OPINI

Diplomasi Presiden yang Kalang-Kabut

Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEORANG Presiden harus menguasai minimal lima (5) fokus utama dalam penjalinan relasi dan berdiplomasi dengan negara lain, yaitu: Representing, kemampuan untuk mewakili negara; Priomoting, yaitu kemampuan untuk mempromosikan negara; Protecting, yaitu perlindungan terhadap bangsa dan kepentingan negara; Negotiating, yaitu kemampuan negosiasi demi kepentingan negara; Reporting, yaitu melaporkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk sidang yang dilakukan demi kepentingan negara. Seorang Presiden dituntut untuk bisa berbahasa asing agar dalam percakapan dengan lawan bicara tidak terkendala. Sangat tragis ketika sedang berdialog dengan lawan bicara tampak senyum-senyum kecut seolah sedang menunjukkan dirinya paham apa yang sedang disampaikan lawan bicara. Padahal, yang sesungguhnya terjadi dalam otaknya mengalami kebuntuan dan kemacetan karena tidak paham apa yang sedang disampaikan lawan bicaranya. Seorang Presiden juga harus berwawasan luas, terutama jika bersinggungan dengan topik ekonomi, politik, dan budaya. Kemampuan untuk bernegosiasi juga diperlukan agar perundingan berjalan dengan baik, sehingga tidak terjadi fenomena kebingungan pada nalarnya. Seorang Presiden harus memiliki kepribadian yang unggul dan wibawa itu diperlukan karena pada diri seorang Presiden menempel atas nama negara, dituntut untuk bisa bekerja diatas tekanan. Sementara itu, fungsi diplomasi lainnya dapat dipelajari selama berproses. Ketika Presiden kita melakukan kunjungan kerja ke negara lain sebagian masyarakat kita merasa was-was, karena kemampuan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya. Was-was akan terjadi kendala hanya mengandalkan penerjemah dan ketidak-mampuannya menangkap dan sekedar berdialog secara normal dengan mitra dialog dalam forum penting. Nama, harga diri, citra dan wibawa negara  melekat dalam penampilan seorang Presiden saat berada dalam forum percakapan dengan Presiden atau kepala negara dalam percaturan dunia. Jangan sampai negara dipertaruhkan karena terjadinya kecelakaan, Presiden tidak paham situasi dan kondisi politik baik negara yang dikunjungi atau situasi politik global yang sedang terjadi dan menyelimuti masalah antar negara. Apa tidak mengetahui Presiden AS Joe Biden, sedang menggalang blok untuk mengepung Presiden Rusia Vladimir Putin, tapi dia datang ke Biden ketika Indonesia berketetapan akan mengundang Putin pada pertemuan G.20. Over confidence seolah-olah Biden akan bisa ditaklukkan dalam diplomasi acak-acakan hanya bermodal pengalaman bisa marah-marah di dalam negerinya kepada para pembantu menterinya. Apa tidak mengetahui bahwa Singapura di-blacklist Russia, tapi dia mengekor Singapura untuk mencari perlindungan ke AS. Amerika dan sekutunya sedang sibuk luar biasa menggalang kekuatan melawan Rusia. Kepentingan Joe Biden dan PM Singapura Leen Hsien Loong dalam US-ASEAN Summit cuma mau melakukan diplomasi dan demonstrasi menekan Putin dan Presiden China Xi Jinping. Apabila Presiden kita mengabaikan situasi politik global, sedang di kepala sang Presiden, hanya karena ingin menyelamatkan perekonomian Indonesia, dan mencari pinjaman berdalih menarik investasi, kalau ini yang terjadi maka terjadilah proses diplomasi yang kalang-kabut. Sinyal tidak ada sambutan resmi dari pemerintah Amerika. Dikabarkan ketika Jokowi dan rombongan tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington D.C., Amerika, Selasa (10/5), sekitar pukul 21.40 waktu setempat atau pukul 08.40 WIB, Rabu, tidak ada penyambutan resmi dari pejabat Amerika. Ini sinyal harus melangkah dan bersikap hati-hati. Itu sinyal politis, Amerika merasa tak berkepentingan dengan Indonesia atau lebih parah Indonesia hanya dianggap sebagai negara yang tidak diperlukan baik secara politik, ekonomi dan kekuatan yang layak diajak bicara apalagi untuk diajak masuk malam sekutu mereka. “Seperti kambing lapar mencium rumput, dia sadar ada harimau bersembunyi di situ. Tapi dia berharap sang harimau berbaik hati”, ini fatal sekali. Presiden Indonesia datang ke Amerika dalam rangka menghadiri US-ASEAN Summit (KTT ASEAN – Amerika membahas perubahan iklim). Kalau dalam fokus bukan perubahan iklim yang menjadi prioritas, “tetapi bagi Presiden Joko Widodo, ini langkah terakhir menyelamatkan krisis di dalam negerinya”. Dia datang ke Amerika pasti dengan kepala menunduk”. Presiden Jokowi mungkin sekuat tenaga berusah saat ketemu Joe Biden akan menyelipkan agenda mohon bantuan (mungkin juga akan berhutang dengan dalih investasi). Kalau itu yang menjadi agenda dalam pikirannya, proses diplomasi akan kocar-kacir. Presiden Jokowi harus siap mental, apabila negosiasi permintaannya akan ditolak atau minimal tidak direspon. Berbalik arah bisa jadi justru akan ditekan Biden yang bersikeras dan tegas minta Jokowi tidak mengundang Putin untuk hadir dalam G20 di Bali (batalkan mengundang Putin).  Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia. Kalau itu tidak dipahami dan tidak direspon positif oleh Presiden Jokowi bisa terjadi sinyal terburuk datang dari Joe Biden: Anda harus segera berhenti jadi Presiden secepatnya. Bisa jadi dalam lingkup convidential dibatasi waktunya, agar secepatnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Akibat kekacauan dalam komunikasi, lemahnya kepekaan dan kemampuan berdiplomasi dalam pertemuan tingkat tinggi berhadapan dengan negara adidaya dan atau pada pertemuan di forum internasional, itu akan berakibat fatal. Semoga semua itu tidak terjadi karena akibat diplomasi yang kalang-kabut, nama baik negara menjadi taruhannya. (*)

