Sulitnya Melepas Oligarki
Untuk memutus rantai oligarki, tentunya harus ada situasi politik dan sosial yang “tidak normal”, sehingga semua rencana parpol maupun oligarki akan bubar dan berantakan dengan sendirinya.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network
SELAMA ambang batas alias presidential threshold (PT) belum Nol persen atau masih tetap 20%, jangan harap bisa lepas dari cengkeraman Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik.
Siapapun Capres dan Cawapres yang bakal diajukan oleh partai politik, jangan harap mereka “bebas” dari oligarki. Saya yakin, mereka tak akan pernah bisa lepas dari oligarki.
Sekarang ini oligarki masih diam, karena masih membaca situasi politik yang terus berkembang. Hingga hari ini, belum ada satupun parpol yang deklarasi nama Capres-Cawapres yang bakal diusung.
Apalagi, jika patokan untuk pengajuan Capres-Cawapres ini masih berpatokan pada hasil Pimilu 2019. Hanya PDIP yang punya peluang untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres sendiri.
Meski nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dinyatakan lolos seleksi Capres di Partai NasDem, namun hingga kini NasDem tak juga deklarasi.
Bukan hanya NasDem. PDIP sendiri hingga kini juga tidak berani menyatakan Puan Maharani, putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua DPR RI, sebagai Capres atau Cawapres dari PDIP. Mengapa?
Boleh jadi, ini juga karena menyangkut logistik untuk membiayai Capres dan Cawapres yang mereka ajukan. Faktanya, untuk membiayai pasangan Capres-Cawapres itu butuh biaya yang tidak sedikit.
Hanya oligarki yang mampu dan punya banyak dana untuk biaya itu semua. Uraian berikut ini salah satu contoh perhitungannya, jika situasi dan rencana Pilpres 2024 tetap berjalan normal sesuai rencana.
Koorinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, dalam tulisannya di FNN menyebut, ada partai menawarkan dagangannya (boleh dipakai/dibeli Capres dengan harga Rp 1 triliun) belum termasuk uang operasional.
Bagi seorang Capres akan langsung melenguh pasrah - selain tingak-tinguk harus mengajukan proposal minta bantuan kepada Bandit Politik Capres. Kalau dipenuhi harus mau sebagai boneka dan budaknya.
Bagi para bandar/bandit politik uang 1 ( satu ) triliun rupiah ini jelas sangat kecil. Jangankan kekuatan gabungan 9 Naga. Satu naga seperti BT (Benny Tjokrosaputra) dari hasil rampokannya di Asuransi Jiwasraya mampu untuk membeli 9 partai sekaligus @ 1 triliun rupiah = 9 triliun rupiah.
Menurut aktivis ’98, Bung Hatta Taliwang, kalau 9 naga atau para Taipan bisa membeli 9 parpol masing-masing Rp 1 triliun, total Rp 9 triliun, plus membeli suara masing-masing anggota DPR sebanyak 575 orang untuk mengegolkan UU, masing-masing anggota DPR RI minimal Rp 10 miliar (dibeli suaranya oleh Taipan) cuma Rp 5,75 triliun. Dibulatkan Rp 6 triliun.
Total para Taipan akan menguasai DPR RI cuma Rp 15 triliun. Ditambah lagi membeli dengan membiayai dana pencapresan sebesar Rp 20 triliun.
Indonesia sudah dikangkangi/dibeli/dikuasai para taipan cuma bermodalkan Rp 35 triliun, jika itu patungan oleh para taipan lebih ringan lagi beban para taipan. Jika KPU, MK juga dikuasai/dibeli para taipan, total nggak sampai Rp 40 triliun Indonesia habis dikuasai para cukong/China atau China Indonesia.
Patungan para taipan bisa membeli Indonesia hanya dengan harga maksimal Rp 40 triliun. Masih kalah dengan dana yang dirampok oleh BT (satu orang China) sebesar Rp 74,58 triliun. Itu fakta berbasis data, bukan opini yang dibangun berbau hoak.
Begitu murahkah Indonesia yang kemerdekaannya telah pula mengorbankan darah, nyawa, dan harta para pejuang kemerdekaan. Sangat pilu dan begitu memilukan sekali. Akibat sekali salah pilih penguasa, habislah kita seluruh bangsa.
Perlu dicatat, Benny Tjokrosaputro adalah salah satu pelaku utama korupsi dana investasi Jiwasraya. Bersama koleganya, Heru Hidayat, dia telah divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Salah satu jejak digital yang masih terendus adalah bahwa saat Joko Widodo telah menjabat Presiden RI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ketika itu sudah menjabat Gubernur DKI Jakarta, pernah keceplosan siapa yang membiayai Jokowi pada Pilpres 2014.
Sayangnya, tulisan berjudul “Ahok: Tanpa Pengembang Jokowi Tidak Bisa Jadi Presiden” di https://nasional.sindonews.com sudah tidak muncul lagi karena sudah “dihilangkan” sehingga tidak ditemukan jejak digitalnya.
Hanya tertinggal di searching google seperti ini: Jun 23, 2016 – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membuat pernyataan mengejutkan terkait proses terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI.
Tapi, tulisan serupa ternyata masih ada yang bisa dibuka terkait pernyataan Ahok tersebut. Jejak digital ini bisa ditemukan di Republika.co.id (Rabu 29 Jun 2016 14:11 WIB).
Melansir Republika.co.id, Ahok pernah membuat pernyataan kontroversial terkait Presiden Jokowi. Ucapan tersebut baru terungkap lewat sebuah video yang baru-baru ini hangat dibicarakan.
Video tersebut diunggah oleh Pemprov DKI pada 26 Mei 2015, menampilkan rapat antara Ahok dengan Jakarta Properino tentang alat keruk lumpur waduk pluit. Video tersebut berdurasi 51.02 menit.
