OPINI

Aku Hanya Punya Cinta

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Hidup memang tak selalu memberikan kebahagiaan pada yang memiliki keyakinan, apalagi cuma sekadar kekayaan. Sama halnya dengan perjuangan yang tak akan pernah mudah  bagi yang  ingin memulai dan melewatinya. Begitupun halnya kehidupan dunia yang tak akan pernah memberikan kemewahan bagi yang menjaga kebenaran. Terkadang tak semua orang sanggup memetik  kehormatan dan kemuliaan karena begitu  tingginya untuk diraih, terlebih sembari menampuk beban kesengsaraan, kemiskinan, penghinaan dan segala macam rasa dicampakan dalam hidupnya. Seperti halnya dengan perseteruan yang abadi, klasik dan akan mengobarkan api peperangan sepanjang peradaban manusia. Diferensiasi antara kebenaran dan kejahatan tak akan pernah luput menghiasi perjalanan hidup manusia, baik secara personal, komunitas maupun sebagai bagian dari suatu negara bangsa sekalipun. Dalam fase tertentu, setiap orang akan berada pada persimpangan jalan untuk  memilih apa yang diyakininya atau apa yang menjadi tuntutan kebutuhan hidupnya. Tak bisa dihindari setiap yang punya hati dan jiwa akan berhadapan dengan situasi dan kondisi antara memenuhi  cita-cita dan harapannya atau hanya sekedar mengikuti realitas sosial. Bagi individu yang sehat dan normal, suatu saat akan terbentur pada tembok besar, menjadi pengikut setia kesadaran ideal spiritual atau larut terbawa arus kesadaran rasional materiil. Selain berkecamuk pergulatan hidup yang akan menentukan sekaligus memaksanya untuk berada dalam barisan yang hak atau yang batil. Perjalanan hidup juga selalu menyediakan ruang bagi bersemayamnya rasa kasih sayang, cinta dan keadilan. Porsi penting sisi-sisi humanisme  itu menyeruak seiring sejalan pada kehidupan kesehariaan. Terkadang tampil memesona dan menggairahkan dalam panggung-panggung keharmonisan dan keselarasan. Namun sering juga terlihat begitu memilukan dan menyayat hati pada saat terseret konflik pada sesama. Warna itu begitu eksotis menyimpan keindahan sekaligus sisi-sisi gelapnya yang menjadi bumbu-bumbu kehidupan, yang terkadang menggelayuti dinamika antar sesama, persahabatan dan keluarga serta menempel kuat terutama dalam organisasi dan interaksi sosial lainnya yang lebih luas. Kebahagiaan, kesenangan dan kenyamanan  bercampur-aduk menyatu dengan kekecewaan, frustasi dan penderitaan berkepanjangan. Boleh jadi setiap orang  pasti berhadapan dengan hitam putih dan beragam warna-warni kehidupannya. Kehidupan memang tak sekedar mementaskan yang benar dan salah atau juga yang baik dan buruk. Ada suasana yang menonjolkan kompetisi, keunggulan, dan kebanggaan, disamping tak terbantahkan ada yang terjerembab dan dikucilkan.  Menjadi lebih menarik tatkala bagaimana melihat pilihan-pilihan hidup dan proses serta konsekuensi yang dijalaninya. Ada yang menjadi pemenang ada juga yang menjadi pecundang. Bahkan ada juga yang \'survive\' mengambil posisioning di tengah-tengah,  di antara kenyataan-kenyataan  mainstream itu. Masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan mengambil \"way of life\" nya berdasar selera dan tujuannya. Pada perasaan-perasaan yang merasa  superioritas itu pada akhirnya berujung dominasi dan hegemoni atas segala sesuatu. Lambat-laun mewujud dan berwajah kekuasaan yang menjadi tirani bagi berseminya semua yang ideal dalam kehidupan manusia. Distorsi dan daya rusaknya menimbulkan perasaan terpinggirkan, terbuang dan ada dalam ketiadaan. Termasuk tak ada lagi tempat bagi kemanusiaan, cinta dan kasih sayang. Hubungan sosial itu hanya dipenuhi perselingkuhan, penghianatan dan dusta yang tak berkesudahan. Cinta Buta Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan membagi sedikit kisah cintanya, berharap positif terutama pada semua entitas sosial. Semoga bisa menjadi kisah yang menyegarkan yang bisa menjadi pelajaran dan dapat  diambil hikmahnya bagi banyak orang. Kisah Ini menceritakan pengalaman cinta yang menggeliat di tengah-tengah aktifitas sosial dan politik. Empiris yang menggandeng kehidupan pribadi dan organisasi, di dalamnya ada mozaik persahabatan, keluarga dan korelasinya dengan negara. Sebuah kisah  yang \'excited\' dilengkapi  haru-biru,   bagi yang mengalaminya begitu kental berkesan dan mengguncang jiwa. Ada kebahagiaan  sekaligus juga dilingkupi penderitaan dan yang mengenaskan. Perasaan disanjung dan dihargai juga dihina dan diabaikan, kuat begitu menyatu. Penulis sejatinya berasal dari lingkungan keluarga yang terbatas, kalau tidak mau disebut dalam serba kekurangan. Meskipun berlatar dari keturunan nenek-moyang  yang cukup dihormati dan disegani, keluargaku praktis tergolong pas-pasan secara ekonomi, setidaknya kondisi itu  bisa dijumpai pada keadaan generasi orang tuaku. Meskipun demikian dengan kekurangan ekonomi Bapak-Emakku biasa aku memanggilnya, alhamdulillah hampir semua anak-anaknya dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, sejak kecil , aku dianggap anak yang paling berbeda dari yang lainnya. Berbeda karena kenakalannya yang luar biasa juga mungkin prestasinya yang tak biasa. Selain sejak kecil sering bikin ulah yang membuat Bapak-Emakku senewen, aku dianggap istimewa karena meskipun jarang belajar dirumah, aku  langganan rangking satu saat SD, dan sering masuk tiga besar sejak SMP dan SMA. Pada akhirnya aku menjadi faktor penting dan berpengaruh yang signifikan membentuk eksistensi keluarga termasuk Bapak-Emakku beserta anak-anaknya yang lain. Ketika muda terutama  sejak SMA, aku sempat menjadi ketua OSIS dan Pemred Majalah Sekolah. Aku juga beruntung bisa berkesempatan mengenyam pendidikan nasionalisme di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) di bawah pimpinan Hj. Rachmawati Soekarno Putri. Uniknya, berbarengan dengan itu, di lingkungan rumah aku menjadi ketua karang taruna RW dan ketua remaja mushalla yang gandrung mengadakan kegiatan peringatan hari besar Islam dan pengajian dengan para ustad, kyai dan habaib yang cukup vokal menentang orde baru. Dua aktifitas kecil-kecilan  yang secara Ideologis dianggap cenderung bertentangan,  yaitu Soekarnoisme dan Pan Islamisme, namun secara taktis dan strategis memiliki kesamaan karena menentang rezim Soeharto. Kegiatan kepemudaan yang religius itu memang penuh tantangan sekaligus menyenangkan, karena ada ghiroh melawan distorsi kekuasaan seperti dalam rezim sekarang ketika dituduh radikal, intoleran, politik identitas serta semua stempel anti Pancasila dan NKRI. Kecintaanku pada Islam tak terbendung lagi terlebih saat memasuki bangku kuliah. Sejak awal aku langsung menjadi aktifis Masjid kampus Ar-Roofi namanya, kemudian  tidak beberapa lama bergabung di GMNI  dan Lembaga Pers Mahasiswa serta menjadi Ketua Senat Mahasiwa Perguruan Tinggi (SMPT). Jadilah mungkin saja  aku sedikit mahasiswa  di Indonesia, menjadi aktifis masjid yang berlatar GMNI, sebuah organisasi yang dianggap sekuler dan liberal yang  berseberangan dengan entitas Islam. Dengan sukacita dan bergairah, aku menjalani masa muda dengan cap aktifis 98 sambil tetap menekuni hobi sepak bola di Liga Mahasiswa dan bermain catur. Seperti dalam istilah pergerakkan, duniaku saat itu tak luput dari buku, pesta dan cinta. Sosial dan  politik menambah daftar  kesukaan kegiatan selain olahraga, meskipun agak berbeda dimensinya, beresiko dan sedikit berbahaya.  Itulah cinta, apalagi jika sudah menjiwai. Entah anugerah, entah hidayah atau mungkin juga sudah panggilan takdir. Atau juga itu sebuah kesalahan dan kekeliruan memilih jalan hidup, aku sendiri tidak pernah tahu sampai sekarang dan tak pernah sedikitpun menyesalinya. Usia muda dan menyandang gelar aktifis memang plus minus, penuh kontroversi dan menimbulkan polemik terutama di kalangan keluarga sendiri dan para sahabat. Sayangnya, aku lebih memilih rasa kalau tak pantas disebut ideal,  ketimbang aspek rasional. Mengikuti kata hati dan kenyamanan hidup meski tak bergelimang harta, jabatan dan fasilitas. Faktor warisan pendidikan dari Bapakku serta tokoh-tokoh ideologis sangat berpengaruh membentuk  pikiran dan watakku yang cenderung anti kemapanan. Aku mengambil keputusan penting dalam hidup untuk tidak masuk dalam sistem atau \"inner circle\" kekuasaan hingga sekarang. Meskipun penawaran itu,  baik jabatan maupun pendidikan lanjutan kerapkali datang mulai dari presiden hingga seorang walikota atau bupati, aku bergeming bersetia pada komitmen dan konsisten untuk tetap berada di luar \"comfort zone\" terutama  pada pemerintahan maupun korporasi. Aku lebih memilih mewakafkan diri sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)  yang telah digeluti lebih dari 20 tahun dan  menjadi penulis yang masih asal-asalan dan compang-camping literasinya. Maklum saja background pendidikannya cuma teknik sipil bukan sastrawan atau budayawan apalagi  jurnalis. Sebagai orang yang tidak punya status sosial dalam ukuran formal dan normatif. Imej dan penghargaan dari luar begitu beragam, ada yang suka dan ada yang tidak suka. Ada yang menaruh simpati dan empati, namun tak sedikit yang antipati. Meskipun demikian keadaannya, aku tak pernah pesimis dan  putus asa terutama  dalam soal rezeki dan masa depan. Betapapun sekuler dan liberalnya pemikiran, aku tetap menjungjung  jiwa religius yang haqul yakin bahwasanya jodoh, rezeki dan maut adalah ranahnya Ilahi. Termasuk kemuliaan dan kehinaan pada  manusia merupakan ketentuan Tuhan. Bersandar pada keyakinan spiritual,  bahwa tak ada ada sehelai daun pun yang jatuh dari pohonnya selain karena kehendak Allah. Betapapun manusia memainkan perannya, skenario akhir tetap digariskan Sang Pencipta. Aku tumbuh dewasa tidak kaya juga tidak miskin namun puas  hidup seadanya.  