OPINI

Sepak Terjang Korporasi Global di Indonesia dan Pelbagai Belahan Dunia (2)

Harap dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun 2000, mengelola Halliburton Co. Selain itu ada Bechtel Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger Group dari East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena, California. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) SEJARAH Kelam Kekuatan Korporasi Global Dalam Penggulingan Kekuasaan Pemerintahan Negara-Negara Berkembang. Karena paper ini sudah terlanjur memulai kisah kelam korporasi global melalui kasus Guatemala, maka penulis jadi teringat kembali sepak-terjang satu korporasi global Amerika bernama United Fruit Company dalam memprakarsasi operasi penggulingan pemerintahan berhaluan nasionalis kerakyatan di bawah pimpinan Presiden Jacobo Arbenz Guzman pada 1954. Arbenz Guzman yang menang pemilu secara demokratis di Guatemala pada 1950, ternyata memiliki rencana-rencana kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, Salah satunya, tertuju pada land-reform yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup kamu tani miskin di Guatemala. Melalui program yang dikenal sebagai Decree 900, Arbenz memulai kebijakan reformasi agrarianya. Sementara masyarakat kelompok bawah secara antusias mendukung dan menaruh harapan pada arah kebijakan yang ditempuh Arbenz. Sebaliknya, para elit pemilik tanah di negeri itu menganggap kebijakan Arbenz sebagai ancaman serius terhadap kepentingan mereka. Alhasil, Arbenz dituduh dan diisukan sebagai “antek komunis” yang berbahaya. Kegusaran para elit tuan tanah Guatemala pada perkembangannya gayung bersambut dengan para pihak di Washington, khususnya ketika Arbenz bermaksud menasionalisasi perusahaan multi-nasional asal Amerika, United Fruit Company. Maka hal ini memicu Washington dan Gedung Putih untuk melancarkan operasi menggusur Arbenz, dan singkat cerita, operasi ini berhasil dengan gilang gemilang. Bagaimana membuktikan keterlibatan United Fruit Company dalam hajantan penggulingan Arbenz pada 1954? Terlepas kebetulan atau tidak, setelah keberhasilan penggulingan Arbenz, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles beserta adiknya Allen Dulles yang kebetulan ketika itu merupakan Direktur CIA, terbukti memiliki saham dalam perusahaan United Fruit Company tersebut. Sebagai imbalannya, United Fruit Company memiliki konsesi penguasaan tanah di Guatemala dengan luas 150 ribu hektar atau setara dengan 600 km persegi. Yang lebih menarik lagi, perusahaan ini ketika ditelusur sampai akarnya, merupakan perusahaan milik dinasti John D Rockefeller yang bergerak dalam sektor perkebunan pisang dan nanas. Dua jenis tanaman yang merupakan keunggulan komparatif Guatemala. Selain itu, ada dua anak perusahaan United Fruit Company yaitu International Railways of Central America dan Empress Electrica. Sekadar menambah catatan kelam dan reputasi buruk United Fruit Company, ternyata perusahaan ini tercatat sebagai perusahaan yang kerap mengekspoitasi tenaga kerja, penggelapan pajak, dan penyuapan. Yang lebih tragis lagi, pada 1928 UFC menindas protes buruh yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja yang bekerja di bawah manajemen perusahaan ini. Dalam insiden ini, 2000 orang pekerja dilaporkan tewas. Perusahaan yang berdiri pada 1899 ini berganti nama menjadi United Brands Company pada tahun 1970-an setelah sebagian sahamnya dijual kepada Eli M Black. Hajatan Beberapa Korporasi Amerika dalam Penggulingan Salvador Allende di Chili pada 1973 Seperti halnya dengan Arbenz Guzman di Guatemala, Salvador Allende pun juga berada dalam satu haluan yang sama dengan Guzman dalam soal ideologi nasionalisme kerakyatan. Hanya saja kali ini, yang merasa terancam dengan kebijakan populis Allende adalah beberapa korporasi raksasa asal Amerika seperti Anaconda Copper Mining Company dan Kennecott Utah Copper. Kedua perusahaan ini hingga menjelang dekade 1970-an telah berhasi menguasai 7 hingga 20 persen Gross Domestic Product Chili. Tak heran jika sejak 1950-an Amerika berupaya mempertahankan kebijakan pro pasar di Chili. Namun secara tak terduga, Allende berhasil memenangi pemilu pada 1970. Alhasil, setelah menang Allende mencanangkan kebijakan Jalan Chili Menuju Sosialisme, yang meliputi nasionalisasi berbagai perusahaan tambang tembaga milik Amerika, nasionalisasi sejumlah bank dan beberapa industri besar, serta land reform untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Maka CIA kemudian menganggarkan dana 8 juta dolar Amerika untuk menjatuhkan Allende dari kursi kepresidenan. Anggaran sebesar itu tak pelak lagi berasal dari donasi beberapa korporasi raksasa Amerika termasuk perusahaan ternama International Telephone and Telegraph (ITT). ITT pada 1970 menguasai 70 persen perusahaan telkom Chili Chitelco. Semua rencana busuk CIA yang di belakangnya terdapat dua perusahaan tambang dan telkom Amerika dalam penggulingan Allende pada 1973, akhirnya terungkap juga pada era kepresidenan Bill Clinton melalui sebuah proyek yang dinamakan Chili Declassification yang kemudian terkumpul sekitar 16 ribu dokumen yang terkait keterlibatan CIA, Departemen Luar Negeri, Gedung Putih dan Departemen Pertahanan. Keterlibatan Korporasi Gabungan Inggris-Amerika Anglo-Iranian Oil Company(AIOC) Menggusur Mohammad Mossadeq pada 1953 Keputusan bersama Inggris-Amerika menggusur Mossadeq bermula ketika perdana menteri Iran tersebut mempunyai gagasan untuk melepaskan ketergantungan Iran pada perusahaan-perusahaan minyak Asing. Termasuk tentunya nasionalisasi terhadap AIOC. Sontak, kebijakan ini mendapat dukungan luas dari berbagai elemen strategis masyarakat Iran. Gerakan Mossadeq ini tentu saja bikin Inggris kebakaran jenggot, sehingga beberapa kali melakukan blockade pengiriman minyak Amerika ke luar negeri. Hanya saja, pada fase ini Inggris masih sebatas melakukan boycott dan embargo pada Iran. Namun pada perkembangannya kemudian, Inggris mulai melibatkan Amerika. Sehingga disepakatilah persekutuan Inggris-Amerika menggulingkan Mossadeq. Setelah Mossadeq berhasil digusur pada 1953, sebagian tuntutan nasionalisasi yaitu profit sharing 50% : 50% akhirnya disetujui oleh AOIC yang saat itu sudah tidak lagi memegang monopoli eksploitasi dan ekspor minyak Iran. Dan Amerika agaknya berperan besar dalam kesepakatan baru ini. Sejak itu AOIC dirubah menjadi semacam konsorsium yang didalamnya 5 perusahaan minyak asa Amerika memegang sebagian sahamnya. Dan mengendalikan eksploitasi minyak di Iran. Meski laporan keuangan konsorsium sulit diketahui publik tapi aktivitasnya dalam menyedot minyak dari bumi Iran, konsorsium ditengarai telah meraup keuntungan jutaan dolar. Pada 1979, 26 tahun pasca kejatuhan Mossadeq, Shah Reza Pahlevi digulingkan melalui revolusi Islam, Sejak saat itu, Amerika dinyatakan sebagai musuh nomor satu seluruh bagi bangsa Iran. Sejumlah Korporasi Amerika Beramai-Ramai Sponsori Penggulingan Presiden Irak Saddam Hussein Tanpa bermaksud mengabaikan berbagai faktor yang menjadi dasar bagi Amerika untuk menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein, tak bisa dipungkiri bahwa beberapa korporasi raksasa Amerika berada di balik dukungan penggusuran Saddam Hussein. Beberapa korporasi raksasa Amerika tercatat telah mengucurkan dana yang sangat besar dalam kampanye pemilihan presiden bagi pasangan George Bush dan Dick Cheney. Mereka itu antara lain Bechtel Group, Fluor Corp, Parson Corp, Lois Berger Group, serta Kello, Brown and Root (KBR), dan Washington Group International. Korporasi-korporasi raksasa inilah yang berada di balik skema invasi militer Amerika dan Inggris ke Irak. Hal ini nampak jelas ketika invasi militer AS ke Irak telah dinyatakan selesai. Setidaknya ada 5 perusahaan minyak Amerika yang direkrut oleh Bush untuk mendapatkan tender rekonstruksi Irak pasca Saddam. Merekalah para penentu kebijakan luar negeri Amerika yang sesunguhnya. Di antaranya seperti Halliburton Co serta Kellog Brown and Root. Harap dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun 2000, mengelola Halliburton Co. Selain itu ada Bechtel Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger Group dari East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena, California. Ditetapkannya lima korporasi minyak besar tersebut berkaitan erat dengan kepentingan Amerika untuk mengakses sumber minyak mentah di Irak. Program rekonstruksi Irak sejatinya hanya merupakan kedok untuk misi korporasi-korporasi minyak Amerika tersebut. (*)

