OPINI

PKS: Mata Air Rakyat

Tanpa oposisi, negara tak punya kontrol. Tanpa oposisi, demokrasi tak punya masa depan. Dan tanpa oposisi, kerusakan yang dimunculkan oleh Presiden Jokowi boleh jadi lebih parah. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI DALAM sebuah cuitan, Fahri Hamzah mengunggah foto mahasiswa saat demo Mei 1998. “Tebak foto. Cari Raffi Ahmad saat pimpin demo,” begitu bunyi captionnya. Tidak sedikit netizen menyentil cuitan ini, tak kurang pula yang merespon dengan sinis. Saya sendiri menganggap, cuitan Fahri sekadar candaan politik saja, bagian dari cara dia menyegarkan timeline twitter. Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), canda memang menjadi penyegar yang sabang waktu mengawani aktivitas. Para politisi yang lahir dari rahim politik PKS telah terbiasa dengan dinamika canda-tawa itu. Meski tidak lagi berada dalam struktur kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PKS lagi, kebiasaan ini terbawa kemana-mana. Termasuk saya, Fahri dan kawan-kawan jebolan PKS lainnya. Mereka yang tidak paham psikologi internal, kadang menganggap kritikan atau sindirian “alumnus” PKS sebagai serangan. Padahal, bagi saya pribadi, itu adalah cara lain menyayangi PKS, cara lain menunjukkan kepedulian kepada partai dari kejauhan. Kini, PKS telah berusia 20 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang tidak sebentar di tengah pasang surut dinamika kontemporer politik Indonesia. PKS bertahan, PKS tetap eksis. Politik kebangsaan yang mengedepankan titik temu dan politik sebagai jalan dakwah menjadi kunci bagi PKS bertumbuh, berkembang dan tetap diminati. Jiwa politik itu sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang: mengapa kader PKS begitu militan? Tidak cuma kadernya, militansi partainya juga bukan kaleng-kaleng. PKS tercatat pernah menjadi satu-satunya partai oposisi di pemerintahan Joko Widodo. Pun hingga sekarang, partai ini tetap menjaga kharisma oposisi. Meski tidak jamak dikenal dalam sistem presidensial, faktanya, partai oposisi itu perlu. Oposisi dalam sistem presidensial sejatinya adalah parlemen. Tetapi kita paham suasana parlemen kita yang justru mewarnakan sikap politik koalisi. Ini adalah konsekuensi logis dominannya partai koalisi, pemegang remote control fraksi-fraksi di DPR. Saking dominanya aura koalisi di DPR, PKS bahkan menjadi satu-satunya partai yang menolak Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), gagasan Presiden Jokowi itu. Faktanya, pengesahan UU IKN secepat kilat dan sarat misteri. UU IKN juga dinilai kebijakan tidak tepat dalam situasi bangsa saat ini. Hutang menumpuk, ekonomi anjlok, pengangguran di tengah membludaknya tenaga kerja non skill asal China, dan lain-lain. Bersama fraksi Partai Demokrat, fraksi PKS juga tercatat menolak UU Cipta Kerja. Sebelas-duabelas dengan pengesahan UU IKN, pengesahan UU Cipta kerja juga melanggar prinsip demokrasi dan negara hukum. Faktanya, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat. Sekali lagi, PKS membuktikan kebenaran sikap politiknya. Di tengah dominasi partai koalisi, kehadiran PKS sebagai kekuatan penyeimbang seolah menjadi mata air rakyat di tengah padang. Meski terlihat sempoyongan memberi perimbangan atas kekuatan partai koalisi, namun satu hal yang pasti: PKS memelihara harapan rakyat. Dan harapanlah yang menguatkan tujuan hidup. Tanpa oposisi, negara tak punya kontrol. Tanpa oposisi, demokrasi tak punya masa depan. Dan tanpa oposisi, kerusakan yang dimunculkan oleh Presiden Jokowi boleh jadi lebih parah. Maka perlawanan PKS pada gagasan perpanjangan masa jabatan presiden, atau presiden tiga periode, atau Pemilihan Umum, adalah upaya membentengi kerusakan itu agar tidak semakin melebar. Kini, dalam usia 20 tahun, PKS telah bermetamorfosis menjadi partai dewasa yang semakin tajam memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Ketajaman itu terefleksi pada aneka terobosan politik PKS yang memihak rakyat. Spirit kolaborasi, kekeluargaan, dan kebersamaan yang diusung pada Milad 20 PKS menampakkan komitmen sejati PKS pada Islam Wasathiyah, Islam pertengahan yang berada di antara realitas dan idealitas. Kita mendoakan PKS abadi, seabadi Indonesia. Dari “kamar sebelah”, saya menyampaikan selamat milad PKS. (*)