Menempel kuat dalam dada rasa bersyukur atas nikmat Tuhan selama ini. Kadang sering memberi namun tak jarang diberi, mungkin ini makna dari kata silaturahmi yang memperpanjang umur dan menambah rezeki. Pergaulan sosial dan politik membawa aku menemukan sisi lain betapa soal-soal kerezekian itu sesuatu yang ghoib, seberapa besar  manusia berdaya-upaya meraihnya. Aku silih berganti menjejaki kaki di lapangan \"grassroot\" sambil sesekali berkunjung ke  lingkungan para tokoh, elit dan pemimpin. Membangun relasi sosial tanpa batas, tanpa kelas dan tanpa trah. Tentunya dengan meninggalkan kesan dan pesan serta jejak rekam yang beragam, secara subyektif dan obyektif pula. Bagaimanapun berkesempatan membangun interaksi dan jejaring sosial itu, juga merupakan harta dan aset yang tak ternilai yang ikut membantu menopang perjalanan hidup. Aku yang tergolong rakyat jelata berusaha tetap qonaah dan menjaga kebersihan hati menerima anugerah sekaligus ujianNya. Sebagai orang yang akrab dengan keterbatasan dan sudah lama membunuh keinginan menjadi kaya, aku merasa nikmat Allah tak pernah berhenti dan putus-putusnya, terutama nikmat keimanan, kesehatan, keluarga dan memiliki habitat sosial yang menyenangkan. Aku bersyukur menjadi jembatan membantu adik-adikku menyelesaikan sarjananya dari program beasiswa atau perhatian relasiku. Aku bersyukur menjadi wasilah rahmat Allah dapat membangun rumah Emak-Bapakku meski aku beserta  istri dan anak-anakku belum memiliki rumah sendiri. Aku bersyukur menjadi penghubung keluarga Bapakku, keluarga Emakku dan keluarga istriku untuk berangkat menjalanjan  umroh meskipun aku beserta istri dan anak-anakku belum  terpilih beribadah di Mekah tempat paling mulia  mulia dan yang  menjadi pusat peradaban manusia. Aku bersyukur dalam kapasitas sebagai Pekerja Sosial Masyarakat  banyak membantu dan berbagi bersama orang-orang  penyandang masalah kesejahteraan sosial.  Rasa syukur dan kepuasan batin karena kebesaran Allah karena  yang tepah menjadikanku  perantara untuk membahagiakan keluarga Emak-Bapakku, sahabat  dan orang lain, meski kehidupan keluargaku sendiri masih diliputi serba  kekurangan. Sesungguhnya aku bersyukur atas apa yang menjadi pengalaman dan sekarang sedang berlangsung, sembari melakukan refleksi, intropeksi dan evaluasi untuk memperbaiki kehidupan mendatang. Pun demikian, perjalanan hidup aku dan keluarga bukan tanpa kendala dan masalah. Bahkan beberapa kali dalam beberapa fase kehidupan,  aku mengalami pasang surut dan bahkan penderitaan hidup yang menyesakkan dada. Kehilangan respek, tak mendapat penghargaan,  tak dihormati dan mendapat penghinaan juga selalu mengiringi  perjalanan hidup. Antara harapan dan keinginan tak selalu selaras dengan apa yang didapatkan. Begitulah kehidupan, ia begitu penuh dengan warna layaknya manusia dan alam,  seperti kemajemukan dan khebinnekaan rakyat Indoneia serta  pelangi yang muncul pada waktu tertentu. Sewaktu era reformasi sebelum peristiwa 98, aku sempat mengalami intrik dan isu  bahwasanya aku sebagai aktifis pergerakan  merupakan agen BAIS dan BAKIN.  Rumor itu berkembang usai aku memukul seorang Mr. Tong Djoe taipan kenamaan asal Singapura, karena konglomerat etnis Cina itu  mendzolimi Bapakku. Karena peristiwa itu, sampai-sampai seorang Juanda tokoh intelejen yang sempat dikenal publik sebagai pembisik Gus Dur semasa presiden, berusaha keras menemuiku. Jauh setelah bergulirnya era reformasi, aku dan keluargaku kembali diuji melawan kekuasaan saat keponakan balita perempuanku Falya Rafani Blegur usia 1, 3 tahun,  harus meregang nyawa akibat mal praktek RS. Awal Bros. Perlawanan hukum keluargaku harus kandas ketika menghadapi RS. Awal Bross yang notabene komisaris dan direksinynya adalah para jenderal pensiunan dan aktif. Keluarga menolak uang suap ratusan juta rupiah dan masalah itu menjadi viral sebelum membahananya kasus Jesica kopi sianida. Masih banyak lagi hambatan ketika aku mengambil hak sebagai warga  negara harus berhadapan dengan politisasi birokrasi dan lainnya, hingga saat ini. Menjelang pilpres 2019, giliranku menjadi korban kriminalisasi ketika saat itu aku mengambil sikap melawan rezim dan berusaha membongkar kasus pungutan liar yang cukup besar pada Program Sistematika Tanah Langsung (PTSL)  atau program pemutihan sertifikat yang dulu dikenal masyarakat  sebagai PRONA. Bahwa program PTSL yang dikampanyekan presiden RI Jokowi dengan pembagian sertiifikat tanah gratis  tidak sepenuhnya sesuai kenyataan, ada kebohongan saat di banyak kota kabupaten, prosesnya pembuatan sertifikat ada pembiayaan berkisar antara 2-7 juta tiap sertifiikat. Bayangkan dan pikirkan saja tiap kota kabupaten membuat mengajukan sertifikat ribuan dan menghasilkan uang pungutan liar ratusan miliar tidak masuk kas negara, uang sebesar itu dan  baru dari satu kota atau kabupapten saja. Sama dengan yang lain, sebagai aktifis yang tidak pernah kehilangan ruh pergerakan, sikap kesadaran kritis  terhadap distorsi kekuasaan memang penuh resiko, membuat rezim gemar membungkam perlawanan dan melakukan kriminalisasi. Kini menjelang pilpres 2024 selain agitasi dan propaganda yang berusaha menciptakan pembusukan dan pembunuhan karakter, aroma itu menyengat menyelimutiku. Aku yang sudah lama mengambil sikap oposisi terhadap rezim dan kebetulan mengambil pihan politik mendukung capres tertentu. Harus menghadapi bukan saja tuduhan dan fitnah dari sesama aktifis pergerakan, bahkan kini sudah mulai mendapat \'warning\', pembatasan dan sedikit resistensi dari tim yang capresnya aku dukung sepenuh hati dan jiwa. Ketika aku sedang dalam persiapan deklarasi relawan capres, beredar info yang menyatakan  ada kecenderungan  statemen sekaligus ultimatum bersifat  represi psikologis,  jika aku muncul akan menyebabkan polarisasi dan berakibat mendegradasi capres yang didukung. Dipikir-pikir benar juga, mengingat kandidat capres yang kugadang-gadang, capres potensial untuk menang sekaligus potensial disingkirkan dalam pilpres 2024. Betapapun semua keadaan yang demikian itu, yang membuat aku dianggap sebagai penipu dan penjahat bahkan oleh kawan-kawan seperjuangan sendiri. Kriminalisasi dari tuduhan dan vonus hukuman kejahatan dan penipuan yang tak pernah aku lakukan. Aku  tak gentar sedikitpun, aku tak mundur sedikitpun dan aku tak mau menyerah dalam langkah gerak perlawanan terhadap siapapun rezim yang bedebah. Pembusukan, pembunuhan karakter, dan kriminalisasi tak akan mampu  meredam gejolak darah juangku. Cintaku pada kemanusiaan, cintaku pada tanah airku dan cintaku pada keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, tak akan luntur digerus usia, waktu dan jaman. Api itu tak akan pernah padam, pengabdian itu sejatinya tanpa titik akhir. Kalau Ghandi pernah berkata\" My nationalism is humanity\" dan diikuti Soekarno dengan ungkapan \" My nationalism is also humanity\". Maka selayaknya seluruh  rakyat Indonesia juga memiliki kemanusiaan yang membebaskan negara dan bangsanya dari penindasan dan ketidakadilan. Maka aku akan menjadi skrup-skrup nasionalisme, menjadi jamaah dari masa aksi yang bersedia menumpahkan keringat dan darah untuk Ibu pertiwi tercinta dari nekolim berupa oligarki. Sebuah cinta dari seorang  anak bangsa, cinta yang dapat membunuhku meskipun negara menjadi senjatanya. Aku memang mencintai umat Islam dan seluruh warga negara bangsa yang kini hidup begitu memprihatinkan. Tak akan pernah habis cintaku pada republik ini walaupun itu hanya cinta buta. Meskipun bertepuk sebelah tangan, wahai negaraku tercinta  yang telah dibajak oligarki dan para penghianat bangsa.  Selamanya cinta itu ada dan  tak pernah berkurang sedikitpun.  Betapapun  di negara ini yang ada dan  tersisa hanya cinta dan rakyat hanya punya mimpi tentang keadilan dan kemakmuran. Seperti impianku juga, mimpi dari seorang yang hanya punya cinta. Munjul, 23 Juli 2022.