Dalam video itu, Ahok meyeletuk, Jokowi tak bisa jadi Presiden kalau hanya mengandalkan dana dari APBD. Sebab selama ini sejumlah pembangunan di DKI menurutnya berasal dari dana pengembang.
“Presiden Jokowi enggak bisa jadi Presiden kalau hanya dari APBD, selama ini kalau lihat selama ini semua yang terbangun, rumah susun, jalan inspeksi, waduk semua, itu semua full pengembang,” katanya, dikutip dari video itu.
Setelah ramai di media, barulah Ahok mengklarifikasi ucapannya tersebut. Ahok mengklarifikasi isu yang beredar perihal pernyataannya yang menyebut Jokowi tak bisa jadi Presiden tanpa bantuan pengembang.
Ahok mengatakan, waktu kepemimpinan Jokowi ketika menjadi Gubernur terbilang singkat. Namun untuk menjalankan program peningkatan hunian rusun dibutuhkan dana besar. Sehingga Ahok menyebut Jokowi menggunakan dana kewajiban pengembang.
“Enggak usah ditanya lah, itu enggak usah di-spin (diputarbalikkan), saya bilang pak Jokowi kan cuma dua tahun (Gubernur) waktunya begitu pendek. Kalau waktu dia begitu pendek, kita bisa pindahin orang enggak ke rumah susun? Enggak bisa kan? Yang bangun rumah susun siapa? Kewajiban pengembang,” katanya di Balai Kota, Rabu (29/6/2016).
Pernyataan Ahok saat itu setidaknya sudah membuka tabir dan menjawab, bahwa seorang Capres itu tidak mungkin bisa lepas dari oligarki. Karena dia yang punya banyak uang. Termasuk parpol yang mengusungnya.
Bahkan, politisi senior PDIP Sabam Sirait pernah membuat pernyataan yang kontroversial juga. Sabam Sirait menyebut ada kucuran dana Rp 10 triliun dari Jusuf Kalla untuk jadi Cawapres Jokowi.
Padahal, seperti kita tahu, jumlah kekayaan Jusuf Kalla seperti diumumkan KPK pada 19 Mei 2014 hanya sebesar Rp 315 miliar. Jika kekayaannya hanya Rp 315 miliar, lantas siapa yang menyokong JK dengan dana Rp 10 triliun itu?
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Harta Rp 315 Miliar, Jusuf Kalla Mahar ke Jokowi Rp 10 Triliun”. (21 Mei 2014 01:52 Diperbarui: 23 Juni 2015 22:18).
Menurut Sabam, selayaknya PDIP tidak menjadikan uang sebagai tolak ukur dalam memilih cawapres.
“Saya mendengar JK menyiapkan Rp 10 triliun untuk membiayai pilpres jika dia jadi cawapres, saya mengingatkan PDIP agar tidak tergiur dengan iming-iming uang, karena PDIP berkomitmen membangun politik tanpa money politic dan saya mengingatkan kembali bahwa PDI Perjuangan didirikan untuk tidak diperjual belikan,” kata Sabam.
Menurut Sabam, menentukan koalisi dan cawapres tidak karena uang yang ditawarkan, tetapi lebih mempertimbangkan kepentingan nasib 260 juta rakyat Indonesia, 17 ribu pulau dan masa depan bangsa.
Sayangnya sumber berita yang mengutip Pendiri PDIP Sabam Sirait soal Jusuf Kalla tawarkan Rp 10 triliun sudah tidak bisa dibuka dan dibaca lagi jejaknya. http://www.aktual.co/politik/145901usung-jk-cawapres-jokowi-sabam-sirait-ancam-mundur-dari-pdip.
Sebagai pendiri PDIP, tentu saja menyebut angka tanpa adanya fakta akan mempertaruhkan integritas dirinya. Apalagi ia salah satu pendiri PDIP.
“Saya meyakini, tawaran dana Rp 10 triliun dari Jusuf Kalla kepada PDIP agar jadi cawapres Jokowi seperti diungkap Sabam Sirait benar adanya,” ungkap penulis di Kompasiana.com itu.
Jika Pilpres 2014 saja sudah terjadi “jual-beli” tiket Capres-Cawapres, bukan tidak mungkin pada Pilpres 2024 nanti juga bakal terjadi hal serupa. Berapa nilai tiketnya, yang jelas, pasti sudah lebih dari itu.
Apakah nama-nama yang disebut-sebut bakal maju Capres-Cawapres tersebut punya dana puluhan triliun rupiah? Rasanya tidak mungkin ada yang punya. Maka di sinilah oligarki hadir untuk mengulurkan tangan.
Makanya, sejak awal sudah saya katakan, sulit rasanya untuk melepas tangan oligarki. Pertanyaannya, apakah kita bisa melepaskan diri dari oligarki? Tentu sangat bisa, jika kita mau, meski MK sudah menolak gugatan PT 20% itu.
Untuk memutus rantai oligarki, tentunya harus ada situasi politik dan sosial yang “tidak normal”, sehingga semua rencana parpol maupun oligarki akan bubar dan berantakan dengan sendirinya.
Itulah yang terjadi ketika peralihan dari kekuasaan Presiden Soekarno kepada Pejabat Presiden Soeharto. Begitu pula saat peralihan dari Presiden Soeharto ke Wapres BJ Habibie. Termasuk ketika Presiden Abdurrahman Wahid harus rela menyerahkan kursinya kepada Wapres Megawati Soekarnoputri.
Sayangnya, kekuatan oligarki mulai masuk pada Pilpres 2014. Taipan Sofyan Wanandi pun dijadikan penasehat Wapres Jusuf Kalla. (*)