OPINI

Anwar Usman dan MK yang Layak Dibubarkan

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MAHKAMAH Konstitusi (MK) itu wadahnya jelas ada karena aturan Konstitusi, tetapi personalnya jika menggunakan bahasa halus, patut untuk ditinjau kembali atau \'to the point\' nya dibubarkan. Sulit untuk dipercaya harus ganti dengan komposisi baru.  Sejak mengadili kasus Pilpres 2019 pekerjaan MK dinilai tidak memuaskan. Statemen Anwar Usman Ketua MK yang hanya takut kepada Allah patut dibaca takut pada kekuasaan. Presiden sebagai Capres saat itu tidak berhenti dari jabatan. Kekuasaan tetap dikendalikan. Putusan MK soal dana pandemi atas Judicial Review pasal 27 UU No 2 tahun 2020 bukan membatalkan tetapi memberi ruang waktu hingga akhir tahun ke 2 sejak diundangkan. Jika bertentangan dengan UUD 1945 ya semestinya dibatalkan. Frasa \"itikad baik sesuai peraturan perundang-undangan\" itu bias atau sangat interpretatif.  Demikian juga dengan putusan soal omnibus law UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK memberi waktu perbaikan 2 tahun atas aturan yang dinyatakan inkonstitusional. Lucu juga aturan inkonstitusional kok nunggu 2 tahun untuk batalnya. Disuruh perbaikan lagi.  MK sebenarnya melihat aturan-aturan itu salah dan bertentangan dengan Konstitusi. Tetapi ada nuansa \"kebaikan hati\" untuk menolong Pemerintah. Disinilah publik menilai bahwa MK itu bermain.  Sukses MK menjadi mitra kekuasaan menyebabkan ada balas \"kebaikan hati\" Pemerintah bersama DPR yang menetapkan UU No 7 tahun 2020 yang memperpanjang masa jabatan Hakim MK dari 5 tahun hingga 15 tahun. Lalu usia pensiun pun diubah menjadi 70 tahun. Adakah untuk kepentingan Pemilu khususnya Pilpres 2024  ? Terlalu.  MK itu bagian dari rezim yang dibuktikan dengan penolakan gugatan JR tentang Presidential Threshold 20 %. Bukan satu dua gugatan yang ditolak, belasan gugatan tidak dikabulkan. Dan hingga kini gugatan demi gugatan masih terus dilakukan meski MK tetap ngotot untuk memproteksi. PT 20 % adalah politik licik rezim yang nyata-nyata anti demokrasi.  UU kepentingan rezim sulit digoyahkan. UU IKN pun kini digugat, namun sudah dapat diduga, MK yang diketuai Anwar Usman ini akan menolak gugatan pula. Dengan berbagai alasan tentunya.  Publik khawatir akan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan atas MK apalagi kini Ketua MK Anwar Usman telah resmi menjadi adik ipar dari Presiden. Anwar berkilah akan tetap profesional, tapi siapa percaya ? Dulu saat teriak hanya takut pada Allah saja, aroma kecurangan juga sangat terasa. Padahal waktu itu Anwar membawa QS An Nisa dan Al Maidah, segala.  Soal kawin dengan Idayanti adik Jokowi, publik  harus dibuat percaya bahwa awalnya ia, Anwar Usman, katanya tidak tahu bahwa istrinya itu adalah adik Jokowi. 6 bulan lho dari kenal hingga melamar. Ada ada saja. Tapi sudahlah, hanya setelah tahu, secara etika Anwar Usman semestinya mundur dari jabatan Hakim MK. Dipastikan ada konflik kepentingan disana.  Ketua DPD LaNyalla Mattalitti berteriak keras jika MK dimasuki kepentingan ekonomi dalam urusan PT 20 % maka MK layak dibubarkan ! Nah, memang MK layak dibubarkan, rakyat semakin sulit untuk mempercayai independensinya. Apalagi jika harus \"mengadili\" Presiden berdasar UUD 1945 Pasal 7A.  Jangan-jangan rakyat akan berseloroh untuk memelesetkan Hakim MK dari Hakim Mahkamah Konstitusi manjadi Hakim Memelintir Konstitusi.  Demi kepentingan rezim hingga habis masa jabatan 5 tahun eh 15 tahun dan pensiun 70 tahun.  Luar biasa kejahatan politik melalui hukum di negeri wakanda !  Bandung, 7 Juni 2022

Oligarki Merampas Kedaulatan Rakyat

Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu, dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, kampanye, dan biaya dalam proses pemenangan Pilpres lainnya. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI SEMUANYA bersifat responsif. Tiada gagasan cemerlang, tiada solusi matang. Begitulah negara ini dikelola. Permasalahan demi permalahan yang muncul ditangani secara tambal sulam. Yang penting terlihat bekerja, agar semboyan “kerja, kerja, kerja” bisa tetap mengudara. Dan, negara semakin rapuh. Rakyat terbelah, kesenjangan menganga lebar. Ini menjadi lahan subur bagi mekarnya oligarki. Betul kata Jefrey A. Winters, ketidaksetaraan material yang ekstrem akan menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Kita menghadapi ketidaksetaraan ekstrem itu. Satu persen orang kaya di Indonesia telah menguasai 50 persen aset nasional. Sementara itu, Lembaga Oxfam menyatakan, total kekayaan empat milyader terkaya di Indonesia setara dengan total kekayaan 100 juta penduduk miskin Indonesia, atau 40 persen penduduk miskin. Di sisi lain, pemerintah sering membanggakan pembangunan infrastruktur. Padahal duit untuk pembangunan sebagian berasal dari hutang, yang bakal menyandera generasi bangsa hingga lamanya berpuluh-puluh tahun ke depan. Pemerintah sering membanggakan petumbuhan ekonomi. Padahal riset bank dunia mengatakan pertumbuhan tersebut memberi manfaat hanya kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Semakin jomplang distribusi kekayaan material, semakin besar pengaruh orang tajir dalam motif dan tujuan politiknya. Dan karenanya, semakin ulet pula mereka mencari koneksi di kekuasaan. Kelompok yang terkoneksi itu sering disebut oligarki, yakni kelompok orang kaya yang memiliki pengaruh terhadap kekuasaan. Di media sosial, netizen seringkali menyebut secara sinis Joko Widodo sebagai boneka. Sepertinya sebutan ini dikaitkan dengan kecurigaan adanya peran oligarki dalam pemerintahannya. Bahkan, perjalanan politik Jokowi dari Solo hingga ke Istana Negara, dicurigai lekat dengan peran oligarki. Oleh Winters, misalnya, kesuksesan Jokowi bertarung di DKI dulu itu disebut-sebut dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilih. Meski Jokowi memang telah mendapat dukungan dari akar rumput, tapi Winters menilai pertarungannya dalam Pilkada DKI saat itu bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput. Jokowi adalah produk oligarki, begitu kata Direktur Buffet Institute of Global Affairs dalam riset berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013). Boleh jadi, hubungan mesra dengan oligarki tersebut tidak terputus hingga pemilihan presiden yang telah dua periode menempatkan Jokowi di atas singgasana RI 1. Itu pula sebabnya, tidak sedikit yang menduga isu penundaan pemilu, atau perpanjangan masa jabatan presiden, atau presiden tiga periode lagi-lagi dicurigai sebagai keinginan oligarki. Oligarki menemukan habitat paling nyaman berkembang biak di era Jokowi. Selama 10 tahun tak cukup, maka disoronglah isu itu. Politisi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu salah seorang yang berpendapat demikian. Lebih pedas lagi, Ekonom Senior Rizal Ramli mengatakan bahwa masa keemasan oligarki terjadi di era Jokowi. Oligarki telah menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka bisa mengatur undang-undang dan kebijakan. Langkah Nyata DPD RI Pernyataan yang sama juga diungkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI LaNyalla Mattalitti. Menurutya, oligarki telah menyandera kekuasaan sehingga menjadi musuh bersama kita semua. Oligarki dalam pandangan LaNyalla semakin rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaannya di luar negeri. Oligarki ekonomi telah menyatu dengan oligarki politik. Memberikan ruang kepada mereka tumbuh dan bersimbiosis dengan kekuasaan, sama saja dengan menghancurkan bangsa ini. Semakin oligarki berkembang, semakin pendek umur Indonesia. Sayangnya, oligarki bahkan telah mengakar ke sendi utama pelaksanaan kedaulatan rakyat, yakni Pemilihan Umum. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memaksa Partai Politik untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Kita sudah mengenalnya dengan presidential threshold, ambang batas bagi partai politik yang mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Secara kelembagaan, DPD RI telah mengajukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Bagi DPD RI, Pasal tentang ambang batas pencalonan Presiden ini adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini. Situasi tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres. Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu, dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, kampanye, dan biaya dalam proses pemenangan Pilpres lainnya. Tidak heran, pasal 222 UU Pemilu telah berkali-kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK bergeming. Terakhir, penolakan MK karena pemohon tidak memiliki legal standing. Menurut MK, yang berhak mengajukan gugatan tersebut adalah partai politik, sebagai pihak yang disebut-sebut dalam pasal 222. Kini, DPD RI telah mengajukan gugatan judicial review atas pasal yang sama. Seharusnya tidak ada alasan lagi bagi MK untuk menolak. Ketua DPD RI secara terbuka menyatakan, bila MK nanti menolak gugatan DPD RI, maka MK telah dengan sengaja memberi ruang kepada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini. Dan, sepantasnyalah kalau MK dibubarkan saja. Kita wajib mengawal perjalanan tuntutan DPD dan PBB di MK. Konsolidasi elemen Civil Society mutlak diperlukan guna mengakhiri rezim Oligarki Ekonomi sekaligus memastikan kedaulatan tetap di tangan rakyat. (*) 

Skandal Migor Penyengsara Rakyat (1): Usung Hak Angket CPO/Migor DPR Segera!