Mengukur Kebijakan “Spekulatif” BI Pertahankan Suku Bunga

Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BANK Indonesia (BI) pertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,5 persen pada bulan Juli ini. Meskipun inflasi tahunan (total) sampai dengan Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen. Bahkan inflasi pangan mencapai 9,1 persen. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir.  Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi INTI, yang menurut BI masih sangat rendah. Hanya 2,65 persen. Karena itu, BI tidak menaikkan suku bunga acuan. Inflasi INTI adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten, artinya tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).  Sebelumnya, awal minggu ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi (INTI). Artinya, BI berpendapat, inflasi INTI yang merambat naik ke 2,65 persen disebabkan jumlah uang beredar meningkat. Meskipun masih sangat rendah, BI berpendapat inflasi INTI harus ditekan, melalui pengetatan uang beredar. Tetapi, untuk inflasi NON-INTI, yaitu inflasi pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, menyerahkan global untuk mengatasinya.  BI sangat paham dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakannya ini. BI berpendapat ekonomi Indonesia mampu menghadapi konsekuensi tersebut. Pertama, kurs rupiah akan menghadapi tekanan cukup serius. Karena perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil, sehingga dapat memicu arus dolar keluar dari Indonesia. Apalagi kalau suku bunga the FED naik lagi pada awal minggu depan, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri. Rapat dewan gubernur the FED akan diselenggarakan pada 26-27 Juli mendatang. Kedua, penjualan SBN sebesar Rp293 miliar sepertinya hanya kebijakan basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan. Hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali kalau kebijakan ini akan berlanjut terus, dan menjadi signifikan. Maka, dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan tertekan. Kebijakan penjualan SBN ini terlihat tidak konsisten. Kalau BI menganggap inflasi INTI masih rendah, seharusnya BI tidak perlu memperketat uang beredar, yang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi (INTI). Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”? Sepertinya BI sangat yakin jumlah cadangan devisa cukup besar untuk bisa memenuhi arus dolar keluar dari Indonesia, tanpa mengganggu kurs rupiah. Artinya, BI sangat yakin intervensi kurs rupiah akan efektif, dapat menahan kurs rupiah di sekitar Rp15.000. Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekeunsinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat? Kalau meleset agak jauh, mungkin bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia: Kurs rupiah dan cadangan devisa bisa tergelincir. (*)