Jawa Barat Melawan Islamophobia

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MASJID Al Lathief Bandung menjadi saksi atas kesepakatan dan pernyataan sikap para pimpinan ormas, da\'i, ulama, habaib, cendekiawan dan aktivis da\'wah yang hadir dari berbagai daerah se-Jawa Barat untuk melawan Islamophobia. Sebagai skenario global yang dimakan mentah-mentah di tingkat nasional Islamophobia telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disharmoni Pemerintah dengan umat Islam pun terjadi. Keretakan horizontal semakin terasa akibat Pemerintah gagal mencegah kebrutalan kaum Islamophobist.  Islamophobia adalah ketakutan berlebihan terhadap Islam. Suatu yang semestinya tidak terjadi karena Islam adalah agama damai, adil, bersahabat, konstruktif, dan mendorong pada kemajuan. Namun disain Islamophobia menciptakan citra sebaliknya. Aksi-aksi dibuat sebagai proyek pengaburan dari nilai mulia ajaran Islam tersebut.  PBB menyadari akan bahaya ketakutan berlebihan terhadap Islam, karenanya secara aklamasi Sidang Umum PBB menyepakati Resolusi penetapan hari perlawanan terhadap Islamophobia. Resolusi \"International Day to Combat Islamophobia\" 15 Maret 2022 ini patut disambut gembira khususnya oleh umat Islam baik dengan sikap politik maupun pengaturan hukum lebih lanjut.  Ratusan peserta acara yang berkumpul di Masjid Al Lathief pada tanggal 1 Juni 2022 telah membulatkan tekad untuk mendorong terbitnya \"Undang-Undang Anti Islamophobia\".  Paparan para pemateri yaitu KH Athian Ali Da\'i, Lc  MA, DR. H Ferry Juliantono, H. Abdullah Al Katiri, SH, DR. H. Hadiyanto A Rachim, S. Sos M. I. Kom, dan HM Rizal Fadillah, SH. mengingatkan bahwa Resolusi PBB \"to combat Islamophobia\" adalah nilai penting sebagai \"amanat dunia\" untuk lebih menghargai Islam dan umat Islam dimanapun berada.  Menurut ulama sekaligus Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali Da\'i Islamophobia telah ada sejak kehidupan para Nabi. Memusuhi Islam menjadi bukti bahwa Iblis itu pandai menipu. Ferry Juliantono Waketum Partai Gerindra dan Sekjen Syarikat Islam (SI) menyatakan RUU Anti Islamophobia harus disiapkan, disosialisasikan, dan didukung oleh berbagai elemen. Strategisnya menjadi inisiatif Dewan.  Ketum Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) Abdullah Al Katiri mengingatkan kewajiban praktisi hukum untuk mendukung penerbitan UU Anti Islamophobia. Serangan kepada umat dan agama saat ini sudah sangat memprihatinkan.  Dosen Universitas Padjadjaran (UNPAD) Hadiyanto A Rachim menyatakan ironi jika kenyataan sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak yang takut pada Islam. M Rizal Fadillah, aktivis Muhammadiyah,  DTN PA 212, dan penulis buku \"Hapuskan Islamophobia\" berharap dengan UU Anti Islamophobia umat Islam dapat lebih berkontribusi maksimal bagi kemajuan negeri.  Ketua Dewan Da\'wah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat Ustad H. Roinul Balad memimpin pembacaan pernyataan sikap bersama \"Melawan Islamophobia\" yang pada intinya berisi :  Pertama, Islam tidak betkaitan dengan radikalisme atau terorisme. Isu keji Islamophobia harus dilawan. Kedua, NKRI harus dirawat bersama karena bagi umat NKRI adalah warisan leluhur umat Islam. Ketiga, Islam dan NKRI tidak dalam posisi berhadapan. Keempat, stigmatisasi radikal, intoleran, serta kriminalisasi ulama dan aktivis telah merusak demokrasi. Kelima, seluruh elemen diharapkan mendukung terbentuknya UU Anti Islamophobia demi kebaikan bersama.  UU Anti Islamophobia adalah dukungan nyata kepada Resolusi PBB. Karenanya baik Pemerintah maupun DPR RI seyogyanya tunduk dan patuh pada putusan badan dunia PBB tersebut. UU Anti Islamophobia harus segera diproduk sebagai implementasi dari Resolusi PBB \"to combat Islamophobia\".  Ormas, ulama, da\'i, habaib, cendekiawan dan aktivis da\'wah se Jawa Barat yang berkumpul di Masjid Al Lathief Bandung menyatakan siap untuk gigih berjuang melawan Islamophobia dan mendesak agar UU Anti Islamophobia dapat segera terbit. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Jawa Barat siap melawan Islamophobia!  

