OPINI
Mengapa Indonesia Harus Prabowo-Puan 2024-2029?
“Saya bertemu 4 kali, ini cacatan serius setelah Saya menyimak betapa dalamnya Prabowo memahani Indonesia” Oleh: Natalius Pigai, Aktivis HAM MENGAPA Indonesia butuh Prabowo Subinato dan Puan Maharani menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029? Mengapa bukan calon pemimpin yang lain? Saya akan mengulas secara mendalam berbagai kompleksitas persoalan bangsa ini yang hanya Prabowo Subianto dan Puan Maharani yang bisa menyelesaikannya. Prabowo yang memiliki karakter Negarawan, Politikus dan satu dari sedikit elit Indonesia yang peduli pada bangsanya dan rakyatnya, patriotik, nasionalis, tegas, objektif dan tidak mudah didikte oleh oligarki yang selama ini sudah melingkari kekuasaan, Prabowo juga Kombinasi Jawa dan Luar Jawa yang lebih sebagai figur candra kebangsaan. Demikian pula Puan Maharani yang ditopang oleh Ibu Megawati Sukarnoputri yang memiliki karier politik yang cukup mumpuni, bernaung di bawah Partai Nasionalis yang besar dan berasal dari Jawa dan Sumatera Selatan. Hari ini bangsa Indonesia berada di titik nadir, titik dimana terjadi divergensia nalar para pemimpin dan rakyat, titik jenuh dimana perilaku pongah yang dipertontonkan pemimpin, titik dimana pemimpin hadir menerkam rakyat, titik dimana Pancasila dan simbol-simbol negara bangsa dipandang sebagai artistik simbolisme tanpa perwujudan substansial. Kita berada di ambang kehancuran! Disparitas antar antar wilayah Timur, Tengah dan Barat, disparitas antar kelompok oligarki dan rakyat, kemiskinan makin hari kian parah, penganggur anak negeri lalu lalang menenteng tas, menyebrangi jembatan tanpa sungai di kota-kota metropolis, mengetuk pintu penguasa sembari mengucurkan air keringat. Kematian ibu dan anak yang tinggi, kebodohan nyaris menyelimuti seantero negeri ini. Pemimpin menggadaikan negeri ini kepada pasar, Indonesia sudah tergadai pada komprador, penguasa modal, kekuasan aseng dan asing, pemilik uang IMF dan Bank Dunia. Kita menjadi hamba sahaja melayani penguasa uang di kolong langit, dijamu dengan nilai fantastis, uang hasil keringat rakyat. Padahal 8 tahun yang lalu pemimpin tertinggi negeri berkomitmen menjaga moralitas untuk hidup tidak hedonis, anjurkan makan ubi, singkong, tahu dan tempe di setiap sidang kabinet. Inilah wujud nyata perilaku pongah dan bedebah dipertontonkan kepada rakyatnya sendiri tanpa perasaan malu. Banyak Bangsa iri hati pada bangsa ini, Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, Miangas di Utara sampai Rote Sabu Raijua Ujung Selatan, terdiri gugusan kepulauan sebanyak 17 ribu lebih pulau, di dalamnya berisi sumber daya alam yang melimpa ruah. Namun kita menyaksikan Hutan-hutan kita dicuri, rampas dan rampok (illegal loging), ikan-ikan di laut dan segala biota dicuri (illegal fishing), sumber daya alam di atas bumi dan perut bumi dijarah (illegal mining) komprador asing, aseng dan negara. Hegemoni mereka terlalu tinggi! Rakyat merana di atas kelimpahan. Ibarat tikus mati di lumbung padi. Letak geografis yang strategis, berada di antara 2 benua, Australia dan Asia, diapit 2 Samudera menjadi letak yang strategis sebagai lintasan mobilitas barang, jasa dan orang dari Eropa ke Pasifik dan Asia Timur, juga Australia ke Asia. Apapun alasannya Indonesia berada dalam ancaman. Kita diancam oleh 13 musuh tetangga, merongrong wilayah batas terluar negara dijadikan pusat penyelundupan orang (traficking), dan penyeludupan barang (smugling) dan pusat transaksi narkotika. Konflik kawasan mengancam geopolitik kita secara serius. Soal Laut China Selatan, Konflik psikologis Australia dan Asia, pergolakan bangsa Moro di Philipina, perjuangan bangsa Melayu di Jala, Patani, dan Naratiwat di Thailand Selatan dan berbagai konflik regional yang mengitari kawasan ini. Jangan anggap remeh karena sejarah dunia telah membuktikan, sebuah negara baru lahir juga bubar tidak hanya karena perjuangan semesta tetapi juga momentum. Momentum dimana konflik kawasan mampu membentuk peta dan geopolitik baru. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa tidak mustahil bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan jika tahun 1942 Jepang tidak menyerbu Honolulu, Amerika mengamuk mengusir Jepang melalui lautan Pasifik, Bom Atom Jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Invasi Jepang di Indonesia dan Belanda terusik. Adanya kekosongan kekuasan membuat Laksamana Maeda memerintahkan pembentukan Dokuritsu Jumbi Zusakai, Panitia Persiapan Kemerdekaan. Konflik dan perang antara blok Barat dan Timur telah menghasilkan ratusan negara-negara baru pada abad-19 baik di Afrika, Asia juga di Amerika Latin. Oleh karena itu, jangan main-main. Hari ini juga China penetrasi ke Asia Tenggara, Singapura telah jatuh, kawasan Pasifik mulai diintai, kawasan Afrika, Sri Langka dan Maladewa nyaris jatuh di tangan China artinya Samudera India di ufuk barat Indonesia akan dikendalikan tangan bangsa China yang musuh bebuyutan India. Bukan mustahil konflik di masa depan adalah Lautan Andaman dan Teluk Benggali. Apalagj nilai histori bahwa bangsa Sino Tibetian dan Austro Asiatik di Thailand dan Myanmar memiliki sejarah yang panjang dengan bangsa Mongol di China. Sebagai negara yang memiliki Labilitas integrasi nasional, dibutuhkan Kekuatan pertahanan yang tangguh. Kekuatan pertahanan tidak hanya terdapat pada: 1) Jumlah dan Profesionalisme Militer; 2). Alat Utama Sistem Persenjataann (Alutsista) militer yang memenuhi atau melampui kekuatan minimum (minimum esensial Force); 3). Kekuatan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya yang tangguh; 4. Kekuatan rakyat Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa militer hanya menjadi garda depan integrasi teritorial dengan mengedepankan pertahanan doktrin unitarian NKRI. Militer tidak pernah mempu bersuara atau berbicara menekan pemerintah tentang pentingnya keadilan sosial. Tidak mungkin Negara Kesatuan akan utuh tanpa keadilan sosial, sebaliknya keadilan sosial merekatkan jiwa nasionalisme dan integritas sosial. Selama 73 tahun kita tersandera dan berbicara terus menerus tanpa henti tentang NKRI Harga Mati, spanduk di depan kantor kantor militer, atau reklame, baliho militer terpampang di sudut-sudut jalan NKRI Harga Mati, tetapi mana tulisan Keadilan, kesehatan, pendidikan dan sandang, pangan dan Papan sebagai keadilan sosial Harga mati? Kita tidak ingin militer