Gerakan Islam Antara Takut Celaan dan Trauma Masa Lalu

Oleh Dr. Ir. Masri Sitanggang Intelektual Muslim “MAU AKSI DAMAI TERUS APA MAU JIHAD?” Begitu seorang yang mengaku Abdullah Abdul Aziz  memberi judul tulisannya di WAG, yang sampai juga ke hapeku menejelang Reuni 212. Dia tumpahkan  “kekecewaannya” atau mungkin “kejengkelannya” itu dengan menulis begini : “Kita aksi damai terus, tapi ngak tau Ahok di mana, ... tapi pelaku penista terhadap agama Islam terus bertambah, …tapi aktivis Islam semakin banyak yg dipenjara, … tapi terjadi penginjakan Kitab Suci Al Qur\'an oleh oknum anggota BRIMOB di Mako Brimob tidak ada yg protes ,... Viktor Laskodat aman-aman saja, …perpu no 2 tahun 2017 disahkan jadi undang-undang, …banyak pengajian dibubarkan, …iklan penjualan Meikarta tidak ada yg bisa bendung, …berton-ton narkoba dari Cina masuk ke Indonesia, …ratusan ribu tenaga kerja ilegal Cina membanjiri ibu pertiwi, dst., …Kita aksi damai terus,  tanpa ada arahan perjuangan yg jelas, …tanpa kita sadari negeri ini telah terjajah, ...dst…silahkan buat ribuan aksi lagi kalo itu memang dapat menyelesaikan persoalan negeri ini.” Tulisan itu ditutup dengan : “Salam jihad bil damai.” Senada dengan itu, Sri Bintang Pamungkas (SBP), di bawah judul “BARU JUGA KITA TAHU, BUNG…”, menulis : “Baru juga kita tahu, bahwa para Ulama, khususnya 411 dan 212, sebenarnya hanya suka dengan kebanggaan sewaktu-waktu. Padahal sejatinya mereka tidak berani melawan kezaliman hanya takut dikira intoleran dan radikal. Padahal kemenangan yang mereka dapat itu datangnya dari pertolongan Yang Maha Kuasa.” Dua tulisan itu bisa dinilai sebagai sindirian sinis untuk para alumni 212 yang sudah beberapa kali  bereuni; bisa juga sebagai tumpahan kejengkelan dan kekecewaan akan respon umat terhadap  situasi tak nyaman yang menerpa negeri dewasa ini; bisa pula sebagai luapan ketidaksabaran akan upaya-upaya perubahan. Tetapi bisa pula sebagai provokasi-motivasi kepada masyarakat untuk segera bertindak melakukan perubahan. Apa pastinya, hanya penulis dan Allah swt sajalah yang tahu. Yang pasti, tulisan itu  boleh jadi mewakili banyak orang. Buktinya, banyak yang men-share, termasuk Bapak Sarwan Hamid yang Jendral Purnawirawan itu. SBP ada benarnya juga. Umat Islam –termasuk sebahagian ulamanya, sudah mengidap penyakit takut akan celaan. Mental umat memang sedang mengalami degredasi hebat akibat diserang dengan celaan-celaan seperti fundamentalis, radikal, intoleran, anti kebhinekaan bahkan isu teroris dan anti NKRI. Akibatnya, mereka lebih suka menghindari celaan itu dari pada tegak berdiri memperjuangkan kebenaran : persetan apa kata orang !    Mari kita bayangkan hal berikut. Bayangkan kita sedang memberikan materi diskusi tentang “Islam dan Persoalan Umatnya” pada satu majelis yang dihadiri seratusan jemaah yang peduli terhadap nasib umat.  Tiba-tiba datang seorang non muslim dan duduk di antara jemaah, ikut mendengarkan. Bagaimana kemudian, kira-kira, jalannya diskusi itu ? Teruskah berlanjut dengan semangat yang sama seperti sebelum non muslim itu datang, atau berhenti ? Atau, diskusi berlanjut dengan tema yang diperhalus dan diperlunak ? Atau bahkan beralih ke tema lain ?  Menurut pengalamanku, bila ada non muslim di majelis yang aku memberi ceramah, selalu saja ada jemaah atau panitia yang langsung  membisikkan : “Bang, ada non muslim hadir di sini.” Pesan ini menghajatkan agar aku menyesuaikan isi ceramah dan gaya penyampaianku. Itu kalau yang hadir adalah non muslim biasa. Kalau dia pejabat kecamatan atau yang lebih tinggi, bagaimana jadinya kualitas diskusi itu ?    Bayangkan, seratusan umat Islam harus menyesuaikan diri dengan satu orang ! Itulah mental umat Islam. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian 87 % penduduk muslim Indonesia harus menyesuaikan diri dengan yang hanya 13 % itu.  Ini semua karena takut dicela sebagai intoleran.  Sebagai seorang dai, mestinya kita bersyukur bila ke dalam majelis ada non muslim hadir. Sebab, itu artinya, kita sedang memiliki kesempatan untuk mendakwahkan Islam kepadanya. Kalau pun ia tidak datang, dalam rangka dakwah, mestinya kita yang mendatangi mereka. Itulah tugas dakwah.  Tapi lihatlah sekarang. Demi mendapat gelar toleran dan tidak radikal, banyak pejabat Islam yang bukan saja memperlunak dan memperhalus pesan dakwahnya, melainkan juga mengikuti cara-cara non muslim dalam bersikap dan berkomunikasi. Contoh paling sederhana adalah ucapan-ucapan salam berbagai agama yang disampaikan setelah “Assalamau ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”  seperti “selamat pagi”,  “salam sejahtera buat kita semua” dan seterusnya… Aku tidak yakin orang ini akan bisa merasa nyaman kalau satu ketika nanti ia tidak memberi salam dengan bermacam salam itu. Artinya, dia hanya bilang “Assalau alaikum warahmatullahi wa barakatuh”. Ia telah terbelenggu, mentalnya sudah kalah. Adakah ucapan salam yang lebih baik dari yang diajarkan Rasulullah bagi orang beriman ?   Heboh Al-Maidah 51 memang telah membangkitkan semangat umat; dan dalam beberapa hal, telah memberikan hasil positip. Tetapi mungkin diskusi Al-maidah belum berlanjut ke ayat 54, sehingga  mental takut celaan belum sembuh.  Al-Maidah 54 menjelaskan bahwa generasi yang telah murtad, yang digambarkan pada ayat 51-53 surat itu, akan digantikan dengan suatu generasi baru yang sangat dicintai Allah. Karakter generasi pengganti yang dicintai Allah itu adalah : lemah lembut sesama orang beriman dan tegas terhadap orang kafir, senantiasa berjihad di jalan Allah dan tidak pernah takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Catat, secara khusus Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”. Tidak takut, ya, tidak takut ! Mengapa begitu perlu Allah menyebut “tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela”? Tentu karena persoalan celaan ini begitu penting. Ia  ternyata merupakan satu bentuk serangan dalam satu pertempuran. Musuh-musuh Islam menggunakan bentuk serangan ini.   Sasaran serangan bukan fisik, melainkan mental. Tetapi serangan ini sangat efektif melumpuhkan musuh. Bila mental telah kalah, telah lemah, maka pertempuran fisik tinggal finishing saja.  Ingat, Kita sedang bertarung ! Syukurlah pertempuran fisik di negeri ini belum terjadi. Allah masih sayang kepada kita dengan lebih awal menurunkan Ahok. Tetapi bagaimana pun juga perlu waktu  untuk memperbaiki kembali mental mujahid yang sudah lemah ini.  Tentu saja kelemahan mental akibat bombardir celaan radikal, intoleran, teroris dls itu bukanlah satu-satunya faktor mengapa umat Islam belum “melempar jumroh” seperti diharapakan banyak orang, setidaknya oleh Abdullah Abdul Aziz dan SBP. Ummat masih saja terus aksi damai, aksi super damai dan reuni damai. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah trauma masala lalu.  Mohammad Natsir menggambarkan nasib umat Islam sebagai nasib pendorong mobil mogok. Ketika mobil telah berjalan, umat Islam ditinggal di belakang. Syukur kalau sopir masih melambaikan tangan tanda terimakasihnya. Atau, kata KH Jiteng Syarief, tokoh Masyumi di Medan yang menjadi guru ngajiku sejak aku kecil, seperti daun salam atau sereh. Kedua daun ini dicari ke manapun ketika seseorang ingin memasak gulai. Tetapi ketika gulai sudah siap untuk disantap, daun salam dan daun sereh dicampakkan sebagai sampah.  Dalam perjalanan bangsa ini, umat Islam merasakan pengalaman itu. Umat Islam berjuang tanpa pamrih untuk Indonesia merdeka dari penjajah non Muslim. Tetapi setelah merdeka, mereka merasa ditinggal. Nilai-nilai yang memberi mereka kekuatan untuk berjuang melawan penjajah, yakni Islam, dipinggirkan.  Zaman revolusi, agresi I dan II, memprtahanakan kemerdekaan, umat Islam juga begitu dirindukan perannya. Resolusi jihad dan takbir “ALlahu Akbar” menjadi pendorong menyingkirkan para agressor. Tapi lagi-lagi, nilai-nilai pendorong itu dan orang-orang yang mendorong itu, tertinggal di belakang atau dicampakkan bagai daun salam dan daun sereh. Begitu juga masa penumpasan PKI, ummat Islam ada di depan. Terakhir, di masa reformasi menggeser Orde Baru, peran Ummat Islam tidk kecil. Tetapi lagi-lagi, setelah berhasil, umat Islam justeru bukan saja di tinggal dan dicampakkan melainkan dijadikana target. Mereka dilabeli ektrim kanan, ditempatkan sebagai musuh seperti PKI yang berada di ekstrim kiri.  Begitulah trauma masa lalu. Umat Islam terlalu polos dan jujur dalam berbangsa dan bertanah air. Mereka tertinggal atau ditinggal karena kejujuran dan keikhlasaannya. Itulah pengalaman memilukan dari teman sebangsa dan setanah air. Pengalaman yang tentu saja tidak boleh terjadi lagi. Oleh karena itu gerakan Islam haruslah hati-hati, pandai-pandai dalam melangkah. Pandai-pandai mencari teman seperjuangan. Di sini banyak orang tak jujur.  Jalan yang tepat bagi gerakan Islam saat ini adalah bersabar mengonsolidasikan diri sembari menunggu keluarnya fatwa para ulama !     Wallahu a’lam bisshawab !