Hikmah Al-Kahf & Fitnah kehidupan-03

Itulah yang dimaksud Rasulullah SAW ketika bersabda: “perumpamaan orang-orang yang mengingat Tuhannya dan mereka yang tidak ingat Tuhannya bagaikan orang yang hidup dan orang yang mati”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation PADA bagian lalu disampaikan bahwa fitnah atau ujian pertama dari kehidupan adalah fitnah atau ujian dalam beragama. Fitnah atau ujian dalam agama tidak saja sebagai ujian pertama. Sesungguhnya sekaligus merupakan dasar dari berbagai ujian kehidupan lainnya. Ketika kehidupan beragama tergoyahkan maka goyah segala fondasi kehidupan manusia. Hal ini dapat kita lihat pada bagian kedua dari fitnah atau ujian yang disebutkan di Al-Kahf. Yaitu kisah dua pria yang memiliki kebun (jannah). Pria pertama memiliki kebun yang lebih luas, lebih subur, dan menghasilkan lebih banyak. Pria kedua memiliki kebun kecil, kurang subur dan menghasilkan seadanya. Masalahnya kemudian bukan pada besar kecil, subur gersang, atau banyak dan sedikitnya hasilnya. Karena hal yang seperti ini sudah lazim terjadi dalam setiap usaha bahkan kehidupan secara umum. Masalahnya ada pada bagaimana masing-masing pemilik kebun itu merespon qadar (pembagian) yang Allah tetapkan baginya. Yang kaya ternyata merespon dengan kekufuran. Tidak saja bahwa dia menjadi angkuh dan merasa lebih (aktsaru). Bahkan merasa mampu mengontrol keadaan sehingga tanamannya tidak akan rusak atau berkurang. Lebih jauh lagi, bahkan dunianya tersebut menjadikannya ingkar akhirat (maa azhunus sa’ata qaaimah). Sementara pria yang kedua merespon nikmat Allah (kebun) dengan kesyukuran. Bahkan mengingatkan pria yang kufur tadi untuk sadar. Tapi realitanya pria kaya itu menolak, bahkan menyombongkan diri karena kelebihan harta yang dimilikinya. Kisah pemilik kebun di surah Al-Kahf ini mengingatkan kita tentang betapa dahsyatnya fitnah atau ujian dunia. Bahwa seringkali dunia yang seharusnya menjadi jalan ibadah (mengabdi) kepada Allah justru menggelincirkan. Dunia galibnya menjadikan manusia lupa atau lalai akan realita kehidupan yang sesungguhnya. Itulah sebabnya dalam Al-Quran salah satu kata yang identik dengan dunia adalah “lahwun”. Dari kata “lahaa-yalhu-lahwun-wa laahiyah” yang berarti menjadikan lupa. Dunia dengan tabiatnya menjadikan mereka yang memburunya menjadi lupa tentang banyak hal yang mendasar dari kehidupan. Manusia lupa akan kefitrahannya. Dan karenanya lupa akan Allah. Dan ketika Allah telah terlupakan maka manusia akan lupa tentang dirinya sendiri. “Nasullaha fa ansahum anfusahum” (mereka lupa Allah maka Allah jadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri). Di saat manusia lupa tentang dirinya maka manusia akan berbuat dalam kehidupan seringkali tidak lagi sejalan dengan tabiatnya (his nature). Bahkan, akan melakukan hal-hal yang selain bertentangan dengan tabiatnya sebagai manusia juga medatangkan mudhorat bagi dirinya sendiri. Selain akan berperilaku yang tidak alami dan bahkan mengantar kepada  sesuatu yang “self destructive” (merusak diri sendiri). Lebih jauh bahkan dunia ini akan menjadikannya lupa akan sebuah realita yang paling nyata. Yaitu berakhirnya kehidupan sementara ini yang ditandai dengan berpisahnya ruh dan jasad. Peristiwa ini disebut kematian. Sebuah kenyataan yang paling pasti. Tapi banyak manusia justeru lupa atau dijadikan lupa oleh dunia. Merespon kepada realita ini Al-Quran menawarkan solusi. Salah satunya dengan konsep dzikir. Konsep yang juga sering disalahpahami atau dipahami secara terbatas oleh manusia. Seolah dzikir itu hanya amalan ritual untuk mengoleksi pahala semata. Padahal dzikir dimaksudkan untuk menghadirkan kesadaran penuh tentang realita kehidupan. Dzikir menyadarkan tentang Allah, tentang diri sendiri, tentang hakikat kehidupan, dan tentunya tentang visi dan orientasi kehidupan  itu. Orang yang punya dzikir itu memiliki kesadaran hidup. Sehingga hidupnya tidak menjadi sebuah perjalanan hampa seolah tidak punya makna dan tujuan. Itulah yang dimaksud Rasulullah SAW ketika bersabda: “perumpamaan orang-orang yang mengingat Tuhannya dan mereka yang tidak ingat Tuhannya bagaikan orang yang hidup dan orang yang mati”. Dengan dzikir manusia hidup dengan Kesadaran. Tapi dzikir manusia boleh jadi hidup tapi tidak dengan kesadaran. Hilangnya kesadaran dalam kehidupan itulah sesungguhnya kematian. Karenanya carilah dunia ini. Bangunlah dunia ini. Tapi semuanya harus dibarengi oleh dzikir (kesadaran). Sebagaimana di Surah Al-Jumu’ah Allah mengingatkan: “dan jika sholat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di atas bumi ini dan carilah keutamaan Allah. Dan dzikirlah (sadarlah) kepada Allah dengan banyak. Mudah-mudahan kamu bisa menjadi sukses” (Al-Jumu’ah: 10). Inilah fitnah kedua yang disampaikan oleh Surah Al-Kahf. Yaitu fitnah atau ujian dunia yang dapat menggelicirkan dan menghancurkan kehidupan manusia. Semoga Allah menjaga kita. Amin! Manhattan, 1 Juni 2022. (*)

Menggugat Lahirnya Pancasila 1 Juni: Mengkhianati Pemikiran Soekarno!