Melihat Indonesia Lewat Citayam

Oleh Ady Amar | Kolumnis  CITAYAM tiba-tiba menyeruak ke ruang publik. Dibicarakan terus-menerus saban hari. Citayam hadir dibicarakan tanpa perlu rekayasa segala. Citayam seperti mendapat panggung untuk mengekspresikan kesuntukan sosial, khususnya di kalangan anak-anak muda. Citayam menjadi fenomena tersendiri. Bisa dilihat dengan memicingkan mata, pula bisa dilihat dengan mata terbelalak sekalipun. Citayam bahkan bisa dibicarakan dengan nyinyir, pula dibicarakan dengan decak kagum sebuah ekspresi keriangan anak-anak muda. Maka, Citayam bisa dilihat dan dibicarakan dari sudut manapun--poleksosbud--sebuah negeri dengan setumpuk persoalan: melihat Indonesia dari Citayam, bukan melihat Citayam dari Indonesia, itu _ga_ asyik, itu hal biasa. Citayam nyaris sebelumnya tidak dikenal. Seperti Indonesia di belahan dunia lain, juga nyaris tidak dikenal ketimbang Bali. Sehingga orang di sana bertanya, Indonesia itu apa dekat dengan Bali. Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati-hati agar Indonesia tidak merasa tersinggung dan makin asing. Citayam masuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Masuk Kabupaten Bogor. Orang menyebut pinggiran Jakarta. Meski bukan penduduk Jakarta. Jelas Citayam itu ada di Indonesia. Tidak salah juga jika mau menyebut, bahwa Indonesia itu bagian dari Citayam. Ya Indonesia bagian dari Citayam. Setidaknya jika dilihat dengan munculnya fenomena anak-anak mudanya menyerbu Jakarta dengan dandan pakaian yang dikenakan. Tidak ada yang istimewa dari pakaian yang dikenakan. Biasa-biasa saja kalau tidak mau disebut sederhana. Pakaian seada-adanya layaknya anak-anak Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tahun \'80-an. Mengingatkan style \"Ali Topan Anak Jalanan\". Tampilan anak-anak muda Citayam itu keren penuh percaya diri mampu memaksa Jakarta dan Indonesia meliriknya. Memaksa Jakarta dan Indonesia melihatnya sebagai fenomena sosial yang menyembul yang ditangkap dan diramaikan media, khususnya media sosial. Seolah mengistirahatkan nalar untuk tidak bicara hal-hal berbau politik yang melelahkan, yang ujung permainannya mudah ditebak ke mana arahnya. Citayam sama sekali tak dinyana jadi kehebohan tersendiri. Citayam seolah menemukan panggungnya di SCBD. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang \"memberi\" panggung,  yang sebenarnya tak direncanakan. Tapi anak-anak muda Citayam menangkapnya sebagai panggung ekspresi diri. Anies menghadirkan itu lebih sebagai ruang ketiga bagi penduduk Jakarta.  Mula-mula hanya belasan anak mudanya dengan dandanan memaksa anak-anak kota Jakarta menerimanya. Ada yang pakai celana satu pendek dan satunya agak panjang. Baju dibiarkan kancing terbuka dari atas ke bawah. Dengan kaos seadanya nyembul. Ada yang memakai topi yang ujungnya dimiringkan ke posisi telinga kanan atau kiri. Jadilah SCBD jadi pertemuan anak-anak muda seputaran Jakarta. Maka, inisial SCBD (Sudirman Central Busines District) pun dipelesetkan jadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok. Awalnya diraimakan anak-anak muda Citayam dan lalu diikuti anak-anak muda daerah lain di sekitarnya. Tampil bergaya yang tadinya asing buatnya, dan cuma bisa dilihat di televisi tanpa bisa mengespresikan diri. Bukan Panggung Politik Melihat Indonesia dari atau melalui Citayam, itu bahasa getir yang dirasa anak-anak muda, bukan saja di Citayam, tapi di seluruh pelosok negeri. Minimnya, bahkan tiadanya sarana mengekpresikan diri bagi anak-anak muda. Jika pun ada, itu cuma untuk kalangan tertentu yang berpunya, yang bisa menikmati. Citayam menjadi sesuatu yang punya nilai lebih jika fenomena itu ditarik pada persoalan sosial, bukan politik. Cuma politisi jahat yang mempolitisasi fenomena yang muncul. Seolah fenomena itu karena Anies Baswedan fasilitatornya. Maka ditimpuklah dan diseret pada masalah politik. Itu tidak fair. Anies tampak memanjakan anak-anak muda dalam memberi ruang berekspresi. Anies melihat itu, yang disebutnya sebagai ruang ketiga--ruang pertama rumah ringgal, ruang kedua sekolah. Hadirnya anak-anak muda dari Citayam dan sekitarnya, itu fenomena sosial yang mesti disikapi dengan bijak, dan itu dengan hati. Bukan dengan pelarangan tanpa bisa memberikan alternatif pilihan.  Maka peragaan busana, yang dikenal dengan Citayam Fashion Week (CFW), yang diadakan di zebra cross, tepatnya di Jalan Tanjung Karang atau di jalan menuju Stasiun BNI City dan Terowongan Kendal di Dukuh Atas, itu disikapi dengan beragam. Tentu ini bukan panggung politik Anies Baswedan, karena taruhannya tidak kecil. Bahkan bisa jadi sasaran tembak mereka, yang cuma bisa cuci tangan atas fenomena sosial--ketimpangan sosial yang jika tidak pelan-pelan diurai akan meledak jadi aksi sosial--yang ada. Anies justru berani mengambil jalan licin yang penuh pertaruhan, itu demi melihat Indonesia yang lebih baik. Melihat anak-anak muda Citayam dan sekitarnya sebagai persoalan anak-anak muda negeri yang perlu difasilitasi. Memang bukan tanggung jawab utamanya selaku Gubernur DKI Jakarta mengurus warga di luar wilayahnya. Tapi sebagaimana selalu diucapkannya, semua boleh bekerja di Jakarta. Dalam konteks luas, semua boleh gunakan fasilitas yang dibuat Pemprov DKI seluas-luasnya, tidak cuma untuk warga Jakarta saja. Tentu perlu diatur dengan piranti kebijakan yang ada. Dan itu,  agar \"panggung\"  yang dihadirkan tidak bersinggungan dengan peraturan lainnya. CFW di SCBD itu awal yang baik, meski banyak kekurangan di sana-sini, dalam menghadirkan anak-anak muda mengekspresikan diri. Mestinya kementerian terkait--Menparekraf Sandiaga Uno--menangkapnya sebagai peluang untuk mendayagunakan potensi pariwisata dan ekonomi kreatif. Dan itu dahsyat. Juga Kemensos Ibu Tri Rismaharini, belum tampak hadir di sana melihat itu sebagai fenomena sosial, yang sebenarnya itu tupoksinya. Dalam hitungan bulan CFW dibicarakan semarak, tidak saja dalam negeri. Dibicarakan juga oleh media fesyen Jepang, Tokyo Fashion. Tulisnya, CFW itu mirip dengan kemunculan Harajuku Fashion Street, di Jepang. Harajuku adalah sebuah distrik yang berada di Shibuga, kota Tokyo. Distrik ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang bergaya out of the box sejak tahun 1990-an. \"Thread keren tentang ribuan anak muda Indonesia yang berdandan dan membuat jalan-jalan di Jakarta Pusat menjadi hidup sebagai fashion catwalk, seperti Harajuku di Jepang,\" tulis Tokyo Fashion di akun Twitternya. Anies Baswedan, meski tidak diniatkan, seolah memilih tantangan jadi peluang. Meski itu penuh risiko. Ia sepertinya enjoy menjalaninya. Seperti tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Meski tentu aturan mesti ditegakkan: mana model pakaian yang boleh dan tidak boleh diumbar di ruang publik. Tidak lantas menghalalkan apa yang keluar dari asas kepatutan, itu dianggap bagian dari ekspresi. Anies dan timnya pastilah sudah menyiapkan pirantinya, yang terus akan dikaji dan disempurnakan. Akankah CFW di SCBD jadi satu legacy yang ditinggalkan Anies, yang bisa dikenang panjang atau cuma tren sesaat anak-anak muda dalam mengekspresikan diri. Sepertinya waktu yang bisa menjawabnya. (*)