Sudah Bisakah Brigadir J Disebut Korban “Pembunuhan”?

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN  Sejak persitiwa terjadi, tidak ada yang menggunakan kata “pembunuhan” untuk menyebut kematian Brigadir J. Media dan para wartawan sangat hati-hati. Begitu pula netizen di media sosial. Ini bisa dipahami karena orang takut terjerat pasal-pasal pidana jika terminologi “tembak-menembak” atau “baku tembak” yang digunakan Polri dalam keterbunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo –Kadiv Propam non-aktif— diubah menjadi “pembunuhan”. Sebab, pembunuhan bisa bermakna bahwa Brigadir J bukan tewas karena baku tembak. Pembunuhan akan, antara lain, mengesankan bahwa Brigadir J tidak bersenjata. Atau, bisa juga ada kesan bahwa Brigadir J bersenjata tetapi dia menghadapi lawan lebih dari satu orang yang semuanya melepaskan tembakan ke arah dirinya. Kepolisian sejak awal ingin menghindarkan sebutan “pembunuhan Brigadir J”. Ini dapat dimengerti. Karena “pembunuhan” berimplikasi bahwa si korban berada dalam posisi “tak berdaya” baik dari sisi posisi, senjata, jumlah lawan, dlsb. Nah, bagaimanakah suasana yang dihadapi Brigadir J ketika “tembak-menembak” atau “baku tembak” itu terjadi? Berdasarkan penjelasan resmi Kepolisian, Brigadir J berada di tengah banyak “musuh”. Isteri Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi, adalah “musuh” pertama Brigadir J. Dari dialah keluar teriakan histeris minta tolong yang mengawali “baku tembak”. Setelah itu, Bharada E tampil menjadi “musuh” berikutnya. Dia turun dari lantai atas rumah dinas untuk “menyelamatkan” istri Ferdy yang dikatakan Polisi sempat ditodong dengan senjata (pistol) oleh Brigadir J. Polisi juga mengatakan Brigadir J melakukan pelecehan terhadap Putri. Todongan senjata dan pelecehan itu otomatis menjadikan Ferdy Sambo sebagai “musuh” Brigadir J juga walaupun, seperti kata Polisi, Pak Kadiv tidak berada di rumahnya ketika peristiwa terjadi. Sebagai suami Putri, tentulah wajar –bahkan wajib— bagi Ferdy menunjukkan keberatannya, ketersinggungannya. Selanjutnya, “musuh” berikutnya adalah senjata api (senpi) yang digunakan Bhadara E, yaitu Glock 17 yang berpeluru 17. Seorang pengamat senjata mengatakan pistol jenis ini termasuk senjata tempur untuk membunuh. Artinya, senpi ini sangat ‘powerful’. Saat ini sedang menjadi polemik apakah, dan mengapa, Bharada E boleh menggunakan Glock 17. Padahal, sesuai aturan, pistol ini untuk perwira yang berpangkap AKP ke atas. Ada lagi “musuh” Brigadir J, yaitu lokasi tempat dia tewas. Rumah perwira tinggi, konon pula rumah dinas Kadiv Propam, adalah salah satu kediaman yang paling ketat pengamanannya di kalangan Kepolisian. Di situ banyak polisi yang berjaga. Banyak kamera CCTV yang juga “musuh” Brigadir J. Sedekat apa pun Brigadir J dengan keluarga Ferdy, tetap saja rumah dinas beliau ini menjadi “musuh” bagi si ajudan. Sebab, bagaimanapun juga, Sang Brigadir sedang berada di rumah Jenderal. Brigadir J pastilah punya rasa lebih lemah dibandingkan rasa sangat kuat di pihak Ferdy Sambo. Brigadir J berada di tempat yang asing baginya meskipun para penguninya begitu dekat dengan dia. Jadi, banyak sekali “musuh” Brigadir J. Boleh dikatakan semuanya “musuh”. Dan dia menghadapi situasi itu sendirian. Tidak mungkinlah bisa menang atau selamat. Dari sini, kematian Brigadir J dalam terminologi “baku tembak” atau “tembak-menembak”, tidak lagi memiliki landasan etimologi dan kriminologi yang kuat. Pencermatan psikologi sosial menunjukkan publik menghendaki agar kematian ini disebut sebagai “pembunuhan”. Apakah itu “pembunuhan berencana” seperti dicurigai tim kuasa hukum Brigadir J, atau “bukan pembunuhan berencana”, masih harus dibuktikan oleh tim penyidik. Tulisan ini hanya bertujuan untuk bertanya apakah kematian Brigadir J yang berada di tengah banyak musuh itu, yang berada dalam posisi serbah lemah dari berbagai sudut tinajauan di atas tadi, tidak bisa disebut sebagai “pembunuhan”? Apakah kita, khususnya media massa, masih akan mengikuti narasi Kepolisian yang menyebut Brigadir J tewas dalam tembak-menembak, atau sudahkah saatnya menggunakan kata “pembunuhan”? Ini sangat penting mengingat intuisi publik yang bisa diamati dari komentar-komentar di media sosial dan thread komentar media besar (mainstream). Sekali lagi, masyarakat yakin Brigadir J adalah korban pembunuhan.[]