menjadi panglima dalam perang, juga panglima dalam pembangunan seperti sistem binomial pada masa orde baru, tetapi sejatinya mereka menekan pemerintah akan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita mesti bertanya kepada pemimpin negeri ini. Mengapa Indonesia sampai pada umur 73 tahun masih berdiskursus tentang pentingnya pembangunan karakter kebangsaan (nation and character building). Masih berbicara tentang jati diri bangsa, masih berbicara tentang pemilik negeri dan bukan pemilik negeri, masih berbicara tentang nilai-nilai fundamental, kita masih berbicara tentang adanya labilitas integrasi nasional dan integrasi sosial. Ketidakharmonisan bangsa ini bertahan begitu lama. Salah satu sumber dan pemicu persoalannya adalah tiap pemimpin di negeri ini mengklaim diri sebagai sentrum utama nasionalisme, sumber nasionalisme. Presiden klaim diri pusat nasionalisme berada di singgasana kekuasaan di Istana Negara dan pemegang kekuasaan, sedangkan rakyat dianggap bukan nasionalis. Seakan-akan pusat nasionalisme hanya deliver dari Soekarno ke Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid Gusdur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo saat ini. Sementara rakyat dianggap bukan pemilik nasionalisme. Bahaya akibat nasionalisme personifikasi individu para pemegang kekuasaan menjustifikasi dan bahkan memperlebar segregasi antara pemerintah dan rakyat, di mana rakyat termarjinalkan dari mainstream utama nasionalisme dan bahkan dianggap bukan nasionalis. Akibatnya hari ini kita menyaksikan jutaan rakyat Muslim turun ke jalan-jalan protokol menuntut keadilan, orang-orang pinggiran di Papua, Aceh dan Kalimantan berjuang mempertahankan identitasnya. Itu problem kebangsaan kita saat ini. Karena nasionalisme hanya diklaim milik segelintir elit politik di negeri ini. Perilaku arogan yang dipertontonkan oleh pemimpin negeri ini dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa Bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama. Laksamana Malahayati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Patimura di Ambon, demikian pula ada 7 Pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dll, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama. Para pejuang ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial. Padahal dalam sejarah, Kolonial hanya 1 orang Raja yang diesksekusi Mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Pius Wasi Wangge dieksekusi di Kupang, namun hari ini kesultanan Yogyakarta, dan Kesunanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!. Apa yang perlu kita lakukan hari ini, rakyat Indonesia harus bersatu melawan dan menentang nasionalisme personifikasi individu menjadi nasionalisme tanah air dan bangsa. Karena Nasionalisme menyatakan pertautan perasaan identitas diri dan keanekaragaman sebagai mosaik Indonesia. Nasionalisme juga bersatu karena kita mengalami trauma dan tragedi yang sama pada masa lampau (renan). Atas nama nasionalisme membungkam lawan-lawan politik adalah salah, atas nama nasionalisme menerkam rakyat juga tentu tidak bisa dibenarkan. Ironi di negeri ini, di Jerman Adolf Hitler tampil sebagai pemimpin yang kejam membunuh 6 juta Bangsa Yahudi tidak pernah mengklaim diri pusat nasionalisme, juga bukan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kanselir Jerman. Tetapi Hitler membela bangsanya yaitu bangsa Prusia, berjuang demi harga diri bangsa Prusia. Demikian pula di Rusia dimulai dari restrukturisasi Rusia melalui grasnot, demokratizaya dan preostroyka dan akhirnya juga negara Rusia melepaskan beberapa negara pecahan di Eropa Timur dan 3 negara di Kaukasia Selatan pada 1991 juga untuk mempertahankan bangsa Rusia seperti sekarang ini. Revolusi Perancis adalah juga mempertahankan bangsa Perancis dan juga restorasi Meiji di Jepang terjadi setelah penjajahan Jepang terhadap China dan kemenangan Jepang atas perang Manchuria menghadapi Rusia dan Jerman juga untuk mengangkat harga diri dan nasionalisme bangsa Jepang, bukan untuk mempertahankan citra atau kekuasaan Meiji dan Kawan-Kawan yang menjadi Pemimpin perang. Oleh karena itu, para pemimpin negeri ini yang mengklaim diri pusat nasionalisme harus kita lawan! Kita harus lawan! Kita harus lawan. Lawan tidak mesti perlawanan fisik tetapi perlawanan terhadap cara pandang, pola pikir dan nalar penguasa yang berada di singgasana kekuasaan. Karena akal sehat untuk mengelolah negeri ini sedang tumpul, galau dan bahkan nelangsa di simpang kiri jalan. Bangsa ini sedang mengalami Problematik secara kronis sepanjang lebih dari 50 tahun. Salah satu sumber persoalannya dimulai ketika Negara ini mengambil 3 senyawa yang berbeda dalam satu wadah yaitu; Nasionalisme, Agama dan Komunis. Bagaimana mungkin tiga pilar yang bertentangan bisa dipaksa dalam satu wadah. Nasionalisme yang mengedepankan cinta pada tanah air dan bangsa yang bersifat profan, duniawi dan alam pikir sekuler. Sedangkan Agama berbicara tentang hubungan transendental antara Tuhan dan Manusia, Tuhan dijadikan sebagai sumber moral dan pusat kekuasaan dan Komunisme yang mengajarkan cara pandang materialisme, sebuah dialektika dan logika tentang peniadaan Tuhan. Sangat kontras dengan posisi ideologi politik-ekonomi negara-negara dunia ketiga di mana dunia berada dalam perang dingin antara blok barat dan timur. Bandingkan di Tanzania, pejuang dan proklamator bangsa Sanzibar dan Tanggayika Prof Julius Nyerere membangun doktrin sosialisme utama yaitu kombinasi antara sistem sosialis, kapitalis dam nasionalisme berpusat pada rakyat agrarian. Agama ditempatkan pada posisi Agung (adiluhung). Sebenarnya akhir tahun 1960-an ketiga pilar ini sudah mulai pudar dan pecah serta komunisme dibubarkan, bahkan dilarang dan tidak berada satu wadah, namun 1973 ketika terjadi fusi partai, kekuatan komunisme masuk dalam mesin utama sebuah partai menjadi kekuatan utama sebuah partai yang bertahan sampai sekarang. Sedangkan kelompok agama sebagai penentang komunisme masih memiliki ingatan akan trauma dan tragedi (memoria pasionis), bermusuhan dan menyimpan dendam kesumat atas peristiwa 65. Sepanjang kekuatan komunisme ini masih ada dalam mesin utama politik maka persoalan bangsa ini tidak akan pernah berakhir. Dampaknya hari ini kita menanggung dosa sejarah dan akan terus menjadi noda hitam bangsa dalam sejarah Indonesia. Berbicara tentang komunisme adalah pembicaraan yang paling sensitif di negeri