Keragaman Itu Keberkahan yang Menantang

Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation MASIH seputar interfaith dinner tahunan Florida Minggu lalu. Salah seorang pembicara ketika itu menekankan Urgensi diversitas (keragaman). Beliau bahkan menganalogikan keragaman itu bagaikan taman bunga yang indah karena ragam warna-warni di dalamnya. Pada sesi keynote speech saya menyetujui itu. Keragaman tidak saja indah. Tapi sejatinya menjadi sunnatullah (hukum atau aturan Allah) dalam cipta-Nya. Sekaligus menjadi salah satu ayat-Nya (tanda-tanda kebesaran-Nya) dalam penciptaan. “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi. (Demikian pula pada) perbedaan lisan (bahasa) dan warna (kulit) kalian. Sungguh yang demikian adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Ar-Rum). Maka dengan sendirinya menolak eksistensi keragaman itu. Sesungguhnya tanpa disadari sekaligus menolak kekuasaan Tuhan. Mengingkari keragaman seolah mengingkari eksistensi kekuasaan Allah SWT. Keragaman (diversity) itu memaknai adanya perbedaan-perbedaan. Sehingga jelas keliru dan tidak rasional ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan segala hal. Satu di antaranya ingin menyamakan semua agama. Padahal agama-agama tersebut tidak mungkin sama. Semua agama memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Mereka yang mengaku pahlawan keragaman tapi di sisi lain ingin menyamakan (menyeragamkan) agama-agama mengalami “self paradox” (pribadi yang bertolak belakang). Jika semua agama dipandang sama/seragam berarti dengan sendirinya keragaman tidak lagi eksis. Oleh karenanya pemahaman tentang keragaman yang benar adalah tetap meyakini adanya Perbedaan bahkan seringkali bersifat mendasar di semua agama. Konsep Islam tentang Yesus (Isa AS) dan Kristen berbeda secara mendasar (prinsip). Maka Islam dan Kristen adalah dua bentuk keyakinan yang ragam (berbeda). Oleh karena keragaman adalah karunia (ciptaan, aturan, hukum, keputusan) Allah maka dengan sendirinya keragaman merupakan keberkahan (blessing) Allah dalam hidup manusia. Dengan keragaman manusia dapat memilih yang terbaik berdasarkan pikiran dan kebebasan kemanusiaannya. Sehingga agama itu berdasar pada pilihan dan personal. Agama tidak mungkin bisa dipaksakan karena bertentangan dengan tabiat dasar nanusia yang diberikan kebebasan oleh Tuhan. Islam dalam hal ini jelas dengan “Laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Pada sisi lain walaupun keragaman itu adalah keberkahan namun penuh dengan tantangannya. Saya menyebutnya dengan “a challenging blessing” atau keberkahan yang menantang. Dikatakan menantang karena walau bersifat alami dalam hidup manusia, bahkan menjadi sunnatullah, sering tidak disadari dan dengan mudah manusia mengoyaknya. Hal itu karena pada diri manusia ada tendensi egoisme yang tinggi. Di sìnilah sering kita lihat keragaman tidak membawa keberkahan (atau dalam bahasa agama Islam sebagai rahmah). Sebaliknya justeru menjadi jembatan perpecahan, permusuhan bahkan peperangan. Islam pun hadir dengan penawaran solusi. Saya mengistilahkan solusi ini dengan “nourishment” atau gizi keragaman. Itulah konsep “ta’aruf”. Seperti yang ditegaskan Al-Quran: “dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk lita’arafu atau saling mengenal”. Ta’aruf itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas, lebih dari terjemahan “saling mengenal”. Saling mengenal hanya langkah awal dari ta’aruf. Karena kata ini bermakna ‘urf misalnya yang berarti tradisi, kebiasaan, bahkan semua yang menjadikan orang lain dikenal dengannya. Dari saling mengenal akan tumbuh saling memahami (understanding). Pada tataran ini akan tumbuh sikap toleransi. Sebagai contoh saja. Saya tidak sepakat/tidak setuju dengan orang itu. Tapi saya paham kalau orang itu juga merasa benar dengan keyakinannya. Karenanya saya memahami sikap dan keputusannya. Pada tingkatan ini secara alami akan tumbuh rasa solidaritas dan kedekatan (compassion). Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Sebenarnya lebih jauh lagi kerjasama itu harus ditingkatkan kepada saling membantu dan membela antara satu sama lain (defending for one another). Dunia kita adalah dunia global yang “deeply interconnected” (saling terkait). Satu contoh yang terasa di Amerika adalah bahwa “Islamophobia & Antisemitisme” adalah dua hal yang senyawa. Keduanya adalah bentuk kebencian kepada orang lain karena keyakinannya. Dalam dunia yang saling terkait keburukan yang menimpa seseorang itu  adalah sejatinya keburukan yang menimpa semua orang. Perang Rusia-Ukraine saat ini berdampak pada semua manusia di semua penghujung dunia. Dan karenanya benar sebuah pernyataan yang mengatakan: “enough for evil to thrive when the good people say or do nothing” (cukuplah bagi kejahatan untuk merajalela ketika orang-orang baik diam atau tidak berbuat apa-apa”. Palestina mungkin menjadi contoh terdekat akhir-akhir ini. Para penguasa Muslim, khususnya Timur Tengah diam membisu bak tidak punya rasa melihat kekerasan-kekerasan yang menimpa saudara-saudaranya. What a tragedy! Jamaica City, 14 Mei 2022. (*)