Sepak Terjang Korporasi Global di Indonesia dan Pelbagai Belahan Dunia (1)

Demikianlah sekelumit kisah mengenai sepak-terjang dua korporasi global Gerber Food dan the International Nestle yang kebetulan keduanya bergerak di sektor produk susu dan makanan bayi. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) SEKELUMIT kisah di bawah ini merupakan rangkaian cerita kelam berkaitan dengan sepak-terjang Multi National Corporation (MNC, sekarang nyebutnya Korporasi) sebagai kekuatan global di beberapa negara. Mari kita ambil contoh apa yang terjadi di Guatemala. Baru-baru ini, Jenny Suziani, staf kami di Global Future Institute membuat suatu research pustaka yang relatif cukup komprehensif berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap para buruh wanita hamil di sejumlah negara. Kelakuan MNC AS Gerber Food di Guatemala Dalam kasus Guatemala, salah satu MNC yang layak kita sorot adalah Gerber Food, yang demi untuk mempromosikan konsumsi susu bayi bagi para wanita di Guatemala, dengan teganya menolak produk perundangan-undangan yang mendukung para ibu untuk menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI). Cara yang ditempuh Gerber Food sebagai korporasi multi-nasional adalah dengan memaksa World Trade Organization (WTO) agar pemerintah Guatemala untuk menekan Guatemala agar menghapus batasan pada produk makanan bayi. Dan Gerber Food berhasil memaksa WTO menekan pemerintah Guatemala. Padahal, pemerintah Guatemala sebelumnya menetapkan undang-undang untuk mendukung pemberian ASI para Ibu Rumah Tangga, dan pada saat yang sama membatasi penggunaan, juga penyalah-gunaan susu formula bayi, karena terkait dengan tingginya tingkat kematian bayi di negara-negara miskin. Karenanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan yang berguna bagi konsumen buta huruf. Dalam panduan ini tercantum juga batasan pemakaian adegan atau gambaran pemberian susu botolan pada bayi dalam iklan maupun kegiatan pemasaran lainnya. Setelah pemerintah Guatemala menerapkan undang-undang tersebut secara efektif pada 1988, penelusuran pustaka beberapa staf kami di Global Future Institute membuktikan bahwa seluruh pemasok susu dalam dan luar negeri di Guatemala mengubah cara pengemasan produk mereka. Hasilnya, tingkat kematian bayi turun drastis. PBB berpendapat bahwa Guatemala adalah contoh yang baik dalam hal penerapan aturan bagi penggunaan susu formula bayi. Namun ya itu tadi, Gerber Food sebagai perusahaan multi-nasional Amerika Serikat yang bergerak dalam produk susu bayi, menolak peraturan baru yang diterapkan pemerintah Guatemala terssebut dan bahkan berhasil mengobrak-abrik produk hukum Guatemala tersebut. Perusahaan ini tetap memakai gambar bayi gemuk dan ‘sehat’ di kemasan dan iklan mereka. Singkat cerita, pemerintah Guatemala gagal memaksa Gerber untuk mengubah kemasan. Gerber meminta pemerintah AS untuk melaporkan tindakan pemerintah Guatemala ini kepada WTO. Pemerintah AS ternyata tidak harus bersusah-payah memberikan laporan, karena pemerintah Guatemala sudah takut terlebih dahulu pada tindakan WTO. Akhirnya pemerintah Guatemala menyatakan bahwa peraturan tentang citra bayi dalam iklan dan pemasaran tidak berlaku bagi produk Gerber. Dengan demikian, Guatemala dipaksa untuk mengorbankan kesejahteraan bayi-bayinya demi kepentingan korporasi tersebut. Kelakuan MNC Swiss The International Nestle Satu lagi kisah kelam sepak-terjang jaringan industri raksasa produk susu bayi asal Swiss The International Nestle. Sebagaimana terungkap melalui berbagai sumber, Kampanye menentang cara promosi pabrik susu formula yang tidak etis, mulai berlangsung akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Semula diwarnai tanda tanya, mampukah kekuatan anti global itu melawan jaringan industri raksasa yang begitu rapi organisasinya. Namun berbagai kalangan gerakan anti globalisasi nampaknya tak ada ruginya untuk mencoba. Maka ketika itu terbitlah buku The Baby Killer pada tahun 1974 yang berisi pemantauan kelompok konsumen Inggris War on Want yang amat menghebohkan. Buku yang diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa Eropa Barat itu langsung menggugat nama baik Nestle, pabrik susu formula terbesar di dunia asal Swiss tersebut. Salah satu versi terjemahan buku tadi diterbitkan di Swiss dalam bahasa Jerman. Dengan perubahan judul yang provokatif, Nestle Membunuh Bayi-bayi. Penerbitnya langsung dituntut ke pengadilan oleh Nestle. Lewat proses pengadilan selama dua tahun, 13 orang aktivis konsumen Swiss yang menerbitkan buku terjemahan tadi dinyatakan bersalah, tapi Nestle sendiri memperoleh peringatan keras untuk memperbaiki cara pemasarannya. Akibatnya, jutaan orang dari puluhan negara bergandengan tangan mengkampanyekan The International Nestle Boycott, yang berlangsung selama enam setengah tahun, sehingga akhirnya perusahaan multinasional itu pada September 1984 memutuskan untuk mengubah citranya. Nestle merupakan perusahaan susu formula pertama yang menghilangkan gambar bayi montok pada kaleng produknya, tiga tahun setelah keluarnya Kode Internasional Pemasaran PASI (Pengganti ASI). Demikianlah sekelumit kisah mengenai sepak-terjang dua korporasi global Gerber Food dan the International Nestle yang kebetulan keduanya bergerak di sektor produk susu dan makanan bayi. Tentu saja bukan maksud penulis untuk berpanjang kalam dalam kasus tersebut di atas. Lebih dari itu, kedua kasus tersebut hanya sekadar gambaran kecil betapa besar dan kuatnya pengaruh berbagai korporasi dalam menentukan arah kebijakan strategis pemerintahan suatu negara, bahkan di negara tempat korporasi-korporasi besar tersebut berasal. Dalam kasus Gerber Food yang merupakan perusahaan multi-nasional Amerika, melalui kasus ini secara nyata membuktikan bahwa pemerintahan di Washington pun harus tunduk pada arahan kebijakan strategis ekonomi yang ditetapkan oleh Gerber Food, sehingga melalui tangan-tangan Gerber Food di Departemen Perdagangan dan bahkan WTO, pada akhirnya mampu memaksa pemerintahan Guatemala agar tidak memberlakukan Undang-Undang pembatasan produk susu dan makanan bayi terhadap Gerber Food. (*)

