OPINI

Rajapaksa Dipaksa Turun Tahta

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Rajapaksa dipaksa melepas status sebagai Raja. Istananya diserbu rakyat untuk mengakhiri masa  jabatannya sebagai Presiden. Sebelumnya kediaman Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dibakar massa. Gotabaya Rajapaksa kabur dan dipastikan mengundurkan diri. Rakyat bersiap untuk melakukan peralihan rezim.  Rakyat Sri Lanka cukup gigih berjuang dengan melakukan aksi unjuk rasa lebih dari sebulan untuk akhirnya sukses menggulingkan Rajapaksa. Krisis ekonomi menjadi momentum demonstrasi sekaligus mempersulit Rajapaksa untuk mampu bertahan.  Awalnya Rajapaksa mendalihkan bahwa krisis negaranya disebabkan oleh kondisi global baik pandemi maupun perang Rusia Ukraina. Tapi sebenarnya pengelolaan ekonomi negeri yang berantakan. Janji perbaikan politik dan ekonomi pada kampanye Pilpres 2019 gagal untuk dipenuhi. Masalah valuta asing,  kesulitan makanan dan obat-obatan, harga-harga naik, serta pemadaman listrik berkepanjangan akibat krisis energi.  Nepotisme dan korupsi menjadi tuduhan peserta aksi. Keluarga Rajapaksa yang awalnya sulit tergoyahkan akhirnya runtuh. Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang pernah jadi Presiden, adalah kakak dari Gotabaya yang dipaksa juga mundur. Mahinda digantikan Ranil Wickremesinghe. Dominasi keluarga Rajapaksa di kementrian baik saudara-saudara maupun anaknya disorot keras oleh rakyat. Nepotisme.  Indonesia boleh dikatakan mendekati kondisi politik dan ekonomi yang hampir sama dengan Sri Lanka. Sebagaimana Rajapaksa, Jokowi yang menjabat periode 2019-2022 juga mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Rupiah yang melemah, hutang yang menjerat, harga-harga meningkat, penanganan BBM yang semrawut, hukum diskriminatif, agama yang dipinggirkan, dan tentu saja KKN yang semakin merajalela.  Rakyat gerah dengan semangat Presiden yang ingin memperpanjang jabatan. Persis seperti Rajapaksa yang juga awalnya bertekad untuk mempertahankan kekuasaan. Meski Kepolisian dan tentara berhasil dikendalikan, namun \'people power\' berhasil menumbangkan. Gelombang perlawanan rakyat tidak dapat dibendung.  Pemerintahan Jokowi mesti belajar dan waspada. Rakyat kecewa pada cara-cara mengelola negara yang semakin tidak terarah. Saluran politik tersumbat, partai politik yang tidak dapat diandalkan, parlemen pun sibuk dengan dirinya sendiri. Ada kriminalisasi ada pula sekularisasi melalui program moderasi.  Sri Lanka saudara Indonesia yang sama-sama tertekan China. Terjebak oleh hutang dan investasi China. Perdana Menteri Wickremesinghe berteriak kepada IMF untuk bantuan \'bailout\' dana di samping memohon pasokan bahan bakar dari Rusia. Sri Lanka bangkrut disebabkan salah urus dalam mengelola negara. Kepentingan dominan oligarki.  Penyebab lahirnya gerakan people power di berbagai belahan dunia biasanya disebabkan oleh krisis ekonomi, pelanggaran hak-hak asasi  manusia, KKN, diskriminasi  hukum, menambah masa jabatan,  tindakan represif, penangkapan dan penahanan, serta otoritarianisme.  Netizen ada yang ngoceh lucu, katanya kalau Rajapaksa dapat dipaksa turun dan kabur, kapan ya Rajadusta  ? Entah siapa yang dimaksud Rajadusta itu.  Tapi jika pemimpin sudah tidak amanah dan berlaku adil, mau Rajapaksa, Rajadusta, Rajahutang, Rajadukun, Rajatega, Rajacitra ataupun Rajakatak, maka ia harus tumbang oleh teriakan dan perlawanan rakyat yang tertindas dan teraniaya.  Bandung, 11 Juli 2022.

