saat ini sebenarnya sudah terjadi. Rezim intelijen di masa orde baru kembali muncul dengan massif lagi pada masa Jokowi ini.

Dalam kaitan tema diskusi kita saat ini, kita kembali bertanya, apakah kemakmuran rakyat dan keadilan sosial meningkat di masa Jokowi?

Untuk mengukur kemakmuran dan keadilan sosial, kita harus melihatnya dalam dua dimensi. Pertama, dimensi statistik yang memotret angka-angka indikator seperti angka kemiskinan, angka pengangguran, koefisien gini, indeks konsumen, nilai tukar petani, upah buruh, inlasi, dll. Kedua, kita harus melihat persoalan kemiskinan secara strutural, yakni dikaitkan dengan faktor penguasaan asset produktif, akses dan fakta terkait pembiayaan, dan dukungan negara.

Angka kemiskinan BPS 2021, menunjukkan kemiskinan di Indonesia berada pada level di atas 10%. Angka itu juga pernah diklaim pemerintah turun di bawah 10% pada Maret 2019. Ini dicatat pada angka garis kemiskinan Rp 425.000. Namun, statistik penurunan kemiskian selama 10 tahun terakhir (2011-2021), menurut Elan Satria, ketua Tim Penanggulangan kemiskinan Indonesia, hanya rerata 0,5% pertahun. Keberhasilan menurunkan sebesar 1% cuma terjadi pada tahun 2011-2012 (mediaindonesia.com, 8/18/21).

Sebaliknya, CNBC, pernah melaporkan sepanjang 5 tahun pertama dalam kepemimpinan Jokowi hanya berhasil menurunkan kemiskinan di atas 1% saja. Atau jauh lebih kecil. Menurut CNBC (15/1/20), di era Jokowi hanya terjadi penurunan kemiskinan sebesar 1,04 %, sebaliknya di era 2009-2014 tingkat kemiskinan berhasil turun sampai 3,19 persen poin dan pada 2004-2009, tingkat kemiskinan juga turun l2,51 persen poin serta 1999-2004 turunnya lebih besar, yakni 6,83 persen.

Seandainya sumber resmi pemerintah kita rujuk, penurunan dengan angka 0,5% pertahun, Indonesia akan terjebak dalam situasi yang bolak-balik begitu saja, artinya hanya seperti mengutak atik angka-angka statistik, namun tidak merubah substansi untuk pengentasan kemiskinan.

Jika kita lihat lebih dalam di daerah, angkanya lebih memperihatinkan, misalnya, Sumatera Selatan yang hanya menurunkan kemiskinan sebesar 0,19 dan NTT 0,22% pada tahun 2020-2021. Padahal, seperti Sumsel, saat yang sama kekayaannya, batubara, kayu, minyak goreng, migas dll, diekspor dengan jumlah besar-besaran. Angka kemiskinan dengan penurunan yang kecil merupakan angka kutukan jika kita ingin melihat harapan ke depan.

Dari pendekatan kemiskinan struktural, harapan semakin pupus karena transformasi penguasaan asset, baik properti/land maupun keuangan/ pembiayaan semakin memihak orang-orang kaya.

Pada 2019, beritasatu.com (28/8/2019), memberitakan struktur kepemilikan uang di rekening bank sebagai berikut, dari Rp 5.900 triliun pada Juli 2019, dari total kepemilikan rekening 291 juta, mayoritas rekening (98%) dimiliki nasabah dengan simpanan di bawah Rp 100 juta.

Dari jumlah total uang bank, itu hanya sebesar 1% saja. Sebakliknya, pemilik uang 2-5 miyar berjumlah 0,5% dengan porsi kepemilikan 1%, selanjutnya pemilik di atas Rp 5 miliar mempunyai rekening sebanyak 98.947 rekening dengan porsi kepemilikan 47% atau sebesar Rp 2.768,62 triliun.

Bagaimana kondisi terbaru ketika pandemi? Ketika rakyat miskin terseok-seok mengantri bantuan sosial?

Riset IDEAS, sebuah lembaga di bawah yayasan Dompet Dhuafa, dalam berita Kompas (19/12/21), menjelaskan “sejak pandemi, terlihat pola yang konsisten, rasio tabungan kelas atas meningkat tajam dan rasio tabungan kelas bawah semakin terpuruk. Pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal lebih dari Rp 5 miliar meningkat dari 46,2 persen pada Desember 2019 menjadi 50,7 persen pada September 2021.”

Catatan tentang reformasi aset atau “Landreform” dalam Nawacita Jokowi itu tidak mempunyai jejak nyata. Jokowi hanya berhasil memperkuat program hutan sosial yang sudah ada sejak dulu. Sedangkan Landreform, seperti yang dibayangkan Soekarno ketika menjalankan sosialisme ekonomi, tidak terjadi. Berbagai catatan menyebutkan tanah-tanah produktif di Indonesia dengan skala puluhan juta hektar hanya dikuasai segelitir orang saja.

Strutkur kepemilikan asset, baik tanah maupun uang, seperti digambarkan di atas jika dikaitkan dengan Material Power Indeks (MPI), sebagaimana yang dikonsepkan Jeffry Winters dalam Oligarcy in The United States, sebagai ukuran kekayaan oligarki dibanding rerata rakyat, di mana Indonesia sebesar 548.000, jauh lebih besar dari Malaysia 152.000 dan Singapore 46.000.

Atau konsep Thomas Piketty tentang return to capital/growth yang selalu membesar, maka dapat dipastikan kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia akan terus menganga. Dan negara tidak lagi mempunyai arti yang penting sebagai faktor keadilan sosial.

Kita sudah memperlihatkan demokrasi dan isu kesejahteraan di atas, yang keduanya memburuk begitu dahsyat di era Jokowi. Mungkin Jokowi dapat berkelit bahwa sebagiannya karena faktor eksternal, seperti pandemi covid-19 maupun perang Ukraina dan Rusia saat ini.

Namun, dalam dimensi struktural, baik era pandemi maupun di luar pandemi, situasi kemiskinan dan ketimpangan kepemilikan aset tetap menjadi persoalan besar, bahkan jika dikaitkan dengan kasus minyak goreng beberapa waktu lalu, tampak Jokowi gagal memerankan fungsi negara sebagai instrumen keadilan.

Selain urusan minyak goreng, kesejahteraan buruh juga semakin buruk saat ini, khususnya ketika UU Omnibus Law diberlakukan dan upah buruh hanya mengalami kenaikan 0,85% saja (2022).

Lalu apakah buruknya demorasi mempunyai korelasi terhadap pengurangan kemiskinan dan sekaligus memperbaiki keadilan sosial? Hubungan ini perlu diselidiki lebih jauh.

Namun, pada era pemerintahan sebelum Jokowi, ketika demokrasi berjalan, 2000-2014, tingkat pengentasan kemiskinan berjalan jauh lebih baik. Oleh karenanya kita harus meyakini bahwa peningkatan indeks demokrasi secara tajam perlu dilakukan.

Begitu pula, desain negara ke depan, khususnya dalam kepemimpinan baru, harus mengahsilakn langkah struktural yang kuat di bidang kemakmuran rakyat. (*)

319

Related Post