Di sinilah bukti, Pancasila itu bukan lahir 1 Juni, dan itu Bung Karno sendiri mengatakan jika Pancasila dilahirkan 1 Juni jelas mendiskontroksi pemikiran Bung Karno, menyelewengkan pemikiran Bung Karno terhadap Pancasila. Oleh Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila SETIAP tanggal 1 Juni Pemerintah memperingati hari lahirnya Pancasila, dan menjadi Hari Libur Nasional. Berikut bunyi Keppres Nomor 24 Tahun 2016: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG HARI LAHIR PANCASILA. PERTAMA: Menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. KEDUA: Tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional. Dalam Keppres itu, penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dan Hari Libur Nasional bertujuan agar pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen bangsa memperingati Pancasila sebagai Ideologi Bangsa. Sungguh sesuatu yang aneh pemerintah mengharuskan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa tetapi sejak UUD 1945 diamandemen negara ini sudah tidak berideologi Pancasila lagi. Mengapa? Karena, Pancasila sebagai ideologi negara berdasarkan Pancasila oleh pendiri negeri ini, ideologi negara berdasarkan Pancasila itu diuraikan di dalam batang tubuh UUD1945 dan penjelasannya. Negara berdasarkan Pancasila itu ada tiga cirinya: 1. Adanya lembaga tertinggi negara yang disebut MPR. Yang mewakili seluruh elemen bangsa dengan sistem keterwakilan, hal ini sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. 2. Adanya politik rakyat atau politik negara yang menjabarkan visi, misi negara yang disebut GBHN. Bukan seperti sekarang ini, Presiden dan Wakil Presiden punya Visi Misi sendiri, padahal presiden yang menjalankan negara sehingga ada dua visi dan misi. 3. Presiden adalah mandataris MPR, bukan Presiden sebagai Petugas Partai. Pancasila tidak pernah dilahirkan, justru Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang lahirnya Pancasila perlu digugat. Sebab telah terjadi penyesatan, dan penyewengan terhadap pemikiran ajaran Soekarno terhadap Pancasila. Tidak benar Pancasila itu lahir 1 Juni 1945, hal ini disangkal sendiri oleh Bung Karno dalam Kursus Pancasila Bung Karno. Rupanya Pemerintah dan BPIP tidak belajar Pancasila Bung Karno secara benar dan secara Historis. Jika saja Megawati dan BPIP mau belajar Kursus Pancasila Bung Karno tidak akan terjadi kerusakan Ideologi Pancasila. Dan tidak akan muncul kata-kata Ketua BPIP Pancasila adalah musuh agama. Yang heran kok bisa yang tidak paham Pancasila dijadikan Ketua BPIP yang dibayar ratusan juta. Berikut Cuplikan Kursus Pancasila Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila? Cuplikan Amanat PJM Presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1955 di Surabaya ......”Tidak benar Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia – sebenarnya telah mengenal akan – Pancasila? Tidakkah benar kita dari dahulu mula, telah mengenal Tuhan, hidup di dalam alam Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pernah menguraikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru. Bukan karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan. Yah kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? Hidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai engkau pemuda-pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusurno? Tahukah Saudara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman – Ibu. Mother dalam bahasa Inggeris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam bahasa Latin – Ibu. Mataram berarti Ibu. Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan Mataram. Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita? Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali “tidak akan makan kelapa, jikalau belum scgenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar”. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak! Pemimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, – bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke, – bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang. Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil – pemimpin gurem atau pemimpin yang bagaimanapun, – tetapi jikalau ada orang yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan negara Republik Indonesia”. Tidak benar!!! Janganpun satu Soekarno sepuluh Soekarno, seratus Soekarno, seribu Soekarno – tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!” Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, – tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua bangsa Indonesia. Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi, di manapun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian-bagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945, siapa yang berjuang di sini? Segenap pemuda-pemudi, kiai, kaum buruh, kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat, golongan atau suku. Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tantang orang-orang ahli sejarah yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa lain. Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang kemudian. Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tat Twam Asi”. Apa artinya Tat Twam Asi? Tat Twam Asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat Twam Asi – perikemanusiaan. Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur, – siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili daripada sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggung jawab. Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat. Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan sosial, – bukan cita-cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak! Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan, – Saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, – semboyannya selalu “Ratu Adil”, ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrung-nya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Kebangsaan, maupun Perikemanusia-an, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang menciptakan. Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah Saudara-saudara, maka di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyousakai di dalam zaman Jepang, pertengahan tahun 1945 telah diadakan satu sidang daripada pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini….. Di sinilah bukti, Pancasila itu bukan lahir 1 Juni, dan itu Bung Karno sendiri mengatakan jika Pancasila dilahirkan 1 Juni jelas mendiskontroksi pemikiran Bung Karno, menyelewengkan pemikiran Bung Karno terhadap Pancasila. Oleh sebab itu Keppres Nomor 24 Tahun 2016 harus digugat karena telah menyesatkan bangsawan negara. Kaum cerdik pandai, Ulama, Tokoh Agama, harus melakukan perlawanan, sebab lahirnya Ke Tuhanan Yang Maha Esa 1 Juni melawan akidah agama apapun di Indonesia. Entah apa yang ada di pikiran pengusung RUU-HIP itu rasanya mereka tidak lagi mempertimbangkan sejarah, nilai-nilai, bahkan dengan kalap Pancasila ditengelamkan, dan sesungguhnya sejak Amandemen UUD 1945 Indonesia sudah dicabut rohnya. Indonesia saat ini bukan lagi Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, Indonesia bukan lagi yang digambarkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 beserta penjelasannya, dan Indonesia bukan lagi Indonesia yang berdasar pada Pancasila. Indonesia saat ini adalah negara dengan dasar Ultra Liberal, maka tidak heran jika 0,2 % minoritas China menguasai lahan 70% di dalam sektor perkebunan, tambang-tambang, real estate, industrial estate, dan 0,1 persen penduduk Indonesia menguasai 50% kekayaan Indonesia, apakah ini semua sesuai dengan Tujuan bernegara? Inilah bukti nyata bahwa negara bangsa ini sudah bukan Negara Pancasila. Pertanyaan berikutnya apakah kita sebagai anak bangsa membiarkan keadaan seperti ini? Tentu tidak saja yakin mulai membesar tingkat kesadaran kita sebagai bangsa, dan saya juga yakin akan ada revolusi besar di negeri ini, bagaimana dengan Anda, apakah Anda sudah sadar atau belum tentang keadaan bangsa dan negara ini. (*)

Nestapa di Akhir Kekuasaan

Akhir kehidupannya akan sangat berat karena telah menyandang sebagai musuh bersama rakyat (common enemy of the people). Bahkan sangat mungkin akan berhadapan bermacam kasus hukum yang akan menimpanya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SETIAP kekuasaan akan berakhir dan ending dari kekuasaan tergantung saat berkuasa. Sikap ‘ojo dumeh’ didasarkan pada kenyataan bahwa jalannya kehidupan itu bagaikan roda yang berputar. Setiap titik pada roda akan mengalami perubahan posisi, dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Siapa yang akan melindungi Presiden Joko Widodo setelah dia lengser dari kekuasaannya. Ini pertanyaan spontan seorang mahasiswa yang terlibat dalam diskusi Kajian Politik Merah Putih. Karena masyarakat memiliki pertanyaan yang sama dan mungkin menyelinap pertanyaan dalam otak Jokowi sendiri. Bung Karno, dilindungi Presiden Soeharto ketika mau dimahmilubkan oleh para jenderal garis keras. Pak Harto dilindungi TNI dan Golkar. BJ Habibie, dilindungi Golkar dan TNI. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, mereka bertiga adalah pemimpin parpol yang punya pengaruh kuat di parlemen dan masyakat. Terlindung oleh partainya. Jokowi, bukan Ketum partai, statusnya jadi presiden cuma petugas partai. Presiden paling banyak masalah akibat kelola negara tanpa arah, negara dan rakyat menjadi korbannya. Di ujung masa bhaktinya hubungan Jokowi dengan Megawati mulai retak, dan bisa pecah kongsi. Akibat Jokowi salah tingkah punya ambisi memperpanjang masa jabatannya dan atau merekayasa tiga periode. Belum ada reda, secara sepihak menerjang arus kebijakan PDIP menjagokan Ganjar Pranowo sebagai penggantinya. Melewati batas riil politiknya, merasa dirinya sudah bertransformasi menjadi institusi politik yang bisa menentukan perpolitikan di Indonesia. Nasibnya hanya tinggal tergantung belas kasihan Oligarki.  PDIP memang the rulling party yang memberi tugas Jokowi sebagai Presiden sebagai petugas partai, lepas dari kendalinya. Lupa masih ada etika politik yang harus dijaga, bahkan bisa menjadi pelindung paska purna tugasnya diabaikan, diinjak dan dilumatkan. Bisa terjadi jika Megawati menarik dukungan kepada Jokowi, maka Jokowi akan bernasib nestapa di akhir kekuasaannya, akan menjadi mangsa para lawan politiknya selama ini atau akan dibidik berbagai masalah dari semua penjuru. Saat ini sebagai Presiden, Jokowi bisa mengendalikan institusi TNI dan Polri tetapi paska purna tugas, jangan harap TNI dan Polri akan melindunginya. Telah menjadi rahasia umum dia telah merusak pola karir para perwira. Dia memilih perwira-perwira di posisi strategis hanya karena faktor kedekatan pribadi dan para penjilatnya. Ini merusak soliditas dan karir di TNI dan Polri. Setelah Jokowi pensiun, para perwira pilihan Jokowi diduga kuat pasti dicopot dan mereka harus cari selamat sendiri-sendiri. Tidak ada satupun yang berani melindunginya karena mereka orang lemah, perwira yang tidak mendapatkan “pengakuan” dari teman dan para prajuritnya. Harapan terakhirnya Jokowi akan berlindung kepada ormas Pro Jokowi (Projo). Dipastikan Projo akan membubarkan diri, karena ormas ini bukan ormas yang militan, tapi hanya sekedar ikut angin berhembus. Bisa terjadi mantan Projo akan ribut ikut memangsa menagih janji-janji upahnya yang belum dibayarkan. Para taipan (Oligarki) yang selama ini mendukung pencitraan Jokowi otomatis akan kabur dan tidak akan peduli lagi, karena sudah tak ada lagi kepentingan politik dan ekonomi dengan Jokowi. Oligarki hanya berkepentingan dengan kekuasaan, keuntungan dan kelangsungan usaha ekonominya. Akhir kehidupannya akan sangat berat karena telah menyandang sebagai musuh bersama rakyat (common enemy of the people). Bahkan sangat mungkin akan berhadapan bermacam kasus hukum yang akan menimpanya. Akibat penyalahgunaan kekuasaan dan indikasi korupsi yang melekat pada diri juga pada kroni kroninya. Kebaikan dan keburukan tidak akan pernah bercampur dan tidak akan hilang dan terhapus karena waktu. Salah nasib bukan ketenangan hidup di akhir masa jabatannya tetapi ending kekuasaannya akan dirundung penderitaan hidup yang sangat berat. (*)