Babak Baru Horor dan Teror Kasus Polisi Tembak Polisi

Kerja pers mengharukan. Sebagian besar media mengambil  risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat “SEORANG pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi seorang pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik maka dia bisa dianggap mengerikan.” (Graham Greene, penulis Inggris 1904-1991). Dalam berbagai tulisannya Graham Greene selalu menggambarkan bagaimana pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam bukunya yang terkenal “The Power and The Glory”, ia menunjukkan bahwa kesabaran dan menjalani kesulitan adalah sebuah kebaikan. Karya-karyanya yang lain adalah “The Third Man”, “The Ministry of Fear” dan “This Gun For Hire”. Greene meninggal dunia pada 1991. Horor dan sekaligus teror peristiwa “Polisi Tembak Polisi” ternyata berhasil menyatukan publik. Sudah hampir dua minggu peristiwa itu: orang baik menembak orang baik di rumah orang baik. Orang baik yang saya maksud, adalah para polisi – para pengayom masyarakat, sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat : langsung di bawah Presiden. Buka saja Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI Nomor VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi menjadi tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden. Saya tidak akan menguraikan lagi kronologi peristiwa berdarah itu karena sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas. Termasuk dengan update dari sumber resmi maupun dari sumber tidak resmi. Bagaimana bisa mengungkap peristiwa di rumah perwira tinggi kepolisian, Irjen Pol Ferdy Sambo, Kepala Divisi Propam Polri? Ini adalah perkara rumit. Kunci untuk membuka “gembok” yang bisa menjawab berbagai pertanyaan keraguan masyarakat akibat pelbagai keganjilan, berada di dalam penguasaannya, minimal di dalam penguasaan korpsnya. Beruntung Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bertindak tepat – meski terasakan sempat tersendat. Kapolri merespons masyarakat yang menuntut pihak yang berwajib mengusut tuntas horor itu. Yang tidak cukup dengan penanganan juridis formal kelembagaan, sebab muatannya berkaitan erat dengan masalah sosial dan mencedarai budaya bangsa. Lihat saja, praktis sejak peristiwa itu pelbagai spekulasi merebak di media  sosial yang bahkan telah menganggap pendekatan juridis belaka omong kosong. Simak liputan mendalam seluruh media pers yang menggambarkan adanya jarak menganga antara pernyataan resmi polisi dengan fakta-fakta yang terurai dan telanjang, yang dengan mudah disimpulkan pun oleh orang awam. Kerja Pers Mengharukan Kerja pers itu mengharukan. Sebagian besar media mengambil  risiko besar. Walau sempat dihadang oleh Dewan Pers, otoritas tertinggi dunia pers kita. Tetapi mereka melawan. Pada waktunya, memang hanya konstitusi dan kode etik profesi yang wajib dipedomani oleh wartawan kita. Pihak Dewan Pers pun menyadari kekeliruannya, yang mengimbau wartawan hanya menyiarkan keterangan resmi polisi. Ini jelas pernyataan dungu petinggi Dewan Pers. Tidak disadari justru itulah pemantik blunder dalam penanganan kasus memalukan bangsa ini. Selain imbauan itu sendiri berpotensi melanggar UU Pers 40/1999 dan berpotensi sebagai kejahatan (pidana) karena termasuk ikut menyembunyikan fakta peristiwa. Hanya berselang satu hari setelah imbauan Dewan Pers itu, Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang segera menyusulkan “joint statement” atau pernyataan bersama, yang berisi pesan sebaliknya. Justru mendorong seluruh wartawan melakukan “investigative reporting” atau liputan investigasi secara mendalam untuk menyingkap peristiwa tewasnya Brigadir Joshua di rumah atasannya. Saya harus mencatat dan memberi apresiasi kepada salah satu media yang menyajikan pertama kali liputan penunjuk titik terang, yaitu Kumparan. Dalam laporannya “Bukan Baku Tembak Biasa” (Senin, 18 Juli 2022),  reportase Kumparan sangat kuat mengindikasikan pelaku adalah Irjen Ferdy Sambo sendiri. Kumparan bahkan menyebutkan di TKP (tempat kejadian perkara) ditemukan Cigar Cutter (pemotong cerutu), yang diasosiasikan sebagai alat pemotong jari Joshua, yang diungkapkan keluarganya kepada masyarakat. Presiden Jokowi Pun Terjaga Kapolri langsung membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus itu dan menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai pimpinannya. Langkah selanjutnya, Kapolri menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo, Senin( 18/7) petang. Berlanjut Rabu (20/7) malam, menonaktifkan Karo Paminal Divisi Propam Polri Brigjen Pol Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) Kombes Pol Budhi Herdi Susianto. Kabar menggembirakan berikutnya ialah pengumuman penemuan rekaman CCTV saat kejadian penembakan Brigadir Joshua di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Ibarat black box pesawat, CCTV akan menyingkap banyak fakta. Penemuan tersebut bersamaan dengan keputusan untuk melakukan otopsi ulang terhadap jenazah Joshua. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan, dengan penemuan itu (CCTV), maka tim khusus dapat melakukan penyelidikan secara mendalam untuk mengungkap konstruksi kasus secara jelas. “Kita sudah menemukan CCTV yang bisa mengungkap secara jelas tentang konstruksi kasus ini. Dan CCTV ini sedang didalami oleh timsus yang nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan oleh timsus sudah selesai,” ujar Dedi, Rabu (20/7) malam. Apresiasi tinggi patut pula disampaikan kepada seluruh keluarga almarhum dan kuasa hukumnya Kamaruddin Simanjuntak yang telah bekerja profesional dan menakjubkan. Pandangan hukum Kamaruddin seakan menghidupkan kembali pandangan penulis yang juga aktor Graham Greene yang mengatakan “...  jika si pembunuh adalah orang baik maka itu mengerikan”. Ungkapan kengerian itulah yang membuatnya mendapatkan dukungan publik yang luas, dan akhirnya Kapolri pun menyetujui hampir semua “arahannya” itu atas kesamaan harapan bahwa polisi itu harus tetap baik dan dipandang sebagai “orang baik”. Meskipun masih akan melalui proses panjang dan melelahkan untuk memenuhi kaidah “scientific crime investigation” namun kasus “Polisi Tembak Polisi” relatif sudah “rampung”. Kuncinya, karena orang-orang baik itu  “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan besar yang menjungkirbalikkan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa.  Selamat untuk kita semua yang untuk sementara terlepas oleh horor dan teror angkara murka. (*)

