Pro-Kontra Siswi Sekolah Negeri Berjilbab

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Menurutnya, hanya mencoba membimbing siswi sedikit demi sedikit untuk mengenakan pakaian keagamaan. “Tidak beranilah (memaksa), masak guru BK koyo ngono,” ucapnya prihatin.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

HARI-hari ini media sosial dihiasi berita “Pemaksaan Berjilbab Siswa di SMAN 1 Banguntapan”. Berita tersebut segera mengisi ruang-ruang grup WA dan memunculkan sikap pro-kontra sedemikian rupa.

Gatra.com – Jogjakarta melaporkan, Anggota DPRD Daerah Istimewa Jogjakarta sekaligus politisi dari dua partai bersilang pendapat soal kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul.

Anggota DPRD DIJ dari Fraksi PDIP Eko Suwanto menyayangkan kasus itu. Menurutnya, dunia pendidikan seharusnya menghormati kebebasan untuk menjalankan agama bagi anak didik.

“Pemda seharusnya menjamin kebebasan warga negaranya menjalankan ajaran agama dan kepercayaan, termasuk di sekolah,” kata Eko ketika dihubungi, Selasa (2/8) malam.

Sebagai Ketua Komisi A DPRD DIJ, Eko meminta Pemda DIJ memastikan seluruh sekolah negeri yang berada di bawah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) menjamin kebebasan anak didik dalam beragama.

Menurutnya, hal ini harus ditindaklanjuti dengan melakukan pembinaan kepada seluruh kepala sekolah dan guru agar memahami konstitusi. Mereka seharusnya menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Adapun Wakil Ketua DPRD yang berasal dari PKS, Huda Tri Yudiana, menilai wajar guru sebagai pendidik menyarankan sesuatu yang baik bagi muridnya, sepanjang tidak melanggar aturan yang berlaku.

“Peristiwa guru menyarankan berjilbab bagi siswi muslim menurut saya wajar. Kalau pada siswa non-muslim itu yang tidak boleh. Terlebih lagi, Disdikpora sudah memfasilitasi siswi itu pindah sekolah,” terangnya secara tertulis.

Menurut Huda Tri Yudiana, saran penggunaan jilbab oleh guru itu mirip saran melaksanakan salat berjamaah, puasa Ramadan, atau tidak mengonsumsi narkoba kepada siswa.

“Memang itu (adalah) tugas guru. Jadi bukan ranah intoleransi, tapi proses pendidikan. Jangan dibesar-besarkan, apalagi dikaitkan dengan intoleransi. DIJ miniatur Indonesia dalam hal toleransi,” ucapnya.

Sementara, Kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan, Agung Istianto membantah pemberitaan yang menyebut ada paksaan untuk memakai jilbab oleh guru BP kepada siswi. Dia mengatakan, pengenaan jilbab pada siswi itu adalah tutorial saja.

“Jadi ketika siswi menjawab belum siap menggunakan jilbab, guru BP lalu berinisiatif memberikan tutorial penggunaan jilbab dan ini disetujui yang bersangkutan. Kebetulan seluruh siswi di sekolah kami berjilbab,” katanya.

Berkenaan dengan dugaan pemaksaan penggunaan jilbab, Gubernur Provinsi DIJ Sri Sultan Hamengku Buwono X turun tangan dengan menonaktifkan sementara Kepala Sekolah dan dua guru Bimbingan Konseling (BK), serta satu guru wali kelas di SMAN 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul.

Hal itu agar tim investigasi dapat fokus melakukan pengusutan terkait adanya dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai. Hasil pengusutan nanti akan menentukan nasib guru ke depannya, termasuk jenis sanksi yang akan dijatuhkan.

“Satu Kepala Sekolah dan tiga guru saya bebaskan dari jabatannya. Jadi, mereka tidak boleh mengajar dulu sampai nanti ada kepastian,” kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Kamis (4/8) sebagaimana dilaporkan Kedaulatan Rakyat.  

Lebih lanjut Sultan mengaku, bakal menindak tegas apabila ada oknum guru yang terbukti melakukan pelanggaran, karena tindak pemaksaan penggunaan atribut keagamaan tertentu melanggar Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang penggunaan seragam sekolah.