Sulitnya Melepas Oligarki

Untuk memutus rantai oligarki, tentunya harus ada situasi politik dan sosial yang “tidak normal”, sehingga semua rencana parpol maupun oligarki akan bubar dan berantakan dengan sendirinya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network SELAMA ambang batas alias presidential threshold (PT) belum Nol persen atau masih tetap 20%, jangan harap bisa lepas dari cengkeraman Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik. Siapapun Capres dan Cawapres yang bakal diajukan oleh partai politik, jangan harap mereka “bebas” dari oligarki. Saya yakin, mereka tak akan pernah bisa lepas dari oligarki. Sekarang ini oligarki masih diam, karena masih membaca situasi politik yang terus berkembang. Hingga hari ini, belum ada satupun parpol yang deklarasi nama Capres-Cawapres yang bakal diusung.   Apalagi, jika patokan untuk pengajuan Capres-Cawapres ini masih berpatokan pada hasil Pimilu 2019. Hanya PDIP yang punya peluang untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres sendiri. Meski nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dinyatakan lolos seleksi Capres di Partai NasDem, namun hingga kini NasDem tak juga deklarasi. Bukan hanya NasDem. PDIP sendiri hingga kini juga tidak berani menyatakan Puan Maharani, putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua DPR RI, sebagai Capres atau Cawapres dari PDIP. Mengapa? Boleh jadi, ini juga karena menyangkut logistik untuk membiayai Capres dan Cawapres yang mereka ajukan. Faktanya, untuk membiayai pasangan Capres-Cawapres itu butuh biaya yang tidak sedikit. Hanya oligarki yang mampu dan punya banyak dana untuk biaya itu semua. Uraian berikut ini salah satu contoh perhitungannya, jika situasi dan rencana Pilpres 2024 tetap berjalan normal sesuai rencana. Koorinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, dalam tulisannya di FNN  menyebut, ada partai menawarkan dagangannya (boleh dipakai/dibeli Capres dengan harga Rp 1 triliun) belum termasuk uang operasional. Bagi seorang Capres akan langsung melenguh pasrah - selain tingak-tinguk harus mengajukan proposal minta bantuan kepada Bandit Politik Capres. Kalau dipenuhi harus mau sebagai boneka dan budaknya. Bagi para bandar/bandit politik uang 1 ( satu ) triliun rupiah ini jelas sangat kecil. Jangankan kekuatan gabungan 9 Naga. Satu naga seperti BT (Benny Tjokrosaputra) dari hasil rampokannya di Asuransi Jiwasraya mampu untuk membeli 9 partai sekaligus @ 1 triliun rupiah = 9 triliun rupiah. Menurut aktivis ’98, Bung Hatta Taliwang, kalau 9 naga atau para Taipan bisa membeli 9 parpol masing-masing Rp 1 triliun, total Rp 9 triliun, plus membeli suara masing-masing anggota DPR sebanyak 575 orang untuk mengegolkan UU, masing-masing anggota DPR RI minimal Rp 10 miliar (dibeli suaranya oleh Taipan) cuma Rp 5,75 triliun. Dibulatkan Rp 6 triliun. Total para Taipan akan menguasai DPR RI cuma Rp 15 triliun. Ditambah lagi membeli dengan membiayai dana pencapresan sebesar Rp 20 triliun. Indonesia sudah dikangkangi/dibeli/dikuasai para taipan cuma bermodalkan Rp 35 triliun, jika itu patungan oleh para taipan lebih ringan lagi beban para taipan. Jika KPU, MK juga dikuasai/dibeli para taipan, total nggak sampai Rp 40 triliun Indonesia habis dikuasai para cukong/China atau China Indonesia. Patungan para taipan bisa membeli Indonesia hanya dengan harga maksimal Rp 40 triliun. Masih kalah dengan dana yang dirampok oleh BT (satu orang China) sebesar Rp 74,58 triliun. Itu fakta berbasis data, bukan opini yang dibangun berbau hoak. Begitu murahkah Indonesia yang kemerdekaannya telah pula mengorbankan darah, nyawa, dan harta para pejuang kemerdekaan. Sangat pilu dan begitu memilukan sekali. Akibat sekali salah pilih penguasa, habislah kita seluruh bangsa. Perlu dicatat, Benny Tjokrosaputro adalah salah satu pelaku utama korupsi dana investasi Jiwasraya. Bersama koleganya, Heru Hidayat, dia telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Salah satu jejak digital yang masih terendus adalah bahwa saat Joko Widodo telah menjabat Presiden RI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ketika itu sudah menjabat Gubernur DKI Jakarta, pernah keceplosan siapa yang membiayai Jokowi pada Pilpres 2014. Sayangnya, tulisan berjudul “Ahok: Tanpa Pengembang Jokowi Tidak Bisa Jadi Presiden” di https://nasional.sindonews.com sudah tidak muncul lagi karena sudah “dihilangkan” sehingga tidak ditemukan jejak digitalnya. Hanya tertinggal di searching google seperti ini: Jun 23, 2016 – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membuat pernyataan mengejutkan terkait proses terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI. Tapi, tulisan serupa ternyata masih ada yang bisa dibuka terkait pernyataan Ahok tersebut. Jejak digital ini bisa ditemukan di Republika.co.id (Rabu 29 Jun 2016 14:11 WIB). Melansir Republika.co.id, Ahok pernah membuat pernyataan kontroversial terkait Presiden Jokowi. Ucapan tersebut baru terungkap lewat sebuah video yang baru-baru ini hangat dibicarakan. Video tersebut diunggah oleh Pemprov DKI pada 26 Mei 2015, menampilkan rapat antara Ahok dengan Jakarta Properino tentang alat keruk lumpur waduk pluit. Video tersebut berdurasi 51.02 menit. Dalam video itu, Ahok meyeletuk, Jokowi tak bisa jadi Presiden kalau hanya mengandalkan dana dari APBD. Sebab selama ini sejumlah pembangunan di DKI menurutnya berasal dari dana pengembang. “Presiden Jokowi enggak bisa jadi Presiden kalau hanya dari APBD, selama ini kalau lihat selama ini semua yang terbangun, rumah susun, jalan inspeksi, waduk semua, itu semua full pengembang,” katanya, dikutip dari video itu. Setelah ramai di media, barulah Ahok mengklarifikasi ucapannya tersebut. Ahok mengklarifikasi isu yang beredar perihal pernyataannya yang menyebut Jokowi tak bisa jadi Presiden tanpa bantuan pengembang. Ahok mengatakan, waktu kepemimpinan Jokowi ketika menjadi Gubernur terbilang singkat. Namun untuk menjalankan program peningkatan hunian rusun dibutuhkan dana besar. Sehingga Ahok menyebut Jokowi menggunakan dana kewajiban pengembang. “Enggak usah ditanya lah, itu enggak usah di-spin (diputarbalikkan), saya bilang pak Jokowi kan cuma dua tahun (Gubernur) waktunya begitu pendek. Kalau waktu dia begitu pendek, kita bisa pindahin orang enggak ke rumah susun? Enggak bisa kan? Yang bangun rumah susun siapa? Kewajiban pengembang,” katanya di Balai Kota, Rabu (29/6/2016). Pernyataan Ahok saat itu setidaknya sudah membuka tabir dan menjawab, bahwa seorang Capres itu tidak mungkin bisa lepas dari oligarki. Karena dia yang punya banyak uang. Termasuk parpol yang mengusungnya. Bahkan, politisi senior PDIP Sabam Sirait pernah membuat pernyataan yang kontroversial juga. Sabam Sirait menyebut ada kucuran dana Rp 10 triliun dari Jusuf Kalla untuk jadi Cawapres Jokowi. Padahal, seperti kita tahu, jumlah kekayaan Jusuf Kalla seperti diumumkan KPK pada 19 Mei 2014 hanya sebesar Rp 315 miliar. Jika kekayaannya hanya Rp 315 miliar, lantas siapa yang menyokong JK dengan dana Rp 10 triliun itu? Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Harta Rp 315 Miliar, Jusuf Kalla Mahar ke Jokowi Rp 10 Triliun”. (21 Mei 2014   01:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18). Menurut Sabam, selayaknya PDIP tidak menjadikan uang sebagai tolak ukur dalam memilih cawapres. “Saya mendengar JK menyiapkan Rp 10 triliun untuk membiayai pilpres jika dia jadi cawapres, saya mengingatkan PDIP agar tidak tergiur dengan iming-iming uang, karena PDIP berkomitmen membangun politik tanpa money politic dan saya mengingatkan kembali bahwa PDI Perjuangan didirikan untuk tidak diperjual belikan,” kata Sabam. Menurut Sabam, menentukan koalisi dan cawapres tidak karena uang yang  ditawarkan, tetapi lebih mempertimbangkan kepentingan nasib 260 juta rakyat Indonesia, 17 ribu pulau dan masa depan bangsa. Sayangnya sumber berita yang mengutip Pendiri PDIP Sabam Sirait soal Jusuf Kalla tawarkan Rp 10 triliun sudah tidak bisa dibuka dan dibaca lagi jejaknya. http://www.aktual.co/politik/145901usung-jk-cawapres-jokowi-sabam-sirait-ancam-mundur-dari-pdip. Sebagai pendiri PDIP, tentu saja menyebut angka tanpa adanya fakta akan mempertaruhkan integritas dirinya. Apalagi ia salah satu pendiri PDIP. “Saya meyakini, tawaran dana Rp 10 triliun dari Jusuf Kalla kepada PDIP agar jadi cawapres Jokowi seperti diungkap Sabam Sirait benar adanya,” ungkap penulis di Kompasiana.com itu. Jika Pilpres 2014 saja sudah terjadi “jual-beli” tiket Capres-Cawapres, bukan tidak mungkin pada Pilpres 2024 nanti juga bakal terjadi hal serupa. Berapa nilai tiketnya, yang jelas, pasti sudah lebih dari itu. Apakah nama-nama yang disebut-sebut bakal maju Capres-Cawapres tersebut punya dana puluhan triliun rupiah? Rasanya tidak mungkin ada yang punya. Maka di sinilah oligarki hadir untuk mengulurkan tangan. Makanya, sejak awal sudah saya katakan, sulit rasanya untuk melepas tangan oligarki. Pertanyaannya, apakah kita bisa melepaskan diri dari oligarki? Tentu sangat bisa, jika kita mau, meski MK sudah menolak gugatan PT 20% itu. Untuk memutus rantai oligarki, tentunya harus ada situasi politik dan sosial yang “tidak normal”, sehingga semua rencana parpol maupun oligarki akan bubar dan berantakan dengan sendirinya.   Itulah yang terjadi ketika peralihan dari kekuasaan Presiden Soekarno kepada Pejabat Presiden Soeharto. Begitu pula saat peralihan dari Presiden Soeharto ke Wapres BJ Habibie. Termasuk ketika Presiden Abdurrahman Wahid harus rela menyerahkan kursinya kepada Wapres Megawati Soekarnoputri. Sayangnya, kekuatan oligarki mulai masuk pada Pilpres 2014. Taipan Sofyan Wanandi pun dijadikan penasehat Wapres Jusuf Kalla. (*)

