OPINI
Penunjukan LBP Atasi Migor: Salah dan Sungsang!
Bisa saja mereka merasa percaya diri atas keadaan yang terjadi. Mereka tidak menyadari, cara mengatasi persoalan Migor hanya akan menarik kekuatan rakyat yang akan mengatasinya, rakyat akan melawan pemerintah. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MENTERI Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dipercaya Presiden Joko Widodo alias Jokowi memegang jabatan baru. Kali ini, Luhut diperintahkan Jokowi untuk membereskan persoalan minyak goreng (Migor). Lagi-lagi penunjukkan LBP mengurus minyak goreng jelas salah tunjuk. Sebab mematikan fungsi-fungsi Mengko Perekonomian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan. Presiden sendiri berpotensi menimbulkan disharmoni dalam kabinet. Seolah-olah menteri terkait hanya sebagai menteri pajangan (mati suri). Penunjukan LBP juga berpotensi melahirkan isu konflik kepentingan. Sebab, menurutnya, LBP dikenal dekat dengan figur-figur yang saat ini bermasalah hukum dalam kasus minyak goreng. Rakyat sudah mempersepsikan bahwa LBP itu bagian dari masalah, yang harus diatasi bukan justru ada penunjukan untuk mengatasi masalah. Ini hanya dagelan jeruk makan jeruk. Terlalu sering dikait-kaitkan dengan konflik kepentingan dalam urusan kebijakan yang dia tangani. Isu negatif kedekatan LBP dengan para pemain sawit akan memperbesar masalah di tengah-tengah masyarakat. Trauma masyarakat masih sangat kuat, saat menjadi komandan penanganan pandemi, muncul isu bisnis antigen dan PCR yang bikin heboh. Kala ditunjuk menjadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional, terdengar adanya keributan keterlibatan LBP dalam perseteruan konsesi proyek pembangunan PLTA yang terbesar di Asean yang rencananya dibangun di Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Inti masalah harga (saat ini) dan kelangkaan (saat itu), Migor itu soal produksi yang dilepas dikuasai oligarki, dengan segala masalahnya, termasuk menarik banyak pihak terseret oligarki untuk terlibat cari untung besar-besaran dan regulasi pemerintah yang tidak konsisten, karena kalah dan tunduk atas kuasa Oligarki yang sangat kuat hingga akhirnya membuka ruang bagi mereka untuk melakukan apa saja yang mereka mau, bebas berspekulasi, manipulasi dan melakukan penyeludupan. Terpantau LBP mengaku: sudah punya solusi untuk masalah minyak goreng. Ia mengatakan supai minyak goreng untuk masyarakat sudah cukup, namun perlu memastikan distribusi dan penyalurannya. Dia akan melakukan audit perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai Juni 2022. Indikasi ini awal petunjuk LBP akan melakukan kebijakan yang asal-asalan. Proforma awal sudah kelihatan tidak akan menyentuh akar masalah tetapi akan berputar-putar kesana kemari. Kalaulah kuasa presiden lebih kuat dari Oligarki tidak akan sulit mengatasi harga Migor dengan segala masalahnya. Saat pasokan jelas mencukupi untuk mengembalikan harga ke angka kisaran Rp 11.000/liter dan menghilangkam pasokan minyak goreng curah dan kemasan yang dimainkan distributor sangatlah mudah. Langkah LBP bisa ditebak yang akan muncul hanya kebijakan gimmick dan pencitraan, akan muncul seolah olah ada penurunan harga bahkan akan ada bantuan langsung tunai dan kebijakan lain yang sama sekali tidak mengatasi masalahnya. Kebijakan yang akan muncul tidak akan sampai bagaimana pengolahan minyak goreng dari hulu sampai hilir harus di kuasai negara melalu Badan Usaha Milik Negara, menurunkan harga ke angka Rp 11.000. Kebijakan Migor dalam satu harga (hilangkan harga disparitas), kepastian, kebijakan, keputusan negara yang bersifat tetap dalam menentukan HET tetapi hanya berputar putar tidak jelas arahnya. Negara dalam hal ini Presiden tidak akan berani stop Oligarki yang mencari keuntungan besar-besaran di atas penderitaan rakyat. Terbukti hanya dalam waktu 25 hari dari kebijakan negara melarang ekspor sawit mentah (CPO) yang dikeluarkan Presiden pada 28 April 2022 sudah menyerah dan dibuka kembali ekspor. Stigma masyarakat akan makin kuat dan terbukti benar setelah LBP gagal menjadi masalah Migor karena yang bersangkutan sesungguhnya bagian dari masalah yang harus diatasi bahkan dicegah jangan ikut campur mengatasi masalah minyak goreng. LBP akan gagal membatasi Migor dan rakyat akan tetap menjadi korban dari kebijakan Oligarki yang kuasanya sudah di atas kuasa Presiden. LBP tidak akan mampu mengatasinya, selain hanya akan melakukan kebijakan gimmick dan pencitraan. Bisa saja mereka merasa percaya diri atas keadaan yang terjadi. Mereka tidak menyadari, cara mengatasi persoalan Migor hanya akan menarik kekuatan rakyat yang akan mengatasinya, rakyat akan melawan pemerintah. Sudah banyak masalah yang menyengsarakan rakyat sementara Rezim seperti tuli dan menutup mata akan keadaan yang ada dan bahaya yang akan terjadi. (*)
Menggugat Posisi Dominan Dalam Presidential Threshold
PKS dan DPD akan mengajukan Judicial Review Pasal 222 Undang-Undang Pemilu (Presidential Threshold). Apakah Mahkamah Konstitusi akan memeriksa dan memutus permohonan tersebut? Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center ATURAN Presidential Threshold menyebutkan syarat perolehan kursi DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pileg sebelumnya untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Persyaratan yang sebenarnya tidak sulit untuk dimaklumi, tetapi demikian sulit dipahami. Terkait dengan hal ini sejumlah pihak mengatakan ambang batas tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Keberlakuannya semakin menguatkan hegemoni Parpol Politik tertentu dan sekaligus menghambat demokrasi yang fair dan kompetitif. Partai Politik yang berkoalisi dengan perolehan (kumulasi) suara lebih dari 50% (lima puluh persen) pada Pilpres sebelumnya memiliki posisi dominan sebab aturan ambang batas tersebut. Kondisi demikian akan terus berlanjut pada setiap Pilpres. Posisi dominan menunjuk pada adanya pembatasan pasangan Capres dan Cawapres. Disisi lain kontestan yang memiliki posisi dominan dapat dipastikan tidak akan mempunyai pesaing yang berarti. Sebagai referensi perbandingan, posisi dominan dalam Undang-Undang Anti Monopoli dicirikan salah satunya adalah menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar. Penguasan tersebut menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dengan demikian syarat perolehan kursi DPR atau perolehan suara Partai Politik akan melahirkan posisi dominan. Terlebih lagi Pileg dan Pilpres dilakukan secara bersamaan, maka posisi dominan sangat ditentukan oleh gabungan Partai Politik pengusung Capres dan Cawapres. Menjadi lain halnya jika Pileg dan Pilpres dilakukan secara terpisah. Presidential Threshold telah banyak diajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konsitusi, namun selalu saja kandas. Alasan ditolaknya permohonan adalah karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sebagaimana dialami oleh Partai Ummat. Menurut Mahkamah Partai Ummat belum dapat dinyatakan sebagai Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional. Perihal yang sama juga berlaku pada permohonan sejumlah tokoh antara lain, Tamsil