ini. Keberadaan komunisme masih menghantui sebagian besar rakyat Indonesia. Namun hari ini pemerintah menjalin hubungan dengan negara komunis China menunjukkan mengambil politik luar negeri lebih ekstrim melampaui pakem politik bebas dan aktif. Kebijakan politik luar negeri pemerintah yang lebih condong ke China dibandingkan negara-negara Amerika, Eropa bahkan Jepang cenderung mengancam eksistensi negara Republik Indonesia. China adalah super Power bidang ekonomi, politik, militer juga finansial. Pada bulan Oktober 2017, Konggres Nasional Partai Komunis China telah menetapkan 4 hal penting terkait Indonesia yang harus dicermati dan diwaspadai: 1). Menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China sekaligus sebagai Ketua Politbiro Partai Komunis China. Dimana Jinping pernah ke Jakarta merumuskan konsep Jalur Sutera di Jakarta; 2). Partai Komunis China menetapkan perantau (diaspora) China di seluruh dunia ditetapkan sebagai bangsa China dan China mengenal warga negara mengikuti pertalian darah (ius sanguinis); 3). Keputusan Partai Komunis China bahwa kurang lebih 400 juta orang harus keluar dari China, karena ruang dan kapasitas di China tidak cukup mampu menampung pertumbuhan penduduk. Ada korelasi dan signifikan jika adanya penetrasi kapital China, pembukaan kawasan industri, pembangunan kawasan real estate dan reklamasi pesisir partai, penguasaan agro wisata, agro industri dan perkebunan yang luas adalah miliu dimana potensial bagi tempat penampungan penduduk China sesuai target Partai Komunis China. Ini yang harus dicurigai dan diwaspadai bangsa ini. Soal 4 Pilar Bangsa. Saya harus mengulas satu per satu untuk memahami cara pandang Out of The Box tentang 4 pilar ini. Kita mesti kembangkan pemikiran baru yang lebih dinamis dan fleksibel menyertai perkembangan jaman. Pancasila. Ironi memang! Hari ini, Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik, Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung didalil dan jargon “One men, One Vote, dan One Value” di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai dengan distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power). Soal Distribusi Kekuasaan ini amat penting. Problem saat ini yaitu kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini. Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai azas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki Azas yang berbedah bedah, ada yang berazas agama, ada yang berazas budaya, ada yang berazas kepribadian suku dan bangsa di nusantara. Sudah saatnya kita membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan agar termasuk tuntutan akan adanya Piagam Jakarta dan juga Piagam Madina. Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradab, istilah “adil dan beradab” ini adalah kata kerja, bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack), demikian pula persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianime dan etnisistas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamo phobia, Kristen phobia, Papua phobia, Jawa phobia, Bali phobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur di mana-mana. Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem Winers takes all, pemenang ambil semua, tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita Persebaran penduduk yang tidak seimbang, Jawa masih dominan dari suku lain maka bukan tidak mungkin Presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini, ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku. Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini. NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah, NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia Negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat. Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminus. Sudah saatnya kita harus formulasi Ulang tentang NKRI dengan bentuk negara Federasi atau Serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dll. UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini. Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang sebenarnya bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati, demikian pula UUD juga tidak statis, kita memilik pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini. Bhineka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yang dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial, pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhineka, ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku, yaitu Jawa maka sejatinya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhineka. Bhineka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul, pengakuan secara faktual Bahwa kita berbangsa multy etnik dan Multi minoritas adalah sesuatu ada (being). Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinekaan bangsa rapuh bahkan nyaris tuntuh, saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda. Semua riuh rendah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit, ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih Pancasila, UUD 45, NKRI Adam Bhinneka Tinggal Ika menjadi pilar-pilar bangsa yang konstan tanpa membuka ruang menampung nilai-nilai baik yang lahir, timbuh dan berkembang di negeri ini. Termasuk Hukum Syariah, Khilafah dan Khalifah sebagai komplementer untuk melengkapi cara pandang, pemikiran dan tindakan berbangsa dan bernegara. Sampai kapanpun bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dogmatika agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Kita telah mengalami kemunduran tidak hanya dalam pembangunan fisik tetapi yang terpenting adalah pembangunan manusia. Empat Tahun lalu, Kata NAWACITA begitu magnet dan membahana seantero nusantara. Namun, sejak tahun 2016, Jokowi gugup mengucapkan kata “Nawacita” dan tenggelam di hamparan lautan nusantara. Kegagalan terbesar bangsa ini adalah gagal menemukan pemimpin yang Berfikir (ontologis), mampu menerjemahkan (epistemologis) dan juga bisa mendeliver menjadi nyata (aksiologis). Seperti Revolusi Mental yang konon katanya mau merubah 7 sifat buruk “manusia Indonesia” yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis antara lain: munafik (hipokrik), korup, percaya tahayul. Namun Jokowi telah menenggelamkan sendiri karena ada tumpukan nalar orde baru dan mendung besar di atas Istana Negara. Akhirnya, hari ini kita menyaksikan rakyat menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan akibat pemimipin tidak mampu mengelola negeri ini. Nilai tikar rupiah makin melemah ke posisi psikologi mencapai Rp 14.900. Kita sudah memasuki babak baru krisis perekonomian. Apa yang telah saya jelaskan di atas adalah berbagai persoalan fundamental yang harus diselesaikan. Tidak lain dan tidak bukan yaitu melalui Revolusi konstitusional. Revolusi konstitusional memang tidak mudah ditemukan dalam berbagai pustaka. Secara teori hanya kita mengenal revolusi konstitusi. Namum saya tegaskan Revolusi jangan dilihat sebagai sebuah perlawanan fisik, tetapi merujuk kepada ide Bung Karno yaitu Revolusi sebagai pergerakan nasional. Pergerakan untuk perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial). Pada hakikatnya revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan gagalnya pemimpin negara dan melawan tatanan, norma dan keadaan yang buruk untuk melahirkan keadaan yang baru”. Hal ini harus dimulai jika hanya Prabowo Subianto dan Puan Maharani sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029. NB: Tulisan ini merupakan tanggungjawab saya sendiri sebagai Penulis. (*)
Makna Berkemas Jokowi - Iriana
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADALAH Gibran Rakabuming Raka Walikota Solo yang membenarkan bahwa ayah bundanya sudah mulai mengemasi isi kediaman Istananya dan mencicil mengirim menggunakan kurir ke Sumber Banjarsari Solo kampung halamannya. Menurut Gibran hal yang wajar untuk mulai berkemas karena ayahnya akan habis masa jabatannya sebagai Presiden. Padahal masa jabatan itu masih dua setengah tahun lagi. Berkemas dini ini tentu tidak lazim dan dapat menyiratkan makna dan kemungkinan antara lain : Pertama, sesuai alasan yang dikemukakan Gibran bahwa Jokowi akan selesai masa jabatan dan tidak menambah untuk periode ketiga. Jadi normal saja berbenah dua setengah tahun lebih awal. Bisa saja untuk menunjukkan kesederhanaan bahwa sampai akhir periode hanya menyisakan dua stel baju. Putih dan kaos ala Musk he he Kedua, tipu-tipu saja seolah menunjukkan tekad untuk tidak akan memperpanjang jabatan, akan tetapi terhadap gerakan dukungan tiga periode tetap dibiarkan bahkan dibuka peluang. Tuh kan saya sudah tidak mau tiga periode, sudah berkemas sejak jauh-jauh hari, tetapi aspirasi rakyat harus didengar, ini negara demokrasi. Ketiga, memang sudah merasakan berat untuk menyelesaikan jabatan 2,5 tahun lagi itu. Hasil renungan atau tekanan ia harus berhenti di satu tahun ke depan. Kesepakatan oligarki, Presiden dan Wakil Presiden berhenti di tengah jalan. Kemudian menyiapkan lebih dini dan matang figur kepanjangan tangan. Keempat, nasehat dukun. Meski tidak rasional akan tetapi jika diyakini pasti akan dituruti. Perilaku aneh dan tidak lazim untuk berkemas dua setengah tahun sebelum jabatan berakhir menandakan bahwa spiritualitas dapat mengabaikan pandangan dan kritik. Kelima, konstelasi global membuat kehilangan kepercayaan diri. Kepulangan dari Amerika tidak membawa oleh-oleh yang dapat membuat sumringah rakyat Indonesia. Bahkan terlalu banyak olok-olok atas Presiden. Investasi masih dalam tahap janji. Desakan untuk mundur cukup kuat. Jokowi dianggap gagal menunaikan amanat untuk menyelesaikan problema bangsa dan negara. Bahkan dinilai justru menjadi sumber dari masalah itu sendiri. Hampir sulit menyebut prestasi signifikan dari kepemimpinannya. Isu perpanjangan periode berhadapan dengan antitesa berhenti sebelum akhir periode. Membengkak hutang luar negeri sulit dihindari, korupsi disana sini, ancaman krisis ekonomi, rendah daya beli dampak pandemi, serta teriakan serak mengemis investasi. Megawati menjauh dari Jokowi, berantakan partai koalisi, serta oligarki yang berkonfigurasi. Semua memperkuat desakan agar Jokowi segera mengundurkan diri. Berkemas dini dan bersiap untuk kembali adalah tanda-tanda kemenangan dari kekuatan antitesa itu. Jokowi cukup sampai sini. \"Yo omahe Solo, yo mulih neng Solo, no\" . Betul Mas Gibran, lebih cepat lebih baik \"luwih cepet luwih apik\". Bandung, 19 Mei 2022
Kebangkitan Emak-emak
Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan Ada jangkar sejarah kalau emak-emak dalam tahun-tahun terakhir di Indonesia bangkit memelopori gerakan perubahan politik. Ada Cut Nya Din dalam perang Aceh, Christina Martha Tiahahu dalam perang Pattimura, Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro. Dalam revolusi kemerdekaan ada Jo Masdani, Jakarta, Nurjanah, Kebon Siri Jakarta, Emmy Saelan, Sulawesi Selatan. Pegiat-pegiat demo sekarang ada Menuk, Wati, Monita. Dan masih banyak lagi emak-emak yang bergiat untuk perubahan politik. Perubahan diperlukan karena the existing regiem sudah exhausted. Apresiasi Internasional juga rendah terhadap rezim sekarang, itu dapat disimpulkan dari suasana sidang KTT Asean-USA dan di luar sidang baru-baru ini. Di bidang econ keadaan memburuk. Sebenarnya kesalahan tak dapat ditimpakan pada satu orang saja, tapi kepada tim yang dibentuknya yang sangat lemah lagi pula lunglai. Walau pun buntut-buntutnya tanggung jawab yang membentuk tim. Konstitusi Reformasi memungkinkan dibentuknya lembaga non kementerian yang banyak tak kira-kira, dan masing-masing vertikal pula. Anggota DPR di jaman Suharto 360 orang. Tiap 4 anggota dapat 1 staf. Kini anggota DPR 560 orang. Tiap 1 anggota dapat 2 sespri dan 5 tenaga ahli. Berarti jika ambil sample Senayan saja, populasi tenaga ahli 2530 orang. Tapi bikin judul UU tak bisa dipaham. IKN Ibukota Nusantara. Nusantara mengacu kemana, kenegerian atau lokasi? Kalau begini caranya pantas saja perimbangan anggaran rutin dan pembangunan ngejomplang, untung tidak jumpalitan. Saya pernah Wakil Ketua Komisi APBN DPR. Menkeu Ali Wardana bicara 4 mata dengan saya. Katanya, Ridwan, anda hantam pemerintah terus coba pertimbangkan, katanya. Beberapa tahun terakhir perimbangan anggaran pembangunan dan rutin 70 : 30, berubah sedikit saja misalnya rutin 31, anda hantamlah pemerintah. Menkeu yang sekarang ditanya apa saja jawabnya AMAN. Sejak Syawal 1442 H sampai Syawal 1443 H sekarang, kata aman sudah tak diucapkan Bu Menkeu lagi. Perubahan sistem juga keharusan, bukan sekedar gonta-ganti orang. Reformasi cukuplah sejilid saja, tak perlu dua jilid. Sejilid saja orang banyak yang bonyok, apalagi dua jilid. Ini bukan persoalan orang saja, tapi juga sistem. Emak-emak selamat berjuang demi generasi mendatang. Rsaidi. (*)
Kebijakan Singapura atau Pesanan Indonesia?
Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan PENAHANAN Ustad Abdul Shomad (UAS) di Bandara Singapura yang ditindaklanjuti dengan deportasi ini menghebohkan. Masalahnya adalah ketidakjelasan alasan cekal tersebut. UAS sendiri tidak mendapat penjelasan atas sebab apa tidak diperkenankannya ia dan keluarga untuk melakukan kunjungan liburan ke Singapura itu. Perlakuan pihak Imigrasi Singapura di Bandara dinilai tidak pantas. UAS dipisahkan dari rombongan dan dirinya berada di ruang 1 x 2 meter yang menurutnya seperti liang lahat. Pihak Imigrasi Singapura bungkam, justru Dubes Indonesia untuk Singapura yang menjelaskan bahwa UAS mendapat Not To Land Notice. Larangan mendarat karena tidak memenuhi syarat. Syarat apa yang tidak dipenuhi itupun tidak jelas pula. Ini menyangkut hubungan antar negara walau berkaitan dengan seorang warga negara. Setuju sekali dengan pandangan politisi PKS bahwa Pemerintah Indonesia harus memanggil Duta Besar Singapura untuk Indonesia. Masalah penghinaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dubes mesti memberi penjelasan detail. UAS adalah mubaligh, ulama, dan tokoh Islam. Sikap terhadapnya bukan tanpa pengaruh dan dampak. Umat dipastikan mempertanyakan pencekalan tersebut. Dulu waktu UAS tidak dapat masuk ke Timor Leste alasan yang dianggap mengada-adanya adalah teroris, kini disebut tidak memenuhi syarat. Syarat apa? Wajar jika orang menduga jangan-jangan ada pesanan dari Pemerintah Indonesia agar Imigrasi Singapura menolak kunjungan UAS. Pemerintah Indonesia harus membuktikan \'clean and clear\' dalam kasus ini. Pembuktiannya adalah dengan serius memanggil Dubes Singapura untuk Indonesia. Kemudian kepada publik disampaikan keterangan Dubes tersebut. Perbuatan sewenang-wenang termasuk pelanggaran HAM yang dapat dituntut secara hukum. Kuasa hukum UAS dapat menggugat Pemerintah Singapura. Gugatan kepada Pemerintah Singapura dilakukan jika interogasi dan deportasi adalah kebijakan penuh Pemerintah Singapura. Akan tetapi jika perbuatan itu dalam rangka memenuhi pesanan Pemerintah Indonesia, maka baik Dubes RI di Singapura, Menteri Hukum dan HAM, maupun Presiden RI dapat dimintakan pertanggungjawaban. UAS bukan teroris, bukan koruptor, bukan pula penjahat yang berbahaya sehingga interogasi dan deportasi layak diprotes. Secara hukum Internasional insiden seperti ini dapat menimbulkan konflik diplomatik antara Indonesia Singapura. Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia. UAS adalah tokoh kritis, ulama alumni Azhar Mesir dan pejuang Islam. Umat Islam layak untuk membela dan melawan kezaliman yang sengaja atas agama. Bandung, 18 Mei 2022. (*)
Dari Universe ke Metaverse?
Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SELAMA duapuluh tahun terakhir ini, manusia secara diam-siam sedang diusir, jika bukan diungsikan, dari dunia nyata ke dunia semu. Melalui kekuatan-kekuatan ifrity yang bekerja melalui kedipan biner kosong-satu berkecepatan sangat tinggi, terjadi proses dua dimensionalisasi dari realitas tiga dimensi. Akibat proses reduksi dimensi ini, waktu menghilang. Padahal ruang dan waktu itu adalah prasyarat adanya pengalaman, yaitu sebuah penyadaran mengAKU. Hidup sebagai pengalaman spiritual memerlukan ruang 3 dimensi sekaligus waktu. Spiritualitas itu lenyap di metaverse. Begitulah reduksi dimensi ini adalah sebuah proses penzombiean. Setelah gagal mewujudkan janji-janjinya, para global oligarch berusaha menutup-nutupi kegagalannya di universe ini dengan menyodorkan metaverse, sebuah kehidupan palsu. Begitulah dajjal memalsukan Isa al Masih. Di sana neraka tampak seperti surga, sedang surga tampak seperti neraka. Di metaverse itu child free lifestyle dilihat halal, sedangkan berkeluarga dengan banyak anak dianggap kuno, close minded dan primitif. Riba dan bisnis spekulasi berjaya, sedang dinar dan agromaritim terpuruk. Hampir semua tata nilai kehidupan jungkir balik. Setelah kemerdekaan massal manusia dirampas melalui persekolahan paksa dan televisi – di Indonesia terjadi sejak Orde Baru –, manusia dijadikan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia patuh bekerja bagi para majikan lokal yang menjadi kaki tangan oligarki global. Segera sejak proklamasi kemerdekaan sebagai operasi false flag, Republik ini tidak pernah dibiarkan untuk benar-benar merdeka. Pancasila dan UUD ‘45 tidak pernah berhasil diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sejak reformasi 1998, kita hidup dengan konstitusi palsu yaitu UUD 2002. Dengan UUD palsu itu kita dimurtadkan dari Pancasila secara kaffah. Begitulah prinsip keterwakilan dipalsukan oleh prinsip keterpilihan. Prinsip permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan diganti dengan voting. Pemilihan melalui perwakilan diganti dengan pemilihan langsung. Reformasi justru menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maladministrasi publik terjadi di banyak sektor dimana undang-undang dan peraturan turunannya dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elit politik yang bermesraan dengan para taipan oligarch domestik maupun global. Sayang sekali, pemerintah yang semula dibentuk untuk melaksanakan misi negara justru takluk dengan tekanan oligarki ini. Berjuta hektar lahan negara dikuasai segelintir orang, buruh makin ditekan dengan upah murah dan perumahan kumuh, pendunguan massal terjadi terus menerus. Sedangkan rezim justru menjadi kaki tangan asing. Bahkan, dengan pakai dana APBN dan BUMN, rezim ini justru membuka jalan lebar-lebar bagi penjongosan massal. Fenomena IPO WIR Group adalah bukti mutakhir atas perayaan kepalsuan ini saat saham GOTO anjlog dan LUNA Crypto bangkrut. Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi. Para patriot muda bangsa ini perlu bangkit dari kenyamanan mager sambil rebahan di metaverse, harus sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dan bergerak berkeringat mengolah semua potensi-potensi agromaritim universe yang diberkati Allah ini. Gunung Anyar, 18 Mei 2022. (*)
Hikmah Al-Kahf dan Fitnah Kehidupan
