OPINI

Hancurkan Oligarki!

Pilpres 2024 adalah sasaran dan tujuan akhir mereka yang tidak boleh gagal, harus bisa melahirkan Presiden boneka. Kondisi ini harus disadari oleh semua rakyat Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih OLIGARKI telah gagal dalam mengkudeta konstitusi di negeri ini. Mereka sebelumnya ingin agar masa jabatan presiden bisa diperpanjang. Namun, gempuran dari civil society berhasil menggagalkan upaya itu. Mereka persiapkan capres boneka baru yang miskin prestasi, tapi bisa diatur-atur oligarki. Capres boneka modal pencitraan, kekuatan finansialnya hanya mengantungkan kepada bandar politik. Semua rekayasa untuk kemenangan dalam Pilpres mendatang sepenuhnya ada pada kuasa bandar oligargi. Oligarki bergerak taktis akan menguasai dengan membeli partai, khususnya partai kecil yang Ketumnya terlilit banyak masalah hukum, sebagai persiapan capres bonekanya. Rezim ini dipengaruhi dan dikuasai oleh kapitalis banci yang merupakan persekongkolan (conspiracy), antara lain, para Taipan, korporatokrasi (penghancur lingkungan alam dan sosial ). Berkumpulnya barongsai, oligarki, gorilla betina merah, dan neo colonialism. Mereka bersekongkol guna berkuasa secara absolut ... bagi kehancuran bangsa dan NKRI. Oligarki yang merasa semua kekuasan dalam genggamannya terus melakukan tekanan Politik, civil society terus dilemahkan, masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa & akademisi dibungkam, dan spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran dan membunuh keberanian rakyat. Dengan jumawa saat ini tidak akan ada yang bisa mengalahkan oligarki. Kecerdasan Oligarki menyatukan bersatunya Bandit - Bandar dan Badut Politik organik dengan Bandit, Bandar dan Badut politik non-organik, adalah gambaran peta perselingkuhan dan pelacuran politik yang melibat semua jejaring kekuasaan masuk dalam kolam yang sama. Senjata mutakhir dengan kekuatan melebihi kekuatan nuklir ada uang, mereka yakin bisa meluluh lantakkan siapa saja yang akan menjadi penghalang atau berani melawan. Pilpres 2024 adalah sasaran dan tujuan akhir mereka yang tidak boleh gagal, harus bisa melahirkan Presiden boneka. Kondisi ini harus disadari oleh semua rakyat Indonesia. Inilah saatnya Oligarki harus dimusnahkan dari bumi Nusantara. Perlawanan berupa kekuatan People Power atau Revolusi adalah satu satunya jalan keluar dari kekuasan kolonialisme haya baru. (*)

Bang Yos Tidak Rasis, Cuma Khawatir Serbuan TKA China

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  SEKITAR 6-7 tahun yang lalu, pengungsi Rohingya yang mendarat di pantai timur Aceh mendapat sambutan hangat dan ramah dari masyarakat. Namun, setelah para pengungsi itu mulai mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah setempat dan juga dari berbagai LSM sosial, spontan bermunculan kecemburuan masyarakat di sekitar lokasi permukiman mereka. Para pengungsi Rohingya itu hidup lebih enak ketimbang warga kampung di situ. Rumah disediakan, makanan selalu cukup, bantuan pakaian melimpah ruah. Inilah cerita yang saya dapatkan dari para relawan LSM yang memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya di Aceh waktu itu. Warga Aceh memperlihatkan rasa tak senang pada pengistimewaan pengungsi Rohingya. Seharusnya orang Aceh tidak cemburu.  Nah, apakah ketidaksenangan warga Aceh itu muncul dari sifat rasis? Tidak mungkin. Mengapa? Karena orang Rohingya itu muslim. Orang Aceh sangat kuat dalam persaudaraan. Ini yang pertama. Yang kedua, pemerintah setempat sangat senang menerima mereka. Ketiga, banyak pula orang Aceh sendiri yang menjadi relawan yang memberikan bantuan. Artinya, orang Aceh senang membantu. Kecemburuan terhadap pengungsi Rohingya itu hanya muncul di kalangan warga yang bertetangga dengan lokasi permukiman pengungsi. Di tempat lain tidak terjadi. Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Ada satu hal mendasar: bahwa suatu kelompok (komunitas) bisa membenci pendatang karena diistimewakan. Ada perlakuan khusus. Sementara penduduk lokal merasa mereka hidup susah. Contoh ini juga terjadi di banyak tempat yang didatangi “orang asing” dan kemudian mereka bisa hidup lebih baik. Masih segar dalam ingatan ketika terjadi bentrok besar antara suku Dayak dan perantau Madura di Kalimantan Tengah, khususnya di kota Sampit, awal 2001. Apakah orang Dayak rasis terhadap orang Madura? Sama sekali tidak. Penyebab utama konflik ini adalah kesenjangan sosial. Faktanya, hampir semua sektor ekonomi lokal dikuasai oleh orang Madura. Pertambangan emas, pelabuhan, bisnis retail, perkebunan, transportasi, dlsb, dikuasai oleh orang Madura. Penyebab lainnya, seperti perbedaan kultural, hanyalah pemicu konflik itu. Contoh lain adalah konflik antara warga lokal Timor Leste, khususnya di Dili, dengan pendatang dari Bugis pasca referendum 1999. Penyebabnya juga penguasaan sektor perekonomian oleh “orag asing”. Dalam hal ini perantau Bugis. Apakah orang Timor Timur (Timor Leste) rasis terhadap orang Bugis? Tidak. Yang terjadi adalah dominasi orang Bugis atas orang Timor Leste di bidang ekonomi-bisnis membuat tuan rumah marah. Setelah peritiwa itu berlalu, hubungan kedua etnis bisa pulih. Beberapa hari lalu, Bang Yos (Sutiyoso, mantan kepala BIN dan mantan gubernur DKI Jakarta) mengungkapkan kekhawatirannya tentang TKA asal RRC (China) yang masuk ke Indonesia dalam jumlah yang tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, warga masyarakat menyaksikan begitu banyak orang yang diduga TKA China masuk lewat berbagai bandara internasional. Pemerintah tidak pernah transparan soal ini. Bang Yos berpendapat kalau TKA China dibolehkan masuk ke Indonesia seperti sekarang ini, maka suatu ketika Indonesia bisa mereka kuasai. Apakah ini rasis? Sama sekali tidak. Sebab, Bang Yos hanya mencemaskan dominasi orang asing, bukan siapa orang asingnya. Kebetulan orang asing itu adalah orang China (RRC). TKA China yang dibawa masuk ke proyek-proyek invetasi mereka tidak sebatas tenaga ahli melainkan tenaga kerja untuk pekerjaan kasar juga. Etnis apa pun yang masuk ke Indonesia dan mereka menguasai sektor ekokomi-bisnis, pastilah akan menciptaka gesekan. Inilah yang dicontohkan dalam kasus Dayak vs Madura, Timor Leste vs Bugis, atau warga Aceh vs Rohingya. Di Indonesia ini, gesekan itu pernah terjadi beberapa kali. Ada contoh gesekan lain. Rakyat Filipina diresahkan oleh tindakan agresif China di Kepulauan Spratly. China bertindak arogan. Main keras untuk menguasai wilayah sengketa regional itu. Militer China mengejar kapal-kapal Filipina. Akibatnya, di seluruh Filipina muncul sentimen anti-China. Rasiskah? Bukan! Tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini akibat China semena-mena mengancam Filipina. Jadi, dalam konteks geopolitik regional, China adalah negara yang paling sering menjadi sumber masalah. Tetapi, sejumlah negara –termasuk Indonesia— menunjukkan sikap yang sangat akomodatif terhadap China. Meskipun kebijakan Beijing dalam berinvestasi dan memberikan pinjaman selalu mengikat, kalau tak mau disebut mencekik, tuan rumah. Tak terlepas Indonesia. Bang Yos tidak rasis. Beliau hanya mencemaskan masa depan bangsa dan negara di tengah serbuan TKA China. Mantan kepala BIN ini yakin mereka yang masuk ke Indonesia tidak akan pulang ke China. Kesimpulan ini bukan dalam percakapan kedai kopi. Bang Yos sangat terbiasa dengan data dan analisis intelijen.[]