Linrung dkk, Lieus Sungkharisma dan Gatot Nurmantyo. Perkembangan terbaru, Partai Keadilan Sejahtera dan Dewan Perwakilan Daerah akan melakukan hal yang sama. Perkembangan ini menarik untuk dicermati, mengingat keduanya berbeda dengan pemohon sebelumnya. PKS adalah Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sedangkan DPD adalah lembaga tinggi negara. Mahkamah Konstitusi akan kesulitan untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Penulis mencatat adanya beberapa pertentangan antara Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dengan UUD 1945. Pasal a quo telah menyeleksi Partai Politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Disini terjadi konflik norma dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Sejalan dengan ketentuan ini, maka jaminan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mendasarkan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Tidak berhenti disini, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dengan demikian ambang batas yang berlaku sebagai norma pembatasan (penyeleksian) merupakan bentuk penyimpangan terhadap “persamaan yang adil atas kesempatan” dan “persamaan yang adil atas atas kemanfaatan”. Norma tersebut juga bertentangan dengan prinsip “kepastian hukum yang adil” dan “perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Salah satu bentuk kepastian hukum yang adil adalah perolehan kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya persamaan dan keadilan. Pemenuhan hak harus diterima sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Dengan demikian norma ambang batas tersebut menjadi tidak bermakna dan oleh karenanya tidak memiliki kepastian hukum. Lolosnya Partai Politik untuk mengikuti Pemilu merupakan suatu prestasi yang seharusnya diberikan kemudahan dan perlakuan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Lebih lanjut, konstitusi sebenarnya menghendaki pasangan Capres dan Cawapres lebih dari dua, baik yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 tidak membatasi perolehan suara Partai Politik atau perolehan kursi DPR dalam Pileg sebelumnya untuk menjadi syarat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Sistem seleksi yang dianut bersifat alami, penentuannya diserahkan kepada rakyat. Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan perolehan suara paling sedikit 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi dengan lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berlaku sebagai penyeleksian lanjutan. Dimaksudkan ketika tidak ada pasangan Capres dan Cawapres yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen). Untuk kemudian dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali. Lain halnya jika terdapat Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara mayoritas, yakni 50% + 1 (lima puluh persen plus satu) dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi, maka dinyatakan sebagai pemenang. Demokrasi mengandung agregasi antara Partai Politik, Capres dan Cawapres yang diusung dan konstituen adalah satu kesatuan. Dengan demikian demokrasi bukan hanya persaingan secara adil dan kompetitif antar Partai Politik, namun jauh lebih penting adalah perluasan partisipasi rakyat guna menilai dan memberikan keputusan atas persaingan tersebut. Hal ini adalah sebagai aktualisasi demokrasi politik dalam perspektif kedaulatan rakyat. Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution” sepatutnya mengambil posisi progresif berparadigma konstruktivisme. Mengingat persyaratan ambang batas berpotensi pada praktik “unfair competition” dengan munculnya posisi dominan yang berkelanjutan. Konstitusionalitas Pemilu yang berasaskan “jujur dan adil”, memerlukan jaminan pemenuhan keadilan substansial yang berdiri tegak di atas kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutus perhohonan Uji Materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Tidak ada alasan lagi. Mencari alasan akan melahirkan kekecewaan yang berkelanjutan. (*)
Menegakkan Kembali Negara Preambule UUD 1945
Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasti politik, Anggota DPR dan DPD hanya sebagai pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila KEGALAUAN kita sebagai bangsa hari hari ini semakin membuncah, semakin gemas dengan tingkah pola para pemimpin yang tidak pantas lagi diteladani, korupsi, intrik-intrik politik yang mengkristal bersetubuh dengan Oligarki tak memberi energi positif, justru sebaliknya menjadikan bangsa ini carut-marut dan puncaknya hilangnya rasa kepercayaan sesama anak bangsa. Hilangnya jatidiri berbangsa dan bernegara, suramnya masa depan dengan bayang-bayang Oligarki yang bertemali di bawah bayang-bayang penjajahan China. Hutang yang semakin menggunung, negara tergadaikan, hilangnya kedaulatan sebagai bangsa. Apa ya begini negara yang kita inginkan sejak UUD 1945 diamandemen dan kedaulatan rakyat dirampok oleh partai politik, maka negara ini sudah tidak lagi berdasarkan Pancasila, diganti Super Liberal dan Super Kapitalis! Semua serba untung-rugi dan lahir pilkada pilpres, pemilu dengan biaya yang besar, maka sistem politik seperti ini butuh logistik yang besar. Akibatnya semua dipertaruhkan dengan transaksional yang serba uang tidak peduli negara ini tergadaikan lahirlah bandar-bandar politik, yang mengkristal menjadi oligarki yang menguasai jagat Indonesia. Marilah kita merenungkan kembali apa yang pernah dipidatokan oleh Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1963 sebagai berikut. ……“Dan sinar suryanya! Pada waktu kita berjalan, Proklamasi menunjukkan arahnya jalan. Pada waktu kita lelah, Proklamasi memberikan tenaga baru kepada kita. Pada waktu kita berputus asa, Proklamasi membangunkan lagi semangat kita. Pada waktu diantara kita ada yang nyeleweng, Proklamasi memberikan alat kepada kita untuk memperingatkan si penyeleweng itu bahwa mereka telah nyeleweng. Pada waktu kita menang, Proklamasi mengajak kita untuk tegap berjalan terus, oleh karena tujuan terakhir memang belum tercapai. Bahagialah rakyat Indonesia yang mempunyai Proklamasi itu; bahagialah ia, karena ia mempunyai pengayoman, dan di atas kepalanya ada sinar surya yang cemerlang! Bahagialah ia, karena ia dengan adanya Proklamasi yang perkataan-perkatannya sederhana itu, tetapi yang pada hakikatnya ialah pencetusan segala perasaan-perasaan yang dalam sedalam-dalamnya terbenam di dalam ia punya kalbu, sebenarnya telah membukakan keluar ia punya pandangan hidup, ia punya tujuan hidup, ia punya falsafah hidup, ia punya rahasia hidup, sehingga selanjutnya dengan adanya Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu, ia mempunyai pegangan hidup yang boleh dibaca dan direnungkan setiap jam dan setiap menit. Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mempunyai pegangan hidup begitu jelas dan indah, seperti bangsa kita ini. Malah banyak bangsa di muka bumi ini, yang tak mempunyai pegangan hidup sama sekali! Dengarkan sekali lagi bunyi naskah Proklamasi itu: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Dan dengarkan sekali lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Demikianlah bunyi Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alangkah jelasnya! Alangkah sempurnanya ia melukiskan kita punya pandangan hidup sebagai bangsa, - kita punya tujuan hidup, kita punya falsafah hidup, kita punya rahasia hidup, kita punya pegangan hidup! Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. Proklamasi kita adalah sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan kita, oleh karena seperti tadi saya katakan, Proklamasi kita itu adalah ledakan pada saat memuncaknya kracht total semua tenaga-tenaga nasional, badaniah dan batiniah-fisik dan moril, materiil dan spirituil. Declaration of independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita. Maka dari itulah saya tadi tandaskan bahwa Proklamasi kita tak dapat dipisahkan dari declaration of independence kita yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pembukaannya itu. “Proklamasi” tanpa “declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tidak mempunyai dasar penghidupan nasional, tidak mempunyai pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi. Sebaliknya, “declaration” tanpa “proklamasi”, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa kemerdekaan, maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala “isme”, akan merupakan khayalan belaka, - angan-angan kosong-melompong yang terapung-apung di angkasa raya. Tidak, Saudara-saudara! Proklamasi Kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai ke akar-akarnya segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan imperialisme dari tanah air Indonesia, - tidak, proklamasi kita itu, selain melahirkan kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia dalam arti seluas-luasnya: Kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, dan kepribadian kebudayaan, dengan pendek kata kepribadian nasional. Kemerdekaan dan kepribadian nasional adalah laksana dua anak kembar yang melengket satu sama lain, yang tak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana kepada masing-masing”..... Sekali lagi, semua kita, terutama sekali semua pemimpin-pemimpin, harus menyadari sangkut-paut antara Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Kemerdekaan untuk bersatu, kemerdekaan untuk berdaulat, kemerdekaan untuk adil dan makmur, kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum, kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kemerdekaan untuk ketertiban dunia, kemerdekaan perdamaian abadi, kemerdekaan untuk keadilan sosial, kemerdekaan yang berkedaulatan rakyat, kemerdekaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kemerdekaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, kemerdekaan yang berdasarkan persatuan Indonesia, kemerdekaan yang berdasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, kemerdekaan yang mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semua ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung atau saudara kembar daripada Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi orang yang benar-benar sadar kita punya proclamation dan sadar kita punya declaration, maka Amanat Penderitaan Rakyat tidaklah khayalan atau abstrak. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat terlukis cetha wela-wela (sangat nyata dan jelas) dalam Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat adalah konkrit-mbahnya-konkrit. Bagi dia, - dus bukan bagi orang-orang gadungan -, melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat adalah berarti setia dan taat kepada Proklamasi. Bagi dia, mengerti Amanat Penderitaan Rakyat berarti mempunyai orientasi yang tepat terhadap rakyat. Bukan rakyat sebagai kuda tunggangan, tetapi rakyat sebagai satu-satunya yang berdaulat di Republik Proklamasi, sebagai tertulis di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. (Cuplikan Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1963 di Istana Negara). Pidato ini sungguh masih sangat relevan untuk direnungkan keadaan bangsa yang carut-marut sejak reformasi dan mengamandemen UUD 1945, tatanan kenegaraan telah diubah tanpa mau memperdalam apa yang menjadi kesepakatan bersama yaitu Pembukaan (Preambule) UUD 1945, di sanalah tercantum Pandangan hidup, Falsafah hidup, Tujuan hidup, Cita-cita hidup. Para pengamandemen UUD 1945 telah lupa dan sengaja melupakan apa yang menjadi jatidiri bangsanya, menenggelamkan sistem berbangsa dan bernegara, dengan mengganti Demokrasi Liberal, demokrasi yang tidak berdasar pada Preambule UUD 1945. Demokrasi yang menjadikan rakyat hanya sebagai kuda tunggangan, rakyat hanya sebagai “tambal butuh“ yang hanya diberi sekedarnya, diberi sembako, setelah itu semua janji-janji manis dilupakan, akibatnya Amanat penderitaan rakyat terus akan berlanjut tanpa cita-cita. Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasti politik, Anggota DPR dan DPD hanya sebagai pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya. Partai politik hanya sebagai gerombolan manusia tanpa ideologi kebangsaan, ini semua bisa kita ukur dari jati diri bangsa, bisa diukur ketika “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan“ diganti dengan demokrasi kalah menang, demokrasi banyak-banyakan, demokrasi kuat-kuatan. Dampaknya tidak bisa dibantah dengan semakin merajalelanya Korupsi, sebab Partai Politik memang dibiyayai dengan hasil korupsi, begitu juga petinggi partai bergelimang kemewahan hasil korupsi. Sekali lagi Penderitaan rakyat akan terus berlanjut karena korupsi menjadi ideologi partai politik. Politik yang dipertontonkan bukan politik yang mempunyai tujuan mensejahterakan rakya, politik tanpa moral, politik dibangun tanpa jati diri yang hanya bertujuan untuk kekuasaan pribadi dan golongannya, saling intrik, saling hujat, bahkan menggunakan kekuasaan hanya untuk kekuasaan yang tanpa risih. Sekali lagi, rakyat hanya sebagai kuda tungganggangan, rakyat disewa untuk demontrasi, dan percaturan politik Indonesia memasuki era oligarki, segala sesuatu tidak lagi untuk kepentingan bangsa dan negara tetapi untuk kepentingan dan kemauan oligarki. Negara bangsa ini sudah murtad pada Pancasila, UUD 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan NKRI. Tidak ada jalan selamat kecuali rakyat melakukan perubahan sendiri, memperbaiki nasibnya sendiri, amanat penderitaan rakyat harus kita tanggulangi sendiri, Jalan keselamatan harus dibangun dengan Gotong-royong, dengan kebersamaan, dengan persatuan , dengan senasib seperjuangan, menegakkan kembali Negara Preambule UUD 1945. Membangun kesadaran baru bahwa negeri ini didirikan dengan falsafah hidup, tujuan hidup, pegangan hidup, cita-cita hidup, hanya kembali pada cita-cita Negara Proklamasi yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 kita bangsa ini akan selamat. Kembali menegakkan Marwa Pancasila dan UUD 1945 ori adalah jalan keselamatan bagi bangsa dan negara ini. Marilah kita bangun kesadaran kita sebagai anak bangsa, Bangunlah jiwa mu, Bangunlah Badan mu, Untuk Indonesia Raya. Kita bisa membangun negeri ini jika kita punya jati diri bangsa oleh sebab itu kembali pada Preambule UUD 1945 dan berjuanglah untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 ori. (*)
Anti Arab OK, Anti Cina Ano!