Oleh Marwan Batubara - IRESS GUNA mengamankan pasokan minyak goreng (migor) Presiden Jokowi menerbitkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) berikut produk turunan (26/4/2022). Setelah empat minggu, larangan ekspor dicabut (23/5/202). Ternyata larangan ekspor tidak banyak berpengaruh pada ketersediaan dan harga migor: harga tetap tinggi dan antrian sebagian rakyat masih terjadi. Tampaknya larangan ekspor CPO/turunannya bukan ditujukan untuk mencari solusi atas permasalahan migor. Tetapi diyakini lebih untuk mengalihkan isu dan memulihkan citra setelah penangkapan lima tersangka mafia migor bagian dari mesin oligarki. Empat tersangka koruptor yang ditangkap adalah Dirjen Perdagangan Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau, Stanley MA, General Manager Musim Mas, Togar Sitanggang, dan Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Parlindungan Tumanggor (19/4/2022). Terduga koruptor kelima adalah Lin Che Wei (17/5/2022).   Para terduga koruptor diduga merupakan bagian dari fundraiser, penggalang dana, guna menyukseskan agenda utama oligarki: Jokowi Tiga Periode. Jika rencana utama ini gagal, target berikutya memenangkan Capres-Cawapres pilihan oligarki. Tampaknya “saat ini” PDIP tidak mendukung kedua rencana oligarki tersebut. Harapan rakyat, semoga PDIP bersikap konsisten dan gank fundraiser dapat ditangkap hingga akarnya. Diyakini, salah satu sumber utama fundraising “proyek oligarki” di atas adalah rekayasa dan manipulasi kebijakan pajak, pungutan ekspor, subsidi, tata-niaga dan lain-lain seputar CPO dan migor. Dengan naiknya harga CPO dunia, maka diperoleh rente sangat besar. Diperkirakan keuntungan tambahan pengusaha sawit (2016 -2021) akibat windfall harga CPO sekitar Rp 264 triliun. Rezeki nomplok ini tidak termasuk rekayasa subsidi program biodiesel B30, yang dinikmati segelintir pengusaha oligarkis yang minimal mencapai Rp 90 triliun. Ditengarai agenda fundraising dan kepentingan kekuasaan oligarkis sangat dominan dalam penerbitan lebih dari sepuluh kebijakan/peraturan terkait CPO dan migor dalam tiga bulan terakhir. Kebijakan yang terbit terakhir adalah: pemberlakuan Kembali DMO dan DPO (24/5/2022) dan dicabutnya subsidi migor (31/5/2022). Kondisi ini sekaligus menunjukkan posisi Presiden Jokowi diduga berada di bawah kendali/bagian dari oligarki. Karena itu relevan jika ada yang melabel Jokowi gagal mengurus migor, hajat hidup mendasar rakyat. Sudahlah gagal, malah rezim pemerintahan Jokowi mengaku-ngaku pula didukung rakyat untuk menjadi Presiden Tiga Periode! Padahal dukungan tersebut diyakini sarat rekayasa oligarki dan buzzeRp. Apes, pada saat yang sama, tampaknya pencabutan larangan ekspor CPO ingin dimanfaatkan pula untuk pencitraan: bahwa pemerintahan Jokowi pro rakyat petani sawit. Padahal larangan ekspor CPO memang sangat tidak relevan, sebab Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia, yakni sekitar 50 juta to per tahun. Sedangkan kebutuhan migor rakyat hanya sekitar 4-5 juta ton per tahun. Dengan demikian, jika berniat baik, tersedia ruang sangat besar mengelola dan mengamankan ketersediaan pasokan CPO/migor domestik! Jika hal yang mudah ini pun tak bisa dikelola dan diterapkan, maka selain bernuansa rekayasa dan pencitraan, kemungkinan penyebab terbitnya larangan ekspor bisa karena kerakusan atau perburuan rente. Larangan ekpsor CPO/turunannya di sisi lain telah membuat pasokan tandan buah segar (TBS) CPO hasil petani sawit rakyat melimpah, dan harganya pun turun hingga 50%-70%. Kondisi ini memberi kesempatan bagi konglomerat sawit dan pengusaha besar industri turunan memperoleh bahan baku murah. Karena itu dapat pula diartikan larangan ekpsor menjadi berkah rente besar bagi pengusaha sawit oligarkis, tetapi sekaligus nestapa bagi petani sawit rakyat. Maka jangan salahkan rakyat jika kebijakan larangan ekspor sawit dianggap sebagai kebijakan sarat pencitraan, pro pengusaha, namun menyengsarakan petani dan rakyat. Segera setelah penangkapan anggota oligarki sawit, maka tampaknya seperti diurai di atas gerakan recovery,  pemulihan citra telah dimulai dengan pencabutan larangan ekspor CPO. Lalu upaya tersebut terlihat disusul dengan pengangkatan Menko Marves LBP sebagai Ketua Tim Pemulihan Masalah Migor (20/5/2022). Hal ini tentu dapat mengeliminasi peran menteri-menteri berportofolio relevan permasalahan CPO dan migor, seperti Menko Perekonomian, Mendag dan Menperin.  Namun karena LBP sangat berkuasa di satu sisi, serta “status” menteri-menteri tersebut yang tidak dalam kondisi “normal dan favourable” (tersandera kasus), dan kuatnya peran oligarki di sisi lain, maka pengangkatan LBP tampaknya tidak memicu masalah/disharmoni sesama anggota kabinet. Masalah dan dampak buruk justru dirasakan rakyat. Karena kedekatan dengan sejumlah aktor industri sawit dan pengusaha oligarkis, penunjukkan LBP berpotensi conflict of interest. Dengan begitu, harga migor bisa tetap tinggi, kelangkaan dan antrian masih terjadi (03/6/2022), serta proses fundraising bisa terus berlangsung. Setelah ditunjuk, LBP memang sesumbar antara lain akan melakukan audit industri sawit. Menurut LBP, audit akan meliputi nama-nama perusahaan, luas kebun dan plasma, HGU, yield dan produksi, hingga kantor pusat yang wajib berada di NKRI. Karena pada sektor sawit ini faktanya banyak terjadi penyimpangan, terutama soal izin, amdal dan luas lahan, dll., maka rencana audit oleh LBP ini memang sangat relevan, mendesak dan patut didukung, sepanjang dilakukan secara transparan, objektif dan melibatkan sejumlah lembaga negara terkait, terutama BPK. Namun karena posisi LBP berpotensi conflict of interest, dikhawatirkan audit tidak akan optimal. Bahkan jika proses tidak transparan, rencana audit berpotensi moral hazard dan bisa menjadi alat/modus terjadinya pemerasan terhadap perusahaan bermasalah. Hal ini sekaligus bisa jadi alat fundraising. Itulah sebabnya lembaga-lembaga negara terkait, termasuk DPR dan BPK harus terlibat! Audit tidak cukup hanya dilakukan oleh lembaga/auditor swasta.  IRESS menuntut agar DPR segera mengajukan Hak Angket dengan membentuk Pansus CPO/Sawit, guna memeriksa dan menyelidiki seluruh aspek dan proses dalam industri sawit dan krisis migor, dari hulu sampai hilir. Sebagaimana terjadi pada Pansus Bank Century, DPR harus meminta BPK melakukan Audit Investigatif seluruh aspek industri sawit, sehingga manipulasi dan *kejahatan kemanusiaan* yang terjadi seputar skandal sawit terungkap.  Pansus CPO/Sawit sangat mendesak, sebab rezeki nomplok dari kenaikan harga CPO dunia, yang seharusnya menjadi berkah bagi bangsa, justru berubah menjadi bencana memiskinkan puluhan juta rakyat. Berkah tersebut justru menguntungkan segelintir oknum-oknum oligarki penguasa-pengusaha, salah satunya melalui kebijakan program biodiesel, pencampuran BBM solar dengan CPO, yang hanya melibatkan segelintir pengusaha.  Menurut BPDPKS, dari Rp 120 triliun pungutan/iuran ekspor selama 6 tahun, sebesar Rp 91 triliun disalurkan mensubsidi penyediaan biodiesel. Sedangkan perusahaan produsen CPO penerima subsidi biodisel antara lain Wilmar, Musim Kas, Apical, Duta Palma, Permata Hijau dan Sinar Mas. Khusus Wilmar, Musim Mas dan Pemata Hijau, masing-masing menerima dana subsidi sebesra Rp.39,52 triliun, Rp.18,67 triliun dan Rp.8,2 triliun. Dana subsidi biodisel yang captive ini hanya dinikmati segelintir pengusaha oligarkis, dan tidak sedikitpun yang dinikmati para pemilik kebun sawit rakyat (plasma). Moral hazard dan KKN diduga sangat kuat terjadi seputar program biodiesel. Indikatornya terlihat antara lain pada peran Menko Perekonomian sebagai Ketua Komite Pengarah BPDPKS yang sangat menentukan menetapkan program strategis dan penggunaan dana BPDPKS. Penikmat dana subsidi biodiesel hanya segelintir pengusaha oligarkis. Sementara, pengurus BPDPKS tidak berperan optimal menjalankan enam program lembaga, terutama dalam peremajaan kebun sawit, sehingga BPDPKS bertindak layaknya hanya sebagai kasir. Wilmar sebagai salah satu penikmat dana subsidi B30 adalah sponsor Persis Solo yang 40% sahamnya dikuasai putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep (pemegang saham lain: Kevin Nugroho, rekan bisnis Walkota Solo, Gibran Rakabuming, 30%, Erick “BUMN” Thohir, 20% dan tim pendiri, 10%). Belakangan, dengan terkuaknya peran Wilmar dalam program B30, Kaesang menyatakan mundur dari Persis (30/4/2022).  Apakah Kaesang mundur, tapi tetap memiliki 40% saham? Apakah Kaesang mundur karena terkait dana B30 Wilmar yang bernuansa moral hazard? Hal-hal ini perlu dan dapat diperjelas melalui Angket DPR.  Begitu pula Sinar Mas, perusahaan oligarkis penerima subsidi B30 yang bisa sangat berperan dalam pemerintahan Jokowi. Sehingga “pejabat-pejabat” Sinar Mas ini bisa “leluasa” menjalankan agenda, termasuk menduduki posisi Wakil Ketua Otorita IKN Baru dan Duta Besar Indonesia di Korea Selatan. Sinar Mas adalah perusahaan yang “sempat” dikunjungi Pansus RUU IKN DPR, tanpa risalah hasil pertemuan yang jelas, sementara  rakyat dan masyarakat adat hampir tidak berkesempatan menyampaikan aspirasi sesuai UU No.12/2011. Fraksi PKS telah mulai mengusung digulirkannya Hak Angket DPR dengan membentuk Pansus CPO/Sawit (17/3/2022). Namun usul ini tidak mendapat sambutan fraksi-fraksi DPR lain. Sebelumnya, Anggota DPR Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu sangat antusias menyuarakan perlunya mengusut tuntas mafia migor, terutama setelah ditangkapnya lima terduga koruptor oleh Kejagung. Masinton mengaku memiliki informasi lengkap tentang mafia, dan Masinton pun yakin jika Kejagung sudah mempunyai infromasi yang jauh lebih lengkap (26/4/2022). Skandal sawit dan migor Pemerintahan Jokowi jelas telah dan akan terus memakan korban, dan minimal telah sangat berkontribusi meningkatkan inflasi memiskinkan jutaan rakyat. Para oknum oligarkis seputar kebijakan yang menyengsarakan ini justru berpesta pora, dan bahkan sedang berupaya untuk mencapai target Jokowi Tiga Periode. Namun di sisi lain, mayoritas rakyat tidak paham tentang apa yang sedang terjadi dan apa penyebab kesengsaraan mereka. Oleh sebab itu, IRESS mengajak para tokoh, akademisi, aktivis, ormas, dll., guna memahamkan dan mengadvokasi bersama rakyat. Kita harus bersatu menuntut agar DPR segera mengajukan Hak Angket mengungkap skandal CPO/migor. Fraksi PDIP telah bersikap dengan penangkapan lima terduga koruptor, menggugat peran LBP, menolak Jokowi Tiga Periode dan menggugat Ganjar untuk Pilpres 2024. Fraksi PKS pun konsisten menyuarakan nasib rakyat dan menggugat skandal migor. Sudah saatnya FPDIP, FPKS dan fraksi-fraksi yang tak tersandera, bersatu bersama rakyat untuk mengungkap skandal CPO/Migor secara seksama. Sehingga dominasi oligarki yang mengangkangi Pancasila, UUD 1945 dan hak mendasar rakyat dapat segera dihentikan. Jakarta, 6 Juni 2022