Pertaruhan Bagi Pak Kapolri

Oleh M. Rizal Fadillah  Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Titik titik itu mulai merusak, tetes demi tetes nila merusak susu sebelanga. Penon-aktifan Kadiv Propam Irjen Pol Fredy Sambo, Karo Paminal Propam Brigjen Hendra Kurniawan, dan Kapolres   Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto adalah titik-titik terang menuju pembuktian penyebab rusaknya susu sebelanga itu. Institusi Polri sedang menghadapi keruwetan akibat ulah anggota yang mengejutkan.   Suara bising terus mendengung mengganggu agenda awal. Ada cerita tentang ambruknya skenario. Misteri 3 hari Jum\'at hingga Senin menyimpan banyak peristiwa. Sedikit demi sedikit terkuak akan keterlibatan banyak personal dan banyak jabatan. Baru tiga pejabat Polri yang dinon-aktifkan. Tuntutan pun masih terus berlanjut. Markas Besar mengalami guncangan akibat peristiwa Duren Tiga kelabu dengan tiga hari yang mengharu biru.  Pemeriksaan dikualifikasi berjalan lambat. Untuk pembunuhan yang disana hanya ada 3 orang di samping korban yaitu Bharada E, Irjen Pol Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati Sambo maka tersangka tentunya adalah salah satu atau dua di antaranya. Apalagi telah diakui penembak mati korban yaitu Bharada E. Sekurangnya Bharada E cepat ditetapkan sebagai tersangka.  Munculnya temuan yang diungkap keluarga adanya penganiayaan sadis kepada korban Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang diduga terjadi sebelum ditembak telah membuyarkan skenario tembak menembak dan bela diri. Situasi menjadi bertambah sulit dan berbelit.  Ayo tetapkan cepat tersangka pembunuhan dan penganiayaan Brigadir J. Bharada E atau Irjen Sambo atau orang lainnya?Jangan dibuat lambat yang bergerak menuju ke peradilan sesat kelak. Ini kasus pertaruhan bagi Polri dan tentu juga Kapolri. Susu sebelanga terancam rusak.  Kasus Duren Tiga atau Rumah Singgah Kadiv Propam ini telah menyita banyak perhatian. Bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang telah mengambil langkah menon-aktifkan tiga pejabat struktural Polri patut mendapat apresiasi. Tindakan lanjutan sangat ditunggu termasuk memonitor pemeriksaan agar cepat, jujur dan terbuka.  Menohok memang, huru hara ini terjadi di rumah dinas Kadiv Propam. Instansi yang menjadi benteng moralitas Kepolisian. Penjaga kejujuran, kedisiplinan dan keadilan. Biasa menghukum perbuatan tercela. Hukuman yang berbasis aturan bukan kesewenangan. Apalagi dengan kebrutalan atau kekejaman. Sayang kebrutalan atau kekejaman ini yang kini mungkin terjadi. Masyarakat mendukung langkah Kapolri tentang penuntasan kasus. Penanganan yang dilakukan secara  transparan dan obyektif. Pertaruhan terlalu berat. Alangkah indahnya jika pada pertaruhan ini Pak Kapolri menegaskan dan memastikan akan kejujuran penuntasan dan jika masih ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menutupi atau melakukan rekayasa, maka Pak Kapolri siap untuk meletakkan jabatan. Mundur.  Kasus mengerikan telah terjadi di sebuah rumah besar yang telah merusak citra  dari rumah yang lebih besar. Rumah kebangsaan kita terusik berat. Akankah perbuatan kriminal ini akan berdampak politik? Sejarah sedang mengamati.  Bandung, 22 Juli  2022

Celotehan Bahlil

Oleh Ady Amar Kolumnis  Namanya Bahlil, bukan Bahlul. Tepatnya, Bahlil Lahadalia. Sedang Bahlul adalah tokoh sufi yang suka dengan celetukan tidak biasa, nyeleneh. Hanya asyik ekstase dengan Tuhannya. Bahlul hadir di era Sultan Harun ar-Rasyid--sultan ke-5 dari Dinasti Abbasiyah--yang bijak. Bahlul menjadi tokoh spiritual kesayangan Sultan Harun ar-Rasyid. Sedang Bahlil hadir di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah Bahlil tokoh paling disayang Jokowi, sepertinya belum tentu. Bahlil bukan Bahlul yang memilih menjaga jarak dengan kekuasaan. Bahlul menolak privilage istana. Memilih hidup serba kekurangan. Tidur pun tak menentu. Lebih asyik memilih tidur di pemakaman umum. Berkawan dengan jejeran nisan. Suatu hari Sultan Harun ar-Rasyid menanyakan, mengapa ia mesti tidur di pemakaman. Sultan acap menawarkan kehidupan yang lebih layak untuknya, tapi tak diindahkan. Selalu ditolaknya. Bahlul memilih menjadi orang bebas. Karenanya, sebutan bahlul (bodoh) disematkan pada namanya, itu karena pilihan hidupnya. Bahlul tentu bukan \"bodoh\" dalam makna sebenarnya. Bukan \"bahlul\" nalar. Jawab Bahlul, Tidur bersama para mayit itu bentuk latihan hidup sesungguhnya. Lanjutnya, agar nantinya tak merasa asing, seperti Anda yang tiba-tiba tak siap saat dikuburkan. Harun ar-Rasyid pun terperangah dan menangis mendengar jawaban Bahlul yang seperti sekenanya. Jawaban yang menyentak kesadaran. Bahlil memang bukan Bahlul. Bahlil Lahadalia adalah Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai pembantu presiden, ia berkebalikan dengan gaya Bahlul. Bahlil pastilah punya dan memilih gaya tersendiri. Pastilah gaya yang menyenangkan Pak Bos. Bahkan Bahlil mampu menangkap perintah Pak Bos, meski tidak lewat lisan. Cukup lewat isyarat, itu sudah cukup buatnya untuk langsung eksekusi. Maka tidaklah perlu kaget dan merasa aneh jika Bahlil akhir-akhir ini berceloteh di luar tupoksinya. Mungkin ia sedang menangkap isyarat perintah dari Pak Bos. Atau ia memilih sikap seperti seniornya, yang menjadi menteri segala urusan. Merasa ahli pada semua bidang. Semua hal lalu mesti dikomentarinya. Bahlil terkadang memilih gaya \"mbah dukun\", yang menerawang peta politik ke depan. Saat lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil surveinya. Ada pertanyaan dari yang hadir di sana, tentang prospek diduetkannya Puan Maharani dan Anies Baswedan. Belum sempat Burhanuddin Muhtadi, direktur eksekutif IPI, menjawab. Muncul suara virtual dari seberang, Bagus itu. Bisa sekali putaran. Ternyata itu suara Bahlil. Tentu Bahlil punya pertimbangan tertentu menyebut dua nama tadi. Karena sebelumnya, Pak Bos pun setuju dengan pasangan Puan-Anies. Sebelumnya, saat polemik Jokowi 3 periode. Bahlil muncul dengan mengatakan, bahwa mayoritas pengusaha menghendaki Jokowi 3 periode. Tanpa menyebutkan pengusaha siapa yang menghendaki itu. Kata orang Jawa, waton ngomong. Celoteh Bahlil bisa dinilai punya nuansa politis menyenangkan Pak Bos. Setidaknya itu kesan publik atas celotehannya. Bahlil juga berceloteh tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Ia katakan bahwa pemindahan ibu kota itu harga mati. Padahal negara sedang kesulitan finansial. Artinya, meski pendanaannya harus ngutang ke sana ke mari. IKN mestinya tidak jadi prioritas untuk disegerakan. Sepertinya Bahlil akan terus memproduk celotehan-celotehan yang di luar kuasa kerjanya. Memilih model celotehan asal bapak senang. Mengingatkan akan Harmoko, Menteri Penerangan era Soeharto, yang selalu menyenangkan Pak Bos dengan narasi, \"menurut petunjuk bapak presiden\". Harmoko kurang kreatif celotehannya ketimbang Bahlil yang lebih variarif. Bahlil memang bukan Bahlul, yang memilih kehidupan asketik sesungguhnya. Jauh dari hingar bingar kuasa adigang-adigung-adiguna, yang cenderung rakus pada kekuasaan. Tapi asyik juga jika gaya Bahlil itu dipadukan dengan gaya Bahlul. Setidaknya keseimbangan sikap bisa didapat. Tidak ekstrem kanan maupun kiri... Wallahu a\'lam. (*)