Demo Mahasiswa dan Reproklamasi Republik

Waktunya telah tiba untuk menunjukkan sikap. Periksa hati nurani. Dengan jaminan konstitusi, ekspresikan perasaan di manapun berada dengan bergerak mereproklamasikan kembali kemerdekaan negeri yang sudah dikangkangi para oligarki ini. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts DEFORMASI kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun lebih terakhir terjadi semakin membahayakan Republik melalui pembuatan undang-undang dan tafsirnya yang semakin diabdikan bagi kepentingan oligarki, bukan publik. Oligarki semakin brutal merampas masa depan publik berusia produktif, terutama mahasiswa, sebagai komponen yang seharusnya paling tercerahkan itu. Oligarki hampir berhasil menumbangkan Republik menjadi semacam Romawi di tangan Nero. Pada saat sindrom profesionalisasi melanda kampus-kampus, demonstrasi dinilai sebagai tindakan yang close minded, dan tidak profesional, nyaris proses negara ini perlahan runtuh sebagai failed state luput dari perhatian mahasiswa. Template lulus tepat waktu, cum laude, lalu bekerja pada BUMN atau MNC dengan gaji besar dan tunjangan yang menggiurkan, sambil asyik masyuk di dunia maya benar-benar telah mengerdilkan mereka menjadi robot 2-dimensi dengan imajinasi dan visi yang menyedihkan serta dengan mudah remotely controlled. Sebagian lagi bermimpi menjadi Youtuber wannabes semacam DC. Sambil khusyu\' dalam pemberhalaan Science, Technology, Engineering and Maths (STEM), mahasiswa dan kampusnya makin mati rasa. Rasa dianggap fitur  kompetensi yang buruk karena tidak rasional, sumber kecengengan, dan tidak profesional. Banyak yang tidak memahami bahwa pemujaan STEM, penelantaran liberal arts seperti seni dan sejarah adalah strategi kekuatan nekolim dan oligarki untuk menjongoskan bangsa ini. Bangsa ini perlahan tapi pasti menjadi buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan oligarki. Adalah rasa yang menggerakkan dan mengubah, bukan pikiran rasional. Adalah rasa merdeka sebagai pengalaman jiwa yang paling penting. Narasi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka adalah narasi bak gonggongan srigala sementara kafilah penjongosan tetap berlalu. Rancangan dasar sistem pendidikan nasional yang didominasi oleh persekolahan massal tidak berubah sejak Orde Baru membuka kran investasi asing untuk program pembangunan ala Wijoyo Nitisastro dkk hingga hari ini. Persekolahan dan perkampusan kita masih tetap menjadi instrumen teknokratik untuk menyiapkan negeri ini sebagai bangsa buruh bagi kepentingan Dunia Pertama. Seharusnya, sistem pendidikan kita menjadi strategi budaya untuk mengenali dan mengembangan rasa, karsa dan cipta bagi bangsa ini untuk belajar merdeka. Di tengah kemerosotan demokrasi, desentralisasi dan pemberantasan korupsi, kita menghadapi sebuah prospek negara gagal karena mekanisme self-correction-nya lumpuh dibajak oleh oligarki. “Hukum Besi Sejarah” membuktikan, bahwa oligarki akan perlahan menjadi anarki. Oleh karena itu penting bagi gerakan mahasiswa untuk mencegah agar jangan sampai deformasi permanen kehidupan berbangsa dan bernegara oleh full-fledged oligarch terlanjur terjadi. Waktunya telah tiba untuk menunjukkan sikap. Periksa hati nurani. Dengan jaminan konstitusi, ekspresikan perasaan di manapun berada dengan bergerak mereproklamasikan kembali kemerdekaan negeri yang sudah dikangkangi para oligarki ini. Baiklah, perlu diingat bahwa jika Bung Karno dan Bung Hatta hanya kuliah melulu, keduanya tidak mungkin menjadi proklamator dan Republik ini tidak pernah ada. Bandar Lampung, 15 Mei 2022. (*)