Berkaitan dengan itu Pemda DIJ sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk melakukan investigasi kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada siswi di SMAN 1 Banguntapan.

Gubernur DIJ merasa heran jika siswa di sekolah itu justru diminta pindah dengan pertimbangan tidak merasa nyaman bersekolah (di sana). Padahal jelas-jelas siswa yang menjadi korban dari kebijakan sekolah.

Oleh karena itu Sultan berharap pihak sekolah bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bukan sebaliknya, mempersilakan siswa keluar dari sekolah. Jangan sampai hal serupa ditiru sekolah lain.

Majelis Mujahidin langsung merespons kasus tersebut dengan mengeluarkan pernyataan sikap berikut: Isu Pemaksaan Jilbab Siswi SMAN 1 Banguntapan, Jogjakarta, Bernuansa Islamofobia, tanggal 5 Agustus 2022, ditandatangani Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Irfan S. Awwas, dan Sekretaris, M. Shobbarin Syakur.

Memperhatikan pasca-pemeriksaan di Kantor Disdikpora DIJ yang dilakukan Wakil Kadisdikpora DIJ, Suherman, menurut Majelis Mujahidin, Kepala SMAN 1 Banguntapan Yogyakarta, Agung Istianto, juga telah membantah melakukan pemaksaan pemakaian jilbab pada salah satu siswinya. Pemakaian jilbab yang dilakukan guru Bimbingan Konseling (BK) disebutnya hanya sebagai bentuk tutorial.

“Pada intinya Sekolah kami tidak seperti yang diberitakan. Sekolah kami tidak mewajibkan. Tuduhannya salah, karena tidak seperti itu masalahnya, Sekolah Negeri kan tidak boleh (memaksa),” tegasnya.

Agung juga membantah jika guru BK mereka menyampaikan kata-kata yang menyakiti hati siswi tersebut, termasuk menanyakan kapan siswi itu akan mengenakan jilbab. Siswi tersebut beragama Islam, tapi mengaku belum pernah memakai jilbab.

Menurutnya, hanya mencoba membimbing siswi sedikit demi sedikit untuk mengenakan pakaian keagamaan. “Tidak beranilah (memaksa), masak guru BK koyo ngono,” ucapnya prihatin.               

Majelis Mujahidin memutuskan, antara lain, bahwa dugaan pemaksaan pemakaian jilbab oleh tenaga pendidik SMAN 1 Banguntapan adalah fitnah dan hoax. Arogansi pejabat daerah melalui Sekda Pemda DIJ Kadarmanta Baskara, oknum Disdikpora DIJ, tidak sesuai dengan tujuan Pendidikan.

Tidak boleh menjadikan Lembaga Pendidikan sebagai pengadilan dan hukuman yang tidak mendidik. Menjadikan peserta maupun pelaksana didik sebagai objek penderita dari pejabat pemerintah dan wakil rakyat merupakan pelanggaran UU Pendidikan.

Masyarakat pendidik dan pemerintah perlu melakukan kolaborasi saling menguatkan dalam upaya memenuhi tujuan pendidikan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, tanpa melanggar ajaran agama; tidak saling melemahkan satu dengan yang lainnya dengan alasan subjektivitas masing-masing. Perlu diadakan dialog konstruktif menangani persoalan anak didik menuju restorative justice (keadilan holistik yang membangun).  

Sementara, Solopos 8 Agustus 2022 15.20 mengunggah berita, “Hadeh, SMAN 4 Jogja Juga Bikin Aturan Paksaan Berjilbab untuk Siswi”. Solopos.com, JOGJA — Setelah kasus pemaksaan berjilbab untuk siswi di SMKN 1 Banguntapan Bantul mencuat, kini terungkap ke publik mengenai aturan pemaksaan pakai jilbab bagi siswi di sekolah negeri.

Kali ini yang terungkap itu adalah SMAN 4 Jogja. Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin) Jogjakarta menemukan dugaan pemaksaan pakai jilbab bagi siswi di SMAN 4 Jogja.

Demikian kata Ketua Pengurus Yayasan Samin, Fatchuddin Muchtar, sebagaimana dikutip wartawan Solopos.com, Anisatul Umah.

Penulis berharap kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab bagi siswi Sekolah Negeri itu tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak boleh dipolitisasi dan dilabeli intoleransi. (*)

2643

Related Post