Di Surah Yusuf dikisahkan perintah Ya’qub kepada anak-anaknya: “wahai anak-anakku pergilah cari Yusuf dan jangan berputus asa. Sesungguhnya yang berputus asa hanya orang-orang yang Kafir” (Surah 12: 87). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundaiton SURAH Al-Kahf termasuk salah satu surah pilihan yang disunnahkan untuk dibaca/dikaji setiap pekan. Membaca Surah ini merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW pada setiap hari Jum’at. Yaitu sejak terbenam matahari pada Kamis malam hingga terbenam matahari pada Jumat malam. Tentu banyak keutamaan-keutamaan membaca surah Al-Kahf di hari Jumat. Di antaranya menjadi “kaffarah” (penghapus) dosa di antara dua Jum’at dan menjadi cahaya dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain itu juga dengan membacanya seseorang akan terhindar dari fitnah Dajjal akhir zaman. Selain karena keutamaan-keutamaan membacanya, juga karena kandungan Surah Al-Kahf memang berbicara tentang ragam fitnah yang rentang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbagai fitnah inilah yang kerap menjadikan manusia terjerumus ke dalam kehancurannya. Fitnah yang kita maksud adalah ujian atah cobaan kehidupan yang dihadapi setiap manusia dalam hidupnya. Bahwa semua manusia tanpa kecuali akan menghadapi tantangan atau cobaan hidup. Kesuksesan atau kegagalan hidup seorang insan justeru akan diukur pada bagaimana seseorang itu merespon fitnah dalan hidupnya. Dan karenanya, Sesungguhnya esensi permasalahan bukan pada fitnah itu sendiri. Bukan juga bagaimana melarikan diri dari fitnah atau tantangan itu. Karena tak seorang pun dapat melarikan diri darinya. Tapi lebih kepada bagaimana menghadapinya secara proporsional dan bijak sehingga keburukan akibat fitnah itu tidak saja bisa diminimalkan (diperkecil). Sebaliknya, bahkan bagaimana fitnah atau tantangan itu dibalik menjadi sumber keberkahan. Realitanya memang hidup itu identik dengan fitnah (tangangan/cobaan). Itu ditegaskan oleh Al-Quran: “Dialah (Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kalian yang terbaik dalam karya (amala)” (Al-Mulk:1). Kata “ayyukum ahsanu amala” dimaknai sebagai “how to respond to each form of challenge”. Atau bagaimana merespon kepada setiap bentuk fitnah atau tantangan/ujian kehidupan. Hidup adalah ujian. Yang berbeda atau berubah kemudian hanyalah format atau bentuk dari ujian itu. Fitnah atau ujian/tantangan itu sendiri menurut Al-Quran dalam dua wajah: “Khaer atau syarr”. Bisa berwajah nyaman dan cantik. Tapi boleh juga berwajah jahat dan buruk. Namun intinya keduanya adalah fitnah atau tantangan/ujian. Di sìnilah makna “ahsanu amala” tadi. Yaitu bagaimana menyikapi fitnah atau ujian itu pada masing-masing wajahnya. Sebagai contoh saja. Ketika Anda sehat dan kaya. Apakah kesehatan dan kekayaan itu Anda syukuri dengan mempergunakannya di jalan kebaikan dan keridhoan Allah? Atau sebaliknya Anda kufur nikmat sehat dan kaya dengan keangkuhan seraya menggunakannya di jalan yang salah dan mendatangkan kemurkaan Allah? Pilihan yang benar dalam menyikapi sebuah bentuk ujian atau keadaan hidup itulah sikap yang dikategorikan “Ahsanu amala”. Dari pemahaman makna “ahsanu amala” ini yang membangun semangat amal (karya dan inovasi) kehidupan. Ketika seorang Mukmin berada pada posisi “lower hand”, unfortunate atau kurang beruntung maka dia akan menyikapinya dengan sabar (patience). Dan dalam konsep Islam patience is power (sabar itu adalah kekuatan). Bukan kelemahan. Apalagi frustrasi atau putus asa. Seorang Mukmin yang sadar dengan konsep hidup yang tertantang dan sadar pula dengan konsep merespon “ahsanu amala” akan selalu berakhir pada ujung yang optimis. Dan Karenanya hidup seorang Mukmin itu berkarakter optimis. Bukan pessimis. Karena memang pessimisme dalam Islam dilarang, bahkan dianggap “kekufuran”. Di Surah Yusuf dikisahkan perintah Ya’qub kepada anak-anaknya: “wahai anak-anakku pergilah cari Yusuf dan jangan berputus asa. Sesungguhnya yang berputus asa hanya orang-orang yang Kafir” (Surah 12: 87). Sebaliknya dengan tantangan hidup seorang Mukmin akan membangun “azimah”. Yaitu tekad atau keinginan yang tak kenal pamrih yang dibarengi oleh sikap tawakkal. “Fa idza azamta fatawakkal ala Allah” (jika kamu telah bertekad maka bertawakkallah kepada Allah). Lalu apa saja bentuk fitnah-fitnah kehidupan yang disampaikan di Surah Al-Kahfi? (Bersambung). (*)
Demokrasi di Indonesia Dikendalikan Istana
Pembusukan lahan demokrasi, dengan dimarginalkan pemilik sah kedaulatan negara yaitu rakyat. Adalah menjadi tragedi, catatan sejarah hitam kelam dan terburuk dalam demokrasi di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEPERTI diketahui ada 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023. Mereka akan diganti dengan cara penunjukan oleh Presiden dengan eksekutor oleh Menteri Dalam Negeri. Hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada serentak November 2024. Keputusan/kebijakan ini akan merusak dan mencederai proses demokrasi. Legitimasi negara demokratis mutlak bahwa kekuasaan negara adalah di tangan rakyat. Prinsip demokrasi berbunyi: kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat (sovereignty of the people) dan pemerintah dijalankan atas persetujuan yang dipimpin dalam hal ini adalah rakyat (government based upon the consent of the governed). Mulai kapan demokrasi berbasis dan berprinsip pada appointment (penunjukan) oleh para penguasa. Sekalipun terjepit sebagai bawahan Presiden - Mendagri terus bertahan bahwa proses penunjukkan pengganti kepala daerah telah memenuhi syarat dengan orgumentasi andalannya bahwa Pengunduran Pilkada 2,5 tahun dilakukan oleh UU yang dibuat Oleh DPR. Sejak awal sudah diingatkan bahwa hakekat UU tidak boleh melanggar atau mengkudeta kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Pelaksana negara (Eksekutif) mutlak harus taat aturan konstitusi di bawah UUD. Proses demokrasi tidak boleh diperkosa dan dilibas oleh akal-akalan penguasa. Dengan kata lain, semua norma dan aturan sebagai penjabaran dari UUD 45 yang diciptakan oleh pemerintah apapun bentuk dan isinya, tidak boleh mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat. Langkah yang dilakukan pemerintah mengarah pada pemaksakan seluruh kekuasaan kontrol dan penindakan berada di dalam satu tangan, dengan mengamputasi persyaratan dasar dan melanggar UUD adalah sesat dan kesalahan yang fatal. Bahaya lain – para penjabat hasil penunjukkan akan memiliki wewenang yang sama dengan kepala daerah definitif, yang terpilih oleh aspirasi rakyat melalui kontestasi politik di dalam ajang Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sementara rakyat tidak pernah memberikan mandat dan legitimasi kepada mereka. Prediksi akan terjadinya kekacauan dan kegaduhan dikemudian hari akan terjadi, potensinya sangat besar. Pada acara diskusi Kompas XYZ Forum bertajuk “Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah vs Konservatisme Kebijakan”, Selasa (10/05/2022), Prof. Djohermansyah Djohan, salah satu pembicara mengatakan, di dalam tata cara penunjukan penjabat dari ASN, seharusnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), sesuai saran pertimbangan di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika PP belum jadi, sementara waktu Sekda bisa diangkat sebagai pelaksana harian kepala daerah. Materi muatan PP antara lain memastikan pengisian penjabat mengedepankan prinsip demokrasi, transparansi dalam