Presiden Pembohong

Jadilah presiden yang jujur, hanya memang kalau sifat pembohong sudah masuk menjadi kepribadiannya sangatlah sulit untuk diperbaiki. Oleh: Sutoyo Abadi, Koorinator Kajian Politik Merah Putih PRESIDEN terus menimbun kebohongan. Seperti mengikuti ajaran Lenin: \"bahwa kebohongan yang diajarkan terus menerus dikemudian hari akan dianggap sebagai sebuah kebenaran\". Presiden berkali-kali berbohong – berbohong kok berkali-kali, sindir netizen di media sosial. Saking anyel, geli, jegkel bercampur marah. M Rasyid Prof. DR mengatakan bahwa:  \"Big lies dengan big mouth - memang kalau bohong jangan_tanggung...perlu bohong besar agar meyakinkan banyak orang dungu\". Ditimpali oleh Dr Faisal Habib: \"menjadi role model para pejabat pemburu jabatan untuk memuaskan syahwat berkuasa harus tampil totalitas dalam berdusta atau berbohong\". Presiden akan semakin kehilangan legitimasi moral dan sosial, sekalipun masih mengantongi legitimasi konstitusional via pemilu yang diduga kuat tidak jujur – dan sangat kuat tampil mempesona sebagai pembohong. Kebiasaan berbohong, kebiasaan memungkiri janji, kebiasaan tidak bertanggung jawab atas suatu kesalahan yang dilakukan, dan tidak mau mengakui kekurangan dan kesalahan dari perbuatan sendiri. Mereka telah mengkhianati rakyat dengan berkali-kali melakukan pembohongan. Pemerintah telah berkhianat dengan mengatakan Indonesia sejahtera sementara sesungguhnya rakyat menderita, dan macam macam modus lainnya. Ketika wawancara sering terbata bata dengan susah payah menata kata kebohongan melawan sifat fitrah manusia untuk condong kepada kebenaran. Sifat fitrah manusia yang sedang berbohong menunjukkan perilaku berbeda, akan tampak cepat berkeringat, gelisah, dan tingak-tinguk mengubah arah pandangannya dan kelainan sifat lainnya. Dampak kebohongan tidak main-main, rakyat resah, bingung bahkan sangat banyak stigma dengan cara apapun ucapannya, Presiden pasti bohong. Kebohongan bisa merusak masyarakat bahkan menumbangkan dan memporak-porandakan negara. Ketika Buya Hamka menanyai putranya Irfan Hamka apakah sudah shalat Isya, Irfan yang sedang asyik baca novel buru-buru menjawab sudah. Buya tahu Irfan bohong lantas menasehati kepada putranya bahwa \"jikalau engkau hendak berbohong, maka haruslah pandai terlebih dahulu. Karena ketika seseorang berbohong, ia harus memiliki perkataan yang lancar, pendirian yang kuat, serta janganlah jadi pelupa\". Kelemahan pembohong adalah jadi pelupa. Orang yang jujur dan benar tidak akan lupa karena kebenaran itu senantiasa terekam dalam otaknya. Sebaliknya, menahan kata-kata bohong itu sangat berat karena sering keterjang sifat sering lupa. “Orang yang berani berkata terus terang adalah orang yang mendidik jiwanya sendiri untuk merdeka. Orang yang berani menerima perkataan terus terang adalah orang yang membimbing jiwanya kepada kemerdekaan”. Jadilah presiden yang jujur, hanya memang kalau sifat pembohong sudah masuk menjadi kepribadiannya sangatlah sulit untuk diperbaiki. Cara murah untuk menghilangkan atau mengatasi Presiden yang suka bohong, segera ganti Presiden yang jujur, cerdas dan amanah. Demikian juga kalau negara sudah menjadi anarkis – semua harus dibabad dulu... ganti yang baru (Plato). (*)

Poros Cap Kaki Tiga

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TENTU aneh ada poros seperti ini, namun maksudnya adalah bacaan atas koalisi 3 partai politik yaitu Partai Golkar, PAN dan PPP. Meski hanya berbahasa untuk meningkatkan kerjasama akan tetapi semua faham koalisi ini tidak dmapat dilepaskan dari kepentingan dan konstelasi Pilpres 2024. Sekurangnya ada tiga disain yang memungkinkan dari terbentuknya koalisi tiga partai yang dibentuk di Rumah Heritage dengan dihadiri langsung ketiga Ketumnya Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa tersebut.  Pertama, menjadi poros serius untuk mendorong salah satu diantara ketiganya untuk menjadi Calon Presiden. Airlangga yang berpeluang untuk diajukan atas dasar dominan kekuatan Partai Golkar meskipun figur Airlangga termasuk jeblok dalam survey.  Kedua, sebagai koalisi Pemerintahan Jokowi gabungan  tiga partai politik ini menjadi poros pesanan. Kepentingan \"kemauan Jokowi\" yakni untuk mendukung figur pilihan Jokowi dan oligarki. Bisa saja poros pesanan  ini menjadi wadah untuk majunya figur Ganjar-Erik Thohir yang realitanya nir-partai.  Ketiga, menjadi poros cadangan untuk bergabung dengan poros lain. Melihat merapatnya Zulhas dan Monoarfa ke Anies Baswedan, maka potensial poros cadangan ini hanya untuk menyiapkan Calon Wakil Presiden. Paketnya adalah Anies Baswedan-Airlangga Hartarto. Kubu kuat gabungan PKS, Partai Nasdem, Golkar, PAN, PPP dan mungkin Partai Demokrat.  Dengan berspektrum \"Cap Kaki Tiga\" maka poros ini memiliki posisi daya tawar yang strategis. Apalagi PKB telah menyatakan siap untuk bergabung meskipun dengan syarat Cak Imin harus diajukan sebagai Capresnya. Syarat yang sudah pasti direaksi dengan tertawa terbahak-bahak.  Poros \"Cap Kaki Tiga\" yang awalnya bermaksud meredam panas dalam Istana khususnya perseteruan antara kubu Jokowi dan Megawati akan tetapi sebaliknya justru akan menambah panas di dalam Istana. Hal ini berkaitan dengan tidak atau kurang terakomodirnya kepentingan masing-masing atau karena Istana yang memang sedang membakar dirinya sendiri.  Poros \"Cap Kaki Tiga\" inipun dapat berfungsi dengan baik jika Threshold 20 % tetap berlaku, akan tetapi jika putusan MK mengubahnya atau aksi sosial mampu mendobrak dekadensi demokrasi atau meruntuhkan penjajahan  oligarki, maka konstelasi dipastikan berubah. Tokoh-tokoh \"oposisi\" seperti LaNyalla Mattalitti atau Rizal Ramli atau lainnya akan semakin berkibar.  Poros \"Cap Kaki Tiga\" yang menyebut dirinya \"Koalisi Indonesia Bersatu\" menyatakan menolak politik identitas. Entah apa maksudnya dan jika itu adalah semisal penonjolan identitas keagamaan, maka Koalisi ini menjadi kontra produktif. Faktanya untuk Pilpres maupun Pileg selalu saja suara keagamaan itu diburu dan dikejar, bahkan ditiru.  Puan yang berpose berjilbab dan Erik Thohir yang bersorban peci adalah contoh peniruan tersebut. Politik identitas yang dibutuhkan. Dahulu Jokowi pun ada yang mengidentifikasi dengan Khalifah Umar bin Khattab segala. Walaupun berbeda jauh, Umar bin Khatab itu bukan pendusta, gemar pencitraan, atau penghutang besar. Apalagi menjadi boneka oligarki dan pelanggar hak asasi.  Poros \"Cap Kaki Tiga\" harus berani keluar dari kungkungan oligarki. Jika tidak dan hanya menjadi pengukuh dari kekuasaan oligarkis, maka Koalisi Indonesia Bersatu ataupun Koalisi lainnya hanya akan berkedudukan sebagai alat penjajahan semata.  Rakyat harus melawan penjajahan dalam segala bentuknya itu. \"Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan\". Oligarki itu tidak manusiawi dan tidak berperikeadilan. Karenanya lumpuhkan, hapuskan, dan hancurkan. Bandung, 25 Mei 2022