Mengais Sosialisme dalam Makna Idul Adha

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Soekarno pernah mengatakan pelajari apinya Islam, bukan abunya. Ia  berpendapat nilai-nilai paling substansial yang diajarkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam adalah ketundukan makhkluk pada Tuhannya. Soekarno juga menyebut  bahwasanya Tuhan bersemayam di dalam gubuk-gubuk si miskin. Salah satu proklamator kemerdekaan RI itu,  menyampaikan pesan tersirat betapa fundamennya persoalan tauhid yang kemudian diikuti oleh masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Umat Islam di seluruh dunia baru saja melaksanakan  Hari Raya Idul Adha 1443 H. Sebuah peristiwa dari momentum sejarah yang sangat penting bagi umat Islam dan peradaban manusia. Hari Raya Idul Adha atau yang dikenal juga dengan Hari Raya Lebaran Haji atau Hari Raya Kurban, bagi umat Islam bukan hanya kegiatan ibadah  ritual dan pelaksanaa syariat semata. Lebih dari itu, substansi Idul Adha menjadi resultante pengejawantahan prinsip habluminallah dan habluminannas. Sebuah peribadatan yang menggabungkan pesan dan  makna ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta\'ala dan juga kesalehan sosial. Hubungan vertikal dan horisontal yang seiring sejalan, satu sisi dituntut ketaatan kepada Tuhan di lain sisi tetap menjunjung tinggi kemaslahatan sesama umat manusia. Perayaan Idul Adha kali ini, menjadi begitu terasa  relevan, strategis dan penuh makna terutama bagi umat Islam di Indonesia dan kehidupan  muslim di seantero dunia. Umat Islam di seluruh belahan dunia dapat melakukan refleksi dan evaluasi tentang perjalanan hidup baik secara religius maupun tatanan sosial. Ketika dunia masih diselimuti oleh gejolak politik, ekonomi, hukum dan keamanan. Saat konflik dan perang yang menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian telah mengorbankan kemanusiaan. Maka hikmah Idul Adha menjadi persfektif dunia yang mampu menjadikannya sarana memulihkan situasi yang lebih kondusif dan harmonis bagi  kehidupan umat manusia. Iklim global yang memaksa sebagian besar populasi manusia menghirup udara kapitalsme dan komunisme atau atheisme. Terbukti selama berabad-abad lamanya membawa kehidupan dalam masyarakat, negara dan pergaulan antar bangsa mengalami reduksi dan degradasi kemanusiaan. Kualitas lingkungan hidup dan sosial semakin merosot, kerusakan dan eksploitasi pada alam dan manusia semakin tak terbendung. Bukan hanya alam tak lagi ramah dengan bencananya, krisis moral dan spiritual juga telah membuat manusia menganggap enteng kehadirat Ilahi. Sama dengan dunia internasional, Indonesia juga mengalami fase kemunduran kebudayaan dan peradaban manusianya. Realitas ketidak adilan, penderitaan hidup karena kemiskinan, demokrasi yang menindas, keterpurukan sosial politik, sosial ekonomi dan  sosial hukum serta keamanan. Hanya menjadi \"side effect\" dari keberadaan rezim dzolim yang cenderung  tiran, otoriter dan diktator. Kekuasaan  yang menyelenggarakan pemerintahan sangat bertolak-belakang dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Jadilah negeri yang kaya tapi miskin,  Besar kebudayaannya tapi berjiwa kerdil, tinggi spiritualitasnya namun kering adab dan ahlaknya. Hidup rakyatnya tak lebih sebagai korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Oleh karena itu, boleh jadi sepantasnya dan mungkin sudah menjadi keharusan bagi seluruh rakyat Indonesia,  terutama umat Islam harus bersungguh-sungguh menjadikan momentum Idul Adha sebagai titik balik dari kebangkitan kesadaran Ketuhanannya dan kesadaran sosialnya. Mengisi ruang hampa negara dan bangsa dengan nilai-nilai nasionalis religius dan religus nasionalis. Mengganti ketiadaan karakter nasional bangsa dengan jiwa-jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mengembalikan kehormatan dan kemulian negara  yang  bersunguh-sunguh secara jujur dan adil mewujudkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dalam kesehariaan kehidupan rakyat. Dalam hikmah Idul Adha, selain pelajaran dari Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam tentang betapa mutlaknya ketaatan dan ketaqwaan juga keikhlasan pada  Allah azza wa jalla. Umat Islam juga dituntut untuk membangun sikap simpati, empati, solderitas dan kepedulian terhadap sesama muslim. Suri tauladan itu telah ditegaskan sebagaimana tersurat dalam Al Quran sbb.,  أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ (Innā a’ṭainākal-kauṡar) Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ (Fa ṣalli lirabbika wan-ḥar) Artinya: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَرُ (Inna syāni`aka huwal-abtar) Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”  (QS Al Kautsar: 1-3) Satu yang paling fundamen dan mendesak bagi seluruh rakyat Indonesia, negara harus mampu menghadirkan kehidupan negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, budaya welas asih dan gotong royong. Tak cukup menjamin kehidupan beragama yang toleran, terbuka dan inklusif,  negara juga perlu menghadirkan rasa keadilan sosial bagi semua anak bangsa, tanpa diskriminasi, hegemoni dan dominasi pada keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan. Baik dalam persamaan hak dan kewajiban secara sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan keamanan. Tak ada lagi yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, tak ada lagi yang kuat menindas yang lemah dan yang lemah semakin teraniaya.  Tak ada lagi intervensi,  represi, dan kriminalisasi oleh rezim kekuasaan kepada siapapun rakyat yang menyuarakan kesadaran kritis dan upaya perbaikan kehidupan negara dan bangsa.  Seperti kecenderungan rakyat sejauh ini yang sudah semakin skeptis, apriori, dan antipati pada negara dan sebagian besar aparatur pemerintahan. Tak ada kemakmuran dan keadilan,  tak ada negara kesejahteraan  bagi rakyat sepanjang usia kemerdekaan dan negara terus berdiri. Betapa miris dan malangnya rakyat Indonesia yang merindukan kemakuran dan keadilan di negerinya. Rakyat seperti tak pernah sejatinya menikmati kekayaan alam dan semua keberlimpahan sumber daya yang ada di persada Indonesia sebagai karunia ilahi. Negara bangsa  ini seperti telah kehilangan hidayah,  rahmat dan ridho Allah. Merangkak terseok-seok, berusaha menggapai sinergi dan elaborasi antara ketaqwaan pada Allah dan kesalehan sosial. Bagaikan pungguk merindukan bulan, berharap mengais sosialisme dalam makna  Idul Adha. Munjul-Cibubur, 11 Dzulhijah 1443/10 Juli 2022

Menjual Negara

Total para Taipan akan menguasai DPR RI cuma Rp 15 triliun. Ditambah lagi membeli dengan membiayai dana pencapresan sebesar Rp 20 triliun. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SATU Orang orang Cina, yakni Benny Tjokro (BT), mampu merampok dengan modus menjual surat berharga (saham sampah) di New York Stock Exchange disebut Junk Bond. Di Indonesia, warga keturunan China BT tersebut mampu membobol 3 BUMN Assuransi sekaligus (Jiwasraya, ASSABRI, dan AJB Bumiputera-1912) senilai Rp 52,58 triliun. Akibat Jiwasraya dibobol BT, Jiwasraya jadi lumpuh tidak mampu memenuhi kewajiban hutang (likuiditas) karena finansialnya (Illikuid dan Insolvable). Dan, konon, pemerintah bermurah hati menggelontorkan dana (Penyertaan Modal Negara/PMN) sebesar Rp 22 triliun. Jadi, total dana/uang Negara/BUMN yang telah dirampok hanya oleh seorang China BT saja sebesar Rp 74,58 triliun. Terendus ada partai menawarkan dagangannya (boleh dipakai/dibeli Capres dengan harga Rp 1 triliun) belum termasuk uang operasional. Bagi seorang Capres akan langsung melenguh pasrah - selain tingak-tinguk harus mengajukan proposal minta bantuan kepada Bandit Politik Capres. Kalau dipenuhi harus mau sebagai boneka dan budaknya. Bagi para bandar/bandit politik uang 1 ( satu ) triliun rupiah ini jelas sangat kecil. Jangankan kekuatan gabungan 9 Naga. Satu naga seperti BT (dari hasil rampokannya) lebih dari mampu untuk membeli 9 partai sekaligus @ 1 triliun rupiah = 9 triliun rupiah. Menurut aktivis ’98, Bung Hatta Taliwang, kalau 9 naga atau para Taipan bisa membeli 9 partai politik masing-masing Rp 1 triliun, total Rp 9 triliun, plus membeli suara masing-masing anggota DPR sebanyak 575 orang bisa untuk mengegolkan UU, masing-masing anggota DPR RI minimal Rp 10 miliar (dibeli suaranya oleh Taipan) cuma Rp 5,75 triliun. Dibulatkan Rp 6 triliun. Total para Taipan akan menguasai DPR RI cuma Rp 15 triliun. Ditambah lagi membeli dengan membiayai dana pencapresan sebesar Rp 20 triliun. Indonesia sudah dikangkangi/dibeli/dikuasai para taipan cuma bermodalkan Rp 35 triliun, jika itu patungan oleh para taipan lebih ringan lagi beban para taipan. Jika KPU, MK juga dikuasai/dibeli para taipan, total nggak sampai Rp 40 triliun Indonesia habis dikuasai para cukong/China atau China Indonesia. Patungan para taipan bisa membeli Indonesia hanya dengan harga maksimal Rp 40 triliun. Masih kalah dengan dana yang dirampok oleh Benny Tjokro (satu orang China) sebesar Rp 74,58 triliun. Itu fakta berbasis data, bukan opini yang dibangun berbau hoak. Begitu murahkah Indonesia yang kemerdekaannya telah pula mengorbankan darah, nyawa, dan harta para pejuang kemerdekaan. Sangat pilu dan begitu memilukan sekali. Akibat sekali salah pilih penguasa, habislah kita seluruh bangsa. Perlu dicatat, Benny Tjokrosaputro adalah salah satu pelaku utama korupsi dana investasi Jiwasraya. Bersama koleganya, Heru Hidayat, dia telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. (*)