Sukarno dan Puan Maharani: Refleksi atas Kekuasaan Oligarki di Indonesia

Namun, sekali lagi, sejarah Bung Karno hadir dalam penderitaan lahir dan batinnya untuk nasib Indonesia. Arah perjuangannya adalah sosialisme, yang anti oligarki dan dominasi asing. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle SELAMAT Ulang Tahun Bung Karno, semoga Allah SWT memberikan tempat yang indah bagimu di alam barzah. Tulisan ini saya uraikan untuk merenungkan tahun kelahiran Bung Karno, “Putra Sang Fajar”. Di mana penderitaan hidupnya telah mengantarkan Indonesia bebas dari penjajahan Belanda, selama 350 tahun. Disamping itu, terkait juga dengan cucunya, Puan Maharani, yang beberapa hari terakhir ini diperbincangkan sebagai duet Capres/Cawapres Indonesia 2024. Apalagi setelah beredar foto-foto Puan melakukan umroh, membuat pengajian bersama dengan Emha Ainun Nadjib dan terakhir foto selfinya bersama Anies Baswedan. Apakah sesungguhnya Puan berhak mewakili ruh perjuangan yang melekat pada diri Bung Karno? Siapakah Sukarno? Pertanyaan ini untuk mendeskripsikan sejarah secara dialektik, bukan deskriptif. Beberapa tahun lalu saya pernah bertanya pada almarhumah Rahmawati Sukarnoputri, dapatkah dia menjelaskan tentang bapaknya yang bersekutu dengan penjajah Jepang, ketika Jepang menjajah Indonesia? Rahmawati dengan lantang menjawab bahwa bapaknya itu harus bersekutu dengan Jepang, untuk mengusir Belanda, yang sudah menzalimi Indonesia 3,5 abad. Itu sebuah pilihan sulit. Dan, pilihan itu jelas mengantarkan Indonesia merdeka. Di luar urusan bersekutu dengan Jepang, saya meyakini Sukarno tidak ada keraguan dalam berjuang. Dalam buku saya, “Menggugat Indonesia Menggugat” (2022), dan tulisan saya di RMOL (2022) “Mengenang Ideologi Sukarno Muda”, dan “Syahganda: Bung Karno Menghancurkan Oligarki, Tapi Sekarang Oligarki Kembali Berkuasa”, diuraikan bahwa Sukarno telah memilih sintesis Sosialisme dan Islamisme dalam ideologi pilihannya. Sukarno menguraikan cita-cita PNI (Partai Nasional Indonesia) selain ingin memajukan ekonomi rakyat miskin, juga memuat pernyataan anti riba. Dari semua rujukan Bung Karno untuk berjuang, dia menyebutkan Partai Syarikat Islam, Budi Utomo dan ISDV (Organisasi yang dibangun Henk Snevlit dengan spirit Sosialisme) sebagai contoh yang patut diteladani. Ketika Sukarno berkuasa, Sukarno menjadikan Sosialisme sebagai arah pembangunan. Sukarno membatasi non pribumi masuk berbisnis ke desa-desa untuk memperkuat ekonomi pribumi. Atau dalam bahasa Mahathir Mohamad di Malaysia sebagai “affirmative policy”, saat dia mencontoh cara Sukarno membagi “kue ekonomi” nasional. Sukarno juga membangun pengusaha pribumi dalam tataran nasional, seperti TD Pardede, Das\'ad, Hasjim Ning, Muhammad Gobel, Hadji Kalla, Ahmad Bakrie, Soedarpo, dan lain sebagainya, dalam kebijakan Program Benteng. Kebijakan Bung Karno ini untuk mengkoreksi dominasi Belanda, Eropa, dan Tionghoa selama ratusan tahun mendominasi perdagangan di Nusantara. Selain itu, tentu saja Bung Karno ingin menjadikan Bangsa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri, bukan bangsa budak. Cita-cita Bung Karno untuk memerdekakan Indonesia, merdeka tanah airnya dan merdeka bangsanya merupakan isi pledoi Bung Karno di Laanrad, sebuah Pengadilan Kolonial di Bandung. Bung Karno meminta “Zelf Bestuur”, meminta Indonesia mengurus sendiri bangsanya. Karena Bung Karno minta merdeka, maka Belanda memenjarakan Sukarno selama 4 tahun (dijalani selama 2 tahun). “Hiduplah tanahku...” dan “Hiduplah Indonesia Raya...” dalam lagu kebangsaan kita sejalan dengan ruh merdeka yang dimaksud Bung Karno dalam pledoinya itu. Karena merdeka itu menurut Bung Karno adalah pembebasan dari Kolonialisme Belanda. Apa itu Kolonialisme Belanda? Dalam pledoinya Bung Karno mengungkapkan kolonialisme itu adalah anak dari Imperialisme dan cucu dari Kapitalisme. Selama Kapitalisme itu berkuasa maka Indonesia belum merdeka. Selama Kapitalisme tersebut berkuasa maka hanya segelintir pengusaha yang mengendalikan kekuasaan sebuah negeri. Jadi, jika kita lantas urutkan dalam bahasa agama, ketika Allah melukiskan era Musa, dalam surat Al Ankabut 39, diurutkan musuh Musa itu adalah pertama Qorun alias Oligarki pemilik harta, lalu Fir\'aun yakni penguasa dan terakhir Haman, teknokratnya Fir\'aun. Makanya Sukarno selalu memberikan spirit anti Kapitalisme dalam semua gerakannya. Di mana dalam hal ini Tan Malaka meminta Sukarno jangan berdalih, mengkritik Kapitalisme tetapi kurang mengkritik penjajahan Belandanya. Padahal Sukarno sudah benar bahwa mengkritik Oligarki atau para kapitalis jahat adalah perjuangan utama. Persoalan pokok Sukarno ketika berkuasa adalah penyingkiran atas Islam Progresif, sebuah ajaran Sosilistik Islamisme yang diajarkan oleh gurunya, sekaligus mertunya, HOS Tjokroaminoto. Dalam tesis yang dipercaya Sukarno ketika muda, lebih khususnya tahun 1926, ketika menulis “Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme”, dia yakin bahwa Islam progresif itu dapat bertemu dengan sosialisme di arah jalan yang sama, anti Oligarki dan cinta rakyat miskin. Mungkin ada faktor lain yang membuat Sukarno berusaha mengeliminasi ideologi Islam progresif dalam konteks global saat itu. Khususnya ketika Sukarno berkiblat ke Komunis RRC. Namun, sekali lagi, sejarah Bung Karno hadir dalam penderitaan lahir dan batinnya untuk nasib Indonesia. Arah perjuangannya adalah sosialisme, yang anti oligarki dan dominasi asing. Pertanyaannya kemudian, pada hari lahir Bung Karno, seberapa perlu kita renungkan spirit dan ideologi perjuangannya ini? Tentu saja ini sangatlah penting. Dalam era Megawati Soekarnoputri, ketidakpuasan umat Islam begitu besar kepada Megawati yang merepresentasikan sosok Sukarno. Saya tidak akan membahas ini panjang lebar. Saya ingin masuk ke sosok Puan Maharani, sebagai pewaris tahta spirit Bung Karno ke depan. Ketika semua parpol sibuk memikirkan pencalonan Presiden, Puan Maharani melakukan pengajian akbar di Masjid At Taufik, masjid dari nama bapaknya, bersama ulama besar Emha Ainun Nadjib. Emha adalah ulama oposisi yang keras mengkritik Jokowi dan Oligarki. Bahkan, Emha mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono Jogjakarta, yang sampai saat ini tidak memberikan sejengkal tanah pun kepada non pribumi di daerah kekuasaannya. Lalu, Puan melakukan perjalanan Spiritual ke Mekkah, beberapa hari lalu. Ini adalah sebuah peristiwa simbolik, dari orang Jawa, yang menjadi Islami. Kemarin, Puan ber-selfie ria dengan Anies Baswedan, yang selama ini menjadi simbolis kekuatan Islam progresif, yang sering dimusuhi secara diametral oleh kelompok anti Islam. Puan tidak pusing dengan sikap para elit-elit politik yang sibuk kasak-kusuk soal jabatan. Kenapa, karena Puan telah memilik sebuah partai, dengan kekuatan sendiri untuk mencalonkan calon presiden ke depan, tanpa perlu berkoalisi. Kedua, sebagai cucu pendiri Bangsa Indonesia, Puan tentu saja lebih memilih pergerakan substansial daripada eksistensial. Ini khas orang yang terlahir dari sejarah besar keluarganya. Kembali pertanyaan kita tentang renungan, tentang refleksi, tentu saja rakyat berharap bahwa Puan mau mewarisi spirit atau ruh perjuangan kakeknya itu. Kenapa? Karena semua tema yang menghiasi ketakutan bangsa kita adalah dominasi Oligarki. Rakyat stress miskin di negeri kaya. Beli minyak goreng mahalnya tidak kepalang, padahal kita produsen terbesar minyak goreng di dunia. Orang-orang kaya bisa menguasa Indonesia dalam hitungan dasawarsa. Dan ini tidak mungkin terjadi jika Sukarno hidup. Misalnya, jika UU Pokok Agraria, yang dilahirkan Sukarno, diberlakukan, maka tidak ada segelintir orang menguasai tanah jutaan hektar, ketika petani memiliki tanah rerata di bawah setengah hektar. Tidak ada buruh yang terus- menerus miskin, sementara 4 orang terkaya, kekayaannya sama dengan 100 juta penduduk miskin kita. Perjuangan yang diperlukan saat ini oleh seorang pemimpin bangsa adalah mengembalikan jejak perjuangan Sukarno, khususnya Sukarno muda yang (berusaha) menyatukan Islamisme dalam Sosialisme serta mengusir Oligarki dari negara ini. Mampukah Puan Maharani mengikuti jejak kakeknya? Berhakkah Puan mewakili ideologi Sukarno? Semoga. Selamat Ulang Tahun Bung Karno. May Allah Bless You Sir, Always!! Cirebon, 6/6/2022. (*)