Hubungan Jokowi-Megawati Retak, Mungkinkah PDI-P Mencabut Mandat?

Oleh : Tjahja Gunawan -  Wartawan Senior FNN KETIDAKHADIRAN Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada acara pernikahan adik Jokowi, Idayati dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di Solo, Jawa Tengah, Kamis 26 Mei 2022, mengindikasikan hubungan ketua partai penguasa dengan petugas partainya sedang tidak baik-baik kalau bukan dikatakan retak. Indikasi adanya disharmoni hubungan Jokowi-Megawati, juga terlihat dari absennya Paun Maharani pada acara pernikahan itu. Alasannya, Puan sedang berada di Bali mengikuti rangkaian acara Global Platform for Disarter Risk Reduction (GPDRR) 2022 di Badung, Bali. Biasanya jika orangtua tidak bisa hadir dalam acara sakral seperti undangan pernikahan, anaknya diutus untuk mewakili. Ini ibu dan anak, Megawati maupun Puan Maharani seolah kompak memboikot acara penting keluarga Jokowi di Solo.  Sebaliknya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang nota bene kader PDI-P,  datang ke acara nikahan Ketua MK tersebut. Sekedar tambahan info, kini sebagian publik  memelesetkan MK dengan \"Mahkamah Keluarga\". Ya mungkin saja plesetan ini mengemuka karena publik menafsirkan acara tersebut sebagai \"pernikahan politik\".  Oleh karena itu, Ganjar Pranowo menyempatkan diri untuk hadir pada acara itu. Walaupun beberapa hari lalu Kota Semarang dilanda banjir rob,  Gubernur Jateng ini nampaknya tidak terlalu peduli. Baginya, datang ke acara pernikahan \"Mahkamah Keluarga\" di Solo jauh lebih penting. Apalagi sebelumnya Ganjar Pranowo telah mendapat sinyal dukungan dari Jokowi untuk maju sebagai calon presiden 2024. Jokowi Ambil Alih PDI-P? Seperti diketahui, Jokowi hadir dalam Rakernas Relawan Projo (Pro Jokowi) , di Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022). Kendati dalam acara itu Jokowi meminta para relawan Projo agar tidak terburu-buru (ojo kesusu) dan bersabar terkait capres  2024, namun kehadirannya di acara itu mengindikasikan dukungan kepada Ganjar. Bahkan beberapa analis politik menyebutkan, dalam Pilpres nanti kemungkinan Ganjar Pranowo akan dipasangkan dengan Menteri BUMN Erick Thohir. Seperti halnya Ganjar, saat ini Erick Thohir  juga aktif melakukan \"safari politik\" kemana-mana.  Bagi Ganjar dukungan dari Jokowi saat ini memiliki \"nilai politis\", apalagi setelah dia teralienasi dari partainya, PDI-P. Ganjar nampaknya tidak peduli dirinya sekarang dimusuhi Puan Maharani dan Ketua Umum PDI-P Megawati. Dia sangat percaya diri dengan dukungan dari para relawan Jokowi dan komitmen dukungan dari para pengusaha besar (baca: oligarki). Ada atau tidak ada dukungan dari Megawati dan PDI-P, Ganjar Pranowo tetap akan maju dalam Pilpres 2024. Kendaraan politiknya belum tentu PDIP, tapi partai lain. Yang penting nanti bisa memenuhi Presidential Threshold 20 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.  Keretakan hubungan Megawati-Jokowi  juga diduga antara lain karena ucapan Jokowi yang memberi sinyal dukungan kepada Ganjar Pranowo sebagai penerusnya. Sejauh ini retaknya hubungan Jokowi-Megawati masih berupa indikasi. Artinya, belum benar-benar terjadi \"perceraian politik\" diantara keduanya. Kecuali kalau sampai Megawati benar-benar mencabut mandat PDI-P kepada Jokowi.  Kembali kepada judul tulisan ini, mungkinkah Megawati mempunyai keberanian untuk mencabut mandat kepada Jokowi sebagai petugas partai? Dalam dunia politik, pertanyaan seperti itu  sebenarnya termasuk agak naif sebab di dunia politik praktis tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi.  Artinya, kalau kekecewaan Megawati sudah memuncak bukan hal mustahil kepercayaan dia kepada Jokowi akan berakhir secara tragis. Jika misalnya mandat PDI-P kepada Presiden Jokowi dicabut secara resmi sebelum 2024, konsekuensinya PDI-P harus menarik semua menterinya dari jajaran Kabinet Indonesia Maju. Saat ini terdapat empat kader PDIP di kabinet Jokowi. Keempatnya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.  Jika Megawati ternyata hanya sekedar uring-uringan sendiri dan hanya curhat ke orang-orang tertentu secara terbatas tanpa mengekspresikan sikap politiknya secara riil, sangat boleh jadi kekuatan sosok trah Soekarno di partai berlambang banteng itu mulai memudar. Ini sekaligus juga menunjukkan posisi dan kekuatan politik Jokowi yang nota bene disebut sebagai petugas partai justru makin menguat. Sehingga bukan mustahil, Jokowi justru bisa mengambil alih secara paksa PDI-P.  (hostile take over). Kita lihat saja nanti. ***