Setiap Pengorbanan Adalah Investasi Ukhrawi

Manusia niscaya berkorban untuk meraih kehidupan yang bermakna. Berkorbanlah, tapi jangan menjadi korban. Setiap pengorbanan adalah investasi ukhrawi. Jer basuki mawa bea... Oleh: Muhammad Hirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (Khutbah Idul Adha 10 Dzulhijjah 1443 H Di Lapangan Karang Kotagede Jogjakarta) ALHAMDULILLAH... Asyhadu alla ilaha illallah... Allahumma shalli \'ala Muhammad... Hari ini kita merayakan Idul Adha dalam suasana semi-pasca Corona. Kini Indonesia dalam masa pancaroba. Pancaroba ini, arti harfiahnya peralihan musim. Kita dalam masa peralihan dari pandemi menuju endemi. Indonesia mengenal dua musim saja, yakni kemarau dan hujan. Di Eropa, Amerika dan belahan bumi yang lain orang mengenal empat musim: semi, panas, gugur, dan dingin. Tapi di sini ada musim buah rambutan, mangga, durian, musim antri BLT, antri bbm, antri minyak goreng, dll. Pandemi Korona memaksa sebagian besar dari kita untuk bekerja di rumah dan dari rumah, dan putra-putri kita juga belajar jarak jauh dengan segala suka dukanya. Bagai petani, guru mencurahkan perhatian pada benih yang telah ia tebar; memupuk, menyirami dan menyianginya. “Awalnya aku hanyalah butiran-butiran kemungkinan. Gurukulah yang membuka dan mengembangkan kemungkinan itu.” (Helen Keller) Nabi Muhammad Saw berpesan, “Didiklah anak-anakmu dengan sebaik-baiknya, karena mereka adalah amanat Tuhan kepadamu.” Umar bin Khathab berkata, “Didiklah anak-anakmu dengan saksama, karena mereka akan hidup di zaman bukan zamanmu.” Orang tua berkewajiban mengenalkan anak kepada Tuhannya, membantu mereka menemukan rencana Tuhan untuk dirinya; mengarahkan, tetapi tidak memaksa.  Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Dari segi keuangan, Indonesia sudah menanggung utang demikian banyaknya. Dari segi ekonomi dan perdagangan, harga kebutuhan pokok rakyat terus merangkak naik, termasuk bahan bakar minyak, telor ayam ras, dan cabe. Dari segi keamanan, juga Indonesia sangat mengkhawatirkan, baik karena ancaman laten dari luar maupun dari dalam. Walaupun Pilpres masih dua tahun lagi, yakni 2024, tapi musim kampanye tampaknya telah tiba mendahului jadwalnya. Hal ini membikin pihak-pihak tertentu mengalami panas-dingin. Semoga bangsa Indonesia tetap aman dan damai untuk selamanya. Amin. Kurban adalah sebentuk ketaatan kepada Allah Swt berupa penyembelihan sapi atau kambing pada 10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyrik dengan mengharap ridha Allah swt semata. Kurban adalah simbol kasih sayang, kesetiakawanan, dan kepedulian kepada nasib sesama kita. Dengan Idul Adha Allah swt menginspirasi manusia untuk saling menyapa, berbagi, dan silaturahmi. Allah swt berfirman dalam Al-Quran (ditulis terjemahnya), “Sungguh, telah Kami berikan kepadamu sumber yang melimpah. Maka, shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membenci engkau,- dialah yang putus dari harapan masa depan.” (QS Al-Kautsar/108:1-3). Pengalaman kurban pertama kali di muka bumi adalah ujian terhadap kedua putra Nabi Adam As. Yang satu berkurban secara ogah-ogahan, dan yang seorang berkurban dengan penuh ketakwaan. Allah swt menerima kurban yang kedua. Adapun kurban umat Islam adalah warisan Nabi Ibrahim As. Allah swt berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: \"Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!\" Ia menjawab: \"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar\". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Kami panggillah dia: \"Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian. “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.” (QS 37:102-109). Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail mengandung pesan untuk berbagi sumber kekayaan, kesempatan, dan semangat untuk memelihara warisan kemanusiaan, dengan mengalahkan kepentingan pribadi, keluarga, golongan, partai politik, maupun fanatisme sempit lainnya. Demikian amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Faktanya, jutaan hektar lahan dikuasai oleh segelintir orang-orang yang super kaya raya. Harta puluhan orang tertentu melebihi kekayaan jutaan rakyat  Indonesia. Pertamina sebagai BUMN mengalami kerugian 191 triliun rupiah, sementara 7 Komisaris dan 11 Direksinya bergaji rata-rata lebih dari 3 miliar rupiah per bulan. (FB Azizi Fathoni). Buya Hamka pernah berpesan, “Pancasila ibarat angka sepuluh ribu (10.000). empat nol di belakang tidak akan ada maknanya tanpa angka satu di depan, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”; “Nakhoda yang baik, bukanlah yang pandai mengemudikan Kapal, tapi yang mengetahui Rahasia Lautan.”  Mana mungkin Pancasila diperas menjadi Trisila, apalagi Ekasila: Gotong Royong. (“Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan” -QS 5:2). Pujangga Keraton Surakarta Raden Ngabei Ronggowarsito bernubuat (atau meramalkan), “Amenangi jaman edan. Sing ora edan ora keduman. Sak begja-begjane wong kang edan iseh luwih begja wong kang eling lan waspodo.” Negeri ini dimerdekaan oleh rakyat semesta Nusantara dengan mengorbankan tenaga, pikiran, harta dan nyawa, tapi mengapa sekarang seperti dikuasai oleh partai politik? Ada benarnya kearifan lokal Jawa, “Sing waras ngalah”, tapi bilamana semua orang yang waras mengalah, maka negeri ini bisa jadi dikuasai oleh orang-orang yang tidak waras. “Banyak yang salah jalan, tapi merasa tenang, karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar, meskipun sendirian!” Penyembelihan ternak tahunan membuahkan keseimbangan ekosistem, membuka peluang memperoleh rezeki dari pengadaan hewan, penyediaan pakan, dan sarana transportasi. Penyembelihan hewan kurban simbol pemotongan syahwat duniawi dan sikap mental syaithani yang mengalir dalam diri. Allah swt berfirman, “Yang sampai kepada Allah bukan daging atau darahnya, melainkan ketakwaan kamu. Demikianlah Ia memudahkannya kepada kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas bimbingan-Nya kepada kamu; dan sampaikan berita baik kepada semua orang yang telah berbuat baik.” (QS Al-Hajj/22:37). Allah swt menurunkan agama untuk membebaskan manusia dari penderitaan, agar mereka dapat berdiri bebas di hadapan Tuhan secara benar, dan menjaga diri dari perbuatan aniaya. Kekayaan negeri ini niscaya dikelola dengan saksama untuk kesejahteraan sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Ketimpangan dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia dan lain-lain harus segera dihentikan.  Kita berusaha mewujudkan aturan yang adil, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi. Memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Tak seorang pun boleh diperlakukan dan/atau berlaku semena-mena.  Kekayaan dan kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan. Kekuasaan adalah ujian; apakah digunakan untuk menegakkan keadilan dan keselamatan atau kah sebaliknya. Manusia niscaya berkorban untuk meraih kehidupan yang bermakna. Berkorbanlah, tapi jangan menjadi korban. Setiap pengorbanan adalah investasi ukhrawi. Jer basuki mawa bea... Tak ada pengorbanan tulus yang sia-sia. “Bahwa yang diperoleh manusia hanya apa yang diusahakannya. Bahwa usahanya akan segera terlihat. Kemudian ia akan diberi balasan pahala yang sempurna. Bahwa kepada Tuhanmu tujuan akhir.” (QS An-Najm/53:38-42). Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina \'adzabannar. (*)