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Ini adalah salah satu keanehan negeri yang dipimpin Jokowi bin Notomihardjo. Betapa gencar dan maraknya ungkapan-ungkapan sinis hal-hal yang berbau Arab, mulai dari pakaian hingga bahasa do\'a. Pernyataan Tuhan bukan orang Arab pun muncul. Di sisi lain menyinggung etnis China sedemikian peka. Menyebut pengusaha China dikatakan rasis, bahkan mewaspadai kedatangan TKA asal China saja dapat dilaporkan ke Polisi. Adalah mantan Gubernur DKI Sutiyoso yang mengingatkan bahaya kedatangan ribuan TKA China yang dipastikan tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan beranak pinak di Indonesia. Sutiyoso mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan Indonesia akan menjadi seperti Singapura dimana etnis China akhirnya menguasai negara. Melayu menjadi minoritas. Sikap kewaspadaan mantan Kepala BIN ini sebenarnya pernah diungkapkan juga oleh mantan Kepala BAIS Letjen Purn Yayat Sudrajat. Sayangnya ditanggapi ngawur oleh Jubir Partai Garuda Teddy Gusnaidi yang meminta agar Sutiyoso diproses hukum. Ini fenomena aneh, saat menyinggung China muncul pembela dan membawa-bawa proses hukum segala. Tahukah Partai Garuda bahwa rakyat di negara Garuda ini juga sudah sangat khawatir dengan serbuan TKA China ? Itu baru kaitan dengan TKA apalagi jika mengkritisi keberadaan etnis keturunan China yang memiliki status sosial, ekonomi, maupun politik yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi. Ini bukan persoalan diskriminasi tetapi menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik. Negara harus peduli dengan dampak dari kesenjangan etnik tersebut. Tidak boleh ada konflik. Di sisi lain sikap anti Arab sepertinya mendapat proteksi atau sekurang-kurangnya pembiaran. Apakah kasus Habib Rizieq Shihab, Habib Bahar, Farid Oqbah atau keturunan Arab lainnya murni hukum atau berdimensi politik diskriminatif ? Sebutan kadal gurun (kadrun) dipopulerkan untuk menyebut orang Arab, keturunan Arab, atau umat Islam yang lebih tampil dalam sikap keagamaan. Gubernur DKI Anies Baswedan juga diserang habis-habisan dikaitkan dengan aspek etnis ini. Penyerangnya bebas-bebas saja tanpa sanksi perundang-undangan. Terkesan rezim Jokowi mengkhawatirkan akan peluang Anies Baswedan menjadi penggantinya. Oleh karena itu l\"kadrunisasi\" dibiarkan bahkan diproteksi. Buzzer Istana mendapat perlindungan politik maupun hukum saat mereka menyatakan sikapnya yang anti Arab, berteriak berisik soal ras dan etnik, bahkan mengaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Ormas diadu domba dengan mensupport kelompok anti Arab. Penyakit Islamophobia rezim Jokowi bin Notomihardjo menguatkan nativisme dengan sikap anti terhadap hal yang berbau Arab. Benci pada Arab adalah pintu masuk untuk benci pada Islam yang berujung benci pada Rosulullah SAW. Bahaya atau serangan keagamaan seperti ini ternyata tidak disikapi dengan tegas. Adanya tokoh yang menyatakan bahwa budaya Indonesia lebih mulia daripada budaya Arab menunjukkan semangat anti Arab tersebut. UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis digunakan untuk melindungi sikap kritis terhadap etnis China sekaligus dibuat tumpul bagi penyerang atau kelompok-kelompok anti Arab. UU diaplikasikan secara diskriminatif. Sebenarnya etnis China tidak direndahkan hanya minta diwaspadai dan diteliti sementara etnis Arab justru direndahkan. Dahulu PKI yang selalu menyerang Arab dalam rangka menentang kekuatan Islam. Dahulu PKI lah yang mendapat dukungan dan berkolaborasi dengan China. Dahulu PKI lah yang ingin mengubah ideologi negara dan dahulu PKI pula sebagai kelompok politik yang menghalalkan segala cara. Kini PKI sudah tiada, akan tetapi sikap anti Arab terus diwariskan dan etnis China tetap dimanjakan. PKI baru tidak boleh muncul dan bangkit kembali. Komunis tetap menjadi bahaya laten. Jika Indonesia ingin selamat. (*)
Polemik TKA Asal China dan Ancaman Pemilu 2024
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi menduga hal yang sama. Mereka khawatir TKA dari China berpotensi mengacaukan dan mengintervensi Pemilu/Pilpres mendatang. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI SETELAH lama tak terdengar, wacana TKA China kembali menggelegar. Adalah Letnan Jenderal TNI Purn Sutiyoso pemantiknya. Di tengah kasak-kusuk koalisi partai politik menuju 2024, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyatakan kekhawatirannya melihat TKA China yang terus berdatangan. Dalam pidatonya yang viral itu, Sutiyoso meyakini TKA China yang datang itu tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan beranak pinak di Indonesia, sehingga berpotensi menjadi mayoritas. Dia mencontohkan Malaysia yang kini departemennya banyak dipimpin warga keturunan China. Demikian pula di Singapura yang sekarang penduduknya mayoritas keturunan China. Kekhawatiran Sutiyoso tentu layak menjadi kekhawatiran kita juga. Beliau bukan orang sembarangan. Sebagai mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Sutiyoso tentu punya kepekaan lebih menyangkut potensi ledakan sosial atau ancaman kedaulatan negara. Dugaan Sutiyoso belum tentu benar. Tapi juga belum tentu salah. Sulit mencari kebenarannya karena selama ini pemerintah cenderung tertutup. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sebesar 88.271 pada 2021. Dari jumlah ini, TKA asal China mendominasi yakni sebanyak 37.711 atau sekira 42 persen. Namun, TKA tersebut menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal, adalah data TKA yang terdaftar dan memiliki skill. Sementara pada tahun 2018 saja, KSPI mengaku menemukan 157.000 buruh kasar asing atau unskill workers. Harap dicatat, itu empat tahun lalu. Saat ini angkanya tentu saja mungkin semakin membengkak. Malasahnya, TKA asal China bukan hanya tenaga profesional. Sebagian adalah tenaga kasar yang tidak memerlukan skill. Tak perlu diulang-ulang. Sudah begitu banyak yang bercerita tentang ini, termasuk ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri. Sayangnya, negara tidak konsisten dan terkesan melindungi TKA asal China. Begitu ada masalah yang mengedepan, rakyat sepertinya berhadapan dengan penguasa. Penerapan kebijakan bahkan cenderung diskriminatif. Di saat pelarangan mudik masa pandemi Covid-19 misalnya, lebih dari 300 TKA China dibiarkan mendarat di Bandara Soekarno Hatta, selama 4-8 Mei 2021. Jika dibiarkan masuk terus-menerus, dalam jangka panjang TKA asal China jelas mengancam kedaulatan negara. Dalam jangka pendek, populasi tambahan ini berpotensi pula mengganggu Pemilihan Umum 2024. Dulu, jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, foto e-KTP milik Warga Negara Asing (WNA) yang juga TKA asal China pernah menghebohkan jagad maya. Temuan ini mengejutkan karena pemilik e-KTP berinisial GC di Kabupaten Cianjur memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. KPU Kabupaten Cianjur mengakui ada kesalahan saat input data NIK milik WNA asal China yang terdata di DPT. Diketahui, NIK tersebut sama dengan NIK atas nama Bahar, yang juga penduduk Cianjur. Kekeliruan input data memang dapat saja terjadi. Satu-dua kali, itu hal yang manusiawi. Namun, kita harus semakin waspada. Fakta itu menunjukkan, ada celah yang dapat mengganggu atau bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk bermain-main dalam pendataan Pemilu 2024. Dan celah itu adalah TKA (ilegal) asal China yang jumlahnya kita tidak tahu. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi menduga hal yang sama. Mereka khawatir TKA dari China berpotensi mengacaukan dan mengintervensi Pemilu/Pilpres mendatang. Kekhawatiran rakyat harus dijawab pemerintah. Kita tahu, telah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu atau Pilpres seringkali menjadi ajang bagi adu strategi kecurangan. Sekecil apapun celahnya, tetap berpotensi dimanfaatkan. Lalu apa solusinya? Yang paling jitu adalah memulangkan TKA asal China ke negaranya secara berangsur, khususnya TKA non skill atau mereka yang berada di luar daftar TKA resmi pemerintah. Untuk apa mereka di Indonesia kalau bidang pekerjaannya dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia. Ombudsman RI menyatakan sebagian besar TKA China adalah buruh kasar. Pernyataan tersebut diungkapkan Ombudsman berdasar hasil investigasi penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka penempatan dan pengawasan TKA di Indonesia yang dilakukan pada Juni-Desember 2017. Seharusnya pemerintah lebih peka dan menunjukkan keberpihakan terhadap buruh-buruh lokal. Terlebih, pandemi Covid-19 telah meluluh lantakkan ekonomi masyarakat. Stop sumber masalah, pulangkan TKA asal China. (*)
Partai Koalisi Pemerintah Jebol
Pada kondisi pemerintah sudah dilepas (sapih) dari koalisi partai, tidak bisa lagi campur tangan dengan gerakan partai yang sudah terpecah. Bisa jadi Presiden justru masuk dalam permainan Pilpres mendatang sekedar menjadi makelar salah satu Capres. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SETIAP parpol yang berada di kubu pemerintah tentu membawa kepentingan masing-masing partainya, dan itu potensi sebagai pemicu konflik diantara mereka. Juga akan menjadi embrio konflik di internal partainya. Saatnya tiba ketika mendekati Pemilu/Pilpres Partai Koalisi akan terpecah, itu normal karena mereka harus bisa mempertahankan hidup partainya dan/atau ada keuntungan politik untuk kelangsungan hidup partai dan Capresnya pada Pilpres 2024 mendatang. Sesungguhnya Presiden dan partai koalisi memiliki agenda masing masing. Keliru kalau menafsirkan bahwa koalisi partai gemuk mati-matian akan mengamankan program pemerintah dan tetap tenang dalam koalisinya. Keliru juga menafsirkan bahwa dalam kondisi partai akan terpecah dan lepas dari pemerintah, dianggap akan tetap bertugas mengamankan program pemerintahan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin. Mereka saat itu solid bersatu, partai masih setia sebagai pelaksana remote Istana karena target keuntungan kepentingan politik ekonominya terpenuhi dengan masa waktu yang cukup bermanuver dalam koalisi gemuk. Menjelang Pemilu dan Pilpres sudah tidak peduli dengan program pemerintah (masa bodoh) juga tidak akan peduli lagi soal isu reshuffle kabinet menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi karena keuntungan politiknya sudah rendah. Di akhir pemerintahan itu memang para parpol sudah longgar komitmennya dalam satu koalisi gemuk dengan pemerintah karena mereka berupaya untuk menaikkan popularitas partai sendiri dan juga mencari peluang untuk bisa bertahan di kekuasaan mendatang, sedang Presiden akan berahir. Perbedaan pandangan antar partai politik di dalam koalisi menjelang akhir masa jabatan presiden merupakan suatu hal yang wajar. Setiap partai mempunyai kepentingannya masing-masing untuk bisa bertahan hidup pada Pemilu dan Pilpres mendatang. Adanya fragmentasi atau terbelahnya suara di koalisi pemerintahan Jokowi sekarang ini, itu adalah normal. Muncul partai koalisi bermain dua kaki atau sepuluh kali, itu keniscayaan ketika mereka mulai membentuk koalisi partai menyongsong Pilpres. Sekalipun berkoalisi antar partaipun bukan persoalan yang mudah dan akan terpecah, sesuai kekuatan dan kepentingan politiknya masing masing. Antara partai besar dan partai kecil, akan berbeda pola dan bentuk manuvernya. Koalisi dalam sistem presidensial itu sifatnya tidak permanen tetapi lebih pada upaya bagaimana mencari keuntungan politik dan finansial. Ketika Presiden akan mengakhiri masa jabatannya maka partai saling berjuang untuk bisa bersekutu dengan pemenang Presiden mendatang. Hebatnya menjelang Pilpres ada kepentingan super pragmatis yaitu buka lapak jualan partai sebagai kendaraan capres yang berminat membelinya. Persoalan Capres memakai partai sebagai kendaraannya tidak peduli akan jadi atau tidak, akan menang atau kalah. Konon harga partai belum termasuk biaya operasional. Jadi semakin dekat dengan berakhirnya masa jabatan presiden, koalisi gemuk partai dengan pemerintah saat ini pasti pecah mencari selamat sendiri-sendiri dengan cara membuat koalisi partai menyongsong Pilpres mendatang tidak peduli lagi dengan pemerintah. Fragmentasi partai akan membentuk koalisi baru seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah koalisi partai politik di Indonesia yang terbentuk melalui kesepakatan politik antara tiga partai politik dari Koalisi Indonesia Maju, yaitu Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan dalam menghadapi Pemilu Presiden 2024. Terdengar juga akan ada koalisi Partai Nasdem - PKS dan Partai demokrat. Sementara PKB masih melayang di udara diduga masih menunggu lapaknya laku, dan PDIP relatif sedikit tenang sebagai satu satunya partai yang akan bisa mengusung Capresnya dengan Presidential Threshold 20%. Siapa yang akan menentukan mereka pada akhirnya bisa membentuk koalisi permanen menyongsong Pilpres 2024. Lagi-lagi ketika bersentuhan dengan finansial mereka berlomba cepat untuk mengajukan proposalnya kepada Bandar Pilpres. Ketika salah satu koalisi ditolak proposalnya oleh bandar politik oligarki, akan terjadi dua kemungkinan tetap eksis maju tanpa dukungan bandar politik atau pecah dengan istilah menjadi partai pengusung atau pasrah hanya sebagai partai pendukung. Di sini tetap ada harganya masing masing sekalipun dengan harga tanpa tawar-menawar, bisa hanya dengan harga seikhlasnya. Keadaan akan berubah total apabila ada keajaiban tiba-tiba MK memenuhi tuntutan perubahan Presidential Threshold menjadi 0 %. Partai tetap ada harganya tetapi peluang tawar-menawar harga melemah. Sementara Bandar Pilpres akan putar haluan cara kerja politiknya. Pada kondisi pemerintah sudah dilepas (sapih) dari koalisi partai, tidak bisa lagi campur tangan dengan gerakan partai yang sudah terpecah. Bisa jadi Presiden justru masuk dalam permainan Pilpres mendatang sekedar menjadi makelar salah satu Capres. Menyongsong Pemilu legislatif dan Pilkada setiap partai harus siap-siap untuk mengawasi daerah pemilihannya masing-masing untuk bisa bersaing dan memenangkan politik 2024. Karena itu soal nasib partai lolos ke Senayan atau harus hangus di tengah jalan. Sekiranya pemerintah saat ini masih over confidence merasa masih akan bisa mempertahankan koalisi gemuknya, pemerintah ini buta politik dan buta melihat prospek politik ke depan yang akan jebol, terpecah, memecahkan diri. (*)
Buya Syafii Itu Seperti Nabi Khidir