birokrasi, kompetensi dan kondisionalitas daerah. Untuk memastikan terpenuhinya prinsip demokratis, perlu dibentuk panitia seleksi untuk menutup celah politik transaksional. Setiap tahapannya juga diumumkan ke publik serta diawasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Negara harus dikendalikan dan dikelola taat konstitusi – jangan dimainkan dan dijalankan dengan cara-cara dagelan yang konyol seperti ini. Benar-benar parah: belakangan akan muncul masalah lain dari praktik penunjukkan kepala daerah yang tidak melibatkan DPRD yang notabene representasi aspirasi rakyat. Dipastikan akan muncul dampak ikutan yang lebih rumit, akibat praktik anomali demokratisasi anti demokrasi. Penunjukkan penjabat bukanlah sekedar memilih administrator, melainkan penjabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan politik yang mumpuni. Kalau asal tunjuk oleh sang penguasa akan sangat mudah melahirkan perlawanan dan gugatan rakyat. Tidak boleh ada keputusan yang bernama “keputusan inkonstitusional bersyarat”, dengan dalih dan dalil yang mengada ada. Pembusukan lahan demokrasi, dengan dimarginalkan pemilik sah kedaulatan negara yaitu rakyat. Adalah menjadi tragedi, catatan sejarah hitam kelam dan terburuk dalam demokrasi di Indonesia. Kesan pendegradasian lahan demokrasi itu terjadi justru saat lahan demokrasi yang relatif kering menjadi semakin gersang. Rezim ini berpotensi melanggar kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Akan mengakibatkan kegaduhan dan kekacauan tak berkesudahan dikemudian hari dan keadaan negara akan terus meluncur menuju kehancurannya. Kecurigaan rakyat tiba-tiba muncul ke permukaan, terekam dan tertangkap melalui media sosial tercium bau busuk menyengat, ini ada rekayasa dari segelintir Penguasa dan Pengusaha (PengPeng) yang bersenyawa dengan makhluk oligarki, akan menyedot suara rakyat untuk meloloskan dan memenangkan Capres bonekanya pada Pilpres 2024. Rezim versus Oligarki tentu tidak peduli dengan proses demokrasi yang membusuk, bahkan akan dibuat busuk, asal kekuasan tetap dalam kendali dan remotnya untuk menguasai negara ini. (*)
Luka UAS, Luka Kita
Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI USTAZ Abdul Somad (UAS) mengalami peristiwa tidak menyenangkan saat hendak berlibur ke Singapura. Mubaligh kondang tersebut menuturkan, dirinya ditahan masuk Singapura tanpa proses wawancara. Juga tidak ada keterangan resmi dari keimigrasian Singapura kepadanya. Otoritas keimigrasian Singapura kemudian memintanya kembali ke Indonesia. Sebelum itu, UAS dipisahkan dengan istri dan anaknya, dan dimasukkan ke ruangan sempit berukuran 1x2 meter. Akibat perlakuan diskriminatif tersebut, agenda liburan UAS di Singapura pun batal. Terkait peristiwa itu, ada dua informasi yang berkembang. Pertama, bahwa UAS dideportasi oleh pihak imigrasi Singapura. Kedua, UAS tidak dideportasi, tetapi ditolak izin masuknya ke Singapura. Penjelasan ini disampaikan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Apapun bentuk pelarangannya, dampaknya tetap sama yakni UAS tidak dapat masuk ke Singapura dan harus kembali ke tanah air. Adalah hak pihak imigrasi atau pemerintah Singapura melarang warga negara lain masuk ke negaranya. Kita menghormati kedaulatan itu. Namun, imigrasi atau Pemerintah Singapura berkewajiban menjelaskan alasan pelarangan itu. Tidak ujug-ujug dilarang, dicekal, atau dideportasi begitu saja. Apakah UAS teroris? Tentu bukan. Kalau beliau teroris, Detasemen Khusus 88 jelas telah lebih dahulu bertindak. Apakah UAS punya sejarah buruk? Juga tidak. UAS adalah manusia terdidik. Beliau S1 dari Al-Azhar Mesir, S2 Darul Hadith Maroko dan S3 Oum Durman Islamic University, Sudan. Tidak adanya penjelasan imigrasi Singapura melahirkan berbagai pertanyaan, di samping juga memunculkan spekulasi dan opini liar. Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, misalnya, menilai dideportasinya UAS dari Singapura tak terlepas dari kepanikan rezim ini atas pengaruh dakwah UAS di masyarakat. Apa iya ada peran Indonesia dalam peristiwa itu? Kita tidak tahu dan selamanya akan menjadi misteri kalau imigrasi atau pemerintah Singapura tidak memberi keterangan resmi. Ditolak mentah-mentah tanpa penjelasan jelas membuat siapapun terluka. Luka hati UAS adalah luka hati banyak rakyat Indonesia. Kita tahu, UAS adalah ulama dan intelektual muslim yang cukup berpengaruh. Beliau adalah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang terhormat. Maka, sangat tidak pantas UAS diperlakukan seperti itu. Perlakuan Singapura dapat dipastikan membuat sejumlah WNI kecewa. Peristiwa ini adalah pelecehan terhadap martabat seorang tokoh publik yang menjadi panutan banyak orang di Indonesia. Secara tidak langsung juga bisa dimaknai pelecehan bagi Indonesia. Terhadap peristiwa ini, saya menyesalkan dua hal. Pertama, deportasi atau larangan masuk warga negara terhormat dari Indonesia tanpa penjelasan memadai. Kedua, sikap Pemerintah Indonesia yang cenderung tidak tegas. Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar RI di Singapura mengaku telah mengirimkan Nota Diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura. Namun, dalam situasi sekarang, langkah itu agaknya belum cukup. Indonesia perlu bersikap lebih tegas. Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia. Marwah bangsa di mata dunia internasional harus dijaga dan dikukuhkan dengan baik. Sebab, saat ini Indonesia terasa mulai dipinggirkan. Kesan ini tertangkap juga saat Presiden Joko Widodo menghadiri KTT Amerika Serikat-ASEAN belum lama ini. Dalam agenda acara tersebut, negara-negara Asean didaulat berbicara di depan audiens. Tetapi presiden Indonesia tidak. Berbagai latar belakang politis berpotensi jadi pencetus. Tapi, tetap saja kita harus merefleksi diri. Mengapa kita mulai tidak dianggap? (*)
Menyedihkan Penjelasan Dubes RI untuk Singapura soal UAS