ACT Versus ACT

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  GERAKAN umat untuk menolong sesama telah dibantai oleh pemerintah untuk menolong kelompok anti Islam. Aksi Cepat Tanggap (ACT) dianiaya oleh Aksi Cepat Tumpas (ACT). Soal gaji yang dengan cepat berubah menjadi terorisme adalah alasan khas rezim Islamophobia.  Bahwa terjadi penyimpangan oleh oknum personal pimpinan memang harus diusut dan diselesaikan, akan  tetapi tidak dapat diterima apabila cara penanganan dilakukan secara berlebihan, diskriminatif, dan tendensius. Patut diduga ada motif politik untuk menghancurkan lembaga filantropis  keumatan.  Penilaian gampangan bahwa tindakan yang diambil oleh penguasa adalah melanggar etika dan hukum.  Melanggar etika karena sebagaimana dikemukakan oleh banyak fihak bahwa memburu satu tikus di lumbung ternyata dilakukan dengan cara membakar habis lumbung. Dua kemungkinan untuk ini yaitu kebodohan luar biasa atau memang sejak semula niatnya bukan akan memburu tikus tetapi membakar lumbung. Kebetulan ada tikus masuk jebakan yang dipasang di lumbung.  Melanggar hukum karena perbuatan yang dilakukan itu sewenang-wenang. Cara kerja hukum adalah pembuktian melalui proses peradilan. Bagaimana suatu perbuatan dinyatakan salah tanpa proses penetapan dari lembaga yang berhak untuk menetapkan. Tidak bisa main cabut izin tanpa perintah hukum atau sekurang-kurangnya melalui pemeriksaan yang seksama.  Publik terpaksa menonton perilaku otoritarian dan sok kuasa.  Publik dapat memahami jika  mungkin terjadi kesalahan manajemen termasuk pola penggajian. Meskipun yang terakhir ini relatif sekali jika dibandingkan dengan gaji anggota DPR, pengelola BPJS atau Komisaris BUMN yang cuma titip nama tanpa kerja atau kompetensi. Kesalahan manajemen dapat dikoreksi dan dibenahi.  Pola Aksi Cepat Tumpas (ACT) dapat dianalogikan kerja PKI dahulu. Saat dengan cepat menumpas Masyumi melalui bisikan maut kepada Presiden Soekarno. PKI adalah musuh Masyumi. Komunis yang anti agama itu. Ini menambah catatan hitam  dari rezim Islamophobia.  Rangkaiannya dimulai dari pembubaran tanpa proses peradilan organisasi HTI dan FPI, penahanan HRS dan Munarman, pembunuhan 6 anggota Laskar FPI, penangkapan Farid Okbah, Zain An Najah dan Anung Al Hamat, serta kini pencabutan izin ACT beserta pemblokiran rekeningnya. Pelibatan BNPT dan Densus 88 menjadi bagian dari politik stigmatisasi umat. ACT berbahaya.  Dua titel yang bisa disematkan untuk rezim ini  adalah Islamophobis dan Oligarkis. Oligarki yang Islamophobia. Segelintir orang yang memiliki kekuatan politik dan bisnis telah menguasai negeri. Menggerus bahkan merenggut kedaulatan rakyat. Mengendalikan dengan kekuatan alat pemaksa tanpa peduli pada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Aksi-aksi cepat tanggap rakyat sebagai wujud kepekaan pada penderitaan sesama terpaksa harus berhadapan dengan aksi cepat tumpas penguasa.  ACT versus ACT.  Bandung, 10 Juli 2022

Pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bali adalah Kegagalan Besar

Itu sikap dan tindakan minimal yang harus diambil oleh Indonesia sebagai Presiden G20. Bukan cuma kebiasaan ngoceh menghimbau, berdasarkan moralitas dan kebaikan bersama. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ACARA Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 atau G20 Foreign Ministers\' Meeting (FMM), telah diselenggarakan di Bali tanggal 7-8 Juli 2022. Temanya: “Membangun dunia yang lebih damai, stabil, dan sejahtera bersama”. Agenda ini akan menjadi forum strategis untuk membahas upaya pemulihan global.​ Pertemuan G20 FMM terdiri dari dua sesi. Sesi pertama mengenai penguatan multilateralisme yang membahas langkah bersama bagi penguatan kolaborasi global dan membangun rasa saling percaya antar-negara yang menjadi enabling environment bagi stabilitas, perdamaian, dan pembangunan dunia.   Sesi kedua mengenai krisis Pangan dan Energi yang akan membahas langkah-langkah strategis untuk menanggulangi krisis kerawanan pangan, kekurangan pupuk, dan kenaikan harga komoditas global. Rangkaian pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia telah dimulai pada 1 Desember 2021 dan berpuncak pada KTT Bali pada 15-16 November 2022. Mengamati proses selama ini sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan kerja ke Ukraina dan Rusia, selanjutnya peran Ketua G20 dalam proses pertemuan para Menteri Luar Negeri G20, ini tampak sekali Indonesia mengalami kesulitan persiapan, gagap, keteteran, dan kering pengalaman sebagai diplomat kaliber dunia. Indonesia membutuhkan seorang diplomat brilian sekaliber Bung Karno, dan bukan diplomat ecek-ecek yang cuma pinter basa-basi seperti yang kita lihat dan saksikan selama ini. Sudah jelas, masalah ekonomi itu tidak lepas dari masalah geopolitics dan perang yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Tidak mungkin dalam pertemuan Menteri Luar Negeri atau Presiden G20 itu hanya membahas urusan ekonomi dan mengesampingkan urusan politik. Itu hanya gagasan bodoh dan konyol. Wajah pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di Bali terbukti gagal besar, tidak lebih seperti sirkus, sinetron, hanya kumpul-kumpul, basa-basi, dan foto-foto selfi saja. Tidak menghasilkan apa-apa yang signifikan atau memiliki hasil yang berarti. Karena Indonesia tidak memiliki proposal rencana perdamaian, atau peta jalan negosiasi yang kongkrit dan komprehensif yang bisa menghasilkan gencatan senjata, atau untuk mengakhiri perang di Ukraina yang bisa diterima oleh Rusia, Ukraina, USA, NARO dan Uni Eropa. Presiden Vladimir Putin sering berpidato bahwa perang di Ukraina itu akan berakhir ketika semua tujuan terpenuhi. Jadi tidak mungkin negara yang sedang dan memiliki tujuan militer, tujuan politik, tujuan teritorial, dan tujuan ekonomi akan berhenti perang, hanya dengan himbauan dari negara lain. Menjadi Presiden G20, Indonesia terlalu naif untuk mengambil gagasan dan posisi untuk hanya mendorong semua pihak untuk mengakhiri perang dalam diplomasi internasional tetapi tidak memiliki proposal rencana perdamaian yang dapat diperdebatkan secara terbuka atau dalam sesi tertutup oleh mereka, pihak yang terlibat dalam perang. Semestinya Indonesia sebelum pelaksanaan pertemuan para Menteri Luar Negeri dari G20 harus sudah mendapatkan gambaran tuntutan komprehensif rencana perdamaian dari: Rusia (apa syarat Rusia ingin mengakhiri perang) - Ukraina (apa ingin mengakhiri perang dan AS, NATO, Uni Eropa apa yang diinginkan dari negara tersebut untuk mengakhiri perang Rusia dan Ukraina. Sesulit apapun tuntutan masing-masing negara, harus tetap diketahui dulu tuntutan mereka, kemudian diperdebatkan saat pertemuan Menteri Luar G20 itu dilakukan, baik secara terbuka atau sesi tertutup. Kemudian dicarikan kompromi dari masing-masing negara. Itu sikap dan tindakan minimal yang harus diambil oleh Indonesia sebagai Presiden G20. Bukan cuma kebiasaan ngoceh menghimbau, berdasarkan moralitas dan kebaikan bersama. Perang tidak mengakui moralitas dan tidak juga, kebaikan bersama. Perang mengakui kepentingan. Melakukan yang terbaik saja tidak cukup. Sebagai Ketua G20 harus bisa membuat proposal rencana perdamaian yang komprehensif yang dapat diperdebatkan secara terbuka atau dalam sesi yang tertutup untuk mengakhiri perang di Ukraina yang dapat diterima setidaknya oleh Rusia, Ukraina, Amerika Serikat dan NATO. Tanpa memiliki proposal rencana perdamaian hanyalah lelucon besar. Bila Indonesia sebagai Presiden G20 tidak belajar dan mengubah sikap, setelah pertemuan para Menteri Luar Negeri G20, maka KTT G20 di Bali mendatang hasilnya akan sama, tidak berarti, kegagalan besar, hanya kumpul-kumpul, basa-basi dan foto-foto. Apalagi kalau Presiden Putin datang akan ada boikot dari kepala negara AS dan Uni Eropa. (*)