Buya pun mendapat inspirasi untuk segera mengambil langkah: S elamatkan Muhammadiyah! Oleh: Anwar Hudijono, Wartawan Senior Tinggal di Sidoarjo “RASUL-Rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain”. Begitu pembukaan juz tiga Quran surah Al Baqarah ayat 253, posisi kiri paling atas. Allah memilihkan jenis kelebihan pada rasul-Nya untuk menjawab persoalan umat mereka. Sesuai tuntutan jamannya. Sesuai momentumnya. Rasulullah Yusuf diberi kelebihan soal ekonomi dan bisnis karena pada jamannya terjadi krisis ekonomi. Nabi Ayub diberi kelebihan kesabaran yang tiada batas untuk menghadapi krisis di atas krisis. Rasulullah Musa diberi mukjizat yang dahsyat karena jamannya dikuasai Oligarki atau persekutuan Firaun (despotisme politik dan militer), Qarun (kapitalisme) dan Hamam (teknologi dan sihir). Mirip-miriplah dengan Amerika sekarang. Rasulullah Sulaiman diberi kelebihan bidang sains dan teknologi karena menghadapi persekutuan rahasia umat Yahudi dengan setan ahli sihir dan teknologi. (Quran Al Baqarah 102). Persekutuan ini yang kemudian disebut Yakjuj dan Makjuj. Mereka memiliki tuhan yang dibelenggu (Quran Al Maidah 64). Siapa yang dibelenggu? Jawabnya ada di Hadits Tamin Ad-Dhari. Yaitu Dajjal. Demikian pula cara Allah memilihkan pemimpin Muhammadiyah itu disesuaikan dengan permasalahan persyarikatan, umat dan bangsa. Pas dengan mementumnya. Tuntutan dan kebutuhan. Semua itu indikator betapa sayang dan ridha-Nya kepada Muhammadiyah. Pak AR dihadirkan saat Muhammadiyah harus menghadapi kepemimpinan nasional gaya “Raja Jawa”. Figur Pak AR itu seperti pohon kelapa. Sangat kuat tetapi luwes. Arah angin diikuti sedikit tapi tidak sampai mentelung. Malah sebaliknya jadi kelihatan indah karena blaraknya melambai-lambai seperti tangan penari remo. Dia bisa nyurteni (memahami) dan ngemong Pak Harto. Karena rejim tidak mempan oleh amar ma’ruf nahi munkar gaya Pak AR, bahkan semakin mbegudul karepe dewe (menjadi-jadi) lantas Allah mengganti pemimpin Muhammadiyah dengan Amien Rais. Suaranya lantang, jago mengramesi kata-kata, saraf takutnya sudah putus sehingga berani melengserkan Pak Harto (Presiden Soeharto). Bagaimana dengan Prof Haedar Nashir? Saya sangat yakin Allah memilihkan dia juga karena pada momentum terbaiknya. Sesuai masalah yang dihadapi persyarikatan, umat dan bangsa. Sepadan dengan tuntutan jaman. Jelasnya bagaimana? Nah, insya Allah saya jelentrehkan di lain waktu. Kali ini saya fokus ke Buya Syafi\'i Maarif dulu. Selamatkan Muhammadiyah! Allah mengijinkan (memilih) Buya Syafi\'i Maarif untuk menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1998 menggantikan Amien Rais yang harus meletakkan jabatan sebagai konsekuensi menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN). Saat itu bangsa Indonesia, termasuk warga Muhammadiyah sedang dilanda badai euforia reformasi. Manusia seperti asyik menari-nari di atas pasir sehingga tidak sadar kalau sedang diseret ombak. Semua terlihat menyenangkan. Indah. Mempesona. Tidak sadar bahwa sedang menonton realitas palsu. Buya Syafii tidak ikut menari atau sekadar duduk di hamparan pasir tersebut. Dia memilih duduk sidikara (istirah) di atas batu yang berada di pertemuan dua samudera. Dari “keterasingannya” dia melihat euforia reformasi bukan dengan mata eksternal (fisik) tetapi dengan mata batin (bashirah). Buya seolah seperti Rasulullah Sulaiman yang dengan bashirahnya melihat ada “jazad” yang tergeletak di singgasananya. (Quran, As-Shad 34). Jazad ini berambisi menguasai dunia dari Yerusalem atau Al Quds. Ini sangat bahaya. Maka Sulaiman pun berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapapun sesudahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” Buya melihat (dengan basyirah tentunya) bahaya yang sangat dahsyat. Ada kekuatan tidak kasat mata yang punya obsesi hendak menguasai Indonesia dan menindas bangsanya. Kekuatan itu memafaatkan momentum reformasi ini untuk menggolkan agendanya sendiri. Atau bahkan sangat mungkin memegang skenarionya. Bukankah dalang selalu di belakang layar? Agar bisa menguasai dan menerkam Indonesia maka pilar-pilar penyangganya harus dihancurkan. Umat Islam, dan khususnya Muhammadiyah adalah salah satu pilar penyangga sangat vital. Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang mendirikan negara ini. Tiga tokohnya menjadi perumus dasar negara ini. Tokohnya lagi, Jenderal Besar Soedirman adalah Bapak TNI. Buya pun mendapat inspirasi untuk segera mengambil langkah: S elamatkan Muhammadiyah! Caranya, meneguhkan Muhammadiyah akan tidak terseret euforia reformasi. Diantara langkah strategisnya adalah Muhammadiyah tidak menjadi fasilitator atau pemrakarsa pendirian partai politik. Muhammadiyah tetap konsisten sebagai organisasi dakwah dengan menekuni bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan. Tembok Zulkarnain Buya pun seolah menjadi tembok Zulkarnain untuk melindungi umat manusia dari aksi fasad (perusakan), Yakjuj dan Makjuj (Quran, Kahfi 94). Maka bagi saya, eksistensi kepemimpinan Buya 1998 – 2005 itu adalah rahmat Allah untuk Muhammadiyah. Sikap tegas, kokoh Buya ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh puritan Muhammadiyah seperti Prof Abdul Malik Fadjar. Tapi juga tidak sedikit yang kecewa, menentang. Terutama dari kalangan warga dan simpatisan Muhammadiyah yang sedang dilanda euforia politik. Mengapa mereka kecewa? Karena kalau parpol didirikan atau setidaknya difasilitasi Muhammadiyah, dan pengurusnya boleh rangkap jabatan, maka akan menjadi parpol yang besar. Kalkulasinya sekitar 30 juta warga Muhammadiyah akan tumplek blek memilih parpol itu. Tentu saja ini kalkulasi awur-awuran. Tapi biasa politisi itu kalau ngobral optimisme kayak yak-yak’o. Dari situlah badai fitnah mulai menghantam Muhammadiyah. Badai fitnah itu direbakkan kekuatan yang ingin Muhammadiyah lembek atau hancur layaknya menyiramkan bensin di bara api jerami. Buya pun mendapat hujatan habis-habisan. Merebak isu bahwa Buya Syafii dengan Amien Rais pecah. Terlibat konflik hebat. Tentu saja spekulasi pepesan kosong. Buya itu seperti ikan tanpa tulang dan duri, mustahil mau konflik apalagi dengan kawan seiring dalam membesarkan Muhammadiyah. Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005, Buya menyerahkan kepemimpinan kepada generasi muda yaitu Prof Dien Syamsuddin. Buya mengikuti kaderisasi dalam regenerasi sebagai sunah Rasul. Rasulullah Muhammad menyiapkan kaderisasi Ali bin Abi Thalib. Ali kepada Hasan dan Husein dan seterusnya sampai nanti pada khalifah akhir zaman Muhammad bin Abdullah Al Mahdi. Seusai purna tugas di Muhammadiyah, Buya memilih madek (menjadi) begawan atau resi. Ngamandita. Seperti seorang pertapa yang duduk sidikara di atas batu yang berada di tengah pertemuan dua samudra. Madek sepuh. Apa itu sepuh? Sepi hawa awas loro ning atunggil. Sidikara Buya bukanlah seperti rahib yang sendirian bak embun di dedaunan yang segera kering manakala matahari merebaknya sinarnya. Melainkan proses lelaku untuk membina sepi hawa atau mengendalikan hawa nafsu. Sebab hawa nafsu akan mendorong kepada kesesatan. “Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah”. (Quran, As Shad 26). Hawa nafsu tidak pudar bersamaan dengan umur yang menua. Sampai ada istilah tua-tua keladi, tambah tua tambah kayak keledai eh .. semakin menjadi. Hawa nafsu hanya bisa dikekang, dikendalikan dengan lelaku. Sidikiranya Buya adalah seperti duduknya matahari. Tetap memberikan cahayanya bagi kehidupan. Buya tetap memberikan nasehat kepada bangsa, umat sebagai pengamalan wa tawa shaubil haqqi wa tawa shaubis shabr. Wa tawa shabil marhamah (saling menasehati dalam kebaikan, kesabaran dan kasih sayang). Hanya jiwa yang sudah sepi hawa nafsulah yang akan kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang (nafsul mthmainnah). Jiwa yang ridha, ikhlas bahwa segalanya berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya (sangkan paraning dumadi). “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Quran, Al Fajr 27-30). Semoga Buya termasuk golongan yang dirdha dan dirihai Allah. Sugeng kundur, Buya. Astaghfirulla. Rabbi a’lam. (*)