Islamopobia Kini dan Akhir Zaman

\"Episode Islamophobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (The End of History). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen Islamophobia yang berdiri di belakang Dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (The last Man).” Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center Islamophobia merupakan hasil kerja ideologi politik global guna kepentingan hegemoni dan dominasi kaum anti Islam. Berbagai deskripsi memperlihatkan ekspresi kebencian terhadap Islam yang demikian overdosis. Islamophobia tidak akan pernah mengakui kebenaran absolut syariat Islam dengan universalitasnya. Pembentuk Islamophobia sesungguhnya sadar akan superioritas syariat Islam. Islamophobia dimaksudkan untuk mendiskreditkan umat Islam agar terjadi transformasi syariat Islam yang berujung inferori. Syariat Islam hendak dinegasikan dalam ekonomi politik global. Oleh karena itu transplantasi pikiran global ditanamkan ke dalam pikiran para komprador. Komprador inilah yang menjadi eksponen terdepan Islamophobia disuatu negara, termasuk Indonesia. Masifnya agitasi ditujukan guna membentuk pikiran secara salah di masyarakat. Eksponen terdepan Islamophobia menebar berita hoaks, provokasi yang didalamnya sarat dengan kebencian dan adu domba. Islam dilabelkan sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Islamophobia yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh global, regional maupun nasional. Kesemuanya itu saling berhubungan yang pada akhirnya membentuk titik ekuilibrum. Suatu kondisi terbentuknya pemufakatan jahat antara penerima manfaat (aktor global) dengan komprador Islamophobia.   Pemufakatan jahat menunjuk pada tujuan menempatkan syariat Islam di bawah hukum positif. Kedaulatan Tuhan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang dioperasionalkan secara semu, untuk tidak mengatakan palsu. Produk hukum semakin menimbulkan mudarat, para pejabat ingkar amanat dan rakyat menghamba pada korporat. Pada akhirnya aktor global mampu menjadikan negara merdeka sebagai negara satelit. Demikian itu memang telah direncanakan sejak lama guna sistem global dalam tatanan dunia baru (novus ordo secrolum). Pengendali sistem global ini tiada lain adalah Dajjal. Pastinya si “mata satu” ini akan muncul pasca al-Malhamah al-Kubro (Barat: Armageddon). Sudah demikian banyak para pakar menyampaikan hal demikian. Terkait dengan novus ordo secrolum yang dicirikan dengan globalisasi (liberalisasi ekonomi), maka kondisi saat ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara semakin pudar. Peran negara telah tergantikan dengan actor nonstate. Oligarki ekonomi dan politik memiliki posisi dominan yang terhubung dengan kepentingan global. Sejalan dengan itu, peranan agama Islam semakin mendapatkan tekanan dengan menguatnya paham sekularisme. Di sisi lain persekusi dan kriminalisasi dilakukan klasterisasi. Penerapannya demikian terstruktur, sistemik dan masif. Klasterisasi hukum dimaksudkan terhadap pihak yang berseberangan dengan pemangku posisi dominan. Demikian itu semakin mengokohkan upaya penegasian syariat Islam. Untuk kepentingan itu eksponen terdepan Islamophobia menjalankan agenda global. Agenda global dimaksud adalah mencegah kebangkitan Islam. Tegasnya memutus peta jalan sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Tidaklah heran, jika Islam selalu digambarkan sebagai ancaman lipat tiga: ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi. Kemudian memberikan stereotip yang menggeneralisasi seperti, \"Islam fanatik,\" \"Islam militan,\" \"Islam fundamentalis,\" “Islam teroris” dan seterusnya. Fukuyama dan Huntington pernah meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat. Terlepas asumsi tersebut diterima atau tidak, namun yang jelas ada ketakutan (fobia) terhadap kebangkitan Islam kelak di akhir zaman. Kekhalifahan Islam di bawah komando Imam Mahdi akan menghancurkan kaum kafir dan zionis Israel. Dajjal akan dieksekusi oleh Nabi Isa as. Saat itulah terjadi benturan yang demikian dahsyat. Bukan benturan peradaban (Clash of Civilizations) sebagaimana dikatakan Huntington, akan tetapi puncak benturan antara yang haq dan bathil. Antara haq dengan bathil tidak akan mungkin bersatu. Dikatakan demikian oleh karena haq itu berpihak kepada Allah, sementara bathil berpihak kepada musuh-musuh Allah.  Pada akhirnya episode Islamophobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (The End of History). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen Islamophobia yang berdiri di belakang Dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (The last Man). Jakarta, 15 Mei 2022.  

Shireen Abu Aqleh Korban Kekejian Israel

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SHIREEN adalah jurnalis perempuan Al Jazeera. Meski beridentitas \"Press\" artinya sebagai reporter, tetap saja ia ditembak mati oleh sniper Israel. Sebagaimana biasa, Israel menuduh bahwa Shireen ditembak Palestina. Tuduhan palsu tanpa bukti  ini tentu idak ada yang mempercayainya bahkan mempertegas akan kelicikan dan kejahatan Zionis Israel.  Shireen harus menjadi martir dunia untuk menghukum Israel. Shireen Abu Aqleh berkewarganegaraan ganda Palestina dan Amerika, tidak beragama Islam melainkan Protestan. Dibawa ke Katedral the Annunciation of the Virgin Yerusalem untuk kemudian dikuburkan di dekat makam ibunya. Warga Palestina mengiringi jenazah dengan kibaran bendera Palestina. Tentara Israel mengganggu pemakaman.  Israel adalah bangsa dan negara yang terkutuk.  Harus segera diusir dari tanah Palestina. Kemerdekaan adalah pilihan dan agenda dunia. Penjajahan dan kejahatan Israel tidak bisa terus dibiarkan. Indonesia mesti serius dan tulus dalam mendukung Palestina, tidak berstandar ganda atau coba-coba untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Di depan mata sebenarnya Israel telah menginjak-injak Indonesia dengan mendirikan Museum Holocaust di Minahasa. Negara zalim  itu tengah berpura-pura menjadi korban dari kezaliman. Jika Indonesia sungguh-sungguh  ingin membantu bangsa Palestina, maka segera tutup Museum Holocaust dan bongkar bangunan provokasi Zionis Israel tersebut. Jangan buka peluang Zionis untuk bergerilya di negeri Pancasila.  Shireen adalah jurnalis senior yang telah 25 tahun bekerja untuk AlJazeera. Sebelum bergabung dengan Al Jazeera, Shireen bekerja pada the Voice of Palestine dan Radio Monte Carlo Perancis. Keluarga ibunya ada di New Jersey Amerika. Shireen  adalah alumni Universitas Yarmouk di Yordania.  Jika Indonesia dapat membangun Museum Perjuangan Palestina maka Shireen Abu Aqleh dan profilnya sebagai pejuang jurnalisme akan mengisi salah satu sudut tampilan Museum. Perjuangan Shireen diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk selalu berjuang keras di berbagai bidang khususnya jurnalisme.  Museum di samping menampilkan heroisme juga menampilkan kejahatan dan kekejaman Zionis Israel dalam dimensi kesejarahannya. Zionis itu curang, penipu, fitnah, rasialis, kejam, serta penginjak-injak HAM. Mungkin ada benarnya juga pernyataan bahwa Israel suatu saat harus dihapus dari peta dunia.  Shireen dibunuh keji dan Israel telah melanggar pasal-pasal Konvensi Jenewa 1949. Melakukan kejahatan perang.  Presiden Palestina Mahmoud Abbas menganugerahi \"Bintang Yerusalem\" dan berjanji akan membawa kasus pembunuhan jurnalis ini ke International Criminal Court  (ICC) di Den Haag.  Shireen Abu Aqleh adalah martir dunia dan bukti dari kesewenang-wenangan Pemerintahan kolonial Zionis Israel.  Shireen adalah pahlawan jurnalisme.  Bandung, 15 Mei 2022