Islamophobia Tidak Ada? Buta Keles

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KETIKA Menag Yaqut menyatakan setuju dan memberi dukungan pada Resolusi PBB tentang penetapan hari penghapusan Islamophobia maka tentu ia meyakini bahwa Islamophobia itu ada. Negara-negara PBB penting untuk menjalankan Resolusi tersebut di negaranya masing-masing. PBB tidak mengkhususkan Islamophobia pada negara minoritas muslim, tetapi seluruh negara termasuk Indonesia yang mayoritas muslim.  Pernyataan Imam Besar Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA bahwa di Indonesia tidak ada Islamophobia bukan saja mengada-ada tetapi juga buta pada realita. Kasus-kasus penyikapan negatif pada Islam dan umat Islam bukan tidak ada, bahkan banyak. Dasarnya adalah Islamophobia.  Pak Imam harus tahu bahwa bentuk Islamophobia itu beragam antara lain menista atau menodai agama. Tidak adakah di Indonesia? Lalu menuduh tanpa dasar bahwa agama itu yang membuat radikalisme, intoleran atau terorisme. Islam dan umat Islam yang difitnah sebagai tertuduh.  Program moderasi beragama juga berbasis Islamophobia. Kriminalisasi ulama dan aktivis Islam serta membiarkan faham dan aliran sesat keagamaan seperti ahmadiyah, syi\'ah, bahaisme dan lainnya adalah Islamophobia. Membenturkan adat Istiadat dengan agama Islam termasuk di dalamnya.  Lebih jauh menginterpretasi Islam secara liberal dan pengembangan sekularisme yang berujung pada de-Islamisasi atau de-Qur\'anisasi adalah Islamophobia akut. Terma yang ada dalam Al Qur\'an yang harus dihindari dibaca dan di da\'wahkan seperti qital, qishosh, khilafah, jihad, ghazwah, kafir atau lainnya. Kaum Islamophobia ada di mana-mana. Buzzer yang teriak kadrun-kadrun dan anti Arab itu adalah kaum Islamophobia.  Kelompok yang membenturkan Islam dan Pancasila lalu menyatakan bahwa Pancasila itu seperti rumusan 1Juni 1945 itupun Islamophobia. Ingin menafikan bahwa Pancasila 18 Agustus berasal dari Piagam Jakarta. Mereka ketakutan berlebihan pada Islam.  Kaum Islamophobia menganggap Islam hanya urusan shalat dan puasa. Bisa haji sudah cukup. Tetapi ketika Islam mengharamkan bunga, mengutuk LGBT atau melarang kawin beda agama maka itu disebutnya radikal. Kaum itu memberi predikat umat Islam intoleran dan anti kemajemukan.  Nah pak Imam Besar, coba buka mata dengan jernih betapa umat Islam kecewa dengan sikap pemerintahan kini yang berbau Islamophobia. Meminggirkan dimensi sosial dan politik keumatan. Pak Imam jangan larut dan ikut-ikutan menuduh umat ini radikal, intoleran atau teroris. Pak Imam Besar bisa menjadi kaum Islamophobia. Walau memimpin Masjid negara sebagai Ketua DKM.  Islamophobia tidak ada tetapi radikalisme agama ada, bias dan tendensius pandangan Nasaruddin ini.  Katanya, \"praktek penyebaran radikalisme, intoleransi dan kebencian di mimbar agama nyata terjadi dan harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini\". Nah payah.  Islamophobia itu ada, masif, dan invasif karenanya harus diwaspadai dan diantisipasi. Bahkan harus dilawan dan dibasmi. PBB telah mencanangkan hari dunia melawan Islamophobia. Pak Menteri Agama telah mendukung, namun Pak Imam Besar malah menafikan atau berujar \"Islamophobia tidak ada\". Buta kalee.  \"Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi sehingga hati dan akal mereka dapat memahami ?\"-- fainnahaa laa ta\'maal abshooru wa laakin ta\'maal quluubu allatii fiish shuduur (sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta itu ialah hati yang ada di dalam dada)--QS Al Hajj 46. Bandung, 24 Juli 2022

Rakyat Akan Melawan – Ambil-Alih Kekuasaan

Proses tata kelola negara dan demokratisasi telah tersesat di jalan yang terang. Para pendekar konstitusi yang lahir dari rahim reformasi tampak semakin tak berdaya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “RAKYAT yang sedang lapar telah melepas sebuah pertanyaan: Rezim ini akan membuat regulasi UU apa lagi untuk membunuh rakyatnya. Rakyat yang telah susah dan menderita terus-menerus dirundung kecemasan kolektif dari ranah masyarakat sipil (civil society) bukan tanpa alasan. Karena UU yang sungsang telah menjadi penyebab laten ahirnya rakyat yang harus menderita dan telah terjadinya disharmoni di dalam ritme kehidupan ekonomi dan politik”. Lahirnya regulasi UU yang ditandai dengan cacat bawaan terjadi, itu karena kedunguan, cipta rasa dan akalnya sudah seperti batu. Rakyat sendiri sudah mengetahui bahwa rezim telinganya sudah tuli dan matanya sudah buta, itu karena indikasi kuat akibat serangan virus koin yang maha dahsyat. Disharmoni revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja sampai sekarang menggoreskan rasa pedih berupa memori kolektif yang destruktif.  Pemerintah dan DPR terus over confidence, dan jumawa menafikan suara dan aspirasi rakyatnya. Kebiasaan selama ini menganggap bahwa rakyat ini akan terus menerima, diam dan mengalah apapun yang akan mereka paksakan. Salah duga saat ini rakyat sangat peka, bahkan tetap terus pasang telinga dan mengamati keadaan yang sedang dan akan terus terjadi. Dalam pengawasan rakyat muncul putusan MK bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang cacat formil. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi yang muncul noted UU Cipta Kerja dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”. Rakyat pun sudah bisa membaca dengan jelas putusan MK yang anomali tersesat di jalan yang terang. Rakyat akan memulai aksi demo menuntut cabut UU Cipta Kerja. Demo besar harus dilakukan karena wakil rakyat memang sudah tidak ada. Jangankan wakil rakyat yang harus mengekspresikan dan memperjuangkan rakyat. Yang terjadi titik balik mereka sudah berselingkuh dengan kekuasaan dan Oligarki. Rakyat sudah siap kalau harus benturan dengan penguasa. Sudah tidak ada waktu rakyat terus diam dan mengalah dalam menghadapi  kekuasaan yang semakin ugal ugalan. Kini trending topic akan disahkannya RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana). Kalau pemerintah nekad bakal menjadi ajang awal lahirnya huru-hara, rakyat terpaksa harus melawan penguasa, ini waktunya. Memang aneh bin ajaib terjadinya tarik ulur antara rakyat dengan mereka yang merasa mewakilinya, yang justru saat ini memiliki otoritas membentuk dan menyesahkan UU. Ditengarai Pemerintah dan DPR lagilagi akan memaksakan RKUHAP yang akan mengancam kebebasan bersuara dan aspirasi rakyat akan dimatikan. Duet maut roh jahat eksekutif-legislatif, sebagai eksekutor UU makin bengis dan kejam, harus di dilawan dan dihentikan. Suara dan aspirasi rakyat diabaikan. Saran berupa pendapat pemikiran jernih dari para pakar dan ahli tata negara betapa bahaya RUU-KUHP tidak digubris sama sekali. Mantra-mantra para sesepuh dan para spiritual untuk mengerem dan mengendalikan roh jahat jangan ugal-ugalan, lumpuh total. Memaknai partisisipasi publik hanya terjadi dari hasil rekayasa pabrikan para begundal bandit-bandit politik negara, rakyat harus menerima dan menelan apapun akibat buruk yang akan terjadi di kemudian hari. Kali ini rezim salah perhitungan akan merasakan akibat dari kesombongan, kekejaman dan angkuhnya seolah-olah semua kebijakan yang melawan rakyat selalu aman. Kali ini akan kena batunya. Pertarungan antara roh jahat rekayasa pembentuk undang-undang yang akan memaksakan kehendaknya, hanya menggunakan senjata kuantitas berbasis data dan fakta absensi anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna, sudah lapuk. Masyarakat sipil bertahan pada keutamaan dimensi kualitatif dan kedalaman substansi aspirasi rakyat. Jurang ini makin dalam dan curam, awal benturan harus dimulai dan akan terjadi. Mereka mengira akan berakhir dengan kemenangan roh jahat duet eksekutif dan legislatif akan memenangkan pertarungan tersebut. Kali ini mereka tidak sadar, salah dalam kalkulasi keangkuhan politiknya. Dan, semuanya akan berakhir. Modal nekad dan kedunguan setidaknya menyimpan “hidden agenda” (agenda tersembunyi), bagian yang tidak terpisahkan, harus diakhiri dan rakyat akan membereskannya. Awal semua bencana datang adalah hasil amandemen yang telah mengubah UUD 1945 asli telah membawa bencana kehidupan negara. Jalan keluarnya kembali ke UUD 45 asli, memang akan membawa konsekensi negara saat ini bubar dulu baru ditata kembali, adalah sangat berat. Proses tata kelola negara dan demokratisasi telah tersesat di jalan yang terang. Para pendekar konstitusi yang lahir dari rahim reformasi tampak semakin tak berdaya.  Roh jahat begitu leluasa membajak konstitusi terus menerus terjadi, lepas dari pakem UUD 45 asli yang memang sudah dinistakan, dibunuh dan dibuang. Jalan keluarnya secara alami rakyat akan bangkit melawan, mengusir roh jahat yang sudah tidak bisa diatasi dengan akal sehat dan mantra-mantra pikiran jernih, maka satu satu jalan harus diatasi dengan kekerasan - ambil alih kekuasaan. (*)