Partai Rakyat atau Partai Bejat

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Viral ucapan Ketua Partai Rakyat yang mendukung LGBT dan menyinggung asal usul Nabi Muhammad SAW yang menurutnya bukan keturunan Arab. Sebagai Ketua Partai ucapannya merepresentasi ideologi dan visi Partai tersebut. Selama tidak ada pelurusan resmi dari partainya, pernyataan itu representatif.  Kini di zaman edan orang tidak takut atau malu menyatakan pikiran edan di ranah publik. Sensasi untuk membangun popularitas demi mendongkrak organisasi atau partainya. Menerjang norma, etika, dan aturan berbangsa dan bernegara. Agama pun dihajar habis. Sayangnya  di saat moralitas berantakan, hukum pun ternyata tumpul.  LGBT itu bukan Hak Asasi Manusia ( HAM) tetapi Penyimpangan Asasi Manusia (PAM). HAM adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan, jika hak itu hilang, maka hilanglah kemanusiaannya. Hak hidup, hak berbicara, hak bekerja adalah contoh HAM karena melekat dengan kemanusiaannya. Mencuri, korupsi, dan LGBT bukan HAM karena jika hilang, tidak hilang kemanusiaannya. Tetap manusia. LGBT itu bukan perilaku manusia, bahkan hewan pun tidak ada yang gay dan lesbian.  Ketua Partai Rakyat itu secara ngawur atau asbun menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW bukan keturunan Arab. Apa dasar fikiran dari orang yang tak tahu sejarah ini? Bukti sikap anti Arab dan, jika muslim, jahil terhadap Islam. Tidak mengenal Nabi nya sendiri. Nabi Muhammad SAW adalah suku Quraisy cucu tokoh besar Quraisy Abdul Mutholib, bro.  Rakyat Indonesia itu mayoritas muslim. Muslim tahu bahwa menurut Qur\'an perilaku LGBT itu menyimpang. Sejarah jelas menggambarkan tentang perilaku LGBT kaum Luth yang diadzab Allah SWT. Mendukung LGBT masuk dalam ruang terkutuk. Begitu juga rakyat muslim akan faham siapa Nabi Muhammad SAW nasab, misi dan akhlaknya. Nah Partai Rakyat itu Partai yang berjuang untuk rakyat yang mana?  Jika berjuang untuk rakyat LGBT atau rakyat yang tidak kenal Nabi Muhammad SAW bahkan menistakannya, maka itu adalah Partai Bejat bukan Partai Rakyat. Rakyat itu berasal dari kata bahasa Arab \"ro\'iyah\" dan ada ucapan Nabi yang berkaitan dengan rakyat ini \"kullukum ro\'in wa kullukum mas\'ulun an ro\'iyatihi\"--kalian semua pemimpin dan akan dipertanggugjawabkan kepemimpinan atas rakyatnya.  Nah boss Partai Rakyat harus hati-hati ngomong  di negara yang menghormati moral dan agama. Jangan ngawur dan sekedar cari popularitas. Sudah terlalu banyak penjahat yang cuap-cuap mencari popularitas. Semoga Partai Rakyat tidak menjadi Partai Bejat, Partai Laknat, atau Partai Penjilat.  Selamat berjuang untuk rakyat, bukan untuk komunitas LGBT dan penista agama.  Bandung, 1 Juni 2022