Semua Mau Jadi Presiden

 Pendeknya, siapapun yang jadi Presiden RI, mestinya Indonesia akan baik-baik saja. Selebihnya, tinggal menunggu keputusan Tuhan dan rakyat. Oleh: Ilham Bintang, Wartawan Senior/Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat UNTUK kesekian kalinya, isu reshuffle kabinet kembali merebak hari-hari ini. Kemarin isu itu ditanggapi Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ia mengatakan, saat ini banyak permasalahan yang harus ditangani pemerintah secara cepat. Reshuffle memang dibutuhkan karena kondisi ekonomi global sangat dinamis. Pemerintah harus responsif dalam menghadapi berbagai persoalan tersebut. Pernyataan Pratikno yang setengah mengonfirmasi isu disampaikan di Gedung DPR, Senayan, Kamis (2/6/2022).  Hak Prerogatif Presiden Merombak kabinet atau mengganti menteri, memang hak prerogatif Presiden. Tinggal berani atau tidak? Bukankah sudah berkali-kali juga “diancamkan” Presiden Joko Widodo, namun belum terealisasi. Tidak ada halangan kapan pun mau dilakukan. Bisa tengah malam terpikir, besok pagi eksekusi. Paling- paling dinyinyirin oleh “BuzzerRp” yang terlanjur menggantungkan hidup dari menteri yang lengser. Perbaikan Kinerja dan Citra Sudah benar langkah Presiden Jokowi mengambil opsi reshuffle dua tahun sebelum lengser. Demi memperbaiki kinerja kabinet yang beberapa waktu ini berjalan ugal-ugalan seperti dituduhkan para pengamat. Contohnya, kemelut minyak goreng yang sudah lebih 6 bulan belum ketemu ujungnya. Karena itulah saya menduga, salah satu efek dari sebagian anggota kabinet bekerja sambil melaksanakan agendanya mencari perhatian rakyat untuk menjadi presiden. Secara terselubung maupun terang-terangan. Tanpa malu memanfaatkan pelbagai fasilitas negara demi kepentingan dan ambisi pribadi semata. Abai mengira milik negara seakan milik keluarga. Reshuffle adalah sebaik-baik hal yang memang harus dilakukan Jokowi demi  menyelamatkan citra pemerintahannya menjelang berakhir masa jabatannya sebagai Presiden. Reshuffle jauh lebih baik tinimbang “bermain” dengan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden RI dengan berbagai alasan yang terasa itu dikarang-karang. Yang membuat negeri gonjang ganjing. “Permainan” itu telah dirasakan sendiri dampaknya oleh Presiden Jokowi. Kontan mereduksi popularitasnya dan tingkat kepuasan publik yang pernah mencapai puncaknya dari hasil survey lembaga polling. Saling Klaim Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, dua tahun lagi. Relatif masih cukup waktu berbenah supaya Presiden Jokowi dapat meninggalkan legacy yang bisa dikenang rakyat. Namun, bagi para politikus itu waktu singkat untuk mempersiapkan diri maju menjadi Presiden RI. Itu sebabnya, sejak tahun lalu khalayak sudah mulai kebanjiran pesan-pesan dari politikus yang merasa (sendiri) berpeluang menjadi Presiden RI priode berikutnya (2024-2029). Pesan-pesan itu bisa dilihat di pelbagai platform. Di jalan-jalan umum dalam bentuk baliho, spanduk, umbul-umbul dan sebangsanya hingga pelbagai konten di media sosial. Kalau politisi punya kuasa dan uang maka wajahnya tambah menyebar lagi di layar ATM, di seluruh bandara dan pelabuhan maupun stasiun KA lewat neonsign, atau ruang-ruang milik negara yang   berada dalam kewenangan yang bersangkutan. Jangan tanya itu boleh atau tidak. Kesangsian itu mudah dipatahkan. Cukup  merujuk pada aturan UU. Ada pasal tidak yang mengatur itu secara eksplisit. Selama larangan tidak tertulis eksplisit, sikat saja. Jangan bicara etika moral, seperti falsafah klasik “ngono yo ngono ning ojo ngono” rasanya itu tidak dihiraukan lagi. Lihat saja, awal tahun ini kampanye semakin meningkat intensitasnya. Tidak hanya di jalan umum, tetapi masuk ke jalur pribadi lewat WA dan saluran lainnya. Setiap hari. Setuju atau tidak setuju dengan broadcast itu, bukan urusan yang punya gawe. Anda marah dan coba protes dengan menyebarkan ke publik, apalagi sampai viral, itu malah menguntungkan. Memang itu yang ditunggu. Dari situlah datangnya viral. Ada pemahaman atau bahasa baru dalam dunia politik. Di-bully pun mereka senang. Karena itu berarti dibicarakan dan dibahas banyak orang. Polling pun akan memasukkan pada penghitungan untuk tingkat popularitas sang tokoh. Apalagi, catatan polling tersebut tidak menyeleksi itu perbincangan baik atau sebaliknya mengenai sang tokoh. Menguntungkan Jokowi Fenomena semua tokoh mau jadi Presiden RI, sebenarnya menguntungkan Presiden Jokowi. Tak usah memikirkan apalagi upaya untuk memperpanjang masa jabatannya. Apalagi sampai mengubah konstitusi yang membolehkan Presiden RI menjabat lebih dari dua kali.  Seperti yang pernah dikemukakan beberapa kolega dan menteri pembantunya. Sebut, misalnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Semuanya mengemukakan alasan, perpanjangan itu demi kesinambungan penanganan Covid19 di Tanah Air dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ingat yang saya sebut tadi “pemahaman baru”? Geger yang bakal timbul kemungkinan besar memang bagian dari strategi demi mendulang suara untuk kebutuhan dicatat polling. Sebab, semua yang menyuarakan adalah tokoh-tokoh yang ngebet mau jadi presiden. Semuanya juga melekat dalam pemerintahan Jokowi. Yang selama ini sudah bekerja menjalankan program-program berdasar hanya visi Presiden. Kampanye Airlangga Hartarto memfokuskan klaim keberhasilan menangani Covid19. Soal pertumbuhan ekonomi, digambarkan begini: “Indonesia Ranking 1 pertumbuhan ekonomi”. Tidak lupa sebagai Ketua KPC PEN, pihaknya pun mengklaim sudah mengeluarkan bantuan sebesar Rp 1.776,27 triliun untuk penanggulangan pandemi. “Anggaran bantuan terbesar sepanjang sejarah RI,” tulisnya di flyer bergambar dirinya. Program PEN itu juga diklaim “telah menyelamatkan 88,42 juta orang nggak jadi nganggur”. Memang betul, ada kesulitan kita mencerna pesan-pesan itu, sebab kita semua tahu, krisis minyak goreng sampai menelan dua korban tewas akan menjadi jejak digital kekacauan kabinet, khususnya menteri bidang ekonomi. Rakyat cukup dibagi uang Rp 300 ribu, dianggap urusan selesai. Mestinya Jokowi tinggal duduk manis, tenang-tenang merancang rencana ke depan setelah lengser. Santai saja seperti Menteri BMUN Erick Thohir yang memasang fotonya di mana-mana, walau pun BUMN banyak masalah, dan menderita kerugian besar. Atau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno yang juga mengklaim keberhasilan sektor pariwisata. Dan, Prabowo Subianto yang tetap memelihara harapan untuk menjadi RI 1. Belum lagi Puan Maharani, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Andika Perkasa, LaNyalla Mattalitti, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY), dan banyak lagi lainnya yang dicatat oleh lembaga survey diunggulkan menjadi Pemimpin Bangsa yang akan datang. Jokowi tidak usah gundah. Bekerja saja dengan baik memimpin kabinet supaya Husnul Khotimah. Itu sudah sama artinya Jokowi menaruh telur di dalam banyak keranjang. Siapapun yang terpilih akan mengenangnya dan haqul yakin semua proyek yang ditinggalkan akan lanjut, kalau tersedia cukup anggaran. Jangan lupa pula kiprah Luhut Binsar Panjaitan. Jabatannya sudah ditumpuk di atas 12 lembaga. Terbaru, menangani urusan Minyak Goreng. Pendeknya, siapapun yang jadi Presiden RI, mestinya Indonesia akan baik-baik saja. Selebihnya, tinggal menunggu keputusan Tuhan dan rakyat.  Saya kira rakyat sudah cukup pengalaman dan matang setelah berkali-kali mengikuti Pemilu dan Pilpres. Niscaya mereka pun sudah paham ada dua golongan yang tidak boleh dipercaya jadi pemimpin. Yang pertama, “yang tidak mau”. Dan, yang kedua: “yang terlalu mau”. Tinggal ingat saja pesan bijak dari siaran TVRI di zaman dulu dalam setiap kali siaran iklan. “Banyak penawaran, teliti sebelum membeli”. Setuju? (*)