Gagasan, Narasi, dan Karya, Prinsip Anies Baswedan (1)

Oleh I. Sandyawan Sumardi - Pekerja Kemanusiaan  Bapak-Ibu dan saudara-saudara yang saya hormati. Terus terang saya tidak tahu persis, mengapa saya diminta untuk memberikan tanggapan melalui diskusi ini, buku \"Anies Baswedan Gagasan, Narasi dan Karya, Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa\", yang ditulis Habib Abdurrahman Syebubakar dan Habib Smith Alhadar, dua sahabat yang saya kenal sejak awal dibentuknya WAG \"Institute for Democracy Education (IDe) - Human Development\" yang didirikan  oleh sahabat saya, almarhum Ivan Hadar, seorang sosiolog yang saya kenal baik, sejak pertengahan tahun 1990-an. Independen Bisa jadi saya diminta ikut bicara dalam diskusi ini justru karena saya bukan politikus.  Saya seorang  pekerja kemanusiaan  biasa, yang independen, yang dalam pergaulan sehari-hari bersikap non sektarian, non-partisan, dalam 20 tahun terakhir banyak mendampingi komunitas-komunitas warga sederhana di kampung kota DKI Jakarta ini.  Saya ingin tetap jadi manusia merdeka, yang dalam Pilkada 2017, saya ekspresikan dengan menjadi seorang Golput.. Maka izinkanlah pada kesempatan ini saya ingin bicara tentang Anies Baswedan lebih sebagai manusia biasa yang sedang berproses dalam kepenuhannya sebagai manusia Indonesia yang berakal, bernurani, beriman,  ketimbang sebagai makhluk politik belaka. Bukankah Anies Baswedan sebagai calon presiden  akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan kesiagaannya untuk bertarung dalam Pemilu 2024 yang masih jauh itu?  Sehingga tanpa sadar kita cenderung memandang/menuntutnya untuk menjadi sosok manusia yang sempurna, mudah bagi kita untuk menyematkan gambaran dirinya yang serba superlatif, atau sebaliknya serba negatif secara total dalam objek buli-bulian.. Saya pun tetap merasa bebas pada awal kepemimpinannya, saya bersama \"Forum Akademisi dan Praktisi Pecinta Kampung Kota\" di mana saya menjadi fasilitator komunikatornya, pernah mengingatkan dan mengkritik Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno. Forum Kampung Kota Mengingatkan Anies-Sandi Akan Janjinya, 15 November 2017 (https://rujak.org/forum-kampung-kota-mengingatkan-anies-sandi-akan-janjinya/). Juga bersama 32 kawan saya terlibat dalam Gugatan Pencemaran Udara terhadap Gubernur DKI, Gubernur Jawa Barat, Walikota Banten dan Presiden RI. (https://www.vice.com/id/article/pkb5xv/pn-jakarta-pusat-menangkan-gugatan-warga-sebut-presiden-jokowi-dan-gubernur-anies-melawan-hukum-soal-kebijakan-polusi-udara) Saya lebih ingin membahas nilai-nilai kehidupan yang diperjuangkan Anies Baswedan. Manusia Anies Baswedan  Saya mengenal Mas Anies Baswedan di tahun 2007 di kantor Kang Mohammad Sobary, ketika saya sedang mencari bantuan untuk menyelenggarakan Festival Budaya Anak Pinggiran (3000-an) Jabodetabek 2007. Waktu itu Mas Anies Baswedan baru diangkat sebagai  rektor Paramadina.  Tenang, ramah murah senyum, tak banyak bicara, suka mendengar, terbuka,  kalau bicara yang perlu dan efektif saja, respek pada lawan bicara, meski baru dikenal, dan memang percaya diri dan cerdas. Orang Jawa bilang penampilannya \"nyatrio\", seperti satriya Jawa, dari kalangan bangsawan.. Baru dalam Pilkada Jakarta 2017, setelah komunitas warga Bukit Duri yang saya dampingi proses pemberdayaannya selama 17 tahun itu  digusur-paksa pada tanggal 28 September 2016 oleh gubernur DKI petahana Basuki Tjahaya Purnama waktu itu,  Mas Anies sebagai calon gubernur datang ke kampung kami, memberi simpati kepada warga korban gusuran,  sekaligus berkampanye dalam Pilkada 2017. Meski pendekatannya simpatik, tapi waktu itu saya tidak terlalu antusias. Kan semua ini dalam rangka kampanye juga.  Kami masih trauma pada pengalaman kampanye Pilgub 2012, di mana cagub dan cawagub bahkan datang ke Sanggar Ciliwung di kampung kami Bukit Duri 2-3X, minta dukungan Paguyuban Warga Anti Penggusuran (PAWANG). Tapi kemudian ketika gugatan warga Bukit Duri, baik gugatan class action di PN Jakarta Pusat maupun gugatan di PTUN dinyatakan menang, persis sesudah sebulan Anis-Sandi dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih,  Gubernur Anies Baswedan mempersilakan kami, warga Bukit Duri korban gusuran, untuk datang ke balaikota.  Bahkan  Gubernur Anies saat itu berjanji kepada kami dan di depan publik, bahwa gubernur DKI, akan menerima putusan itu, dan tidak akan banding. Bahkan Gubernur Anies Baswedan kemudian  bertemu Presiden dan Menteri PU-PR untuk mohon agar pemerintah pusat juga tidak usah melakukan banding terhadap putusan menang warga Bukit Duri.  Waktu itu saya membaca di media dan mendengar sendiri dari Gubernur Anies bahwa sebenarnya Presiden juga sudah menyetujui untuk tidak banding, \"Masa kita mau melawan warga kita sendiri\". Tapi pada kenyataannya, ternyata pemerintah pusat, melalui Kementerian PU-PR tetap melakukan banding sampai di MA, bahkan sampai detik ini, belum ada putusan, terkatung-katung. Legacy Tapi rupanya Gubernur Anies tidak tergantung pada hasil putusan pengadilan. Gubernur Anies memang benar-benar  ingin membantu warga korban gusuran, bukan hanya di Bukit Duri, tapi Kampung Akuarium, Kunir, dlsb.  Gubenur ingin bekerja sama dengan warga korban gusuran, untuk membangun \"Pilot Project\" (proyek percontohan)  pemukiman warga miskin urban di beberapa lokasi di DKI Jakarta,  dengan konsep \"Kampung Susun\", mungkin  sebagai solusi alternatif proyek DP Nol Persen yang kesulitan. Begitulah selanjutnya, kami komunitas warga pinggiran ini ternyata diajak secara pro-aktif  bekerja sama oleh Pemprov DKI, dengan  konsep CAP,  \"Community Action Plan\", yang berprinsipkan partisipasi dan kolaborasi, yang pada dasarnya adalah proses penyadaran dan pemberdayaan, baik untuk komunitas warga sederhana, maupun untuk jajaran Pemprov DKI, karena bagaimanapun ini hal dan pengalaman baru bagi kita semua. Kalau pendekatannya hanya legalitas hukum saja, tak ada terobosan \"kemanusiaan yang adil dan beradab\", tak ada \"political will\" yang kuat dari gubernur dan jajarannya, tak bakal \"Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung bagi warga eks gusuran Bukit Duri\"  itu bakal terwujud. Dan Insya Allah, pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung itu sebulan dua bulan lagi bakal rampung. Saya tahu, pembangunan hunian warga sederhana Kampung Susun hanyalah salah satu masterpiece kerja Pemprov DKI 2017-2022. Saya tahu masih ada karya besar  yang besar-besar yang sudah selesai/akan selesai:  - Jakarta International Stadium (JIS), - Formula E/Sirkuit Formula E-Prix Ancol Jakarta, - Tebet Eco Park,  - Flyover Tapal Kuda Lenteng Agung,  - Jalur Sepeda Sudirman Bunderan HI, - Revitalisasi Taman Ismail Marzuki.. Memang harus diakui, dalam praktik, seorang pemimpin demokratis, yang menggerakkan warganya dengan prinsip partisipatif dan kolaboratif secara konsisten dan konsekuen, itu jauh lebih sulit, terkesan lambat, rumit menghadapi barrier dan bagaimana mengatur  birokrasi, mencari dan mengatur sistem pendanaannya, pendayagunaan anggaran  itu dengan manajemen sebaik, seselektif serta  seefektif mungkin sehingga tidak bocor dan betapa  njelimetnya  menyusun aturan-aturan hukum untuk mendukung dan  mengawal proyek-proyek pembangunan itu sampai ke masa depan. Begitulah Mas Anies Baswedan sebagai pemimpin adalah pribadi yang reflektif, berani melakukan diskresi, berani mengambil keputusan berdasarkan  pertimbangan yang komprehensif dan matang. Maka benarlah prinsip yang jadi judul buku ini \"Gagasan, Narasi dan Karya\". Setiap karya di belakangnya ada narasi. Sebelum narasi harus ada gagasan. Tidak ada karya tanpa gagasan. Tidak ada kebijakan tanpa gagasan.. Dan prinsip ini kami saksikan, kami alami  sendiri dalam praksis kerjasama komunitas warga miskin urban, dengan Pemprov DKI dan para \"stake holder\" (para pemangku kepentingan) lainnya.  Saya ingat, 10 tahun lalu, saya mengunjungi Taman Bunga Keukenhof di Belanda yang dikenal di seluruh dunia sebagai salah satu taman bunga terbesar dan terindah di planet ini, yang dibangun pada tahun 1949 oleh calon wali kota Lisse. Lisse  merupakan kota kecil di dekat Amsterdam.  Pada awalnya, calon walikota Lisse itu mengusulkan diselenggarakannya  sebuah pameran bunga agar penanam bunga dari penjuru Belanda dan Eropa, dengan harapan pameran akbar ini akan membantu Belanda, untuk mengembangkan diri  sebagai eksportir bunga terbesar di dunia.  Maka melalui riset profesional  mendalam, dirancangbangunlah Taman Bunga  Keukenhof, di sekitar Kastil Teylingen, Lisse.  Karena prestasi dan legacy ini, ia terpilih sebagai Walikota Lisse. Dan kita tahu, dalam  waktu 50 tahun Keukenhof telah menjadi sebuah taman bunga terbesar dan terindah di dunia.! Dan sejak 2017 sampai sekarang 2022, saya pun menyaksikan seorang gubernur, dengan tekun dan konsisten, sedang bekerja dalam team-work Pemprov DKI bekerjasama dengan DPRD, komunitas-komunitas warga, sebagian besar warga DKI Jakarta, mengarungi segala tantangan dan kesulitan, akhirnya pelan tapi pasti, ternyata melahirkan berbagai \"legacy\" (warisan) yang berkualitas.. Ya sah-sah saja kalau seorang calon walikota, calon gubernur, atau calon gubernur mencalonkan diri/dicalonkan untuk menjadi walikota, gubernur atau Presiden, bermodalkan prestasi/legacy nyata seperti itu. Jadi bukan karena hasil survei-surveian saja, kongkalikong politik demi kekuasaan semata, guyuran  \"money politic\" dari para oligarki, dlsb. (*)