Edy Mulyadi, Pahlawan Reformasi

Oleh: DR. Sutoyo Abadi  -  Presidium KAMI Jateng PERSOALAN hubungan antara hukum dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu menarik untuk diperbincangkan karena kedua hal tersebut merupakan dua variabel yang selalu mempengaruhi. Ada tiga macam  hubungan hukum dan politik :  Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak- kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain,  semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Dua pandangan hukum yang berbeda ada ahli hukum idealis yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan), mengatakan bahwa hukum harus menjadi pedoman dan penentu arah dalam segala kegiatan politik. Hukum harus dapat merekayasa perkembangan politik yang hidup dalam masyarakat dan negara.  Pandangan lain  ahli hukum yang memandang hukum dari sudut das sein  (pendekatan empirik/kenyataan), maka produk hukum selalu dipengaruhi oleh politik mulai dari pembuatannya sampai pada tataran pelaksanaannya dilapangan. Dalam konteks dewasa ini politik itu selalu determinan dibandingkan hukum. Politik selalu memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan  hukum itu sendiri. Produk hukum yang dibentuk oleh legislator tak steril dari kepentingan politik para pembuatnya, tak lepas dari kepentingan atau politik.  Politik selalu dikaitkan dengan kekuasaan, karena memang konsep politik itu tak lepas dari mempertahankan kekuasaan.  Kebebasan Diberangus Pergulatan antara politik dan hukum terus menerus kita alami di Indonesia. Saat ini mengalami yang namanya politik hukum tidak sehat. Dikatakan tidak sehat sebab kepentingan penguasa lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Bahkan tak sedikit yang melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat. Disisi lain begitu mudah terjadinya penangkapan bagi siapapun yang berseberangan dengan penguasa.  Dan tak sedikit juga hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan (politik) sehingga merugikan rakyat. Ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum. Mendengar nota jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas Eksepsi penasihat hukum kasus Edy Mulyadi, dari awal sampai akhir ternyata sangat sederhana, hanya pada penafsiran hukum tentang kalimat \"Jin Buang Anak\". Diawali soal penolakan kalimat tim pembela dan masuk pada legalitas keabsahan Edy Mulyadi sebagai wartawan,  memutar balik makna kebebasan,  masuk pada penafsiran hukum tentang \"Jin buang anak\", yang ditafsirkan menurut hukum bahwa ucapan  itu mengandung kebencian, menghina pihak lain dan menimbulkan keresahan dan kegaduhan. Akhirnya JPU minta majelis hakim agar mengabaikan eksepsi Tim Penasehat hukum Edy Mulyadi. Dikatakan sederhana karena hanya ucapan \"Jim Buang Anak\" jelas mengganggu penguasa yang sedang bernafsu besar bangun Ibu Kota Negara (IKN).  Ada indikasi kuat kepentingan politik Penguasa  untuk memenjarakan Edy Mulyadi yang tidak sejalan dengan kepentingan politik Penguasa. Sulit dinafikan  adanya indikasi bahwa protes dari sekelompok masyarakat di Kalimantan atas ucapan Edy Mulyadi adalah  sebuah rekayasa, untuk pembenaran Edy Mulyadi dianggap menggangu jalannya proses pembangunan IKN. Banyak sekali pelanggaran hukum oleh para penguasa (pejabat negara ), bahkan indikasi pelanggaran hukum oleh Presiden mulai dari penipuan, berkata bohong, menimbulkan bukan hanya kegaduhan. Bahkan pertengkaran dan permusuhan antar satu sama lain. Kondisi ini memiliki syarat formal sebagai pelanggaran hukum pidana dan perdata semua menumpuk dari kasus yang sederhana dan yang cukup berat, tapi hukum ngacir menjauh.  Semua lewat karena memang kekuasan jauh diatas hukum lebih fatal kalau penguasa adalah hukum. Yang terjadi di negara kita adalah hukum suka-suka oleh penguasa. Kasus Edy Mulyadi, jelas tidak akan bisa lepas dari jeratan hukum sepanjang penguasa merasa dimusuhi atau ucapan Edy Mulyadi dirasa menganggu penguasa. Apapun yang terjadi pada kasus hukum Edy Mulyadi akan tercatat dalam sejarah masalah sederhana dan sangat sederhana sebagai bentuk kebebasan berbicara sudah diberangus oleh penguasa, terlihat jelas dari kawanan JPU ketika menolak eksepsi Tim Penasehat hukum Edy Mulyadi.  Tidak ada kasus hukum atau penangkapan yang dialami para aktifis politisi pembela kebenaran akan menjadikan hina dan sia-sia justru akan berakhir sebagai kemuliaan dari resiko seorang pejuang pembela kebenaran.  Edy Mulyadi akan menjadi ikon Pahlawan Reformasi Jilid Dua !! ***

Anies Baswedan Itu Energi Rakyat

Oleh Asyari Usman - Jurnalis senior FNN SEJAUH ini, tidak ada figur bakal calon presiden yang memiliki daya tarik alami yang sangat kuat selain Anies Baswedan. Tanpa ada komando, tanpa ada rencana –apalagi rekayasa--  Anies seringkali mendapat sambutan spontan dari publik. Di banyak pelosok negeri. Teriakan “Anies presiden” atau pekikan beruntun “presiden, presiden” kini menjadi norma baru setiap kali warga masyarakat berjumpa Anies secara kebetulan (misalnya di bandara, dll) maupun ketika bertemu dalam jadwal. Nah, mengapa rakyat menggemakan teriakan “Anies presiden”? Pertama, publik mau menyampaikan pesan lantang tentang orang yang mereka inginkan menjadi presiden melalui Pilpres 2024. Kedua, rakyat memberikan isyarat bahwa dukungan untuk Anies bukan sesuatu yang sifatnya sporadis. Dukungan itu meluas dan solid. Ketiga, rakyat ingin memberikan peringatan bahwa Anies –bilamana beliau ikut Pilpres 2024— jangan coba-coba dicurangi perolehan suaranya. Anies menduduki opini publik dalam hal tokoh yang pantas menjadi presiden. Dalam kesimpulan observasional, Anies mencatat akseptabilitas yang tak tertandingi oleh figur-figur lain. Kalau kesimpulan observasional ini ditelusuri, maka titik akhirnya adalah pertemuan antara tuntutan keras akan perubahan dan sosok pemimpin yang ‘closing in’ dengan tuntutan itu. Aritnya, ada pekerjaan rumit yang menunggu, tapi orang yang memiliki kulifikasi untuk pekerjaan yang rumit itu. Yaitu, Anies Baswedan. Hanya saja, Anies harus menjalani proses seleksi yang hanya prosedural sifatnya. Dalam arti, proses yang selama dua pilpres belakangan ini sama sekali tidak substantif. Hanya formalitas saja. Berbagai lembaga kepemiluan yang seharusnya menjadi “malaikat demokrasi” untuk setiap calon presiden, akhirnya berlakon di bawah intervensi kekuasaan yang dikendalilan para pemodal. Anies tidak akan terpilih dalam proses seleksi seperti ini. Para bandar yang tergabung dala  oligarki bisnis sudah sejak lama menyiapkan calon yang wajib menang. Namun, Pilpres 2024 yang diikuti oleh Anies kemungkinan besar tidak akan bisa dibikin seperti 2014 atau 2019. Suasananya berbeda. Energinya juga berbeda. Para calon yang maju nantinya tentu memiliki energi masing-masing yang berbasis finansial. Berbeda dengan ABW. Tenaga finansial memang sutau keniscayaan. Namun, yang teramat penting adalah bahwa Anies Baswedan itu adalah energi rakyat. Energi itu bisa sangat dahsyat dan tak terduga. Sebagai energi rakyat, semua pihak –khususnya lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilpres 2024— seharusnya memahami akibat fatal kalau mereka melakukan sabotase, penipuan, dan konspirasi untuk menjegal Anies. Mereka akan berhadapan dengan rakyat.[]