Anies Diingatkan, “Jangan Ulang Kesalahan Gus Dur!”

PDIP memang ngotot usung Puan sebagai Wapres. Namun, Anies diingatkan jangan mengulang kesalahan Gus Dur menggandeng Megawati pada 1999. Inilah yang harus dicermati oleh pendukung Anies Baswedan. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN DALAM gelaran Formula E di Jakarta International E-prix Circuit di Ancol pada Sabtu, 4 Juni 2022, tampak hadir selain Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, juga ada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani serta Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Puan tampak begitu akrab dengan Anies. Bahkan, putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat pula swafoto bersama Anies. Presiden Jokowi yang ada di sebelah kanan Puan itu seolah dicuekin. Bahkan, terkesan dianggap “tidak ada” oleh Puan. Entah siapa diantara Anies dan Puan ini yang sok akrab. Padahal, sebelumnya, lewat Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta, mereka sudah siap mengajukan Hak Angket atas gelaran Formula E yang ternyata sangatlah sukses itu. Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia, kolega PDIP lewat Ketumnya Giring Ganesha selalu menyerang gelaran balapan mobil listrik ini. Puan sendiri pernah menyatakan, dia tidak pernah ada masalah dengan Anies. Secara komunikasi politik, ini bisa diartikan, Puan siap bekerja sama dengan Anies. Termasuk jika Puan harus digandeng Anies pada Pilpres 2024 nanti. Nama kedua tokoh ini belakangan memang santer diberitakan dan disodorkan sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2024. Anies sebagai Capres, sedangkan Puan sebagai Cawapresnya. Anies “mewakili” umat Islam, dan Puan representasi Nasionalis. Supaya “perjodohan” Anies-Puan ini bisa terealisasi, mantan Wapres Jusuf Kalla yang juga dikenal sebagai tokoh Golkar sampai harus turun gunung. Agar berjalan mulus, sampai JK perlu mengutus Komjen (Purn) Syafruddin, mantan Wakapolri yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) untuk “mengawal” Puan saat umroh. Syafruddin adalah mantan ajudan JK saat menjadi pada 2004-2009. Hingga saat ini, Syafruddin menjadi salah satu orang kepercayaan JK. Syafruddin menemani Puan melaksanakan ibadah umrah. Keduanya tiba di Arab Saudi pada Ahad malam (29/5/2022). Kedatangan keduanya disambut Wakil Kepala Perwakilan RI Riyadh, Arief Hidayat. Puan tampil menawan dengan mengenakan gamis biru muda dan hijab bermotif. Momen kedatangan Puan dan Syafruddin itu, kemudian diunggah KBRI Riyadh di akun Twitter @riyadh-kbri. “Wakil Kepala Perwakilan RI Riyadh, @h_arief17 sambut kedatangan Ketua DPR RI, Y.M. Puan Maharani di Bandara Internasional Prince Mohamed Bin Abdulaziz, @madinahairport, Arab Saudi #hari_ini,” tulis @riyadh-kbri. Keberangkatan Puan dan Syafruddin ini lalu santer dihungkan dengan upaya penjodohan Anies-Puan pada Pilpres 2024. Pasalnya, JK dan Anies diketahui sangat dekat. Keduanya sama-sama alumni dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saat ini, keduanya juga jadi petinggi di Korps Alumni HMI alias KAHMI. JK menjadi sosok penting yang meloloskan pencalonan Anies jelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika itu, JK, yang menjadi wapresnya Jokowi, sampai telepon Ketum Gerindra Prabowo Subianto agar mengusung Anies saat Pilkada DKI melawan Ahok. Boleh dikata, JK berani “membelot” dari Jokowi, yang saat itu disebut-sebut mendukung Ahok. Apakah rencana perjodohan Anies-Puan seperti keinginan JK itu bisa terwujud pada Pilpres 2024? Jika terjadi, maka bertepatan dengan HUT Mega-Bintang ke-25 akan terulang lagi. Tapi, yang perlu diingat, sukses menjodohkan Megawati sebagai representasi dari Nasionalis dengan Abdurrahman Wahid dari Islam itu berakhir “tragis”. Dengan tuduhan Gur Dur terlibat Bulog-gate dan Brunai-gate tanpa adanya proses peradilan, mantan Ketum PBNU itu harus rela meninggalkan Istana Merdeka yang kemudian digantikan oleh Megawati sebagai Presiden. Upaya untuk menjodohkan Anies-Puan sebelumnya disuarakan sekelompok relawan Perhimpunan Masyarakat Wong Cilik (PMWC). Awalnya, kelompok yang namanya mirip dengan slogan PDIP ini, mendeklarasikan dukungan ke Anies. “Elektabilitas Anies di berbagai survei juga berada di urutan atas sebagai Calon Presiden. Itu juga yang menjadi pemikiran kami mendukungnya dan mendeklarasikan,” ujar Koordinator PMWC Asep Suwandi, Sabtu (21/5/2022). Mereka lalu mencoba mengawinkan Anies dengan Puan. Alasannya, Anies-Puan akan menjadi pasangan komplet dan saling melengkapi. “Pantas pula kalau Anies didampingi oleh Puan Maharani untuk maju pada Pilpres 2024 mendatang,” lanjutnya. Dia melanjutkan, untuk maju di Pilpres 2024, Anies tidak cukup hanya disokong elektabilitasnya selama ini. Anies perlu didukung oleh pasangan cawapres dari partai besar dan kekuatan besar di Senayan, seperti Puan. Tujuannya, agar program kerja dan kebijakannya berjalan mulus. “Kami mendukung Puan sebagai cawapres berpasangan dengan Anies. Anies dan Puan bisa dan mampu mewakili kelompok pemuda milenial, pelajar, guru, petani, mahasiswa, pedagang, buruh dan emak-emak,” tutur Asep. Tapi, Anies perlu diingatkan, jangan sampai mantan Rektor Universitas Paramadina ini mengulang kesalahan Gus Dur. Amien Rais yang ketika itu menjabat Ketua MPR RI telah menjodohkan Gus Dur, justru dia pula yang, konon, punya andil menjatuhkan Gus Dur dari singgasana Presiden. Pada Senin 23 Juli 2001, gedung DPR-MPR menjadi saksi dua peristiwa besar. Pertama, Presiden Gus Dur dilengserkan MPR. Kedua, presiden perempuan pertama RI, Megawati Soekarnoputri dilantik MPR. Jalan Megawati menuju kursi RI 1 cukup berliku karena dipilih oleh MPR sebagai presiden, setelah Gus Dur dilengserkan pada hari yang sama. Terlepas dari siapa yang terlibat dalam “kudeta” itu, bukan tidak mungkin peristiwa yang dialami Gus Dur bisa terjadi pada Anies Baswedan kelak di kemudian hari. Sehingga, Puan bakal menggantikan Anies di tengah jalan seperti Ibunya, Megawati. Meski Anies sempat diisukan sebagai “sekoci” Jokowi dan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan oleh BuzerRp yang sudah kehilangan akal, Anies justru diincar banyak partai. Yang sudah menunjukkan gairah secara tersirat adalah NasDem, PAN, Demokrat, PKS, dan PPP.“Gerinda masih bermain. Prabowo masih laku dijual atau tidak. Jika Gerinda mengusung dan mendukung, maka Wapresnya Sandiaga Uno, seperti Pilgub DKI 2017 lalu,” ungkap sumber FNN yang dekat dengan Istana.PDIP memang ngotot usung Puan sebagai Wapres. Namun, Anies diingatkan jangan mengulang kesalahan Gus Dur menggandeng Megawati pada 1999. Inilah yang harus dicermati oleh pendukung Anies Baswedan. Sementata PKB kelihatannya bakal diobok-obok KPK. Skandal kardus durian mulai tampaknya akan dimunculkan lagi. KPK harus bongkar skandal korupsi Ketum PKB Muhaimin Iskandar sebagai Menteri skandal kardus durian. Jika KPK lamban, maka bukan tidak mungkin kasusnya akan ditangani Polri dan Kejaksaan Agung, seperti dalam kasus Mafia Minyak Goreng. Saat ini Anies memang tidak pernah menanggapi fitnah BuzerRp. Kondisinya kian banyak fitnah menghajar dirinya, citra Anies semakin mengkilap. Makin mahal harganya. Kelompok yang memfitnahnya kian bingung. Dus, kalau Anies tidak mau dengan Puan, apakah skenario Anies-Sandi akan diulang pada Pilpres 2024? “Nasib Sandi itu sangat tergantung Prabowo dan Gerindra,” ujar sumber tadi. (*)