Perhatikan Apa atau Siapa yang Berkata

Maka, ungkapan yang konon dari Ali bin Abi Thalib yang tampak objektif dan benar, “Perhatikan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan” mengalami degradasi legitimasi. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta SALAH satu ungkapan yang akhir-akhir ini mengemuka di media sosial dari kalangan aktivis kritis, “Indonesia tidak sedang baik-baik saja.” Di sisi lain muncul kontra narasi membantah pernyataan tersebut. Sebagian, kalau bukan seluruhnya, berasal dari para pendukung penguasa, atau sekurang-kurangnya sebagian dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pemegang kekuasaan di negeri ini. Kedua, pernyataan yang bertolak belakang tersebut tak ayal menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat awam, “Sebenarnya Indonesia sedang bagaimana?” Pertanyaan tersebut wajar juga muncul bila seseorang memperhatikan sepintas lalu perkembangan situasi dan kondisi mutakhir di negeri ini. Harga kebutuhan-kebutuan pokok naik, tarif dasar listrik juga akan naik, minyak goreng langka, polisi menembak polisi, Habib Rizieq Syihab (HRS) bebas bersyarat, pandemi meningkat lagi, dan lain-lain. Salah seorang aktivis mengungkapkan pemikiran sekaligus kegelisahannya demikian. “Dugaan Cara Instrumen Mukidi Mengalihkan issu.” “Ketika tekanan Politik terhadap MUKIDI menguat (akibat kenaikan harga komoditas misalnya), maka  instrumen ini bekerja diatur oleh dirigennya kira-kira begini; Muncul si Nganu yang memainkan Jurus Covid, instansi X memainkan Jurus Teroris, Lembaga Y memainkan Jurus bahaya PKI, dan Kelompok anti Khilafah memainkan Jurus bahaya Khilafah. Yang unik itu kelompok yang ingin perubahan ada sebagian yang ikut menari di gendang tsb. Makanya perubahan gak muncul-muncul. Kira-kira benarkah analisis warung kopi ini, Prof Chirzin?” Saya pun menanggapinya dengan menyajikan data. Pertama, Tribun Banten mengunggah berita bertajuk, “Lagi, Mahfud MD Ingatkan Bahaya Radikalisme di Indonesia: Sudah Menyusup ke Berbagai Sektor!” (Tribunnews/Irwan Rismawan 2022/07/19 19:28). Saya respons, “Mahfud MD Radikal!!!” Kedua, Kompas.com mengunggah laporan, Menteri Bahlil: IKN Harga Mati, Harus Jalan Terus. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara adalah harga mati dan harus terus berjalan. Ia pun menegaskan sudah banyak negara yang menyampaikan minat untuk berinvestasi di proyek IKN Nusantara. Pernyataannya ini sekaligus menepis  pihak yang menyebut proyek IKN sepi investor. “Saya ingin mengatakan bahwa investasi yang akan masuk ke IKN, negara-negaranya itu sudah ada. Tapi kami kan tidak mungkin ngomong setiap hari terus negara ini, negara ini (mau investasi),” ujar Bahlil dikutip dari Antara, Kamis (21/07/2022). “Sudah kayak omong kosong, gitu. Sudah, percaya. Investasi di IKN sudah ada, contoh UEA, Korea, Taiwan, China, banyak,” katanya lagi. (Kompas.com -21/07/2022, 00:06 WIB) Salah seorang pakar ekonomi senior pun komentar, “harga mati” itu nekat, nggak mau dengar aspirasi Rakyat, ya pemerintahan diktatuur.” Saya pun menanggapinya, “Membangun Ibu Kota Negara dengan Utang dari Luar Negeri, marwahnya di mana???” Yang lain pun menimpali, “Investasi asing Pak. Dikira membangun Ibu Kota tuh proyek real estate biasa.” Ketiga, unggahan teman demikian. Ketua KPK = Polisi; Ka BIN = Polisi; Mendagri = Polisi; Ka BNPT = Polisi; Dir Pindad = Polisi; Ka Pramuka = Polisi; Ketum PSSI = Polisi. Kesimpulan kecil saya: Semua Polisi! Kembali ke judul catatan, salah seorang petinggi negeri ini pernah berkata, “Stop impor beras, stop impor gandum, stop impor garam...”, “Ini bukan negeri peraturan...”, “Saya kangen didemo Mahasiswa.” Faktanya bertolak belakang dengan katanya. Maka, ungkapan yang konon dari Ali bin Abi Thalib yang tampak objektif dan benar, “Perhatikan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan” mengalami degradasi legitimasi. Bahkan salah seorang Guru Besar tafsir Al-Quran senior, ketika berpesan kepada doktor baru bimbingannya mengingatkan, “Kita tidak cukup mengandalkan validitas sesuatu pada apa yang diucapkan, tetapi juga harus memperhatikan siapa yang mengucapkannya.” Kisahnya, pada suatu hari Umar bin Khathab marah besar, dan hampir menghajar seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang berujar di depannya, “Saya suka shalat tanpa wudhu; saya suka fitnah; dan saya punya apa yang Allah swt tidak punya.” Ali bin Abi Thalib pun menenangkan Umar, dan membenarkan kata-katanya, karena dia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang terpercaya. Ali pun memintanya bertabayun tentang maksud ucapan yang telah memerahkan telinga Umar. “Aku bershalawat atas Nabi Muhammad tanpa wudhu; harta dan anak adalah fitnah; aku punya istri dan anak, sedangkan Allah swt tidak punya...” (*)