Formula E dan Pelitnya BUMN

Demi nama baik bangsa, penyelenggaraan Formula E seharusnya didukung bersama-sama. Ini penting, agar dunia tahu, Indonesia lebih dari sekadar mampu. Agar dunia paham, Indonesia lebih baik dari yang ada di benak mereka. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR UPAYA Ketua Panitia Pelaksana Formula E, Ahmad Sahroni, untuk menggaet partisipasi sponsor dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup maksimal. Berbagai cara telah ditempuh. Ya menawarkan proposal, menemui Menteri BUMN Erick Tohir, bahkan mengumbar harapan di forum-forum terbuka. Harapannya, pemberitaan masif dapat meluluhkan hati sang menteri. Malang tak dapat ditolak. Upaya Wakil Ketua Komisi III DPR itu belum juga berbuah. Padahal, event ini tinggal menghitung hari. Erick Tohir bergeming. Saat sponsor Formula E mulai diumumkan, tidak terlihat logo salah satu BUMN Indonesia bertengger. Setidaknya hingga saat tulisan ini diketik. Berbeda dengan formula E, ajang balap motor MotoGP Mandalika yang telah berlangsung justru berlimpah dukungan BUMN. Sebutlah Pertamina sebagai track naming right. Atau dalam deretan venue partner ada Telkom Indonesia, Telkomsel, Bank BRI, Bank Mandiri, dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Ikut pula Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai supporting parnert. Baik MotoGP Mandalika maupun Formula E, keduanya sama-sama berkelas internasional. Dua event ini juga menjadi jendela dunia mengintip Indonesia. Pertaruhannya pun sama, begitu juga dengan gengsinya. Kebetulan pula, dua-duanya baru pertama kali diadakan di Indonesia. Lalu mengapa BUMN ramai-ramai mensponsori MotoGP dan terkesan pelit menyuplai duit pada Formula E? Pertimbangannya mungkin saja banyak. Satu hal yang pasti, sulit menghindarkan diri membaca persoalan tersebut dari sudut pandang politik. Pada gelaran MotoGP Mandalika, Jokowi terlihat sangat pro aktif. Presiden tidak hanya mengunjungi sirkuit Mandalika, menyempatkan diri berfoto-ria dengan para pebalap MotoGP dan memberikan trofi kepada pemenang. Jokowi bahkan mengaspal di sirkuit itu dengan mengendarai motor Kawasaki W175. Sementara itu, persiapan penyelenggaraan Formula E, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terlihat kasak-kusuk. Bahkan, ia beberapa kali tampil untuk meyakinkan publik, bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi Indonesia. Dua event tersebut memang identik dengan dua tokoh bangsa, yakni Presiden Joko Widodo dan Gubernur Anies Baswedan. MotoGP sering disebut gagasan Presiden Jokowi, sementara Formula E adalah Anies. Di satu sisi ada rivalitas politik antara Presiden dan Gubernur Jakarta. Di sisi lain, rivalitas yang sama mungkin juga mulai bertumbuh diantara Erick Tohir dan Anies Baswedan. Erick Tohir tengah menyiapkan diri menuju 2024. Anies pun demikian. Kemungkinan keduanya berada dalam gelanggang pemilihan presiden dari sudut berbeda. Sekilas, Anies terjepit di antara dua situasi tersebut. Celakanya, keberhasilan pelaksanaan Formula E dengan sendirinya memoles nama Anis semakin moncer. Mungkinkah ada komando agar BUMN tidak mensponsori Formula E? Atau, mungkinkah jelang pelaksanaan MotoGP Mandalika, BUMN punya banyak untung, lalu jelang Formula E, BUMN tiba-tiba cekak. Apa boleh buat, itulah pertanyaan bernada spekulatif memang sulit dihindari. Apalagi, begitu minim pernyataan Menteri BUMN terkait hal ini. Jangan salahkan publik bila memandang ketiadaan sponsor BUMN pada pelaksanaan Formula E adalah imbas dari psikologi politik yang berkembang. Apalagi, para pendukung kedua belah pihak tidak berhenti saling kritik pada pelaksanaan dua event itu. Di media sosial, saling serang bahkan lebih tajam lagi. Yang digoreng kini adalah atap temporer stadiun yang dihantam badai. Juga tentang sponsor merek minuman beralkohol. Padahal, mungkin saja keterbatasan sponsor membuat panitia menyetujui kerjasama sponsorship itu, dengan aturan-aturan tertentu. Presiden sebaiknya jangan diam. Tidak ada salahnya Jokowi memerintahkan Menteri BUMN mengkaji kemungkinan sponsorship dari BUMN. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno seharusnya juga banyak bercerita dan bergerak mempromosikan event ini. Demi nama baik bangsa, penyelenggaraan Formula E seharusnya didukung bersama-sama. Ini penting, agar dunia tahu, Indonesia lebih dari sekadar mampu. Agar dunia paham, Indonesia lebih baik dari yang ada di benak mereka. Tidak hanya untuk dunia. Kebersamaan kita mendukung event internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, juga menjadi panutan anak bangsa. Selama ini, rakyat selalu terbelah pada setiap keadaan, termasuk dalam penyelenggaraan MotoGP dan Formula E. MotoGP mendapat serangan dari rakyat yang tidak lagi sepenuhnya percaya pemerintah, sedangkan Formula E mendapat serangan narasi dari pendukung pemerintah. Padahal, Indonesia butuh event-event itu sukses demi harga diri bangsa. Tapi kita sudah saling melukai dan bahkan membiarkan luka itu kian menganga. Minim yang mengajak melihat dari perspektif itu. Keterbelahan rakyat, rasanya, begitu dinikmati. (*)