Istri Para Menteri Jalan-jalan ke Swiss Pamer di Medsos
Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN Luar biasa. Para istri menteri bidang ekonomi sedang jalan-jalan ke Davos, Swiss. Kegiatan senang-senang itu, mereka pamerkan di media sosial. Mereka berlibur ke luar negeri karena mengikuti perjalanan dinas suaminya yaitu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Sementara pada waktu yang bersamaan, Emmeril Khan Mumtadz (Eril), putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hanyut terbawa arus sungai di Swiss, pada Rabu (26/5). Hingga kini, polisi dan petugas SAR setempat masih melakukan pencarian terhadap Eril. Sedangkan istri Menko Bidang Perekonomian Yanti Airlangga, istri Menteri Perindustrian Loemongga Haoemasan dan istri Menteri Perdagangan Bianca Adinegoro, terlihat sedang jalan-jalan dan kongkow-kongkow di Davos Swiss. Aktivitas liburan dan senang-senang tersebut dipamerkan di akun Instagram ketiga istri menteri tersebut. Dalam foto yang diunggah di akun IG Yanti Airlangga, bisa dilihat ketiga istri menteri tersebut wajahnya saling berdekatan satu sama lain. Kemudian wajah mereka sengaja difoto secara close up. Sedangkan akun IG Bianca Adinegoro antara lain memperlihatkan foto Menteri Perdagangan M. Lutfi bersama istri dan anaknya. Aksi mereka seperti layaknya para artis dan kelompok sosialita. Ketiga istri menteri ini memang sebelumnya dikenal sebagai model. Namun, sekarang mereka sudah menjadi istri pejabat negara (menteri). Istri menteri dan keluarganya memang mempunyai hak untuk liburan. Tapi apakah etis dalam kondisi bangsa Indonesia sedang krisis seperti sekarang ini, istri para menteri itu beramai-ramai jalan-jalan ke luar negeri? Dipamerkan pula di Medsos. Patut diduga para istri menteri tersebut menggunakan biaya perjalanan dan fasilitas perjalanan ke luar negeri yang dimiliki suaminya. Pamer di ruang publik Seperti diketahui, setiap perjalanan dinas pejabat negara biasanya menggunakan uang negara. Dugaan lain bisa saja mereka berangkat jalan-jalan ke luar negeri ditanggung oleh perusahaan swasta besar seperti misalnya produsen minyak goreng/pengusaha kelapa sawit. Perjalanan para istri menteri ke Davos Swiss tersebut, dipastikan dalam rangka \"mendampingi\" para suaminya yang sedang melakukan perjalanan dinas untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum). Davos adalah sebuah kota di Swiss bagian timur, tepatnya di Sungai Landwasser. Davos merupakan kota tertinggi di Swiss dan Eropa. Perjalanan dari Zurich, Ibukota Swiss, ke Davos ditempuh sekitar tiga jam melalui perjalanan darat. Seperti diberitakan portal berita Detik, delegasi Indonesia hadir dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan didukung oleh sejumlah kementerian lain. Sejumlah menteri yang hadir antara lain Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif hingga Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Saat pandemi tahun lalu, Presiden Jokowi sempat melarang seluruh menteri maupun kepala lembaga untuk bepergian ke luar negeri jika tidak ada hal yang bersifat khusus serta tanpa ada izin dari kepala negara. Ketika itu Jokowi meminta kepada seluruh jajaran di kabinet untuk memiliki rasa kepekaan sosial dalam suasana pandemi ini. Walaupun Indonesia belum menyatakan secara resmi pandemi berakhir, para menteri sudah beramai-ramai pergi ke luar negeri dengan dalih mempromosikan Indonesia jelang perhelatan G-20 bulan Oktober 2022. Perjalanan dinas ke luar negeri itu membawa istri dan keluarga pula. Pamer kemewahan ditengah penderitaan rakyat. Jika kilas balik, pada September 2020, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK setelah mendarat dari perjalanan dinas ke Hawaii Amerika Serikat bersama isterinya, Iis Rosita Dewi. Waktu itu Edhy Prabowo ditangkap dan diadili terkait izin ekspor benih lobster. Apakah nanti akan ada menteri yang ditangkap Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi minyak goreng dan izin pemberian ekspor minyak sawit mentah (CPO) ? Kita lihat saja perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang sekarang sedang dilakukan Kejaksaan Agung. ***
Gus Baha: Komunis Bertentangan Dengan Islam!
Analisis Video Kupas Tuntas PKI dan Komunisme – Gus Baha (K.H. Ahmad Bahauddin) Oleh Raisa - Mahasiswa Sastra Arab VIDEO Kupas Tuntas PKI dan Komunisme oleh Gus Baha dari kanal Youtube ‘Santri Gayeng’ membahas tentang pandangan Islam atau reaksi muslim yang seharusnya terhadap komunisme. Dari video berdurasi sekitar dua puluh menit tersebut dapat diambil beberapa poin atau ide pokok yang meliputi kemutlakan ajaran Islam itu sendiri, bagaimana komunisme bertentangan dengan Islam, dan perbandingan derajat antara servis sosial yang dilakukan oleh sebuah kelompok dengan ajarannya. Dari poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa Gus Baha menyatakan dalam keadaan sekarang ini masih ada miskonsepsi yang dimiliki sebagian masyarakat tentang servis sosial, yang sering digunakan sebagai senjata untuk memusuhi Islam. Kunci untuk menyelamatkan diri dari hal tersebut dan melindungi ketakwaan sebagai muslim adalah tauhid. Adapun uraian dari poin-poin di atas akan dibahas dalam paragraf-paragraf selanjutnya dalam analisis video ini. Agama Islam menjunjung tauhid, yaitu keesaan Allah, penyerahan diri secara keseluruhan kepada Allah semata. Dalam Islam ciri orang baik adalah yang tergila-gila pada Allah SWT., yaitu yang patuh menjalankan perintahnya tanpa banyak perhitungan. Karena itu sebagai muslim wajib percaya kepada seluruh ajarannya, bahwa ajaran Islam selalu benar dan agama harus berdiri sendiri di atas kalimat yang haq (benar). Gus Baha dalam video ini menekankan bahwa agama itu sesuatu yang dikawal kebenaran absolut, dan maka dari itu fokus harus selalu berada pada ajaran yang mengandung kebenaran tersebut. Artinya, Islam mengajarkan jika ingin menilai suatu kelompok maka yang harus dilihat adalah nilai-nilai yang ada dalam ajaran kelompok tersebut dan bukan sejarah atau orang yang menyampaikannya. Hal ini juga berlaku kepada Islam sendiri. Misalnya, ketika ada kyai yang melakukan kesalahan, maka kesalahan ada pada orangnya dan bukan pada ajaran Islam. Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap ajaran komunisme? Komunisme sebenarnya mempunyai akar di sosialisme, yaitu konsep yang juga ada dalam Islam. Sosialisme Islam menjunjung keadilan, persamaan, dan antidzalim atau penindasan/penjajahan. Namun dalam komunisme, perjuangan menuju persamaaan ini dibawa ke tingkat yang lebih agresif. Komunisme bertumpu pada metode revolusi bersenjata yang dilakukan kaum buruh terhadap kaum borjuis untuk mewujudkan kesederajatan. Pada metode ini hanya ada peran manusia dan tidak mengindahkan adanya Tuhan. Hal inilah yang paling krusial dan menguatkan fakta bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Dalam video ini Gus Baha mengingatkan bahwa komunisme itu anti-Tuhan, dan karena dalam Islam tidak ada argumen yang membenarkan atheisme atau kemusyrikan, maka komunisme juga adalah hal yang tidak dapat dibenarkan oleh Islam. Namun komunisme mempunyai sejarah yang tidak bisa dihiraukan di Indonesia. Sejarah ini berupa tragedi yang memakan banyak korban. Sebagai warga Indonesia atau bahkan sesama manusia tentu akan muncul rasa simpati terhadap sebuah kelompok yang mengalami tragedi atau tertindas. Di sinilah muslim harus berhati-hati agar tidak terkecoh atau terbawa arus. Simpati kepada anggota sebuah kelompok tentu dapat menjadi gerbang menuju empati kepada ajarannya. Akan tetapi, kembali pada poin yang paling awal, yaitu Islam melihat ajarannya dan bukan sejarahnya. Jika sebuah kelompok teraniaya bukan berarti dapat dibenarkan semua ide yang terdapat dalam kelompok tersebut. Dan hal ini bukanlah hal yang baru yang hanya dirasakan komunis, bahkan di zaman dahulu, Firaun dan Abu Lahab pernah membantu para Nabi. Sebagian orang yang melihat servis sosial yang mereka lakukan akan merasa bahwa golongan kafir juga mempunyai sisi atraktif. Gus Baha berkata agama tidak boleh dikawal dengan hukum sosial yang berlebihan, melainkan dengan aqidah yang benar. Hal ini berkenaan dengan servis sosial yang disebut sebelumnya. Contoh lainnya adalah ketika ada masjid yang selalu meminta iuran dan secara bersamaan ada golongan bukan Islam yang justru memberikan bantuan finansial, maka dalam pikiran pasti akan muncul perbandingan, dan golongan tersebut dapat terlihat lebih menarik dari Islam. Dengan ini servis sosial baik pribadi melalui uang atau melalui konsep besar seperti ‘sama rata sama rasa’, dapat dijadikan senjata untuk melawan Islam. Gus Baha menekankan sekali lagi bahwa tauhid dan kebenaran itu ada di atas empati sosial. Bahaya dari memperhitungkan servis sosial sebagai sesuatu yang sama penting atau bahkan lebih daripada ajaran agama adalah orang tersebut hanya akan hidup dengan memperhitungkan keuntungan di dunia. Maka berlatihlah memegang teguh kebenaran dan selalu menjaga Allah di hati dengan argumentasi: semua di dunia lillahi ta’ala. “Al-Qur’an kalau sudah membicarakan kebenaran tak ada kata sosial, yang ada itu kalimat haq (benar),“ begitu ucap Gus Baha mendekati akhir video. Ini bukan berarti sosial itu tidak penting. Sosial itu penting, akan tetapi jangan sampai penilaian agama ditumpukan pada servis sosial. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa melalui video ‘Kupas Tuntas PKI dan Komunisme’, Gus Baha telah mengingatkan untuk selalu kembali kepada ajaran Allah Swt. dan kenalilah kebenaran dari kalimat yang haq. Kalimat yang haq adalah argumentasi permanen terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. (*)
Politik Munafik
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan JANGANKAN pembelaan pada agama, untuk sekedar mengomentari perbuatan yang melanggar agama saja tidak. Misalnya perzinaan, penodaan agama, lgbt atau perusakan masjid. Akan tetapi ketika membutuhkan suara umat Islam untuk kepentingan Pemilihan Umum maka tampil dengan atribut Islami seolah berwajah paling saleh. Perempuan tertutup rapat berbalut jilbab, sedangkan lelaki bersorban peci. Politik munafik menggejala saat mendekati Pemilu baik untuk Pilpres maupun Pileg. Bahkan bukan saja muslim yang mampu berpenampilan Islam tetapi juga non muslim. Yang ingin menjadi pejabat publik dengan mengeksplorasi bahkan eksploitasi dukungan muslim. Ingat kasus Ahok dahulu. Terlalu asyik ia mengoceh kesana kesini hingga menyentuh hal yang sensitif, ayat-ayat Qur\'an. Sifat munafikun itu di samping banyak dusta dan khianat atas amanat, juga bermimikri yaitu berpura-pura sama dengan komunitas yang menjadi targetnya. Tujuannya mengolok-olok, menggerus dan menghancurkan. Al Qur\'an mengingatkan : \"Wa idzaa laquu ladziina amanuu qoluu amanna wa idzaa kholau ilaa syayaathiinihim qoluu inna ma\'akum innama nahnu mustahziuun\" (Dan ketika mereka bertemu dengan orang beriman mereka berkata kami orang beriman, dan ketika kembali ke komunitas setannya, mereka berkata kami bersama kamu, sesungguhnya kami hanya memperolok-olok saja)--QS 2 : 14. Politik munafik adalah mereka yang menjalankan dan berjalan-jalan menjajakan bahaya keagamaan. Hati hati ekstremisme, radikalisme, dan sikap intoleran. Waspadai orang-orang yang berceramah menyinggung jihad, khilafah, thogut dan kafir. Bahaya terorisme telah mengancam kita, begitu bahasa kaum tak suka atau takut Islam. Radikalisme dan intoleransi adalah bahasa provokasi untuk memecahkan belah. Kadang isu terorisme dicarikan fakta pembenaran dengan kemunculan teroris buatan sendiri. Politik munafik itu menakut-nakuti akan adanya hantu dan hantu itu dibuat lebih dulu atau kemudiannya. Munafikun selalu ujub atau serba ingin pujian. Shalat mengimami harus dipublikasikan dengan foto yang disebarkan. Tapi penda\'wah ditangkap dan dipenjarakan. Tega membunuh aktivis yang membela agama dan ulama. Munafikun lebih berbahaya daripada kafirun yang terang terangan memerangi karena munafikun adalah penjahat dalam selimut. Selimut yang dipenuhi kutu-kutu busuk. Politik munafik menghalalkan segala cara atau \"il fine giustifica il\" kata Machiavelli. Cerdik tapi menipu. Terlalu banyak penipuan dengan kamuflase merakyat, sederhana, atau beragama. Akan tetapi si kancil seketika juga dapat berubah menjadi singa pemangsa. Diterkamnya rakyat yang tidak patuh atau melawan. Dengan alasan yang dibuat-buat atau dicari-cari. Kebijakan rezim saat ini sarat gaya politik munafik. Soal vaksin, impor, minyak goreng, dana umat, mafia tanah, investasi asing hingga mundur maju perpanjangan masa jabatan. Lain omong lain pelaksanaan. Khianat amanat membangun rekayasa licik seperti kotak suara kardus, KPU dan Bawaslu orang-orang tertentu, perpanjangan masa jabatan MK, hingga TNI Polri yang akan menjabat Plt Kepala Daerah. Semua adalah persiapan untuk melakukan \"political hypocricy\"--politik munafik. Rakyat Indonesia khawatir akan masifnya upaya untuk melestarikan politik munafik ini. Rezim yang mewariskan kejahatan tanpa merasakan bahwa perbuatannya itu adalah jahat. Teringat tulisan David Ruciman dalam buku \"Political Hypocricy : The Mask of Power\" yang menyatakan bahwa kemunafikan politik yang paling berbahaya adalah klaim dirinya tidak berpolitik munafik. Atau kita sudah menyerah pada pemimpin apa saja yang terang terangan bersifat munafik ? \"What kind of hypocrite should voters choose asal their next leader?\" tulis Ruciman. Dari Jokowi ke Jokowi baru agar Jokowi tetap abadi. Senista itukah bangsa dan rakyat Indonesia ini? (*)