Jokowi Melawan Orang yang Membesarkannya: Megawati dan Prabowo?

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) JOKOWI dibesarkan PDIP dan Gerindra, dibesarkan Megawati dan Prabowo. Tentu saja ada sponsor yang disebut sembilan naga. Tapi, siapa mereka, rill atau fiksi? Nama sembilan naga yang beredar kurang kredibel. Masa tidak ada naga kelapa sawit, atau naga batubara? Malah yang ada nama Edward Soeryadjaya, yang sekarang sedang tersandung hukum. Naga mengajukan Jokowi pada pilgub 2012. Deal. Jokowi hanya diusung dua partai saja, PDIP dan Gerindra. Ketika itu Jokowi bukan siapa-siapa. Hanya bermodalkan mobil Esemka, yang sampai sekarang tidak kelihatan wujudnya. Maka ada yang bilang mobil gaib. Pada puteran kedua, Jokowi masih diusung oleh PDIP dan Gerindra. Melawan Fauzi Bowo yang diusung semua partai politik lainnya. Jokowi menang, menjadi gubernur periode 2012-2017. Sponsor ‘sembilan naga’ tidak puas sampai di situ. Pilpres 2014 semakin dekat. Prabowo maju sebagai calon presiden. Megawati harusnya mendukung Prabowo, sesuai kesepakatan Batutulis. Tapi mengejutkan, PDIP malah mencalonkan Jokowi sebagai capres melawan Prabowo. Jokowi menerima, padahal sebelumnya mengatakan ingin menyelesaikan jabatan gubernur sampai 2017.  Jokowi menikmati permainan para sponsor ‘sembilan naga’. Jokowi meninggalkan Prabowo, satu dari dua tokoh yang membesarkannya. Pilpres 2019 tidak banyak berubah. Hanya ada dua capres. Jokowi melawan Prabowo lagi. Jokowi masih didukung PDIP dan parpol koalisi lainnya. Prabowo hanya didukung Gerindra dan PKS. Memang ada Demokrat, tapi terlihat setengah hati. Karena AHY tidak menjadi cawapres Prabowo. Dan UU pemilu mewajibkan Demokrat mendukung salah satu capres.  Prabowo kalah lagi, tapi heroik. Bahkan ada yang mengatakan seharusnya Prabowo menang. Tapi siapa yang tahu? Kecuali penyelenggara pilpres, yang sengaja menggunakan kotak suara kardus dengan gembok baja?  Meskipun demikian, Prabowo ditarik ke dalam kabinet. Jokowi dan para sponsor sudah tidak perlu oposisi kuat. Oh ya, memang masih ada PKS, tapi satu partai bisa apa? Tidak membahayakan. Memang ada juga Demokrat di luar kabinet. Tapi sulit dikatakan sebagai oposisi, meskipun dalam beberapa hal bertentangan dengan pemerintah. Tapi jiwa oposisi tidak terlihat pada Demokrat. Tidak seperti PDIP sewaktu menjadi oposisi pada pemerintahan SBY. Pilpres 2024 semakin dekat. Jokowi sepertinya bersimpangan jalan dengan Megawati. Jokowi dan para sponsor mau mendukung capres sendiri, mungkin yang penurut dan bisa diperintah. Ganjar nampaknya masuk kriteria mereka. Di lain pihak, Megawati tidak suka Ganjar, yang dibesarkan PDIP tapi sekarang mau melawan: pengkhianat. Megawati sangat benci pengkhianat, tiada kata maaf baginya. Jokowi juga akan dianggap pengkhianat kalau sampai mendukung capres yang bertentangan dengan Megawati. Terlebih kalau mendukung Ganjar. Kalau ini terjadi, bisa menjadi musibah yang sempurna bagi Megawati: Megawati akan berhadapan dengan dua orang yang dibesarkannya. Kalau ini terjadi, kemarahan dan kebencian Megawati pasti memuncak. Karena, mendukung Jokowi dan para sponsor oligarki pada dua pilpres yang lalu membuat nama PDIP ‘tercemar’. PDIP kini bukan lagi partai pembela ‘wong cilik’ marhaen, melainkan partai pembela oligarki. Karena memang banyak produk undang-undang yang ditetapkan sejak 2014 sangat pro-oligarki dan merugikan ‘wong cilik’. Misalnya UU Cipta Kerja. Kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya juga banyak yang memberatkan beban hidup ‘wong cilik’. Misalnya, kebijakan harga pangan dan harga BBM yang melonjak, tanpa ada bantuan (memadai). Dengan Membiarkan semua ini terjadi, PDIP jelas sudah keluar dari filosofi partai ‘wong cilik’ marhaen. Hasilnya, Indonesia sejak 2014 sudah menjelma menjadi negara oligarki plutokrasi. Yaitu, negara dikendalikan oleh sekelompok kecil pengusaha, yang merangkap penguasa. Ada yang mengatakan hal ini sama saja dengan era Soeharto. Tentu saja sangat beda. Ketika itu Soeharto mengendalikan pengusaha dalam membangun ekonomi, dan Soeharto memilih pengusaha, bukan dikendalikan pengusaha. Perusahaan konglomerat ketika itu jauh lebih kecil dari BUMN, dengan rasio pendapatan terhadap PDB tidak terlalu signifikan. Kesenjangan sosial pada era Soeharto juga jauh lebih baik. Reformasi 1998 mengubah segalanya. Konglomerat berkembang menjadi perusahaan raksasa. Kini bermunculan konglomerat batubara, konglomerat sawit, konglomerat real estate, dan lainnya. Mereka menjadi bagian dari orang terkaya Indonesia. Segelintir konglomerat real estate menguasai lahan yang sangat luas di seluruh Indonesia. Bahkan sering kali bersengketa dan merebut hak warga setempat. Awal reformasi para konglomerat hanya menikmati rente ekonomi, merapat kepada penguasa. Kini, sejak 2014 mereka yang berkuasa. Masuk legislatif dan eksekutif. Membiayai pilpres. Memilih calon presiden yang bisa diajak ‘kerja sama’, atau tepatnya dikendalikan. Mereka mengatur kebijakan eksekutif, termasuk merancang dan menggolkan tax amnesty. Jokowi tidak mungkin tiba-tiba memikirkan tax amnesty, yang diinisiasi sejak awal pemerintahannya, 2015. Pasti ada kekuatan oligarki yang besar dan cerdas yang mengatur semua itu, yang harus mencuci uangnya melalui tax amnesty. Prabowo mungkin tidak bisa diatur. Atau lebih sulit diatur. Jadi harus disingkirkan. Kalau Megawati juga sulit diatur, pasti juga akan disingkirkan. Legenda cerita Malin Kundang kini hidup menjadi kenyataan. (*)

Diback-up Jokowi, Ganjar Akan Lawan Megawati?