Koalisi Parpol, Dilema Demokrasi

Bila fraksi-fraksi di DPR berhak mengajukan calon presiden, mengapa hak DPD dikebiri? Bukankah lembaga DPD juga merupakan “fraksi” di MPR RI? Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI PEMILU presiden masih dua tahun lagi. Namun jumpalitan politik menyusun puzzle koalisi partai politik telah menggeliat. Sebagai sebuah istilah politik, kata koalisi sebenarnya tidak dikenal dalam terminologi UUD 1945. Konstitusi hanya mengenal gabungan partai politik. Agaknya, defenisi koalisi merujuk kepada pengertian tersebut. Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jauh hari telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu. Karena tiga partai ini merupakan partai pendukung pemerintahan, sejumlah pihak menyebutnya koalisi pemerintah. Tidak sedikit pihak bahkan menduga ada campur tangan Presiden Joko Widodo dalam pembentukannya. Jokowi tentu memerlukan “orang kepercayaan” yang bisa meneruskan kebijakannya, semisal pembangunan Ibukota Nusantara yang dipaksakan itu. Selain itu, Jokowi juga memerlukan orang yang bisa “menjaganya” secara politik di kemudian hari. Ini manusiawi saja, terlebih ada banyak kerusakan negeri akibat kebijakan yang tidak tepat sasaran selama Jokowi memerintah. Kemungkinan nama yang didukung Jokowi adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah saat ini. Sinyalemen ini muncul dari pernyataan Jokowi di hadapan para relawan Pro Jokowi (Projo) terkait dukungan Pilpres 2024. Ketika itu, Jokowi sempat menyinggung nama Ganjar. Persoalannya, Ganjar adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pengelolaan politiknya harus ekstra hati-hati. Mungkin, ini pula sebabnya KIB masih malu-malu menyebut nama. Dukungan Jokowi ke Ganjar otomatis dapat dimaknai sekaligus sebagai sikap menjauh dari Puan Maharani, putri Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Oleh Mega, Jokowi acapkali ditegaskan ke publik sebagai petugas partai.  Benarkah Jokowi memunggungi Mega? Sulit membayangkan situasi ini. Bagaimana pun juga, jasa PDIP begitu besar mengantar Jokowi mengendarai mobil berplat Indonesia 1. Masa iya Jokowi begitu mudah berpaling? Pertanyaan itu memunculkan spekulasi tambahan. Spekulasi ini meyakini perseteruan Jokowi-Megawati sengaja dimunculkan demi mengatrol elektabilitas Puan Maharani yang tak juga beranjak. Perseteruan ini dengan sendirinya menempatkan PDIP seolah berseberangan dengan Pemerintah. Belakangan, kita sering mendapati PDIP mengkritisi pemerintah. Tapi, apakah fakta ini membenarkan spekulasi yang berkembang? Agaknya tidak. Resiko politiknya terlalu besar, disamping  perseteruan itu terlihat natural. Walau terkesan ditinggal oleh “Koalisi Pemerintahan”, PDIP berusaha tegar. Menanggapi pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu, sejumlah elit PDIP mengatakan saat ini PDIP belum berpikir untuk berkoalisi. Meski PDIP dapat mengusung pasangan Capres dan Cawapresnya sendiri, namun PDIP tak boleh jumawa. Berkoalisi adalah jalan menambah bobot perolehan suara, selain menambah  kekuatan politik. Sebelumnya, ramai dibincangkan perkawinan politik PDIP dan Gerindra guna mengusung Prabowo-Puan. Perkembangan koalisi ini dinanti-nanti partai lain dalam menentukan sikap. Namun, ada sinyelemen baru. Jusuf Kalla (JK) kabarnya kembali turun gunung. Mantan Wakil Presiden ini disebut-sebut mendorong koalisi PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk melahirkan pasangan calon presiden Anies Baswedan – Puan Maharani. Meski Anies tidak memiliki partai dan bukan kader partai, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi, Jusuf Kalla bukan tokoh kaleng-kaleng. Pengaruh dan kepiawaian JK sebagai politisi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kemungkinannya diperkuat oleh pernyataan sejumlah tokoh PKS, bahwa partainya lebih menginginkan koalisi nasionalis-religius ketimbang berkoalisi dengan partai Islam lain. Sementara PDIP yang selama ini dipandang banyak menyinggung umat Islam, akan terbantukan oleh hadirnya PKS. Situasi itu berpotensi mengubah peta koalisi partai yang selama ini dibincangkan publik. Namun, perubahan yang muncul agaknya tidak mengubah prediksi awal banyak pihak, yakni terbentuknya tiga poros kekuatan politik. Tiga poros kekuatan politik ini cukup presisi dengan tiga besar calon presiden versi lembaga survei, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Andaikan Ganjar didukung Koalisi Golkar, PPP, dan PAN, dan Anies didukung koalisi PDIP-PKS, lalu bagaimana dengan Prabowo? Mau tak mau, Gerindra harus melobi partai politik tersisa, sebelum bergabung dengan koalisi lainnya. Semakin banyak poros politik sejatinya semakin baik. Itu artinya, kandidat yang terjaring semakin banyak dan terbuka ruang menemukan calon pemimpin terbaik. Menu figur yang disajikan kepada rakyat pun semakin variatif. Dalam konteks itulah kasak-kusuk perbincangan koalisi sebaiknya tidak membuat kita terlena. Bagaimana pun juga, peta koalisi di atas sekaligus menjadi dilema demokrasi kita. Mengapa? Pertama, koalisi lahir akibat syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh partai politik dibatasi minimun 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi di DPR. Dalam ruang demokrasi, aturan itu tidak perlu ada. Partai politik diakui UU sebagai institusi sah lahirnya calon presiden. Maka, setiap partai seharusnya dapat mengajukan calonnya sendiri, tanpa embel-embel Presidential Threshold. Lagipula, mudharat Presidential Threshold yang lebih besar ketimbang manfaatnya telah banyak dianalisis sejumlah pakar. Kedua, ambang batas 20 persen suara nasional partai politik memakai perhitungan pada Pemilu 2019. Padahal, selama lima tahun berjalan, atau setidaknya 3 tahun di saat sekarang, dukungan masyarakat terhadap partai politik tertentu besar kemungkinan telah berubah. Ketiga, posisi politik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif dukungan calon presiden. Kasat-kusut koalisasi sepertinya membuat kita lupa bahwa di Senayan ada dua lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD. Bila fraksi-fraksi di DPR berhak mengajukan calon presiden, mengapa hak DPD dikebiri? Bukankah lembaga DPD juga merupakan “fraksi” di MPR RI? Kalaulah pelaku politik nasional jantan dan adil dalam berpolitik, bukan tidak mungkin lahir poros keempat. Poros ini bisa saja diisi La Nyalla Mattalitti, Rizal Ramli, Gatot Nurmantio, Mahfudz MD, termasuk Anies Baswedan bila tidak terakomodir dalam partai manapun atau calon pemimpin mumpuni lain yang sulit diakomodir partai politik. Tetapi apa boleh buat. Pintu itu ditutup rapat-rapat. Begitulah, tokoh politik nasional sungguh bergelora menyusun puzzle koalisi. Mereka merasa sedang membangun rumah demokrasi. Padahal tidak. Sama sekali tidak. (*)