Otak Beton - Merusak Negara

Negara dalam bahaya, karena kepemimpinan yang mencla-mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka, dan kemampuannya yang hanya menggunakan pikiran beton. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KAJIAN Merah Putih adalah hasil pemikiran mahasiswa tanpa membedakan tingkat (semester) dan jurusan, hanya bersepakat idenya harus memenuhi standar keilmuan dengan literatur yang dipertanggungjawabkan. Jauh dari kesan formal dan protokoler dan sementara menutup hadirnya para pakar, kecuali dalam kondisi terpaksa. Semata untuk menjaga kebebasan berpikir diantara mereka. Saat mereka berkumpul salah seorang mahasiswa semester 2 dari Perguruan Tinggi Swasta, membuka awal diskusinya dengan mengatakan bahwa: Tidak ada bangsa yang hebat yang tidak terlahir dari seorang pemikir-pemikir yang hebat. Spontan tema tersebut disepakati, dengan santai gayung bersambut. Bangsa Indonesia dilahirkan oleh sebuah pemikir-pemikir hebat yang berbeda pandangan, bagaimana pergulatan pemikiran pada saat itu sangat beragam antara Nasional, Islamis, dan Sosialis, bagaimana kita disuguhkan oleh pergulatan Pemikiran yang dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Soekarno, Moh. Hatta, Mohammad Yamin, M. Natsir, Tan Malaka, dan beserta tokoh lainnya. Dialog di atas saat saat Indonesia dalam kondisi yang sangat rumit untuk menentukan arah negara ke masa depan. Pergulatan pemikiran para tokoh bangsa ahirnya menemukan format terbaik untuk menjaga dan menentukan arah tujuan dan perjalanan bangsa ini ke depan. Ruang pergulatan pemikiran yang seharusnya mendapatkan tempat dan kebebasan sebagai keniscayaan sebuah negara akan menapaki sejarah kejayaannya, tiba tiba tertutup oleh oknum pengendali dan pengelola negara dengan munculnya otak beton, otomatis negara dalam kondisi stagnasi dan munculnya banyak masalah yang justru akan membawa negara ke arah kehancurannya. Pondasi kehebatan bangsa ambruk oleh hadirnya pemikiran beton yang sekarang selalu digencarkan oleh Rezim saat ini. Rezim saat ini tidak mengelompokkan negara atas pemikiran komprehensif sesuai tujuan negara dan dukungan para pemikir hebat. Akibat hadirnya otak beton, berpikir serba pragmatis kekinian dengan hanya mengandalkan hutang, dan melahirkan manusia transaksional dalam kehidupan yang makin liberal otomatis menarik masuknya kekuatan lain dengan mudah menguasai negara saat ini dengan hadirnya Oligarki, bebas berbuat apa saja dengan kekuatan finansialnya. Dibangun dengan semangat dan modal hutang, berakibat terhadap sektor pembangunan yang semestinya fokus menunjang kesejahteraan rakyat semua berantakan. Pemimpin kita saat ini otaknya mengecil atau memang kecil “ocil”, otak kecil. Bagaikan “Ocil” konteks hewan besar yang berotak kecil adalah Dinosaurus, tepatnya Dinosaurus Stegosaurus. Berbadan besar dengan bobot 7 ton, tinggi 4 meter, panjang 9 meter namun otaknya hanya sebesar bola golf. Maka Stegosaurus yang hanya menggunakan otot ini menjadi bengis asal nabrak nabrak, dan berjalan tanpa arah. Problem bangsa kita bukan kemunduran dalam segi ekonomi tapi dalam segi berpikir karena masalah ekonomi pasti akan teratasi jika bangsa ini sudah berpikir secara gemilang. Kondisi saat makin sulit ketika semua pemikiran cemerlang bahkan Perguruan Tinggi ditutup dalam kontribusi pemikiran untuk pembangunan selain harus nurut dengan pola dan keinginan penguasa yang dikendalikan Oligarki. Salah satu upaya kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara harus bertindak dan bergerak untuk mengembalikan porsi kebebasan para pemikir bangsa mengembalikan kiblat bangsa yang sudah melenceng sangat jauh, harus dikembalikan adalah menciptakan dan berinvestasi agar terlahir kembali ruang kebebasan bagi para pemikir-pemikir anak bangsa yang hebat. Kita melihat hari ini literasi bangsa kita sangat jauh dari negara-negara lain yang sangat menghargai lahirnya para pemikir cerdas dan gemilang. Rezim ini hanya menghargai para otak beton sebagai pekerja jalan tol, dan jenis infrastruktur dan lainnya. Pikiran pendek dan sesat itu karena memang karena kapasitasnya pemimpin negara ini sangat minim dari kecerdasan dan pengalaman mengelola yang jauh dari standar minimalis. Negara dalam bahaya, karena kepemimpinan yang mencla-mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka, dan kemampuannya yang hanya menggunakan pikiran beton. Keadaan makin parah akibat The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah), kata seorang mahasiswa menutup diskusi dengan nada sinis. (*)

Politik Hukum Bola Pimpong

Kasus Joshua sudah menjadi sorotan masyarakat, tragedi KM 50 hingga kini masih menyisakan rasa sedih, marah dan kejahatan pembunuhan kejam oleh rezim yang tidak akan bisa dihapus/dilupakan oleh waktu. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ORANG nomor satu di Indonesia Presiden Joko Widodo dua kali melontarkan peringatan kepada Mabes Polri. Jokowi menegaskan bahwa kasus kematian Brigadir Joshua atau Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat harus dibuka seterang-terangnya. Jokowi juga memerintahkan agar jangan sampai ada yang ditutup-tutupi dan harus dibuka kepada publik. Penegasan itu disampaikan Presiden Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di Pulau Rinca, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (21/7/2022). “Saya kan sudah sampaikan. Usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan. Sudah!” tegas Jokowi. Penegasan tersebut memberi kesan psikologis selama ini ada kasus kematian yang oleh kepolisian tidak dituntaskan. Adalah kasus/tragedi berdarah KM 50, berlanjut sidang pengadilan dagelan yang menyisakan kasusnya tetap gelap gulita. Peristiwa berdarah KM 50 harusnya diusut tuntas dengan terang benderang. Anomali proses hukum tersebut terus membayangi pikiran Presiden Jokowi selama ini maka minimal sekedar mengurangi beban pikiran itu langsung intervensi kasus Brigadir Joshua agar di buka apa adanya. Toh tidak ada kaitannya dengan urusan dan terkait politik dengan kekuasaan. Kasus Joshua sudah menjadi sorotan masyarakat, tragedi KM 50 hingga kini masih menyisakan rasa sedih, marah dan kejahatan pembunuhan kejam oleh rezim yang tidak akan bisa dihapus/dilupakan oleh waktu. Kasus Brigadir Joshua dan Ferdy Sambo akan dituntaskan dengan transparan atau tidak itu urusan internal kepolisian. Tidak akan bisa menutupi atau dijadikan tukar-guling untuk menutupi kekejaman tragedi KM 50 dan tragedi (menurut Arief Budiman, Ketua KPU saat itu) total ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia. Politik bola pompong itu tak lebih sekedar mainan belaka. Presiden akan mencopot Kapolri atau tidak, rakyat khususnya umat Islam hanya ingin mencopot Presiden kalau tragedi KM 50 tetap gelap gulita. (*)