Oleh Tony Rosyid - Pemerhati Politik BALAS budi? Dalam politik, istilah balas budi kurang begitu dikenal. Walaupun dua periode Ganjar diberi tiket PDIP menjadi Gubernur Jateng, tidak berarti Ganjar akan menyerahkan sepenuhnya nasib politiknya kepada PDIP. Petugas partai ok, selama tiket didapat dari PDIP.  2024, kemungkinan Ganjar tidak bertarung dengan tiket PDIP.  Ada dua faktor mendasar. Pertama, Ganjar dianggap tidak tegak lurus ke Megawati. Trimedia, kader PDIP bilang: Ganjar kemlinti. Kedua, Ganjar bisa menjadi ancaman bagi Puan dalam mengambil estafet kepemimpinan PDIP. Dua faktor ini terlihat betul-betul sudah disadari oleh para kader yang loyal ke Megawati. Mungkinkah Ganjar akan diusung oleh Koalisi Indonesia Bersatu (Golkar, PPP dan PAN) yang konon isunya disiapkan Jokowi? Bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, KIB belum tentu juga bisa bertahan sampai tahun depan. Saat ini, Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan masih terlihat sangat kuat. Tahun depan, jelang akhir periode, belum tentu Jokowi dan Luhut masih punya pengaruh politik masih sekuat sekarang. Di dunia politik kita, ada tradisi \'loncat pagar\' ketika jabatan presiden akan berakhir.  Politik itu kepentingan dan kesempatan. Gak ada kepentingan, siapapun, termasuk penguasa, akan ditinggalkan. Karena itu, sejumlah kader pindah partai atau bikin partai baru ketika kepentingannya tidak terakomodir. Begitu juga, kalau ada kepentingan tapi kesempatan gak ada, maka akan dengan sendirinya kepentingan itu menghilang. Sebaliknya, jika kesempatan ada, biasanya kepentingan akan muncul. Kata orang: kesempatan itu menggoda. Saat ini Ganjar punya kesempatan. Elektabilitas Ganjar dalam survei lebih tinggi dari Puan Maharani. Puan memang digadang-gadang untuk menjadi calon PDIP, tapi Ganjar diklaim lebih dikehendaki oleh konstituen dari pada Puan. Benarkah? Selama ini, Ganjar selalu dikritik soal prestasi. Pengkritik paling keras justru bersal dari para kader dan elit PDIP. Rekam jejak Ganjar dinilai kurang bagus. Selain dianggap sebagai gubernur kurang berprestasi, kasus Wadas mendapat sorotan cukup serius. Kasus e-KTP yang video persidangannya terus viral di medsos juga menyebut nama Ganjar. Diantaranya Nazaruddin dan Setianovanto. Tim Ganjar nampak tidak peduli soal kasus dan prestasi. Di pilpres, yang penting elektabilitas. Memang benar, untuk menang dalam pertarungan merebut kursi presiden itu tidak ada syarat prestasi. Untuk menjadi presiden yang dibutuhkan itu elektabilitas, bukan prestasi. Makanya, kekuatan tim branding (kampanye) itu yang dibutuhkan. Baik tim media maupun tim jaringan.  Boleh jadi Puan lebih baik prestasinya. Tapi tim media dan jaringan Puan lemah. Kalah jauh dengan timnya Ganjar. Wajar kalau elektabilitas Puan selalu berada di bawah Ganjar.  Jokowi dukung Ganjar. Begitulah publik membacanya. Setidaknya untuk saat ini. Dengan mendukung Ganjar, setelah pensiun Jokowi masih bisa berperan. Sebagai orang yang menyiapkan partai, logistik dan jaringan buat Ganjar, Jokowi bisa berkolaborasi dengan Ganjar jika Ganjar terpiliih jadi presiden. Di PDIP, Jokowi hanya kader biasa. Petugas partai yang sering bersitegang dengan Megawati. Posisioning Jokowi di PDIP sangat lemah. Satu-satunya jalan, dukung calon di luar tiket PDIP. Ganjar bisa menjadi satu diantara sekian kandidat pilihan. Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut sebagai pembangkangan kader atau tidak tahu balas budi. Ini hanya soal pilihan yang tidak bisa dihindari jika Ganjar dan Jokowi ingin tetap eksis kedepan. Satu-satunya pilihan adalah hadapi Megawati. Mau tidak mau. Kalau anda paham betul teori hukum sejarah diantaranya yang ditulis secara cukup lengkap oleh Ibnu Khaldun dan Karl Marx, anda akan punya kesimpulan seperti di atas. Ini bukan mau Ganjar dan Jokowi. Bukan juga maunya Megawati dan Puan. Tapi perseteruan ini lebih dibentuk oleh tuntutan situasi politik saat ini. Mereka sulit disatukan karena kepentingan politik yang berseberangan. Ini pertaruhan besar, pertaruhan mati hidup Ganjar dan Jokowi. Jika Ganjar urungkan niatnya untuk maju pilpres, maka akan kehilangan kesempatan, dan eksistensi politiknya bisa berakhir. Lebih baik hadapi PDIP dengan semua risiko. Soal dapat tiket atau tidak, kalah atau menang, itu soal lain.  Begitu juga dengan Jokowi, pasca pensiun akan kehilangan pengaruh. Maka, Ganjar adalah \"salah satu\" pilihan yang bisa menjadi lokomotif masa depan politik buat Jokowi. Saat ini, tidak ada pilihan bagi Jokowi kecuali bersebarangan dengan Megawati. Jokowi belum tentu menghendakinya demikian, tapi pilihan dan situasi politik tidak memberi pilihan lain. Sebab tidak ada tempat yang signifikan dan strategis bagi Jokowi di PDIP. Ini yang memaksa Jokowi harus berseberangan dengan PDIP di pilpres 2024. Ganjar dianggap salah satu diantara beberapa pilihan yang bisa jadi calon Jokowi, termasuk untuk melawan PDIP. Jika PDIP bermanuver dengan calonkan Ganjar dan singkirkan Jokowi, ada persolan yang tidak kalah serius. Ganjar, jika menang dan jadi penguasa, ini bisa jadi ancaman buat PDIP. Sepeninggal Megawati, Ganjar bisa ambil alih kepemimpinan PDIP. Bagi penguasa, ini tidak terlalu sulit. Komposisinya, Ganjar ketum PDIP, Jokowi bisa menjadi pembinanya. Puan boleh jadi akan dipensiun dini-kan. Sekali lagi, dan ini fakta yang terjadi bahwa politik bukan soal balas budi. Politik bukan bagaimana kita berbuat yang ideal. Politik itu kesempatan dan relasi kepentingan. Kesempatan tidak memberi banyak pilihan untuk sebuah kepentingan, tapi seringkali hanya satu pilihan. Saat ini satu-satunya pilihan bagi Jokowi dan Ganjar adalah berseberangan dengan Megawati dan PDIP. Gak ada pilihan kompromi, karena pilihan kompromi akan sangat merugikan bagi Jokowi dan Ganjar. Memilih kompromi, Jokowi dan Ganjar tersingkir. Nasibnya mungkin akan seperti Rustriningsih, kader PDIP yang pernah jadi Wagub Jateng. Pensiun dini. Mau tidak mau, harus hadapi Megawati dan PDIP. Siapa yang kalah, tersingkir. Pemenang hanya ada pada pihak yang kuat. Jakarta, 6 Juni 2022

Koalisi Parpol Penguasa Melawan Islam Politik?