Makin Jelas, Jokowi Siapkan Erick Thohir Jadi Sekoci Penyelamat

Oleh Hersubeno Arief dalam Hersubeno Point Relawan pendukung Jokowi atau Projo (Pro Jokowi) Sabtu 21 Mei 2022 menggelar Rakernas atau Rapat Kerja Nasional di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Rakernas di tahun politik ini tentu sangat menarik untuk kita cermati,  apalagi Presiden Jokowi beserta istrinya Iriani, didampingi Kepala Staf Presiden Moeldoko, juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tampak hadir. Di hadapan sekitar 5000 pendukungnya, Jokowi kembali meminta agar mereka bersabar dalam penentuan siapa capres yang akan mereka dukung. Dalam Bahasa Jokowi, ojo kesusu, jangan tergesa-gesa. Apa yang bisa kita baca dalam pesan tersirat dan tersurat dalam pidato Jokowi itu? Pertama, wajah Jokowi tampak sangat segar, sumringah dan bersemangat. Berbeda sekali dengan beberapa waktu lalu ketika dia mengumumkan soal pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO. Ini mungkin bertemu dengan ribuan relawannya, jadi tampaknya memberikan semacam energi positif bagi Jokowi. Kedua, Jokowi tampaknya sudah mulai percaya diri lagi menghadapi berbagai persoalan krisis politik maupun ekonomi. Kalau dari sisi ekonomi kelihatannya harga minyak goreng seperti yang dikatakan Jokowi akan turun lagi menjadi 14.000 rupiah perliter. Ini saya kira sebuah keyakinan yang perlu kita pertanyakan? Jangan terlalu optimistis dulu, ini karena mengingat Pak Jokowi ini dikenal sangat senang memberikan semacam harapan angin surga atau ada orang yang menyebutnya juga semacam harapan palsu. Sebab banyak yang memperkirakan kalau dari indikator ekonomi, termasuk berbagai faktor produksi lainnya, misalkan sebentar lagi pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak. Angka seperti itu berat untuk dicapai. Tapi Pak Jokowi kemarin menyampaikan bahwa 1-2 pekan ini, akan turun kembali menjadi Rp14.000 per liter. Kita tunggu saja. Dan kalau kemudian tidak tercapai, ya gak usah marah-marah, gak usah kaget, kan biasanya juga gak terbukti. Jokowi juga tampak segar ini karena berkaitan tekanan politik utamanya kelangkaan minyak goreng. Tadi itu mulai sedikit mengendor, Anda harus perhatikan, ada krisis ekonomi, krisis yang berkaitan dengan krisis politik, lalu persoalan minyak goreng, ini ada tekanan dari publik berupa antrian panjangan selama berbulan-bulan dan emak-emak. Ketiga, akhirnya Jaksa Agung menetapkan 4 orang yang disebut-sebut sebagai mafia minyak goreng. Salah satunya waktu itu adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardana dan setelah kita terkejut-kejut pada waktu itu, dia menyatakan akan ada kejutan baru lagi. Akan tetapi setelah itu kita tunggu-tunggu ternyata Jaksa Agung hanya mengumumkan nama yakni Lin  Che Wei sebagai tersangka baru. Lin Che Wei ini bukan tangkapan besar, apalagi yang kita harapkan adalah menyerempet nama-nama besar dalam istana atau kalau tidak lansung ke sekitar Istana setidaknya-tidaknya para menteri-menteri di kabinet karena orang butuh kepercayaan panjang. Mana mungkin sih seorang Dirjen bisa membuat krisis semacam itu, bisa menjadi mafia yang mengakibatkan  krisis minyak goreng sampai berbulan-bulan kemudian sampai menteri Perdagangan sendiri mengaku dia tidak mampu menghadapi para mafia minyak goreng ini? Jadi, wajar kalau mereka berharap akan ada nama besar lain. Pada waktu itu Jaksa Agung juga ditanya oleh media apakah itu sampai ke level menteri? Dia menyatakan jika ada bukti yang kuat dia tidak akan segan-segan sampai menangkap sampai ke level menteri. Sementara ini bisa bernafas lega karena  yang disasar levelnya Lin Che Wei. Media menampilkan reset, itu foto Lin Che Wei bersama dengan Jokowi dan menyebutnya sebagai salah satu timses dari  Presiden Jokowi. Tapi dapat dipastikan ibarat memakan bubur panas, ini keliatannya Jaksa Agung menerapkan langsung makan ke tengah-tengah ke bubur yang panas, karena dia bisa terjeblos, kalau gak salah ini. Jadi keliatanya dia sekarang sedang kenceng dengan menankap Dirjen dan 3 orang dari perusahaan minyak besar. Sekarang mulai pinggiran lagi mulai makan dari pinggiran yang ditangkap adalah Lin Che Wei. Keempat, ini kalimat ojo kesusu itu multi tafsir. Ojo kesusu jangan terburu-buru atau presiden Jokowi menerjemahkan dalam bahasa Indonesia jangan tergesa-gesa. Itu bisa diartikan bahwa Jokowi tetap membuka opsi untuk melanjutkan masa jabatannya 3 periode, karena itu dia tak ingin terburu-buru menyatakan priverensi politiknya mau mendukung siapa? Kelima, Jokowi juga menyebut kalimat ojo kesusu itu dalam satu rangkaian dengan kalimat-kalimat lengkapnya begini, “meskipun mungkin yang kita dukung juga ada di sini.” Perhatikan kata “mungkin” ketika kita ungkapkan itu asumsi yang hadir termasuk asumsi Anda dan saya mungkin yang dimaksud adalah Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah yang juga hadir di situ. Anda tidak salah sebab banyak relawan Projo yang hadir juga langsung meneriakkan nama Ganjar, walaupun ada juga yang menyatakan ada yang meneriakkan 3 periode. Setelah pidato Pak Jokowi, banyak juga relawan Projo yang mengelu-elukan Ganjar Pranowo di situ. Tadi Presiden Jokowi sudah mengingatkan Ojo kesusu, jangan tergesa-gesa. Sekarang giliran saya mengingatkan Anda ojo kesusu juga, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Ganjar yang akan didukung oleh Jokowi. Harus dicatat Jokowi ini seorang politisi yang kata-katanya sulit dipegang. Bahkan ada seorang Professor dari UIN IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang menjadi Ketua Dewan Pers, Professor Azyumardi Azra meminta kita untuk menafsirkan secara kebalik setiap kali apa yang ditafsirkan oleh Presiden Jokowi. Jadi, tolong jangan kesusu mengambil kesimpulan. Jokowi menyebutkan kata “mungkin” yang akan kita dukung. Mungkin dan ada di sini. Ada dua kata: “mungkin” dan “ada di sini” apa yang kita simpulkan dari kalimat bersayap itu? 1.  Bisa saja nama yang dia maksud itu adalah nama dirinya sendiri. Jadi, bukan Ganjar.  Jokowi kan juga hadir di situ. Jadi, dia termasuk yang ada di situ. Mungkin ada di situ kata Jokowi. Jadi dia mungkin ada di situ. Dan yang jelas para pendukung Jokowi atau Projo ini sudah sumpah mati, pada tahun 2024 ndherek Pak Jokowi, pejah gesang ndherek Pak Jokowi, hidup mati ikut Pak Jokowi. Jadi, kalau Pak Jokowi memutuskan untik maju kembali, ya mereka pasti akan mendukung. 2. Jokowi dan orang-orang dalam sekitarnya atau lingkar dalam istana terutama tentu saja yang digalang oleh Pak Luhut dan para menteri-menteri ke bawah. Itu kan bagaimana pun juga tetap menyiapkan opsi agar Jokowi bisa kembali maju untuk 3 periode. Rakernas Projo ini bisa menjadi indikator bahwa opsi itu masih tetap disiapkan dan masih dibiarkan hidup. Kehadiran Jokowi dan pernyataannya yang menggantung dalam kalimat ojo kesusu tadi merupakan sebuah syarat kuat. Jadi ini juga bisa disebut sebagai semacam tesit berapa dalamnya air atau audit the water. Kalau ternyata tidak terlalu dalam, mungkin opsi itu akan terus jalan. Sekarang pertanyaanya bagaimana caranya Jokowi bisa mewujudkan niatnya tetap memperpanjang masa jabatan selama 3 periode dan bagaimana dengan nasib Ganjar? Secara proses politik di DPR proses legislasi, benar bahwa pintu amandemen yang memungkinkan dia mejabat selama 3 periode itu telah tertutup. Apalagi partai-partai pendukungnya semua sudah balik badan. Yang paling keras itu sikap PDIP dan Nasdem. Pembahasan di DPR mengenai amandemen ini juga dipastikan akan ditutup sampai tahun 2024. Tolong perhatikan perkembangan politik terbaru saat ini pasca terbentuknya koalisi, saya menyebutnya koalisi \"Golkar, PPP dan Partai Amanat Nadional\". Saya sarankan Anda memperhatikan timing pembentukan koalisi ini. Koalisi ini muncul tak lama setelah bocornya informasi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto bakal dikudeta. Dan dalam pernyataannya setelah mereka bertemu dengan Zulkifli Hasan, Airlangga menyatakan bahwa mereka ingin melanjutkan pembangunan di era pemerintahan Jokowi karena sudah merasakan manfaatnya. Kita akan mengawal pembangunan sampai dengan 2024 dan tentunya melanjutkan apa-apa yang dilakukan dan yang baik untuk periode selanjutnya. Itu kata Airlangga ketika dia melakukan acara halal bihalal dengan seluruh pengurus Golkar di Jakarta Rabu 8 Mei 2022, tolong dipegang saja kata Airlangga itu. Mengawal pembangunan sampai 2024 dan tentunya melanjutkan apa-apa dan yang baik untuk periode selanjutnya, catat kata periode selanjutnya. Jangan terlalu percaya pada para fungsionaris Golkar bahwa opsi mendukung Airlangga sebagai Capres itu merupakan harga mati. Jadi apa maksudnya? Artinya koalisi ini akan mengusung Airlangga sebagai calon Presiden, saya kira itu hanya basa-basi politik kalau Anda menyebutnya sebagai penyesatan politik, penyesatan opini politik. Posisi Airlangga sendiri di Golkar sangat rentan. Dia rawan sekali digoyang oleh tim istana, media menyebutnya bahwa yang menjadi mediator saat ini adalah Luhut Panjaitan. Elektabilitasnya juga katakanlah kalau dia gak digoyang dari Golkar elektabilitasnya hanya di bawah 1 persen walaupun sudah didongkrak dengan berbagai baliho dan kampanta yang masif. Ternyata gak naik-naik juga. Gak mungkinlah misalnya PPP dan PAN ini mendukung Airlangga Hertanto menjadi Capres dengan potensi menang yang sangat berat. Mereka ini sebenernya koalisi terpaksa karena ada sandera politik jadi memang 3 partai ini disiapkan untuk skoci dari Jokowi. Siapa yang menggunakan, nanti kita bicarakan. Yang sangat mungkin ini kan koalisinya digunakan oleh Jokowi. Sebab dari sisi presentase perolehan kursi di DPR mereka ini sudah memenuhi sysrat Presidential Theeshold 20 persen, tinggal dicari bagaimana caranya menerobos barier Ketentuan Perundang-Undangan bahwa seorang presiden tidak boleh menjabat sampai 3 periode. Kalau memang tidak bisa diterobos ketentuan 3 periode karena sudah digembok mati oleh PDIP dan Nasdem plus partai-partai oposisi seperti PKS dan Demokrat, maka sesungguhnya masih ada 2 opsi yang tersedia; 1. Jokowi berpasangan dengan Prabowo. Loh itu kan artinya 3 periode? Gak kali ini beda, tapi Jokowi kali ini sebagai calon Wakil Presidennya. Boleh dong kalo Jokowi menjadi calon wakil presidennya dan Prabowo menjadi presidennya. Itu tidak melanggar Undang-Undang Dasar. Saya mendengar opsi ini dari berbagai sumber. Opsi ini termasuk yang dipertimbangkan secara serius oleh timnya Jokowi. 2. Kalau semua upaya tadi 3 periode buntu, Prabowo - Jokowi juga gagal barulah di sini kartu Ganjar dimainkan sebagai pintu darurat atau emegency exit sebagai sekochi penyelamat bagi Jokowi. Yang penting pemerintahan berikutnya harus tetap dipegang oleh orang yang bisa dikendalikan oleh Jokowi. Dikendalikan bukan hanya oleh Jokowi tapi dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan yang selama ini ada di balik Jokowi dan itu dikendalikan oleh Ganjar. Anda pasti bertanya mengapa di judul saya menyebut kemungkinan Ganjar berpasangan dengan Menteri Negara BUMN Erick Tohir? Bagaimana hitung-hitungannya, siapa saja yang akan di gandeng? Termasuk bagaimana masa depan Prabowo-Puan? Atau nama Anies-Andika? Yang terakhir ini seru dan santer juga disebut-sebut akan berpasangan.