Oligarki Merampas Masa Depan Mahasiswa

Pada saat segelintir oligarki menguasai lahan berjuta hektar untuk sawit dan tambang serta perumahan, dan jutaan keluarga muda mengais kavling sempit 100 m2 di pinggiran kota-kota, kini terpulang pada mahasiswa sebagai agen perubahan apakah ketimpangan ruang ini masuk akal sehat mereka. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SEJAK Reformasi 1998, akibat amandemen serampangan atas UUD 45, telah terjadi deformasi besar-besaran atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih tiga agenda reformasi yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi, makin terwujud, agenda itu justru makin jauh panggang dari api. Demokrasi liberal telah menyebabkan biaya politik yang makin tinggi sehingga menyebabkan perselingkuhan elit poltik dengan para taipan. Bangsa ini justru makin menjadi jongos dan negara semakin kehilangan kedaulatan tertimbun hutang yang makin menggunung. Tujuan bernegara telah dibajak oleh oligarki politik dan ekonomi. Pembajakan tersebut terjadi justru saat bangsa ini sedang dianugerahi bonus demografi di mana masyarakat kita didominasi oleh golongan warga berusia produktif yaitu pemuda, termasuk mahasiswa. Banyak mahasiswa sebagai pemuda terdidik tidak menyadari bahwa masa depan mereka telah digadaikan oleh para oligarki ini melalui serangkaian maladministrasi publik, yaitu praktek pembuatan regulasi dan penafsirannya bukan untuk kepentingan publik pemuda, tapi untuk kepentingan oligarki. Kesalahan kebijakan merespons pandemi, manipulasi sejarah, dan juga sistem pendidikan yang hanya menjadi instrumen penjongosan, telah menyebabkan significant learning loss yang berpotensi mengubah bonus demografi tersebut menjadi bom demografi. Paparan internet yang berlebihan, dan kecanduannya telah menyebabkan kehilangan pengalaman ruang 3-dimensi dan waktu pada para pemuda kita. Padahal pengalaman seperti itu sangat penting dalam pendidikan bermakna yang memerdekakan. Menyusutkan ruang dari 3 dimensi menjadi 2 dimensi adalah perampasan kemerdekaan sebagai ruang eskpresi. Pada saat kita masih gagap untuk meninggalkan paradigma schooling ke paradigma learning, digitalisasi kehidupan atau 2-dimensionalisasi telah mengasingkan mereka dari kenyataan sebagai pengalaman ruang-waktu yang diperlukan dalam belajar untuk merdeka sebagai papan lontar leadership mereka kelak. Sebagai pemimpin masa depan, pemuda perlu terpapar dengan banyak pengalaman dalam proses belajar mereka untuk making sense of their rich experiences. Pengalaman yang penuh tantangan fisik dan mental serta spiritual akan menjadi bekal penting sebagai pemimpin. Seiring dengan itu, mereka juga perlu relating with peoples untuk membentuk personal branding mereka. Setelah itu mereka perlu visioning, yaitu membangun imajinasi yang bisa ditawarkan sebagai mimpi bersama bangsanya. Yang terakhir yaitu mereka harus memulai innovating, bekerja keras untuk mewujudkan visinya tersebut. Adalah HOS Tjokroaminoto yang memancing Soekarno, Muso, dan Kartosoewirjo untuk membangun visi Indonesia merdeka. Sementara itu, para oligarki akan sibuk memastikan bahwa para mahasiswa disibukkan oleh agenda-agenda pragmatis jangka pendek seperti lulus tepat waktu dengan predikat cum laude, lalu menjadi profesional di sebuah BUMN atau multi-national corporations dengan gaji dan tunjangan yang mentereng. Sebuah visi dangkal yang tidak keliru tapi menyedihkan. Dosen-dosen pun sibuk memastikan mahasiswa dengan tugas-tugas akademik yang makin mengasingkan mereka dari masyarakat di sekitar mereka. Oleh Ben Anderson, ini disebut sindrom profesionaliasi kampus sebagai persiapan mental untuk patuh bekerja bagi kepentingan para majikan pemilik modal. Pada saat segelintir oligarki menguasai lahan berjuta hektar untuk sawit dan tambang serta perumahan, dan jutaan keluarga muda mengais kavling sempit 100 m2 di pinggiran kota-kota, kini terpulang pada mahasiswa sebagai agen perubahan apakah ketimpangan ruang ini masuk akal sehat mereka. Apakah mereka sanggup keluar dari mimpi 2 dimensi mereka, dan template kehidupan pragmatis sebagai profesional yang bekerja dengan tekun bagi para oligarki? Atau menjadi manusia merdeka yang mengambil tanggungjawab memerdekakan bangsanya? (*)