Politik sekuler kiri dan nasionalis saat ini sudah kadaluwarso menghadapi tantangan nasional, regional dan global yang semakin interconnected and borderless. Kecuali jika Republik ini hanya diarahkan untuk menjadi satelit China atau Amerika. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts KABAR terbaru para pemimpin parpol bertekad melawan politik identitas. Para pemimpin Parpol mengatakan bahwa Pemilu 2014 dan 2019 telah berlangsung sukses tapi meninggalkan polarisasi yang berbahaya di masyarakat. Faktanya memang bangsa ini terbelah menjadi cebong dan kampret. Tidak dijelaskan mengapa hal itu terjadi dan apa yang sudah dilakukan untuk mencegah polarisasi itu. Tapi mereka menuding politik identitas sebagai biang keladi polarisasi masyarakat. Saya menduga keras bahwa para elite parpol itu telah menjadi kura-kura dalam perahu: seolah tidak tahu mengapa, padahal itu ulah mereka sendiri. Tapi, kini mereka mencari kambing hitam dengan menyalahkan faktor lain selain parpol dan perilaku para elitnya. Faktor lain yang disalahkan itu adalah Islam politik yang sebagian besar itu direpresentasikan dalam Pilgub DKI 2017 yang telah dimenangkan oleh Anies Baswedan. Pilgub DKI itu kemudian berbuntut panjang, apalagi kini Anies muncul sebagai tokoh calon presiden muslim yang sangat populer jika bukan terpopuler. Sikap permusuhan para elit parpol pada Islam politik ini tentu mengherankan sekaligus tidak. Mengherankan karena para elit tiba-tiba jadi dungu korban narasi Islamophohia yang masih tersisa. Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI sudah membuktikan dirinya sebagai Gubernur yang berdiri di semua golongan, terutama kaum miskin dan tertindas, apapun agama dan sukunya. Keadilan adalah jargonnya yang paling mencolok. Kekhawatiran elit parpol itu malah menegaskan dugaan bahwa ada kekuatan oligarki yang mendukung logistik banyak parpol berkuasa saat ini pada saat kesenjangan dan ketimpangan begitu menganga di seluruh pelosok negeri. Polarisasi antara cebong dan kampret terjadi separah kesenjangan dan ketimpangan sosial ekonomi saat ini. Permusuhan parpol terhadap politik identitas itu juga tidak mengherankan, karena banyak elit politik memang miskin gagasan yang berpotensi menjadi diskursus baru di tengah kematian imajinasi politik saat ini yang semakin terkungkung oleh banyak jargon harga mati. Seolah semua urusan negeri ini sudah selesai dan baik-baik saja. Islam adalah sumber inspirasi yang kaya yang boleh diambil oleh siapapun asal usulnya, termasuk asal usul sukunya: Jawa, Dayak, Bugis, Arab, atau China. Islam itu melampaui primordialitas semacam sukuisme. Sayang sekali para elit parpol ini gagal atau pura-pura gagal memahami bahwa Islam itu sebuah kompleks gagasan seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan Pancasila. Bahkan dari sejarah Islam memberi data dan fakta yang lebih dari cukup dan terdokumentasi dengan baik untuk digali kembali sebagai sumber inspirasi. Para founding fathers seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Agus Salim, sangat terinspirasi oleh Islam sebagaimana terbukti dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Bahkan, para pendiri bangsa ini dari berbagai latar belakang suku dan agama telah pernah pula menyepakati Piagam Jakarta sebagai gentlemen agrreement. Saya menduga keras bahwa sebagian elit parpol penguasa masih bermain main untuk menutup-nutupi kudeta konstitusi yang telah terjadi sejak amandemen ugal-ugalan atas UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Gatot Nurmantyo pada Hidayat Nurwahid sebagai pimpinan MPR baru-baru ini. Prof. Kaelan, guru besar Pancasila UGM bahkan tegas mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara sudah murtad dari Pancasila. Tidak hanya de yure saja, secara de facto kaum sekuler kiri yang dibantu kaum nasionalis radikal sebagai useful idiots telah mengubur Pancasila di bawah kaki mereka. Upaya permusuhan terhadap Islam politik oleh banyak elit parpol penguasa saat ini harus dilawan karena sesat dan menyesatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mutu berpikir dan menggagas banyak para pemimpin parpol saat ini sangat menyedihkan dibanding mutu pikiran dan gagasan para pendiri Republik. Islam politik adalah hak setiap warga negara, terutama Muslim, yang bisa dinyatakan tidak hanya melalui parpol yang terus berusaha memonopoli politik setelah Pemilu usai. Pemilu hanya menjadi instrumen transfer bersih hak-hak politik warga pemilih ke sebagian besar Parpol. Peran politik warga negara hanya ada dan selesai di bilik-bilik Tempat Pemungutan Suara. Politik sekuler kiri dan nasionalis saat ini sudah kadaluwarso menghadapi tantangan nasional, regional dan global yang semakin interconnected and borderless. Kecuali jika Republik ini hanya diarahkan untuk menjadi satelit China atau Amerika. Agenda usang kedua kekuatan adidaya atas Republik ini semakin jelas bahwa Islam politik akan menjadi gangguan serius bagi upaya memenangkan proxy and neo-cortex war di negeri seluas Eropa yang kekayaannya selalu menarik dan menggiurkan para penjajah ini. Upaya memusuhi Islam politik adalah upaya para kaki tangan China dan AS saja di negeri ini. Kesepakatan elit parpol untuk memusuhi Islam politik adalah ungentleman, if not crooked, agreement untuk terus menikmati uang recehan para Taipan. Jika politik sekuler sak karepmu dhewe pesanan dari China dan AS boleh, mengapa Islam politik tidak boleh? Gunung Anyar, 6 Mei 2022. (*)

UU PPP: Akal Bulus Memaksakan UU Cipta Kerja

Alasan Pemerintah, diperlukan untuk mendorong invenstasi, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tiga hal ini memang sering sekali dielukan. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR RI PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo memang bebal dan suka memaksakan kehendak. Sikap ini dapat kita baca dari sejumlah proses lahirnya kebijakan. Salah satunya pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Revisi UU PPP yang kini telah disahkan dicurigai menjadi alat melegitimasi UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja, normalnya, akan menampar muka pemerintah dan DPR. Tapi kita tidak melihat rasa malu itu muncul saat UU berikutnya kembali diproduksi dengan cara yang sama. Buktinya, tak terpaut lama pasca-UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional, Pemerintah dan DPR kembali memaksakan pengesahan UU Ibu Kota Negara Baru. Proses pembahasannya juga sama, secepat kilat dan penuh kontroversi. Kontroversi ini mau tak mau membuat investor luar berpikir dua kali untuk menanamkan duitnya pada proyek IKN. Dan IKN pun terseok-seok. Sikap bebal Pemerintah dan DPR kembali terlihat saat RUU PPP diundangkan. UU PPP ini adalah wajah buruk yang kesekian kalinya dalam praktik legislasi di Indonesia karena diduga menjadi jalan pintas mengegolkan UU PPP. Indikatornya, pertama, secara substantif UU PPP bertolak belakang dengan semangat perbaikan tata kelola regulasi. Salah satu tujuan revisi UU PPP adalah memasukkan norma mengenai metode omnibus law sebagai dasar perbaikan UU Cipta Kerja. Padahal, metode ini sebelumnya tidak dikenal. Revisi UU PPP berpotensi memantik amarah publik. Pengakuan UU PPP terhadap metode Omnibus Law terindikasi menjadi pintu masuk mengesahkan UU Cipta Kerja yang ditolak publik dan telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. MK tentu tidak asal ketok palu. Metode Omnibus Law bersifat multidimensi dan multisektor, sehingga sangat berpotensi tumpang tindih dan rawan kekeliruan. Kekhawatiran banyak pihak akhirnya terbukti di Gedung MK. Kedua, tidak satu pun amar putusan MK memerintahkan revisi UU PPP. MK memerintahkan memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan UU PPP. Oleh MK, UU Cipta Kerja dinyatakan tidak sesuai dengan metode dan sistematika pembentukan UU serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena model revisi UU dengan gaya Omnibus Law tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Selain itu, banyak salah ketik di UU Cipta Kerja. Jadi, ada indikasi, revisi UU PPP adalah akal-akalan pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Indikasi ini setidaknya diperkuat oleh tiga hal. Pertama, bukannya memerbaiki UU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR malah merevisi UU PPP yang nota bene merevisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kedua, hingga saat ini, kita tidak pernah mendengar upaya Pemerintah dan DPR melaksanakan perintah MK, yakni memperbaiki UU Cipta Kerja. Pemerintah maupun DPR belum pernah membahas apalagi mengajak partisipasi publik atau stakeholder untuk membahas proses perbaikan itu. Publikasi pun belum ditemukan. Ketiga, adanya perubahan mengenai mekanisme perbaikan salah ketik. UU PPP pascarevisi mengatur bahwa setelah RUU disetujui bersama namun telah disampaikan kepada presiden, kesalahan teknis penulisan (salah ketik) masih diperkenankan untuk diperbaiki. Kita tahu, masalah salah ketik menjadi polemik besar dalam UU Cipta Kerja. Revisi UU PPP sebagai akal-akalan mengegolkan UU Cipta Kerja menunjukkan betapa buruk dan tidak disiplinnya cara pemerintah mengelola negara. Bila pemerintahnya saja tidak disiplin, bagaimana berharap masyarakat taat hukum? Seperti pengesahan UU yang penuh kontroversi lainnya, proses pembahasan revisi UU PPP berlangsung cepat, hanya enam hari. Revisi UU PPP dimulai pada 7 April 2022 dan persetujuan tingkat satu diputuskan dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 13 April 2022. Itu pun, efektifnya hanya empat hari bila dipotong Sabtu dan Minggu sebagai hari libur. Alasan Pemerintah, diperlukan untuk mendorong invenstasi, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tiga hal ini memang sering sekali dielukan. Tapi fakta berkata lain. Bahkan, Bos Tesla Elon Musk yang diuber Jokowi justru memilih investasi membuka kantor di Thailand. Sementara lapangan kerja bagi kelas menengah ke bawah terus digerogoti Tenaga Kerja Asing asal China. Begitulah, mereka banyak cakap, namun minim realisasi! (*)