Politik Dua Kaki Jokowi, Ganjar Digantung?

Bagaimana masa depan pencapresan Ganjar Pranowo? Apakah akhirnya dia mendapat tiket? Apakah Jokowi akhirnya mendukungnya? Oleh Hersubeno Arief dalam Kanal Hersubeno Point PERTANYAAN itu jadi spekulasi spesifik menarik pasca Jokowi menyampaikan sikap politiknya di hadapan relawan Projo alias Pro-Jokowi. Projo relawan yang menjadi salah satu tulang punggung telah melaksanakan Rakernas Sabtu, 21 Mei 2022 di kawasan Borobudur, Muntil, Jawa Tengah. Pidato Jokowi yang mengingatkan Projo ojo kesusu, tidak terburu-buru untuk dia memutuskan mendukung siapa pada Pilpres 2024 menjadikan nasib Ganjar ini menjadi menggatung. Padahal, tadinya banyak sekali relawan Ganjar yang mengharapkan ada keputusan Jokowi apakah dia akan menyatakan dukungannya kepada Ganjar atau tidak? Ini momen sangat penting sebenarnya yang ditunggu-tunggu pertemuan atau Rakernas dari Projo ini. Sebab proses pendaftaran calon presiden itu akan dibuka pada bulan September 2023. Jangan Anda bilang bahwa oh ini masih 1 tahun lebih, pencalonan presiden ini sudah sangat pendek. Banyak agenda dan tahapan politik yang harus dilakukan oleh Ganjar. Salah satunya yang terpenting kepastian kontroling tiket karena dengan kepastian kontroling tiket itu, semuanya bisa berjalan termasuk juga fund rising atau pengumpulan dana. Dengan ketentuan Undang-undang Pemilu bahwa seorang calon presiden dapat maju bila didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen pemilihan suara nasional, ini tidak mudah bagi Ganjar untuk memperolehnya. Begitu juga dengan calon-calon lain. Makannya, kita selama ini aktivis juga banyak media-media yang mempersoalkan presidential threshold 20% karena itu akan mengganjal siapapun calon-calon Presiden yang potensial. Walaupun Ganjar ini merupakan kader PDIP, hampir dipastikan partai moncong putih itu tidak akan memberikan tiketnya kepada Ganjar. Nasib Ganjar saat ini miriplah dengan Anies Baswedan, dia tunawisma politik. Sebagai satu-satunya partai yang bisa mengusung capres cawapres secara mandiri pada Pilpres 2024, PDIP sudah menyegel tiketnya untuk sang Putri Mahkota Puan Maharani. Jadi, jangan berharap Ganjar akan mendapatkan tiket dari PDIP. Tinggal nanti Puan Maharani ini tinggal batu atur, apakah posisinya sebagai Capres atau Cawapres. Namun jika kita melihat berbagai elektabilitas Puan di berbagai lembaga survei sangat rendah, posisi yang paling logis bagi Puan adalah sebagai Cawapres. Tinggal nanti dicari siapa Capresnya yang bisa mendongkrak perolehan suara. Dengan begitu Ganjar ini memang sangat bergantung pada Jokowi. Pernyataan Jokowi Ojo Kesusu, bersama itu menyebut mungkin yang akan didukung berada di ruangan ini, kemarin ketika dia menyampaikan pidatonya hari Sabtu tanggal 21 Mei di hadapan para relawan Projo itu sesungguhnya bisa ditafsirkan bahwa Jokowi bisa bermain di 2 kaki. Artinya dia tetap menyimpan ambisinya menjadi Presiden untuk 3 periode, namun di satu sisi dia tetap memberi harapan kepada Ganjar sebagai calon subsesornya. Artinya apa? Jadi-tidaknya Ganjar mendapatkan tiket, itu sangat bergantung jadi-tidaknya Jokowi maju untuk 3 periode atau setidsknys dia tetap maju Pilpres sebagai Cawapres. Soal ini kemarin saya smpaikan bahwa memang ada opsi kalau Jokowi gagal menjadi capres 3 periode, maka opsi yang lain, dia akan maju sebagai cawapres dan barulah kalau kedua opsi ini tidak terpenuhi, Ganjar yang punya kesempatan. Dengan siapa Jokowi akan berpasangan? Bahwa pasangan yang paling banyak disebut dan paling logis itu adalah Menteri Pertahanan Prabowo. Soal ini sih menurut orang-orang dekat lingkungan Prabowo, juga sudah pernah disampaikan oleh Prabowo karena memang ada tawaran semacam ini. Barulah kalau 2 opsi itu gagal, baik untuk Jokowi maju 3 periode maupun maju kembali sebagai Cawapres, maka preferensi pilihan Jokowi yang paling mungkin saat ini adalah Ganjar Pranowo. Ganjar ini kan kabarnya merupakan calon yang telah disepakati oleh Jokowi dan oligarki yang selama ini menjadi pendukung dan penopang utamanya, diharapkan menjadi subsesornya. Dengan menjadi Presiden berikutnya diharapkan Ganjar tetap bisa menjaga dan mengamankan kepentingan oligarki dan tentu saja kepentingan Jokowi. Banyak bisnis yang mesti diamankan, baik bisnis keluarga Pak Jokowi sendiri, bisnis orang dekat Pak Jokowi itu sendiri seperti Pak Luhut yang gurita bisnisnya juga sangat besar dan di mana-mana dan termasuk juga kepentingan kepentingan lain yang selama ini secara pendanaan mendukung keberhasilan Jokowi menjadi Presiden sampai 2 periode. Ini harus terus dijaga dan sejauh ini keliatannya orang yang kita anggap bisa mengamankan itu yang berporensi mengamankan karena elektabilitasnya juga cukup memadai namanya Ganjar Pranowo. Jadi, bolehlah disebut Ganjar ini adalah calon pilihan oligarki kalau dia nantinya terpilih menjadi Presiden, peran dan posisinya pasti Anda gampanglah membayangkan persis seperti Jokowi saat ini. Karena itu tidak berlebihan bila filsuf digital model Rocky Gerung itu menyebutnya Ganjar itu sebagai the little Jokowi atau Jokowi kecil. Dengan siapa Ganjar akan berpasangan, ini kalau dilihat naga-naganya kemungkinan besar dia akan dipasangkan dengan menteri BUMN Erick Tohir. Indikatornya sangat jelas, beberapa lembaga survei menyebut nama Erick sebagai kandidat cawapres yang harus diperhitungkan. Tidak disebutkan sebenernya secara spesifik berapa elektabilitasnya, ada tapi kita jangan terlalu percaya dengan data-data yang disebutkan oleh lembaga survei. Lembaga survei Indikator Politik misalnya, meyatakan dalam sebuah simulasi yang mereka buat bila Ganjar berpasangan dengan Erick Tohir, maka mereka akan menang kalau dihadapkan dengan pasangan Prabowo- Puan. Lembaga survei yang lain juga menyebut pasangan Ganjar-Erick Tohir ini bisa saling melengkapi. Kalau saya mengutip data-data survei, ini berarti saya mempercayai elektabilitas yang mereka publikasikan. Justru saya melihat publikasi lembaga survei itu sebagai indikator siapa saja sih sebenernya yang tengah disiapkan sebagai kandidat oleh para pemilik modal? Namun Ganjar  merasa sering terkejut, kok sering denger yah Ganjar disebut-sebut memiliki elektabilitas tertinggi. Padahal kinerjanya sebagai Gubernur Jawa Tengah, itu ya gak bagus-bagus amat. Bahkan kabar terbaru soal angka kemiskinan di Jawa Tengah, dari 5 kabupaten yang mengalami kemiskinan ekstreme, sekarang menjadi 19 kabupaten. Jadi memang dari sisi indikator itu, Ganjar bukanlah seorang kepala daerah yang sukses. Begitu juga dengan soal-soal lain misalnya kemarin ribut-ribut soal lahan di Wadas. Ini kan kelihatan sekali bahwa Ganjar memang tidak berpihak pada rakyatnya. Demikian juga dengan Erick Tohir yang tiba-tiba saja namanya juga masuk dalam bursa Cawapres. Dengan memahami peta itu kita jadi ingat dan paham bahwa kedua figur ini memang pantas sekali dipersiapkan oleh para pemilik modal. Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha dan juga keluarga pengusaha, Erick jelas merupakan kandidat yang sangat-sangat disenangi dan akan di-support penuh oleh dunia usaha. Mohon dicatat, almarhum ayah Erick Tohir adalah petinggi Astra dan kakak kandungnya Deri Tohir adalah salah satu raja batubara melalui perusahaanya PT Adaro. Sekarang ini disebut-sebut sudah mulai masuk ke bisnis startup. Termasuk kemarin di foto antara Gojek dan Tokopedia. Jadi gurita bisnisnya sudah mulai merambat ke mana-mana. Oleh karena itu Erick Tohir ini adalah figur yang sempurna bagi pemilik modal. Harus diakui, Erick untuk mencapai posisinya sekarang ini untuk menjadi salah satu kandidat pada capres 2024, dia sangat maksimal memanfaatkan posisinya sebagai Menteri BUMN melalui kampanyenya dengan jargon akhlak. Kalau Anda sempat berkunjung ke beberapa kantor BUMN, bahkan sampai ke kantor BUMN yang di daerah-daerah, itu Anda akan banyak sekali menemukan foto-foto Erick Tohir yang terpampang. Tidak hanya sampai di situ, kemudian ada juga foto di bank milik pemerintah. Wajah Erick Tohir ini gak asing lagi buat Anda karena foto-fotonya memang terpampang di puluhan ribu ATM plat merah. Erick juga sangat jujur dan tekun menggarap pasar muslim, khususnya muslim tradisional yakni Nahdlatul Ulama. Ini pilihan yang saya kira sangat cerdas, karena NU kan sekarang adalah ormas Islam terbesar di Indonesia. Kemudian kultur di NU ini ada ketaatan pada para pemimpinnya khususnya pada para kyai. Jadi, kalau Erick bisa memegang level struktural dan kultural dari NU, itu bisa dijamin bahwa warga bisa diarahkan kepada dia. Simak apa saja langkah yang dilakukan oleh Erick Tohir agar dia bisa merebut hati kaum NU ini. Dia mengikuti latihan dasar Banser Ansor kemudian dilantik menjadi anggotanya, foto-foto dia sedang bersama kaum nahdliyin ini sudah mulai tersebar karena dia keliatannya mulai rajin hadir dalam acara-acara kegiatan-kegiatan yang digelar oleh warga nahdliyin. Tidak hanya sampai di situ, Erick skarang terpilih menjadi Ketua Panitia Hari Lahir NU atau menjadi ketua panitia hari lahir NU. Selain dia masuk ke struktur, dia juga mulai masuk ke NU kultural. Erick juga dikabarkan tengah mengincàr PKB. Partai Kebangkitan Bangsa sebagai sayap politik dari NU, namun hubungan PKB dan NU saat ini memang tidak cukup baik. Seorang Kader NU saat ini juga politisi PKB Muara Hasibuan juga sudah memberikan signal \"ada seorang tokoh yang tak punya perahu untuk maju ke Wapres dan membacakan PKB\". Muara Hadibuan memang tidak menyebutkan nama Erick Tohir namun kalau Anda memahami berbagai cuitannya Muara Hasibuan ini sangat aktif di media sosial. Dia itu sangat sering menyindir Erick, mulai dari sikap keterlibatanya sebagagai Banser, sebagai Ketua PBNU dan lain-lain. Yang terbaru ini sekiranya ketika Ketua PWNU Nadhaltul Ulama, Sumtera Selatan Kyai Haji M Rudin Narawi diangkat oleh Erick Tohir menjadi Komisaris Independen PT Pusri, dia menyindir Erick, kenapa tidak sekalian saja seluruh pengurus wilayah NU diangkat menjasi komisaris di BUMN. Penggunaan PKB yang lahir dari rahim NU ini memang saat ini - seperti yang daya sebutkan tadi - tidak harmonis dengan PBNU di bawah kepemimpinan Yahya Staquf. Ini beda sekali dengan PBNU di bawah kepekimpinan Said Agil Almunawar. Saat itu PKB sangat mendominasi PBNU dan kita bisa pahami karena sebagian sekarang ini pengurus PBNU itu dikenal sebagai Gusdurian, sementara Muhaimin ini meskipun dia keponakan dari Gusdur, dia dianggap menguasai PKB secara tidsk legal. Dia mengambil alih dari Gus Dur. Dengan berhasilnya Erick Tohir masuk sangat jauh ke depan, ini kalau dia menjadi Ketua Hari Lahirnya PWNU, maka apabila dia berhasil menguasai PKB, posisi tawarnya sebagai cawapres, akan semakin kuat. Jangan-jangan nanti presiden cocok juga dong jadi Capres semacam itu. Kalau gitu sekarang partai apa saja sih yang menjadi tiket Ganjar dan Erick? Yang sudah jelas tampak di depan mata adalah kualisi Golkar, PPP dan PAN. Tapi sebenarnya tiket ini tiket milik Jokowi, karena kita liat dari pernyataan Airlangga bahwa koalisi mereka akan melanjutkan pembangunan di era Jokowi. Karena sudah menunjukkan bahwa Jokowi sebagai kendaran politik untuk memperpanjang masa jabatannya. Koalisi ini konfigurasinya mirip dengan partai penyusun ide pendundaan Pemilu. Kalian masih inget pasti isi penundaan Pemilu dan Jokowi ini yang pertama kali menyatakan PKB, Golkar dan Partai Amanat Nasional. Golkar dan PAN masih bertahan di koalisi. Ini yang berubah hanya P3. Akhirnya Erick bisa membawa PKB masuk, maka kualisi ini akan semakin kuat. Tapi kita pasti bertanya apakah Golkar, PPP dan PAN itu masih akan tetap bertahan, bila Ganjar dan Erick itu yang akan diusung sebagai Capres Cawapres bukan hanya Jokowi? Apakah juga Cak Imin menyerahkan juga PKB kepada Erick Tohir atau kepada Putri Gus Dur? Ini yang masih menjadi pertanyaan besar bagi kita semua? Peta politik memang masih sangat dinamis, tapi yang jelas bila kita mengamati dinamika politik Indonesia saat ini, khususnya 2 periode pemerintahan Jokowi, kekuatan pemilik modal atau sekarang dikenal sebagai oligarki, sangat kuat dan sangat mendominasi pemerintah. Mereka itu bisa mendiktekan kemauan politik dan ekonominya kepada penguasa. Pesiden ini hanya menjadi boneka saja. Kenyataannya mereka inilah para penguasa yang benar-benar berkuasa dan mereka ini sekarang semakin berkuasa karena masuk ke dalam pemerintahan menjadi pejabat-pejabat tinggi dalam pemerintahan. Ini berbeda sekali dengan masa Orde Baru di bawah Pak Harto. Kalau dulu memang para pemilik modal ini dikenal sangat kuat, tapi mereka di bawah kontrol dari penguasa. Jadi, Pak Harto menciptakan para pengusaha tetapi tetap dalam kontrolnya. Kalau sekarang ini kebalik, para pengusaha itu menciptakan para penguasa-penguasa dan kemudian para penguasa ini berada di bawah kontrol para pengusaha. Para pengusaha yang kemudian masuk juga ke dalam pemeritahan dan kekuasaan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Inilah yang oleh aktivis senior Rizal Ramli disebut sebagai Peng Peng, yakni pengusaha sekaligus penguasa.  Erick Thohir bagian dari kelompok pen pen ini. Kalaupun nanti Ganjar Pranowo yang terpilih menjadi Presiden, posisi peran dan tugasnya Anda bisa bayangkan persis seperti Jokowi saat ini. Masih mau?

