Mahkamah Konstitusi Dalam Kendali Oligarki

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, LaNyalla menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang telah menyandera dan mengatur negara ini.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

KETUA Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo sudah memastikan bahwa lembaganya tidak akan melakukan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam periode ini.

Keputusan tersebut sesuai dengan hasil rapat pleno Badan Pengkajian MPR yang digelar di Hotel Aryaduta Karawaci, Tangerang, Rabu, 13 April 2022.

Keputusan tersebut otomatis menutup spekulasi soal perpanjangan masa jabatan presiden dan atau masa tiga periode sudah tertutup.

Pilihan politik Oligarki untuk menjaga, agar penguasa tetap dalam kendali cengkeramannya, MK harus kuat menahan tuntutan judicial review (JR) 0%. Jadi, berarapun pengajuan yang masuk harus terus ditolak. Wajar MK beralih fungsi sebagai penjaga Oligarki.

Di halaman 74, dari putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) sebanyak 77 halaman itu, tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan. Dikatakan:

“Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi.”

Dengan munculnya kalimat “(seperti oligarki dan polarisasi masyarakat)”, menjadi petunjuk yang jelas di dalam hakim MK ada momok kekuatan oligarki, tetapi tiada kuasa untuk menahan dan menolak perintahnya baik langsung atau tidak langsung.

Pembiaran ada campur tangan oligarki dalam proses pengadilan di MK, sama saja MK dalam kendali dan cengkeraman oligarki. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkannya dan yang bisa melawan keadaan seperti hanya kekuatan rakyat.

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau presidential threshold (PT).

Ironisnya dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK justru menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.

Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy (kewenangan pembuat Undang-Undang).

Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, LaNyalla menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang telah menyandera dan mengatur negara ini.

“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat lagi, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla di Makkah, Saudi Arabia, Kamis (7/7/2022).

Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam.

“Kalau tidak, kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tukasnya.

Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika mejelis hakim MK yang menyatakan, Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.

“Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla.

Seperti diberitakan sebelumnya, saat menghadiri acara 25 tahun Mega-Bintang di Solo, Jawa Tengah, 5 Juni 2022 yang lalu, LaNyalla menyatakan MK layak dibubarkan jika membiarkan Oligarki Ekonomi menguasai negara melalui celah Presidential Threshold.

“Karena Pasal 222 adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka,” ujar Senator asal Jawa Timur itu.

LaNyalla menjelaskan, Pasal 222 yang menyumbang besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Karena itulah, DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK. (*)

358

Related Post