Babu Banda

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  BEBERAPA nama pegiat sosial telah bertransformasi menjadi buzzer, influencer dan haters. Biadabnya, mereka sendiri yang beragama Islam sanggup dan begitu bangga menghina Islam, umat dan para pemimpinnya. Mereka semua pada waktunya, akan menerima balasan yang setimpal dan bahkan lebih keji dari apa yang mereka perbuat. Mereka inilah manusia sejenis babu banda, yang demi harta dan jabatan recehan menghancurkan aqidahnya sendiri dan persatuan bangsa. Tidak sedikit manusia yang mengejar harta benda dan jabatan, seolah-olah akan hidup selamanya di dunia. Seakan-akan semua uang, kekayaan dan status sosialnya serta-merta setia mengiringinya saat dijemput kematian. Manusia-manusia ini yang cenderung  menghabiskan waktu hidupnya untuk mengejar dunia. Kalau perlu apa yang diinginkannnya dalam dunia, diperoleh dengan segala daya upaya, termasuk menghalalkan segala cara. Begitupun dalam politik, setiap hasrat dan kepentingan tertentu kerapkali mengabaikan etika dan norma-norma . Demi memenuhi ambisi, perilaku politik dengan sadar tapi tanpa malu terlalu mengumbar hasad dan dengki. Bukan sekedar isu dan intrik, orang tertentu rela menyebarkan rasa permusuhan, kebencian hingga  fitnah keji. Demi uang, fasilitas dan jabatan tak seberapa, orang-orang bergelar buzzer tega memakan daging saudaranya sendiri, memecah-belah persatuan Indonesia dan menggiring rakyat, negara dan bangsa pada kehancuran peradaban. Lebih miris lagi, selain melakukan pembelahan sosial, manusia-manusia durjana ini juga kerapkali menghina, merendahkan dan menista pemimpin, para nabi dan termasuk agama tertentu. Dalam hal ini umat dan agama Islam yang sering menjadi korban rekayasa stereotif dan upaya framing jahat  kepentingan politik. Islam dan umatnya selalu menjadi target yang harus dihancurkan, dengan cara halus maupun kasar sekalipun. Buzzer, influencer, haters dan politisi bejad berbayar, teeus dipelihara dan sengaja ditempatkan menjadi garda terdepan yang disupport kekuasaan. Mereka  menjadi \"the untouchables\", tak tersentuh hukum dan dilindungi rezim. Ada baiknya, umat tidak lagi harus diam dan terus membiarkan perilaku yang biadab terhadap agama Islam, para nabi dan aulia serta tokoh dan pemimpinnya Tak boleh lagi ada istilah serba permisif bagi semua orang yang melukai agama Islam dan umatnya. Kalau hukum negara tidak dapat ditegakkan terhadap kaum yang  dzolim kepada aqidah umat, maka sangsi  syariat Islam sangat layak diberlakukan. Demi menjaga kemuliaan Agama Islam, demi memelihara kehormatan para nabi dan ulama serta menjunjung ketaatan umat Islam kepada Allah subhanahu wa ta\'ala dalam menjalankan  Al quran dan sunah. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip persaudaraan dalam kebangsaan, maka menjadi kewajiban umat Islam untuk mengambil langjah-langkah berani dan tindakan tegas menghukum seberat-beratnya dan seadil-adilnya pada para pelaku penghujat Islam. Camkanlah!,  para manusia laknat yang karena uang dan jabatan mau menghancurkan kehormatan Islam dan umatnya, maka tak ada yang lebih baik lagi selain menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa setiap pelakunya. Lebih baik menghukum tegas orang tertentu, ketimbang mengorbankan kepentingan bangsa menguatkan persatuan dan kesatuan nasional. Agar tidak menjadi peristiwa yang sengaja dan berulang-ulang  serta seperti menjadi tradisi dalam  strategi politik. Maka hentikanlah sekarang juga dan untuk seterusnya bagi siapapun yang berpikir, berniat dan akan melakukannya. Wahai para penikmat dunia yang yang menuhankan harta dan jabatan, profesi budak banda kalian tak akan bertahan  selamanya. Di bumi Indonesia tercinta tak boleh ada tempat untuk  penghinaan dan perilaku merendahkan bagi agama apapun.  Jika itu masih terjadi, tunggulah datangnya hari pembalasan. Allahu Akbar!, Merdeka! Munjul-Cibubur, 9 Juli 2022.

Kedunguan Pemimpin Parpol

Rakyat juga sudah tahu, mereka itu hingga kini masih dikendalikan oligarki. Karena mereka sudah terikat perjanjian yang rakyat memang tidak pernah tahu apa isinya. Itulah kedunguan mereka. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih POLITIK identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Pemimpin parpol bergaya menjadi hero bertekad melawan politik identitas. Para pemimpin parpol mengatakan bahwa Pemilu 2014 dan 2019 dinilai telah berlangsung sukses tapi meninggalkan polarisasi yang sangat berbahaya di masyarakat. Faktanya memang bangsa ini terbelah. Tidak dijelaskan mengapa hal itu terjadi dan apa yang sudah dilakukan untuk mencegah polarisasi itu. Arah politik yang riil dimaksud oleh para pemimpin parpol itu adalah Islamphobia, artinya mereka ingin menghancurkan umat Islam. Ketika mereka sudah dalam kendali remot kekuatan dari luar mereka. Ketika para pemimpim parpol menuding politik identitas sebagai biang keladi polarisasi masyarakat. Ini artinya para elit parpol itu telah menjadi kura-kura dalam perahu: seolah tidak tahu mengapa, padahal itu ulah mereka sendiri. Tapi, kini mereka mencari kambing hitam dengan menyalahkan faktor lain selain parpol dan perilaku para elitnya. Permusuhan parpol terhadap politik identitas itu juga tidak mengherankan karena banyak elit politik memang miskin gagasan yang berpotensi menjadi diskursus baru di tengah kematian imajinasi politik saat ini yang semakin terkungkung oleh banyak jargon harga mati, ternyata otak mereka yang beku dan mati. Para elit parpol ini gagal atau pura gagal memahamin sebuah kompleks gagasan seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan Pancasila. Para founding fathers seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Agus Salim, sangat terinspirasi oleh Islam sebagaimana terbukti dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Bahkan para pendiri bangsa ini dari berbagai latar belakang suku dan agama juga telah pernah mensepakati Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement. Diduga keras bahwa sebagian elit parpol penguasa masih bermain-main untuk menutup-nutupi kudeta konstitusi yang telah terjadi sejak amandemen ugal- ugalan mengubah UUD 1945. Prof. Kaelan, guru besar Pancasila UGM bahkan tegas mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara sudah murtad dari Pancasila, telah mengubur Pancasila di bawah kaki mereka. Mutu berpikir dan menggagas banyak para pemimpin parpol saat ini sangat menyedihkan dibanding mutu pikiran dan gagasan para pendiri Republik. Saat menghadapi tantangan nasional, regional dan global yang terhubung tanpa batas. Justru pemimpin parpol hidup dalam tempurung hanya menjadi satelit atau budak oligarki. Wajah elit parpol seperti dungu dan terjebak mengumbar nafsu hanya mengejar uang recehan para taipan atau hidupnya terkurung dalam remote Oligarki. Mungkin mereka berpikir bahwa rakyat itu juga dungu, tidak tahu apa yang terjadi di belakang mereka. Padahal, akibat ulah mereka itulah rakyat jadi tahu apa yang terjadi selama ini. Mereka membentuk koalisi partai. Padahal, mereka itu berusaha membentuk koalisi hanya untuk melanggengkan kekuasaan oligarki juga. Karena rakyat juga sudah tahu, di balik koalisi itu ada oligarki yang membiayai mereka. Rakyat juga sudah tahu, mereka itu hingga kini masih dikendalikan oligarki. Karena mereka sudah terikat perjanjian yang rakyat memang tidak pernah tahu apa isinya. Itulah kedunguan mereka. Namun, sayangnya, mereka sendiri tidak pernah merasa dungu. Sadar atau tidak, akibat kedunguan mereka inilah, kemudian dimanfaatkan oleh oligarki untuk kepentingan oligarki sendiri. (*)