Jokowi Mimpi di Siang Bolong

Pidato Jokowi di forum Rakernas Magelang terkesan malah guyon, bisa jadi akan membahayakan Ganjar Pranowo karena pidatonya hanya halusinasi politik Jokowi yang masih mimpi di siang bolong. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PDI Perjuangan (PDIP) dapat mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, tanpa berkoalisi. Hal ini sesuai dengan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya PDI Perjuangan yang punya lebih dari persyaratan 115 kursi parlemen yang bisa mengajukan calon. Jadi, yang baru bisa memenuhi PDIP. Bisa maju (pilpres) sendiri tanpa ikut orang lain. Sesuai Pasal 222 mengatur mengenai presidential threshold (pres-t) atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai untuk dapat mengajukan capres dan cawapres. Angka pres-t yang ditetapkan yakni 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif (pileg) sebelumnya. Pada Pileg 2019, PDIP meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR. Artinya, persentase kursi DPR yang dimiliki PDIP sebesar 22,26%. Sementara Projo bukan partai politik, kekuatannya parsial dan mengambang yang kuat dugaan tidak paham tentang liku liku proses pertarungan capres. Kebanggaan Ganjar Pranowo atas dukungan Projo itu tersesat di jalan yang terang benderang. Kedua Capres baik Ganjar atau Puan Maharani itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Puan jelas memiliki kuasa politik PDIP, hanya di kancah Nasional kualitas untuk Capres masih butuh waktu pematangan kedepan. Sementara Ganjar mulai pintar meniru gaya Jokowi saat itu dengan tebar pesona dan pencitraan. Kelemahan Ganjar jelas tidak akan bisa berbuat dan bergerak apalagi bermanuver politik, sekedar untuk beli kendaraan capres saja tidak akan mampu tanpa topangan Bandar Politik (Oligarki ). Posisi Jokowi yang masih merasa jumawa mengendalikan kekuatan politik, yang sebenarnya sudah hambar, bahkan akan berhadapan dengan resiko politik dan hukum yang sangat besar. Bisa menyelamatkan diri, sudah untung apalagi akan menolong orang lain, hanya fatamorgana. Lagian, Ganjar salah bersandar pada ruang yang rapuh. Gaya Jokowi mempromosikan Ganjar di Rakernas Projo Magelang, tak punya kekuatan di politik signifikan bahkan itu cara sia-sia, menempatkan Ganjar di tempat atau titik agar mudah ditembak secara politis. Dari kedua Capres potensinya hanya akan bisa melakukan tebar pesona dan pencitraan, belum kuat bertarung di wacana intelektual negarawan tentang Indonesia masa depan. Jokowi bukan tanpa guna bisa saja difungsikan sebagai makelar Ganjar untuk berselingkuh dengan oligarki. Hanya apakah Jokowi masih ada kekuatan lobi dengan Oligarki, bisa berbalik berbanding lurus kejadiannya. Jokowi sendiri jika dalam detik-detik terakhir sudah tidak bisa ditolong secara politik pasti akan jadi mangsa, dikorbankan, dan bahkan dilemparkan dalam jurang bermacam-macam kasus hukum yang akan menimpanya, dibiarkan berkalang tanah. Di sisi lain, Oligarki juga sedang ada masalah yaitu goncangan krisis global yang kini mengancam, oligarki yang sejak awal mengidap retak internal, kini mengalami perambatan retak yang makin lebar. Republik Indonesia ini bisa kemudian berpotensi mengalami gelombang anarki, seperti amuk massa dan munculnya people power atau Revolusi. Pidato Jokowi di forum Rakernas Magelang terkesan malah guyon, bisa jadi akan membahayakan Ganjar Pranowo karena pidatonya hanya halusinasi politik Jokowi yang masih mimpi di siang bolong. Oligarki tidak akan serta merta mengikuti pikiran Jokowi  yang selama ini justru dalam kendali mereka. (*)

Prabowo "Dibobodo?"