Makna Pelukan Kapolda Metro Jaya

Berarti di sini masih ada yang “ditutupi”. Apakah benar ada pelecehan pada Putri. Atau, jangan-jangan Putri dan Bharada E itu adalah “saksi kunci” dari suatu rahasia kejahatan yang juga diketahui oleh Brigadir Joshua? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) FADIL Imran adalah sosok yang diminta publik dipecat dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya? Benang merahnya adalah bahwa pada Jumat malam itu (8/7/2022) Irjen Ferdy Sambo menelpon Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Heru Susianto.  Ferdy Sambo cerita apa yang terjadi di rumah dinas Duren Tiga 46 Jakarta Selatan itu. Kombes Budhi datang ke lokasi. Setelah tahu kondisi mereka lalu menyusun skenario bagaimana mengamankan Ferdy Sambo. Logikanya sebagai Kapolres yang berada di jajaran Polda Metro Jaya, tentunya Kombes Budhi pasti koordinasi dengan atasannya, yakni Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Mungkinkah Kapolres berani bertindak tanpa petunjuk atasannya? Artinya, dari Kapolda Metro Jaya sampai dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebetulnya hari Jum\'at itu pun paham apa yang terjadi di rumdin DT-46 itu. Bukan tidak mungkin, selain kepada Kombes Budhi, Ferdy Sambo bisa saja menghubungi Fadil Imran dan juga Jenderal Listyo untuk minta “petunjuk”. Sejak itulah, diduga sudah terjadi pula “koordinasi” diantara mereka. Setidaknya, sebagai atasan langsung, baik Ferdy Sambo maupun Fadil Imran pasti minta petunjuk dari Jenderal Listyo. Namun, secara struktural, kasus ini diserahkan langsung kepada Kapolda Jaya karena terjadi di wilayahnya. Jadi, secara teknis pun, Fadil Imran bisa langsung “mengawasi” kasus yang diduga melibatkan Ferdy Sambo. Sehingga, bukan tidak mungkin, terkait dengan kasus DT-46 ini, Fadil Imran melakukan intervensi. Apalagi kedekatan antara Fadil Imran dengan Ferdy Sambo itu tampak saat keduanya berangkulan ala teletabis ketika bertemu pada Rabu (13/7/2022). Jadi, apa makna rangkulan tersebut? Semua ada benang merahnya. Maka, tidak adil kalau Kapolri tidak memecat Kapolda. Tak elok jika hanya memecat Kadiv Propam, Paminal, dan Kapolres Metro Jakarta Selatan. Presisi Kapolri tengah diuji dengan rangkulan Fadil pada Ferdy itu. Secara etika, tak elok menunjukkan keakraban keduanya di muka, apalagi sampai divideokan segala. Apakah Fadil hanya ingin menunjukkan kepada penyidik adanya kedekatan diantara keduanya, sehingga secara psikologis secara tidak langsung bisa mempengaruhi penyidikan? Atau bahkan, mungkin juga Fadil Imran pernah “dibantu” Ferdy Sambo saat Polda Metro Jaya menangani kasus “KM-50” yang menewaskan 6 laskar FPI. Ketika itu nama Fadil Imran disebut-sebut terlibat dalam kasus KM-50 yang kondisi jasad korbannya “mirip” Brigadir Joshua, banyak luka di tubuhnya. Sehingga, sebagai Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo saat itu punya wewenang untuk menentukan siapa saja yang terlibat dalam kasus KM-50 itu. Sehingga, nama Fadil Imran pun tetap aman hingga kini berkat “jasa” Ferdy Sambo. Tanda-tanda bahwa Ferdy Sambo akan dicopot itu sebenarnya sudah terlihat pada Senin (18/7/2022), dia menangis di pelukan Fadil Imran. Meski saat itu Fadil Imran menyatakan, itu hanya kunjungan biasa, kunjungan dari seorang senior kepada juniornya, kunjungan “seorang kakak kepada adiknya”. Dalam video berdurasi 24 detik yang tersebar di grup awak media itu, tampak Fadil dan Ferdy berpelukan. Irjen Ferdy Sambo tak kuasa menahan air mata. Fadil juga tampak mencium kening Irjen Ferdy Sambo. Irjen Fadil Imran mengatakan pelukan itu bentuk dukungan terhadap Ferdy Sambo atas kasus baku tembak sesama polisi di DT-46. “Saya memberikan support kepada adik saya, Sambo, agar tegar menghadapi cobaan ini,” kata Fadil saat dikonfirmasi, Kamis (14/7/2022). Ferdy Sambo ini memang angkatannya lebih muda dibanding Fadil Imran yang liting Akpol 91, seangkatan Kapolri. Sementara Ferdy Sambo angkatan Akpol 94. Sehingga dia sekarang ialah Jenderal termuda di Mabes Polri untuk level bintang dua. Menyusul tewasnya Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat di rumdin Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, pihak keluarga Brigadir Joshua melalui advokat  Kamarudin Simanjuntak meminta Kapolri untuk mencopot Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri. Setelah Ferdy Sambo dicopot, menyusul kemudian pencopotan Brigjen Hendra Kurniawan dari jabatan Paminal Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri. Hendra Kurniawan diduga mengetahui latar belakang tewasnya Brigadir Joshua. Dia pula yang disebut-sebut melarang pihak keluarga Brigadir Joshua untuk membuka peti matinya. Bersamaan dengan pencopotan jabatan Paminal Divpropam, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, juga dinonaktifkan menyusul Irjen Ferdy Sambo. Bagaimana dengan Fadil Imran? Hingga tulisan ini dibuat, masih aman-aman saja. Jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya tetap dipegangnya. Padahal, dia diduga kuat “terlibat” dalam upaya menutup-nutupi dugaan ada keterlibatan Ferdy Sambo dalam pembunuhan Brigadir Joshua tersebut. Sebagai bawahan langsung Kapolda, tidak mungkin Kombes Budhi begitu saja bergerak ke rumdin DT-46 tanpa “petunjuk” dari Fadil Imran, sehingga keluar narasi janggal seperti yang disampaikan versi polisi selama ini.     Narasi janggal yang tetap dipertahankan Polri adalah bahwa terjadi pelecehan pada istri Irjen Ferdy Sambo, Ny. Putri Chandrawati, pada Jum’at (8/7/2022) di kamar pribadi Ferdy Sambo. Ini diperkuat dengan alat bukti rekaman CCTV yang sebelumnya dinyatakan “hilang” dan baru ditemukan. Dengan demikian, berarti polisi tetap bertahan dengan narasinya bahwa telah terjadi pelecehan seksual atas Ny. Putri yang dilakukan oleh Brigadir Joshua. Apa benar? “Tetapi, sudahlah. Pada akhirnya toh kita musti dimulai penelitian ini. Apakah betul ada pemerkosaan? Apakah betul ada pelecehan seksual?” kata pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (19/7/2022). Kalau Mabes Polri tetap bertahan dengan narasi terjadi pelecehan atas Putri, justru memperkuat dugaan, yang nembak Ferdy Sambo sendiri. Ini diawali dengan cekcok antara Putri dengan Ferdy terkait skandal istrinya dengan Brigadir Joshua. Jika ditemukan ada banyak luka di tubuh Brigadir Joshua dapat dipastikan Ferdy marah besar, yang kemudian langsung menembaknya. Entah berapa kali tembakannya. Sehingga, Brigadir Joshua tidak mungkin bisa melawan. Setelah Brigadir Joshua terbunuh, dipastikan Ferdy panik dan menghubungi atasan dia untuk “minta petunjuk”. Itu yang menyebabkan bagaimana mereka menutup rapat kasus ini sampai 3 hari. Selama 3 hari itu, apapun bisa dilakukan Ferdy maupun tim Polri. Termasuk mengganti decoder CCTV di sana. Bisa jadi juga, dari sinilah mereka kemudian membuat rekayasa. Skekario disusun. Keluarkan pernyataan Humas Polri sesuai arahan atasan mereka. Diduga kuat, penembakan ini dilakukan dari jarak “sangat dekat”. Hal ini bisa dilihat dari luka tembak yang ada di tubuh Brigadir Joshua. Keterangan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Senin (11/7/2022) menyebutkan, Brigadir Joshua tewas setelah terjadi baku tembak dengan Bharada E di rumdin Duren Tiga 46 Jakarta. Peristiwa “tembak-tembakan” tersebut terjadi pada Jum’at (8/7/2022). Tapi, pihak Polri baru merilisnya, Senin (11/7/2022). Jasad Brigadir Joshua dibawa ke Jambi, Sabtu (9/7/2022). Dan, baru dimakamkan, Senin (11/7/2022). Adapun baku tembak itu terjadi sekitar pukul 17.00 WIB. “(Penembakan) itu benar telah terjadi pada hari Jumat 8 Juli 2022. Kurang lebih jam 17.00 atau jam 5 sore,” kata Brigjen Ramadhan di Mabes Polri. Belakangan tersiar kabar, Putri Chandrawati dan Bharada E, sudah meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka minta perlindungan dari siapa? Toh, Brigadir Joshua sudah tewas. Berarti di sini masih ada yang “ditutupi”. Apakah benar ada pelecehan pada Putri. Atau, jangan-jangan Putri dan Bharada E itu adalah “saksi kunci” dari suatu rahasia kejahatan yang juga diketahui oleh Brigadir Joshua? Kita tunggu saja keberanian Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapnya, seperti perintah Presiden Joko Widodo. (*)