Konten LGBT dan Pembiaran Negara

Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok (Ketua Fraksi) DPD di MPR RI MESKI Deddy Corbuzier telah menghapus konten Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di channel YouTube miliknya, namun Deddy tetap merasa heran. “Gua minta maaf, tapi salah gua di mana?” kira-kira begitu kata Deddy, terkesan bingung. Deddy mungkin tidak sendiri. Kebingungan yang sama juga dialami sejumlah anak bangsa. Fakta bahwa LGBT ada dan nyata di sekitar kita itu tidak bisa dihindari. Fakta ini tentu tidak harus dikubur dalam-dalam. Tapi, juga tidak untuk dikampanyekan. Yang terbaik adalah mencari jalan keluar bagi perilaku penyimpangan seksual ini. Dalam video Deddy, kesan kampanye itu ada. Di sanalah letak kekeliruannya. Herannya, pemerintah seolah tidak bisa berbuat banyak. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, misalnya, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga (pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk melarang Deddy Corbuzier menampilkan konten LGBT di podcast-nya. Senada dengan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan, blokir dan take down dilakukan apabila terjadi pelanggaran yang tidak sejalan dengan peraturan. Menurut Menkominfo, yang ingin dilakukan adalah agar inovator atau konten kreator melakukan yang bermanfaat, yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi syarat-syarat kultural dan religius masyarakat. Pertanyaannya, pada bagian mana tayangan LGBT memenuhi syarat-syarat kultural dan religiusitas masyarakat? Dari perspektif agama, LGBT adalah haram. Tidak ada toleransi, dan tidak boleh ada permufakatan baru yang memberi celah, walau sebesar biji zarrah. Titik! Dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara pun demikian. Kita punya jimat kebangsaan bernama Pancasila, falsafah hidup bangsa. LGBT yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila seharusnya tidak memiliki ruang untuk berkembang melalui kampanye, langsung atau tidak langsung. Bahwa mereka ada di sekitar kita justru adalah untuk dirangkul dan diberi pemahaman yang baik. Itulah tugas negara. Mengapa? Karena hubungan sesama jenis jelas melanggar sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Pun dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tak ada adab dalam hubungan sesama jenis. Yang ada, hubungan itu justru menihilkan sisi kemanusia kita, menjadi lebih rendah ketimbang binatang. Sebab, binatang saja tak ada yang berhubungan sesama jenis. Pancasila selalu kita akui sumber dari segala sumber hukum. Maka konstitusi dan hukum positif yang berlaku di Indonesia seharusnya tidak berseberangan dengan Pancasila, atas nama demokrasi sekali pun. Sayangnya, hukum positif di Indonesia yang mengatur soal LGBT, belum diramu secara tegas. Itulah kekosongan hukum yang harus ditambal. Inilah pekerjaan rumah kita! Indonesia memang negara demokrasi (berkedaulatan rakyat). Tapi, Indonesia juga adalah negara nomokrasi (berkedaulatan hukum), yang meniscayakan hukum, mengawal pelaksanaan demokrasi dengan proporsi yang tepat. Di tengah pekik slogan demokrasi yang begitu membahana, nyatanya tidak sedikit suara kritis rakyat yang dibungkam, dihalang-halangi atau ditekan. Tapi, dengan pekik slogan yang sama, pemerintah seperti enggan mengatur tentang LGBT. Lalu, apakah kita biarkan LGBT tumbuh dan mekar begitu saja? Apakah konten-konten (yang cenderung mengampanyekan LGBT) dibiarkan meski bertentangan dengan norma, nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa? Negara tidak boleh melakukan pembiaran. Hak mereka sebagai warga negara harus dilindungi, namun negara berkewajiban pula melindungi warga negara lain dari kampanye terselubung perilaku menyimpang. Oleh karena itu negara tidak boleh abai terhadap gejala maraknya konten-konten LGBT yang berpotensi mengekspos dan mengembangkan perilakunya kepada masyarakat umum. Konstitusi memberikan amanah yang begitu mulia kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh sebab itu, mindset Pemerintah (dan kita semua) seharusnya berangkat dari sudut pandang pemeliharaan generasi dan regenerasi bangsa. Pembiaran konten-konten LGBT adalah kejahatan yang mengancam pemuliaan generasi dan regenerasi bangsa. Juga sekaligus melawan kodrat kita sebagai manusia.  Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Pemerintah memiliki kewajiban menjaga nilai-nilai dan standar moral yang selama ini kita pertahankan dengan baik, bukan malah sibuk memikirkan pelanggengan kekuasaannya. (*)

Ruhut Makin Kacrut

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan RUHUT Sitompul terus  mencari sensasi melalui berbagai postingannya. Untuk menarik perhatian tersebut Ruhut sepertinya tidak selektif sehingga nuansa hoax atau editan dapat tersebar dari postingannya tersebut. Risikonya Ruhut menjadi nyerempet-nyerempet pada pelanggaran hukum. Entahlah apakah hal ini tidak menjadi perhitungan dirinya atau ada keyakinan akan \"back up\" orang kuat yang dapat melindunginya.  Setelah gonjang-ganjing Ruhut yang mendukung ocehan Habib Kribo soal negara akan hancur jika Anies Baswedan menjadi Presiden 2024, maka pada 9 Mei 2022 Ruhut memposting konvoi pengendara motor yang memakai kaos bertuliskan \"Haram Dukung Anies Baswedan\". Ditambah tempelan tulisan \"mantap..keren setuju\". Ruhut mencuit \"Ngeri kali kata anak Medan ini sich ngeri 2 sedaaaap, hey kalian tolong ya Pilpres masih 21/2 tahun lagi mohon sabar ya duduk diboncengan masing 2 pasti nanti indah pada waktunya. Merdeka\". Foto editan tersebut beredar viral.  Pada  11 Mei 2022 muncul lagi unggahan foto, yang ternyata juga editan, Anies Baswedan digambarkan memakai baju adat Papua berkoteka yang disertai cuitan Ruhut \"ha ha ha kata orang betawi usaha ngeri x sip deh\". Atas unggahan ini Ruhut dilaporkan ke Polda Metro Jaya.  Ruhut memang kacrut dengan sentimen dan olok-olok berlebihan kepada Anies. Kedua postingan di atas bila terus diusut tentu memenuhi unsur perbuatan pidana. Jikapun ia meminta maaf maka Ruhut sebagai pengacara tentu mengetahui bahwa permintaan maaf itu tidak menghapuskan ancaman pidananya. Proses hukum tetap berlanjut.  Ketika dilaporkan melanggar UU ITE ke Kepolisian, Ruhut menyatakan tidak ambil pusing \"saya senang, tambah beken. Aslinya sudah beken, nanti tambah beken lagi\", katanya. Ia lupa bahwa beken itu bisa karena kebaikan atau kejahatan. Beken sebagai penjahat jelas tercela dan terkutuk. Nero, Kaligula, Fir\'aun, H.H Holmes, atau Jack The Ripper itu orang-orang beken. Ruhut selalu berpindah-pindah partai yang  berkuasa. Saat menjadi kader Golkar ia merasa paling Golkar, begitu juga saat bergabung dengan Partai Demokrat. Kini di PDIP pun ia habis-habisan membela berbagai kebijakan rezim. Model kutu loncat dan kutu jilat. Jilatan Ruhut itu luar biasa. Menurutnya Jokowi merupakan pemimpin yang dikirim oleh Tuhan untuk rakyat Indonesia. Belum ada yang bisa melebihi kemampuan Jokowi dalam mengurus negara. Pandangan Ruhut ini disampaikan saat wacana tiga periode marak di media.  Ruhut makin kacrut. Kita semua akan melihat akankah nasib Ruhut akan seperti Hutahaean yang juga beken dan kini sedang menikmati udara penjara ? Atau tetap bebas ngoceh tabrak sana tabrak sini jilat sana jilat sini?  Bandung, 14 Mei 2024