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERTARUNGAN antara oligarki melawan kekuatan rakyat akan tergambar pada proses Pilpres yang akan datang. Pengaruh Jokowi berada pada kutub oligarki. Polar budaya yang menghalalkan segala cara termasuk uang. Oligarki adalah penjajah negeri.  Prabowo yang telah dirangkul Jokowi nyata kehilangan kaki kekuatan oposisi anti oligarki. Ia tengah mencari dukunganJokowi dan oligarki untuk menjadi Presiden pengganti. Jokowi memberi harapan dan Prabowo harus menjilat habis demi dukungan ini. Permainan Prabowo-Jokowi adalah bagiannya, meskipun model seperti ini akan menjadi pasangan tertawaan dunia.  Survey dibuat seolah Prabowo tertinggi disusul Ganjar Pranowo dengan memerosotkan Anies Baswedan. Disain jitu untuk meninabobokan Prabowo. Oligarki berharap Ganjar sebagai boneka baru. Lalu pasangan disosialisikan gencar. Uji coba saat ini menemukan format Ganjar-Erik Thohir sang pengendali dan penguasa BUMN.  Prabowo bukan bodo tetapi \"dibobodo\" yang dalam bahasa Sunda berarti dibohongi. Jokowi sebagai bagian oligarki tidak akan mempercayai Prabowo mantan lawan politik yang diduga sebagai pemenang sebenarnya dari Pilpres lalu. Apalagi Prabowo bahagia digadang-gadang untuk berpasangan dengan Puan Maharani, puteri Megawati yang menjadi seteru Jokowi saat  ini.  Prabowo dibobodo oleh disain survey, dibobodo oleh oligarki dan Jokowi,  dan jika Megawati menyerah untuk akhirnya mendukung kader partainya sendiri Ganjar Pranowo, maka sempurnalah proses \"ngabobodo\" Prabowo. Hanya umat Islam yang tidak ngabobodo sebab sejak Prabowo dianggap berkhianat, umat telah tegas menyatakan tidak akan mendukung Prabowo untuk Presiden ke depan.  Bagaimana dengan poros PAN PPP dan Golkar ?  Jika benar ungkapan Airlangga bahwa poros ini dibentuk atas pesan Jokowi, maka poros ini dapat digunakan untuk wadah Ganjar-Erik sebagai mainan oligarki. Jokowi membuang Prabowo dan Megawati untuk kemudian optimalisasi poros tiga partai ini. Modal atau pendanaan bukan persoalan.  Tetapi Airlangga dan Golkarnya tidak mudah untuk \"dibobodo\" karena dapat juga koalisi ini menjadi poros dari lawan oligarki. Misalnya pasangan Anies-Airlangga yang nampaknya akan cukup kuat juga untuk menghadapi siapapun. PKS, Nasdem, Golkar, PAN dan PPP akan menjadi koalisi kuat. Apalagi jika Demokrat ada di dalamnya.  Prabowo akan menjadi figur yang terasing karena hanya berharap berpasangan dengan Puan, artinya koalisi Gerindra dan PDIP. Oligarki tidak berada di pihaknya. Ketika ujungnya PDIP pun lari dan juga ikut \"ngabobodo\" maka tamatlah Prabowo.  Bagusnya Prabowo itu menjadi \"king maker\" saja daripada didorong menjadi \"king\" yang sebenarnya sedang \"dipermak\". Cerita penghianatan biasa berakhir dengan kesedihan dan kepahitan. Ini hanya sepenggal kisah dan analisa saja atas sikap manusia yang kebetulan bernama Prabowo. Tokoh yang dulu luar biasa bersemangat untuk timbul dan tenggelam bersama rakyat. Akan tetapi kini rupanya ia telah tenggelam bersama Jokowi.  Bravo, Prabowo. Eh no.. no, sorry.  Bandung, 24 Mei 2022

Orang Pintar Anak Buah Orang Bodoh

Dan, benar dalam dunia politik sering terdengar “tidak dibutuhkan orang pintar tetapi yang dibutuhkan adalah loyalitas total”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “ORANG berilmu mengetahui orang bodoh karena pernah menjadi orang bodoh, sedangkan orang bodoh tidak mengetahui orang berilmu karena tidak pernah berilmu. (Plato )”. Hidup adalah keberanian menghadapi tanda tanya: apa memang beda orang bodoh dan pintar: “Orang bodoh suka: menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri, merasa paling benar sepanjang waktu, bereaksi terhadap konflik dengan kemarahan, mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain, merasa lebih baik dari siapa pun, suka menindas orang lain”. “Orang cerdas: mengoreksi kesalahan orang lain dengan cara bijak dan bertanggung jawab, lebih mampu berempati pada orang lain dan mengerti argumentasi mereka, tanpa meremehkan pandangan orang lain, bisa marah, tetapi marah yang bijaksana, cenderung mampu berempati dengan keadaan orang lain”. Kalau hanya mengetahui definisi tentang orang bodoh dan orang pintar itu hanya teori. Realitasnya mengapa bisa terjadi orang pintar menjadi anak buah orang bodoh: Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya berbisnis. Agar bisnis berhasil, ia merekrut orang pintar. Walhasil, banyak boss-boss orang pintar adalah orang bodoh. Orang bodoh sering melakukan kesalahan, maka rekrut orang pintar untuk memperbaiki yang salah. Walhasil, orang bodoh memerintah orang pintar untuk keperluannya. Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah & mencari kerja. Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk membayar orang-orang pintar. Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu yang dipikirkan panjang-panjang oleh orang pintar. Walhasil orang pintar menjadi staf orang bodoh. Kalau begini keadaannya terus bagaimana memahami keadaan yang sebenarnya apakah orang yang pintar orang yang bodoh dan orang yang bodoh sebenarnya orang yang pintar. Dalam konstitusi memang urusannya soal aturan baku kekuasaan menteri adalah pembantu Presiden, tidak peduli urusan menterinya lebih pintar dari Presiden. Apapun yang ada harus terjadi menteri harus tetap melaksanakan perintah Presiden. Demikian berlaku nasib seorang rektor perguruan tinggi, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tidak ada urusan Presidennya orang pintar atau bodoh. Rumusannya menjadi sangat singkat bahwa: “The ballot is stronger then the bullet”, kata Presiden Amerika Abraham Lincoln. Ya, dalam pemilu, suara lebih kuat dari peluru. Orang pintar sibuk berjuang untuk kebaikan, membela keadilan dan melawan kezaliman. Ketika tidak memiliki kekuasaan semua akan berantakan. Sadarlah kita menguasai segalanya tidak peduli itu urusan orang pintar dan bodoh Oligarki pasti akan memburu kemenangan pada Pemilu - khususnya Pilpres. Dan, harus memenangkan calonnya menjadi harga mati apapun rekayasa yang harus dilakukan dan betapapun biaya yang harus di bayarkan. Jadi logis rekayasa sedang berjalan bagaimana bisa mengunci agar Pemilu dan Pilpres tetap dalam kendali dan remote-nya. Dan untuk menguasai negara ini tidak membutuhkan orang pinter tetapi dibutuhkan orang yang bisa menjadi bonekanya. Dan, benar dalam dunia politik sering terdengar “tidak dibutuhkan orang pintar tetapi yang dibutuhkan adalah loyalitas total”.  Oligarki tidak butuh orang pintar tetapi hanya butuh seorang boneka (orang yang bodoh sekalipun). Dan, orang pintar-pintar harus tunduk dalam skenario kekuasaannya. Dalam prakteknya harus taat dengan kekuasaan yang dimiliki orang bodoh. (*)