Oleh : Tjahja Gunawan - Penulis Wartawan Senior FNN SUNGGUH menyedihkan penjelasan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo mengenai kasus deportasi yang dialami Ustadz Abdul Somad (UAS). Suryopratomo membantah kalau UAS dideportasi. Kata dia, UAS itu tidak mendapat izin masuk Singapura sehingga diminta kembali. \"Beliau tidak dideportasi tetapi tidak mendapatkan izin masuk ke Singapura sehingga diminta untuk kembali,” kata Suryopratomo lewat pesan teks, Selasa, 17 Mei 2022, sebagaimana dikutip portal berita Tempo. Sementara itu UAS membenarkan bahwa dirinya dideportasi bersama dengan keluarga dan sahabatnya. \"Info bahwa saya dideportasi dari imigrasi Singapura itu sahih, betul, bukan hoax,” kata UAS dalam wawancara yang ditayangkan Channel YouTube ‘Hai Guys Official’, Selasa 17 Mei 2022. \"Saya dimasukan ke dalam ruangan lebarnya satu meter, panjang dua meter, pas liang lahat. Satu jam saya di ruang kecil. Persis seperti luas kuburan,” papar UAS. UAS mengakui sempat ditahan di ruang mirip tahanan imigrasi sejama satu jam, kemudian di ruang pemeriksaan imigrasi selama tiga jam. UAS dan rombongan akhirnya dideportasi Singapura pada Senin sore (16/5/2022), sekitar pukul 14.30 waktu setempat. Arti deportasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ. Nah, penjelasan UAS diatas sudah sesuai dengan kategori deportasi sebagaimana disebutkan dalam KBBI. Lalu kenapa Dubes RI untuk Singapura sampai harus membantah deportasi yang dialami UAS. Kalau memang UAS yang notabene Warga Negara Indonesia (WNI) ini tidak boleh masuk Singapura, sebagaimana disebutkan Suryopratomo, seharusnya pihak imigrasi Singapura bisa menjelaskan secara langsung kepada UAS begitu dia tiba di Singapura. Yang terjadi, UAS justru dimasukkan ke dalam ruangan ukuran 2x1 meter. Dubes Ngeles Dari penjelasan UAS itu, sudah sangat terang benderang bahwa ustaz kondang ini dideportasi. Lalu kenapa Dubes RI untuk Singapura masih saja ngeles dan mengelak dari peristiwa penghinaan yang dialami WNI yang juga tokoh agama ini? UAS bukan hanya dikenal di dalam negeri, tetapi dia juga dikenal di luar negeri dan sering diundang berceramah ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Selama ini dia aman-aman saja keluar masuk negara tersebut. Ini Singapura negara kecil yang selama ini banyak dikunjungi wisatawan Indonesia, justru malah telah melakukan penghinaan terhadap tokoh agama Islam Indonesia. Seharusnya pemerintah Singapura mengumumkan saja secara terbuka alasan dibalik pendeportasian UAS agar rakyat Indonesia khususnya umat Islam bisa paham. Kemudian kami rakyat di Indonesia juga bisa mengambil sikap yang jelas terhadap sikap dan penjelasan pemerintah Singapura tersebut. Hal ini penting bukan hanya terkait kasus UAS tetapi juga menyangkut kedaulatan rakyat Indonesia. Kalau pemerintah Indonesia khususnya Dubes di Singapura diam saja atau lepas tangan menghadapi kasus seperti ini, akan menjadi preseden buruk bagi WNI yang bepergian ke luar negeri. Mereka bisa tiba-tiba dideportasi dari negara lain tanpa alasan yang jelas seperti yang dialami UAS di Singapura. Jika membaca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, pasal 4 menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok Dubes adakah mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara, dan Pemerintah RI serta melindungi WNI. Alih-alih melindungi atau membantu WNI yang sedang mengalami masalah seperti UAS, Dubes RI untuk Singapura malah justru meminta pihak lain (UAS) agar meminta penjelasan langsung ke Kedubes Singapura di Jakarta. Seharusnya seorang Dubes itu bisa menjalankan tugas pokoknya dengan benar. Dalam kasus UAS, misalnya, Dubes Suryopratomo seharusnya bisa menghubungi Kementerian Luar Negeri Singapura untuk meminta penjelasan mengapa UAS dilarang masuk atau dideportasi dari Singapura. Dengan begitu, Dubes yang bersangkutan juga jadi tahu dan mengerti alasan dan latar belakangnya. Selain itu rakyat Indonesia terutama umat Islam pun bisa jadi paham duduk perkara yang sebenarnya. Bukan malah rakyat Indonesia yang harus meminta penjelasan dari pemerintah Singapura. Kalau begitu, untuk apa ada perwakilan diplomatik (Dubes) di Singapura. Dalam keterangan kepada portal berita Tempo, Suryopratomo tak menjelaskan alasan UAS tak mendapatkan izin dari Singapura. Dia mengatakan yang bisa menjelaskan alasan tersebut adalah pemerintah Singapura. Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo seharusnya paham tugas pokoknya. Apalagi dia latar belakangnya seorang wartawan senior. Jika seorang perwakilan diplomatik tidak bisa melindungi WNI di luar negeri, jangan disalahkan kalau ada yang menduga kebijakan deportasi terhadap UAS dan beberapa Ustadz lainnya adalah karena adanya \"pesanan dari Jakarta\" . **
Penjajah Itu Bernama Oligarki
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PILIHAN kita adalah demokrasi yang diformulasi dengan \"Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan\". Kedaulatan di tangan rakyat yang melalui proses politik memilih wakil-wakil rakyat. Lawan dari demokrasi adalah otokrasi atau oligarki. Keduanya menyebabkan rakyat teralienasi atau terjajah. Oligarki adalah kolonialisme atau sistem penjajahan baru. Oligarki artinya kekuasaan ada pada kelompok tertentu. Kecil tetapi menentukan. Kelompok itu bisa kumpulan dari ketua partai koalisi yang berkuasa. Bisa juga para pengusaha yang mengatur pengelolaan negara dengan kekuatan modal atau uang. Mereka menjadi bandar untuk operasi politik, hukum, ekonomi dan juga perusakan agama. Kepala Pemerintahan berada di bawah kendalinya. Demokrasi Indonesia kini berada dalam posisi menyimpang. Apabila formalnya masih ditempelkan label demokrasi, maka itu adalah Demokrasi Terpimpin. Jika di masa Orde Lama kekuasaan tersentralisasi pada seorang Presiden, maka kini keterpimpinan itu berada pada sekelompok orang berkuasa yang bernama Oligarki. Ciri penjajah sekurangnya ada lima, yaitu : Pertama, menguasai elemen pemaksa seperti tentara dan polisi, mengendalikan semau dan sekehendak pengambil kebijakan. Aparat yang tegak lurus dengan Pemerintah. Kedua, hukum menjadi alat represi untuk membungkam rakyat. Keadilan diinterpretasi sekedar melindungi kelompok penguasa atau establishment. Hukum menjadi kepanjangan tangan politik. Ketiga, eksploitasi habis-habisan sumber daya alam milik bangsa. Tanah, air, hutan dan tambang dikuasai oleh segelintir penguasa politik yang berkolusi dengan pebisnis. Rakyat diposisikan sebagai budak pekerja yang tetap miskin. Keempat, harga barang pokok dibuat melambung tinggi sementara pajak-pajak diperberat, hal ini dimaksudkan agar tetap ada ketidak berdayaan permanen dan ketergantungan pada belas kasih sang penjajah. Kelima, pejuang kritis diberi label pemberontak, ekstremis, radikalis, atau penjahat pengganggu stabilitas. Pejuang kemerdekaan harus ditempatkan sebagai penghianat dan dianggap pembuat teror bagi masyarakat. Penjajah menciptakan musuh palsu. Negara oligarki adalah negara kolonial. Jika ada seruan untuk melawan dan menghancurkan oligarki maka itu tiada lain adalah seruan untuk memerdekakan negeri. Merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Kolaborasi penguasa pribumi dengan pengusaha yang berwarna kulit dan bermata berbeda dengan pribumi. Musuh demokrasi. Uang dan modal mampu mengendalikan senjata dan birokrasi. Rakyat terus dikencingi oleh penjajah oligarki. Tukang peras itu selalu berpura-pura lugu atau bermanis muka agar dapat terus menipu dan menguasai. Gelorakan kembali pekik perjuangan : Hancurkan oligarki, mereka adalah penjajah negeri..Merdeka atau Mati. (*)