Mahasiswa, Haruskah Revolusi Lagi?

 Banyaknya tuntutan mahasiswa menunjukkan banyaknya persoalan bangsa. Mahasiswa tidak keliru. Tujuh belas tuntutan itu rasanya memang menjadi problem mendasar rakyat hari-hari belakangan. Sebutlah stabilisasi harga bahan pokok, Bahan Bakar Minyak (BBM) gas, dan lain-lain. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD RI di MPR RI HUJAN mengguyur Jakarta. Namun kumpulan mahasiswa itu bergeming, kukuh berbaris di kawasan patung kuda, 12 Mei 2022. Para mahasiswa merapatkan barisan, bergandeng tangan, membasah bersama Bumi Pertiwi. Hari itu, sang intelektual muda berkumpul untuk memperingati “Tragedi Trisakti”, 12 Mei 1998 silam. Kala itu, empat mahasiswa tewas dalam peristiwa kelam ini. Tak terhitung yang terluka. Darah dan nyawa, itulah harga yang mahasiswa harus bayar demi penyelamatan negeri. Buahnya, revolusi indah bernama Reformasi. Kini, reformasi nyaris berusia seperempat abad. Namun, situasi memaksa mahasiswa turun ke jalan dengan idealisme yang sama: menyelamatkan Indonesia. Apa boleh buat, perjalanan reformasi yang kini anti klimaks, sekali lagi membutuhkan pekik cadas agen perubahan ini. Untungnya, mahasiswa setia dan memiliki tanggungjawab moral mengawal reformasi. Dari Cibubur, Jawa Barat, genderang perang melawan kebatilan itu digagas. Bersama buruh, petani, nelayan, akademisi dan aktivis 98, elemen mahasiswa mengagendakan aksi nasional menyelamatkan negara ini dari kerusakan dan kehancuran. Momentumnya dipilih pada 19-20 Mei 2022. Momen 19 Mei tentu membuat bulu kuduk penguasa berdiri, siapa pun penguasanya. Pasalnya, pada tanggal yang sama 24 tahun lalu, para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR. Aksi ini menjadi demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama 30 tahun terakhir. Aksi yang kemudian menggulingkan rezim Soeharto sekaligus melahirkan reformasi. Perjalanan reformasi memang penuh liku. Namun, pelan tapi pasti, negeri ini membenahi diri, mencoba mengukukuhkan demokrasi pada segenap sendi-sendi interaksi. Hasilnya mulai terlihat pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Kala itu, demokrasi terasa mekar meski belum mewangi semerbak. Sepuluh tahun kepemimpinan Yudhoyono diakhiri dengan damai. Tak ada aktivis yang diterungku. Pergantian pucuk pimpinan negeri pun terlaksana dengan baik, tanpa huru-hara politik sebagaimana pergantian presiden lainnya. Presiden berganti, sejarah berubah. Sayangnya, perubahan yang terjadi tidak lebih baik. Indonesia nyungsep, berkebalikan dari kata meroket yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo. Demokrasi terjerembab diiringi dengan lagu penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan atau presiden tiga periode. Lagu dengan tiga judul berbeda namun satu esensi: haus kuasa. Di mana-mana, haus kuasa pasti menggerogoti demokrasi. Suara kritis rakyat dibungkam, UU ITE seolah menjadi alat pemenjara bagi rakyat yang kritis. Sementara itu, keterbelahan rakyat dirawat demi kepentingan politis. Cebong dan kampret tak henti (dibuat) bertempur. Isu agama terus-menerus dikipasi. Maka wajar naluri dasar mahasiswa kembali menggeliat. Apalagi, sejumlah kebijakan yang ditempuh bukannya menjadi solusi, tetapi malahan semakin merapuhkan bangsa. UU Ibukota Negara Baru (IKN), UU Omnibus Law, atau utang negara yang semakin menggunung, misalnya. Segudang problem bangsa itulah yang membuat 300 perwakilan mahasiswa dari 34 provinsi bersama elemen buruh, akademisi, hingga aktivis 98 akhirnya melakukan Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia di Cibubur pada 10-12 Mei 2022. Mereka merasa reformasi telah dikhianati. Tanggungjawab moral membuat mereka terpanggil, menggiring arah reformasi agar kembali pada rel sejatinya. Namun, tekanan lagi-lagi datang. Di hari H pelaksanaan, para peserta tiba-tiba tidak dibolehkan menggunakan gedung Pandan Sari oleh pengelola. Padahal, menurut panitia, semua perijinan telah diurus, sewa gedung juga telah dilunasi. Tekanan itu tak menyurutkan semangat para pengawal reformasi tersebut. Konsolidasi akhirnya dilaksanakan di sekitar luar gedung Pandan Sari dan di lorong-lorong penginapan peserta. Agenda tetap berjalan dan melahirkan 17 poin tuntutan yang akan disampaikan melalui Aksi Nasional pada 19-20 Mei mendatang. Banyaknya tuntutan mahasiswa menunjukkan banyaknya persoalan bangsa. Mahasiswa tidak keliru. Tujuh belas tuntutan itu rasanya memang menjadi problem mendasar rakyat hari-hari belakangan. Sebutlah stabilisasi harga bahan pokok, Bahan Bakar Minyak (BBM) gas, dan lain-lain. Uniknya, aksi nasional 19-20 Mei juga mengangkat isu kesejahteraan guru honorer. Para peserta aksi bakal menuntut agar ribuan guru honorer tersebut diberikan haknya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menuntut agar rekrutmen guru dan pegawai honorer dilakukan secara transparan dan tidak berbau Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebenarnya telah menyampaikan aspirasi yang sama kepada Presiden. Melalui kerja maraton Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kerja Honorer (GTKH) yang saya pimpim, DPD RI secara formal telah mengirimkan surat berisi 10 rekomendasi penyelesaian guru honorer. Pansus GTKH bahkan merekomendasikan agar Guru Honorer berusia 40 tahunan ke atas diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa melalui tes. Namun, hingga saat ini tak sedikit pun presiden memberi respon hasil kerja maraton selama 6 bulan Pansus GTKH tersebut. Ketiadaan respon itu menunjukkan lemahnya empati negara. Juga sekaligus menegaskan bahwa perjuangan mahasiswa dan elemen rakyat lainnya sudah tepat. Mereka memahami persoalan rakyat lalu berjuang menyampaikannya kepada pemerintah melalui jalur-jalur konstitusional. Sulit menebak seperti apa eskalasi demo 19-20 Mei 2022 nanti. Akankah mahasiswa memantik revolusi lagi? Entahlah. Yang jelas, kita berharap bangsa ini baik-baik saja. Maka pengelolaannya harus baik-baik pula, agar warga bangsa tetap bersikap baik-baik. (*)