Bagi Partai Politik Anies Pilihan Strategis dan Ideologis

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Mengapa negeri yang seharusnya gemah ripah loh jinawi ini, menjadi karut-marut dan begitu mengenaskan?. Mengapa pelaksanaan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terasa jauh dari ideal, bagaikan jauh api dari panggang?. Dari banyak faktor, disinyalir peran partai politik menjadi signifikan pada maraknya distorsi penyelengaraan negara selama ini. Partai politik dianggap memiliki kontribusi besar terhadap kerusakan sistemik yang bukan hanya menjauhkan rakyat dari cita-cita kehidupan adil makmur. Lebih dari itu keniscayaan partai politik juga cenderung  mendorong perjalanan  Indonesia menuju negara gagal. Atmosfir  kapitalisme memang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, iklim hijau nan asri yang meliputi kultur gotong-royong dan  religius itu tak mampu menghindari rakyatnya menghirup udara beraroma materialistik. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, persada kaya di tengah bentangan khatulistiwa dunia itu kerapkali mengalami perseteruan ideologi yang memengaruhi motif, proses dan tujuan bernegara. Kedua  mainsteam ideologi internasional baik kapitalisme maupun komunisme, sama-sama begitu kuat mencengkeram pendulum kebangsaan negeri yang menjadi simbol surga dunia. Apa mau dikata, untuk tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. NKRI yang dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 memiliki kemuliaan bagi rakyatnya sendiri dan bagi kehidupan bangsa lainnya. Harus menjalani kenyataan pahit, kehidupan berbangsa dan bernegara hampir 77 tahun kerapkali menemui jalan buntu meraih kesejahteraan. Rakyatnya harus hidup menderita di tengah maraknya korupsi, pesatnya utang negara, angka kemiskinan yang terus melonjak, politik dan hukum yang menindas serta kematian demokrasi. Sungguh miris dan ironis, negeri yang kaya akan sumber daya alam dan keberagaman kulturnya, membuat kehidupan rakyatnya seperti dalam suasana kolonialisme dan imperialisme modern. Tak dapat dipungkiri dan tegas menyisakan rekam jejaknya beberapa dekade ini . Bahwasanya selain human eror, faktor sistem menjadi begitu dominan menyebabkan negara keluar trek dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Produk hukum dan politik menyembur deras menggerus kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip hajat hidup orang banyak yang mendasar. Bukan hanya menyasar demokrasi, regulasi yang kontradiktif dan distorsi kebijakan juga mulai mengusik hak asasi, pranata sosial dan budaya serta substansi kehidupan keagamaan. Kekuatan partai politik yang mampu menghegemoni aspek-aspek kepentingan publik mulai dari sektor hulu hingga hilir. Telah membuat partai politik menjadi entitas politik yang absolute mengatur orang dan sistem. Seperti  persenyawaan biologis parpol dan sistem tak ubahnya hubungan darah daging yang ak terpisahkan. Keduanya saling mengisi, saling memengaruhi dan saling memanfaatkan. Partai poltik dan yang mengelolanya baik kader maupun elit pengurus telah menjadi mata rantai yang tak terpisahkan bagi kekuasaan dan eksesnya terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Termasuk melahirkan pemimpin nasional dan produk undang-undang dan kebijakan publik. Entah kebijakan untuk kebaikan atau keburukan, kebaikan bagi rakyat atau kebaikan bagi partai politik?. Sayangnya,  setelah melakukan refleksi dan evaluasi peran partai politik sejauh ini. Partai politik belum mampu menjalankan fungsi sebagai katalisator sekaligus regulasi  pelaksanaan demokrasi baik dalam prosesnya, pelaksanaan hingga capaian tujuannya. Partai politik masih sangat jauh dari kata ikut mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam aspek politik dan ekonomi saja, partai politik cenderung menjadi tirani, otoriterian dan cenderung bersifat diktator ketika mengejawantahkan   perpanjangan kekuasannya di jajaran legislatif, eksekutif dan yudikatif. Partai politik ikut menjelma sebagai organisasi kekuasaan yang kuat membentuk proses penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Produk UU dan kebijakan strategis lainnya seperti yang dilahirkan DPR, lebih bermuatan libido kekuasaan  partai politik ketimbang menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat. Partai politik menjadi penyumbang terbesar penyimpangan pelaksanaan tata kelola negara selama ini. Partai politik cenderung menjadi aktor dari fragmen pseudo demokrasi,  yang hanya sekedar memenuhi syahwat kekuasaan ekonomi, politik dan hukum bagi segelintir orang, kelompok dan para  oligarki. Korporasi, politisi dan birokrasi seperti telah menjadi sindikat atau mafia politik kekuasaan   yang dominan karena peran partai politik. Kelahiran Pemimpin dari Rahim Rakyat Bung Karno pernah menggelontorkan konsep Resopim, yaitu  penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang berlandaskan revolusi, sosialisme Indonesia dan kepemimpinan nasional. Sebuah pemikiran dan gagasan mengenai idealisme yang membangun kepemimpinan dan sistem secara integral  komprehensif. Resopim oleh Bung Karno,  berupaya menegaskan bahwa  pemimpin dan sistem merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Untuk menjamin negara yang kuat yang mampu menggelorakan nasionalisme dan menopang kehidupan internasionalisme, dibutuhkan pemimpin dan sistem  yang kuat termasuk upaya menjalankan revolusi sebagai alat taktis dan strategis menggapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, resopim Bung Karno mengalami kegagalan, selain karena faktor konstelasi politik internasional yang dipengaruhi perang dingin, juga dianggap tidak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 dan NKRI. Pergolakan politik dalam negeri yang ikut ditentukan oleh  intervensi kepentingan asing, membuat negara nyaris mengalami kehancuran nasional. Lemahnya institusi negara termasuk partai politik dalam menegakkan demokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta mengawal pelaksanaan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Membuat rakyat, negara dan bangsa ini mengalami tragedi nasional, traumatik sekaligus menjadi noda hitam yang tak akan pernah bisa dilupakan dalam sejarah dan psikopolitik rakyat. Kecenderungan kegagalan rezim era reformasi hingga saat ini, berpotensi membawa rakyat, negara dan bangsa Indonesia mengulangi kesalahan yang sama pada masa orde lama dan orde baru. Bahkan boleh jadi lebih buruk dari yang pernah dilakukan oleh rezim orde lama dan orde baru. Pemerintahan pada rezim saat ini telah melampau batas dan memasuki fase kebablasan. Institusi negara dan aparaturnya, bertindak leluasa sebagai alat kekuasaan bukan sebagai alat negara. Sistem politik, ekonomi dan hukum  direkayasa hanya untuk segelintir orang dan oligarki, selebihnya untuk kepentingan bangsa asing. Sedikit sekali pejabat dan pemimpin yang berahlak, yang memiliki nasionalisme dan patriotisme. Penderitaan hidup rakyat dan berpotensi menjadi negara gagal yang selama ini berlangsung. Mendesak semua pihak dan seluruh anak bangsa mengambil tindakan tegas, cermat dan tepat untuk menyelamatkan rakyat, negara dan bangsa. Tidak serta merta dan harus seperti Resopim, setidaknya yang paling prioritas adalah menentukan pemimpin negara yang dianggap mampu membawa Indonesia keluar dari krisis dan membawa optimisme rakyat terhadap masa depan rakyat, negara dan bangsa jauh lebih baik. Terlebih  kebaikan pada masa depan  kehidupan anak-cucu bangsa Indonesia. Ya, Indonesia butuh pemimpin yang memiliki karakter dan integritas. Menjelang pemilu dan pilpres 2024, selain rakyat sendiri ada partai politik yang secara fundamental dan signifikan sangat menentukan arah perjalanan bangsa berikutnya. Dalam suasana kehidupan negara yang kapitalistik, sekuleristik dan liberalistik serta sarat degradasi keagamaan. Kesadaran dan revitalisasi peran partai politik saat ini menjadi krusial terutama kolerasinya dalam melahirkan pemimpin nasional,  termasuk UU pemilu sebagai trigernya. Rakyat berharap partai politik mampu