Piknik Panik Jokowi ke Amrik

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TENTU suara resmi akan menolak bahwa perjalanan ke Amerika ini adalah piknik, sebab jelas agenda utama tidak lain untuk mengikuti acara KTT AS-Asean tanggal 12-13 Mei 2022 di Washington DC. Isu menonjolnya adalah jadwal pertemuan dengan Elon musk yang difasilitasi Luhut. Jadwal resmi ya dibuat ini dan itu.  Setelah piknik domestik Yogyakarta dan Bali kini Amerika. Rombongan besar  62 berangkat menggunakan pesawat carter Garuda bukan pesawat Kepresidenan. Konon efisiensi, katanya karena pesawat Kepresidenan harus transit-transit dan hanya isi 48 penumpang. Nyatanya ber-Boeing 777-300 ER juga transit di Amsterdam. Lalu wajib kah anggota rombongan berjumlah banyak  ? Mendarat di Pangkalan Militer Andrews Washington DC tanpa penyambutan panitia atau pejabat setempat. Bagi seorang Presiden yang berstatus sebagai Koordinator negara G-20 dan mewakili negara besar ASEAN soal penyambutan adalah penting. Wibawa bangsa dan negara. Memang faktanya Jokowi tidak berwibawa.  Tanpa penyambutan kenegaraan justru mengindikasikan bahwa perjalanan Presiden ini disamakan dengan kunjungan privat atau piknik.  Kemenlu menjelaskan soal penyambutan dengan menegaskan kunjungan ini bukan bilateral jadi cukup oleh pejabat negara sendiri. Namun tidak terjelaskan mengapa PM Malaysia Ismail Sabri dan PM Kamboja Hun Sen disambut oleh Special Advisor to US Chief Protocol Asel Robert atau PM Singapura Lee Hsien Loong disambut langsung di Airport oleh Presiden Joe Biden  ? Presiden Indonesia memang dicuekin.  Alasan bukan bilateral dinilai mengada-ada, aktivis Demokrasi yang tinggal di USA Christ Komary menulis bahwa banyak pertemuan multilateral dimana kedatangan para Kepala Pemerintahannya disambut resmi oleh State Departement, White House, dan anggota US Congress. Menurutnya \"it was generalization statement but it\'s not exactly and completely true..!! \". Sampai hari ini belum ada hasil meeting yang signifikan, apalagi yang menyangkut peran dan penghargaan terhadap Indonesia. Sambutan Jokowi dalam santap siang di Capitol Hill lebih bersifat basa-basi dan normatif. Soal dampak perang Rusia Ukraina semua telah mengetahui. Sementara itu rayuan Jokowi di depan pengusaha AS menjadi khas minta-minta datang berinvestasi di Indonesia.  Nah jika Jokowi tidak dianggap penting khususnya oleh Amerika, maka kehadiran dalam acara di Amerika bisa-bisa  kurang bermakna artinya kunjungan ini hanya piknik saja. Mungkin berbeda dengan Malaysia, Singapura atau Filipina yang menggalang kerjasama serius melawan hegemoni China. Sebaliknya, Indonesia dinilai berbeda, sangat berbaik-baik dengan China.  Piknik Jokowi bukan bersenang-senang tetapi menenangkan diri. Di dalam negeri babak belur akibat terlalu banyak dosa politik, sementara diplomasi luar negeri tidak bagus, tidak mulus, dan tidak becus. Dikenal dengan diplomasi cas cis cus. Plintat-plintut. Jokowi mengalami kegelisahan politik yang serius.  Teralienasi dan sepi dari para pendukung yang mulai lari untuk selamatkan diri. Luar negeri pun sudah tak peduli lagi. Nyanyian investasi membuat Jokowi semakin rendah diri dan frustasi.  Inilah piknik panik Jokowi ke Amrik.