bertindak obyektif dan rasional dalam memetakan, membahas dan mengambil solusi terhadap masalah dan kepentingan rakyat. Dalam hal ini, aspirasi dan kehendak rakyat dalam memilih pemimpin, sepatutnya menjadi perhatian dan  pertimbangan khusus bagi partai politik. Saat lembaga survei bermanuver, dominasi hasrat oligarki dan petualang politik dengan ambisi kekuasaannya mulai mengadang-gadang capres dalam hajatan pilpres 2024. Maka partai politik  dituntut untuk lebih bijaksana, mengutamakan kepentingan sempit dan sesaat atau yang semacam itu. Berpikir dan bertindak untuk individu, keluarga dan kelompoknya atau demi rakyat, negara dan bangsa. Apakah partai politik akan lebih arif mengambil langkah-langkah menyelamatkan  atau lebih memperburuk dengan menggali lubang kubur untuk rakyat, negara dan bangsanya sendiri. Sanggupkah partai politik mampu membebaskan diri dari belenggu anasir-anasir ideologi kapitalisme dan komunisme yang selama ini secara historis dan empiris  sangat  bertentangan dengan semangat Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bersediakah partai politik mengedepankan  politik kebangsaan serta  mampu menepis politik trah, politik identitas dan hegemoni oligarki. Relakah partai politik melepaskan pola mengusung regenerasi  kepemimpinan yang identik sebagai warisan keluarga dan handai taulan serta irisan hutang budi politik di sekelilingnya. Ketika kegamangan, pergumulan dan konflik batin dalam tubuh elit partai politik itu, sejatinya negeri  ini tidak sulit menemukan pemimpin yang  benar-benar lahir dari rahim rakyat. Pemimpin yang berasal dari darah  daging rakyat, yang tumbuh-kembangnya menyusui rakyat dan terpanggil mengabdi pada rakyat sebagai  ibu pertiwinya. Pemimpin rakyat seperti itu  yang tidak ahistoris dan siap mengorbankan dirinya untuk nengemban amanat penderitaan rakyat. Pemimpin yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan pemimpin dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki, bahkan  bukan juga untuk  bangsa asing. Anies Rasyid Baswedan atau yang biasa dipanggil Anies,  merupakan figur pemimpin yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin yang lain. Anies memiliki warna dan kekhasan tersendiri dengan para pejabat dan pemimpin lainnya,  terutama yang namanya mulai terlibat dalam kontestasi capres di pilpres 2024. Anies terasa begitu menonjol di antara sesama kolega  sekaligus kompetitornya. Perbedaan paling mencolok pada Anies  adalah sisi ferformans dan behavior figurnya. Anies selain capres yang \"good looking\" juga dikenal rakyat sebagai pemimpin yang cerdas dan santun. Kuat menarik simpati dan empati luas publik, karena selama ini Anies sebagai pribadi yang mengutamakan ahlakul kharimah. Sesungguhnya selain itu semua,   partai politik dapat mempelajari rekam jejak kepimpinan Anies  mulai dari mendirikan Program Indonesia Mengajar, kemudian sebagai Rektor Universitas  Paramadina dan menteri pendidikan hingga menjabat  Gubernur DKI Jakarta. Terutama pada saat menjadi orang nomor satu di Jakarta, semua eksplorasi tentang Anies sebagai seorang pemimpin itu dapat terlihat jelas, rigid dan utuh. Tentang kebaikan dan kelemahannya, tentang keberhasilan dan kegagalannya serta tentang semua prestasi dan tantangannya. Terlepas sisi-sisi kemanusiaan yang ada dalam dirinya, semua orang sah-sah saja menilai seorang Anies dengan pandangan obyektif maupun subyektif masing-masing. Anies Figur Solusi Masalah Bangsa Kenapa harus Anies?. Mengapa Anies menjadi figur pemimpin yang relatif lebih baik dari yang lainnya?. Mengapa Anies mampu menghimpun simpati, empati dan apresiasi yang begitu luas dari rakyat tanpa rekayasa dan pencitraan yang berlebih-lebihan bahkan manipulatif. Mengapa pula begitu besarnya rakyat menginginkan Anies sebagai presiden pada pilpres 2024?. Mungkin tidak terlalu sulit menjelaskannya, mungkin juga begitu mudah dan sederhana memahaminya. Jika saja semua entitas sosial politik termasuk di dalamnya partai politik mau jujur dan terbuka, maka figur Anies dengan segala kiprahnya  akan lebih terasa seperti mewakili kepentingan strategis dan ideologis bagi semuanya. Dengan sedikit saja akal sehat, logis dan persfektif politik yang visioner, sepatutnya partai politik dapat menempatkan Anies sebagai pemimpin yang mampu menjadi idol, representasi dan kepentingan partai politik secara ideologis maupun rasional pragmatis. Berikut ini beberapa faktor potensi dan keunggulan figur Anies, yang dapat menjadi penilaian partai politik dalam mengusung Anies sebagai capresnya. 1. Anies terbukti dan tercatat dalam rekam jejaknya sebagai figur pemimpin yang bersih, bermartabat dan berwibawa. Tak ada sedikitpun ruang, celah atau catatan yang menempatkan Anies sebagai figur bermasalah, terlibat korupsi dan pelbagai catatan kejahatan lainnya. 2. Anies pemimpin yang telah mengukir dan menorehkan banyak keberhasilan, prestasi dan penghargaan baik dalam skala  nasional maupun internasional. Anies boleh jadi pemimpin sekaligus pejabat yang fokus pada kinerja dan capaian tujuan yang maksimal, tanpa kehilangan konsentrasi karena faktor-faktor luar yang tak penting dan tak relevan. 3. Anies telah membuktiksn dirinya sebagai pemimpin yang nasionalis religius dan religius nasionalis. Sebagai pemimpin Jakarta, Anies berhasil membangun suasana Jakarta yang modern, humanis  dan ramah terhadap keberagaman.  Kebhinnekaan dan  Kemajemukan sebagai salah satu kultur nasional tetap terjaga dan terpelihara dalam pembangunan kota Jakarta. Anies berhasil menjadi pemimpin yang melayani semua anak bangsa tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama dan antar golongan. Dari karakter kepemimpinan seperti itu, selayaknya Anies disebut pemimpin yang sarat qua intelektual dan qua ideoligis. Menghormati dan menghargai  sejarah serta nilai-nilai perbedaan yang terkandung di dalamnya. 4. Anies mampu menunjukan cara berpikir, sikap mental dan kepribadian yang unggul. Anies menjadi sedikit pemimpin berlatar  keluarga dan dunia pendidikan  yang mampu menampilkan jati diri melalui gagasan, perencanaan dan kebiasaan-kebiasaan berkarya serta memberi sebesar-besarnya dan  seluas-luasnya kemaslahatan pada khalayak khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Park Echo Tebet, JIS dan Formula E menjadi beberapa dari sekian banyak pembuktian prestasi yang menasional dan global. 5. Anies figur pemimpin yang mampu memberi keteladanan mulai dari cara berpikir, berkata dan bertindak, meskipun dalam situasi dan kondisi sulit sekalipun. Sedikit pemimpin yang mampu bekerja dalam tekanan, sikap permusuhan dan kebencian. Anies teruji dapat mengendalikan dirinya, tidak reaksioner, mengelola emosinya dan tetap teguh memancarkan sikap santun dan bersahaja. Tetap tak membalas menyakiti dan selalu memberi senyum  terhadap fitnah keji buzzer dan  hatersnya. Demikian beberapa framing eksistensi atau semacam porto folio sosial politik figur Anies, yang memang relevan dan dibutuhkan partai politik  untuk jangka pendek dan jangka panjang. Bahwasanya para elit partai politik juga tengah gamang berada di antara kesadaran ideal spiritual dan rasional materil. Antara mendahulukan kebutuhan pragmatis kekuasaan dan ekonomi atau kepentingan ideologi yang menjadi tujuan partai politik. Ingin menjadi partai politik penguasa semata,  atau lebih dari itu mampu mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa dan praktisi politik sesudahnya. Akan tetapi bukan tidak mungkin, Anies bisa saja menjadi figur pemimpin yang punya kapasitas membawa solusi bagi masalah rakyat, negara dan bangsa. Begitupun bagi partai politik, Anies dapat mewakili kepentingan ideologis partai politik sekaligus meraih arus besar dukungan rakyat buat partai politik,  menjadi seiring sejalan bagi manfaat pragmatis partai politik itu sendiri. Ada simbiosis mutualis antara partai politik dan Anies. Dengan mengusung Anies, setidaknya partai politik dapat menjangkau kepentingan strategis dan tujuan ideologis. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 8 Juli 2022.