Amerika Diantara Benci dan Rindu

Semua ini menjadi penyebab tumbuhnya prilaku paradox pada sebagian orang dalam memandang Amerika. Mereka kadang benci Amerika tapi (masih) juga  merindukannya. Oleh: Shamsi Ali, TKI di Kota New York, US DARI dulu Amerika itu memang unik. Atau tepatnya Amerika selalu ingin tampil unik, beda dari negara/bangsa lain di mata dunia. Bahkan, Amerika tidak mau disamai atau disamakan dengan siapapun dalam hal-hal mendasar dan biasa dari kehidupan. Ketika orang lain menyebut bola kaki dengan football, Amerika menyebutnya Soccer. Ketika dunia menimbang sesuatu dengan ukuran kilogram, Amerika menyebutnya pound. Dunia mengukur lebar/panjang sesuatu itu dengan centimeter dan hektar, Amerika memakai kata feet dan acres. Ketika dunia menyebut panjangnya perjalanan dengan kilometer, Amerika menyebutnya mile. Demikian seterusnya. Kemampuan membangun imej atau persepsi itu menjadikan Amerika kadang ingin tampil berbeda (exceptional). Terlebih lagi ketika negara ini dipimpin oleh seorang Presiden yang rasis seperti Donald Trump. Kulit manusia pun ingin dipilah-pilah dengan penilaian kemuliaan dan kehinaan. Rasisme pun menjadi trademark keistimewaan yang menjijikkan. Akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa peristiwa buruk di dunia global, dosa tua Amerika di Afghanistan, sisa-sisa perang Irak/Suriah yang seolah menjadi dosa turunan, kini perang Ukraine dan banyak lagi isu-isu global menyeret Amerika ke dalam ragam masalah yang cukup rumit. Belum lagi krisis domestik yang klasik namun sangat rumit dan berbahaya. Permasalahan ekonomi akibat Covid, yang diperparah oleh perang Rusia-Ukraine misalnya sangat terasa dan mengkhawatirkan. Hal lain yang paling mengkhawatirkan akhir-akhir ini adalah kebebasan memiliki dan penyalah-gunaan senjata yang tak terkontrol. Pembunuhan terjadi hampir setiap hari di berbagai belahan negeri. Harga minyak yang berimbas melonjaknya harga hampir semua kebutuhan pokok. Bahkan, tidak sekedar harga yang melambung. Akibat dari harga minyak yang meninggi juga sangat mengganggu transportasi bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Sehingga banyak toko yang kosong dari barang-barang jualan. Kesulitan demi kesulitan yang dialami oleh Amerika menimbulkan masalah-masalah non physical lainnya. Salah satunya adalah terjadi krisis kesehatan mental (mental health crisis) yang cukup akut. Hal ini semakin memperburuk masalah keamanan, khususnya yang terkait dengan kebebasan memiliki senjata. Akankah Amerika ambruk? Dengan semua permasalahan yang dihadapi Amerika saat ini sebagian melihat jika Amerika telah berada di ambang keambrukannya. Bahkan, sedemikian tidak sukanya (bencinya) sebagian orang kepada Amerika mereka ingin Amerika ambruk sekarang juga. Saya ingin menyampaikan bahwa dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh Amerika saat ini, baik di luar maupun di dalam negeri, Amerika masih merupakan negara yang “powerful”. Saya lebih memilih kata powerful ketimbang “super power” karena beberapa pertimbangan. Satu diantaranya yang terpenting adalah bahwa dalam dunia global saat ini telah terjadi “power sharing” yang hampir merata. Dunia tidak lagi didominasi oleh kekuatan tunggal. Dan karenanya kata super power sesungguhnya sudah kurang relevan dalam dunia global saat ini. Selain itu dengan kemajuan informasi, khususnya media sosial, kekuatan dan keistimewaan (exceptionality) Amerika tidak bisa lagi direkayasa. Dunia dengan sangat mudah melihat berbagai kelemahan Amerika (dan semua bangsa). Kebohongan sebuah bangsa (atau pemimpinnya) dengan mudah tertelanjangi oleh dunia yang berkarakter terbuka. Karenanya tidak ada lagi rahasia di antara kita. Kembali kepada pertanyaan di atas. Akankah Amerika ambruk dalam waktu dekat karena permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini? Dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa jangan cepat bermimpi melihat Amerika ambruk karena permasalahan ekonomi, militer, bahkan politik. Amerika memiliki fondasi yang kuat dalam semua itu. Sebagaimana kokohnya pembangunan kota New York yang direncanakan ratusan tahun silam, demikian kokohnya fondasi perekonomian, perpolitikan, apalagi pertahanan militer Amerika. Separah-parahnya perekonomian di negara ini warga Amerika tak seharusnya kelaparan. Berbagai institusi menyediakan layanan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Satu Karakter paradoks Amerika yang di satu sisi individualistik. Tapi di sisi lain berkarakter sosial yang tinggi. Justru seperti sering saya sampaikan dalam beberapa kesempatan, kelemahan dan krisis terbesar Amerika saat ini adalah krisis moralitas. Krisis yang terjadi ini adalah konsekwensi langsung dari krisis spiritualitas (kegersangan batin) yang menimpa Amerika dan dunia Barat sejak lama. Saya tidak perlu lagi merinci berbagai manisfestasi masalah yang dihadapi Amerika akibat krisis moralitas itu. Tapi kita lihat yang paling menonjol adalah hilangnya rasionalitas dan keseimbangan dalam pengambilan berbagai kebijakan publik. Beberapa contoh dapat saya sebutkan sebagai misal saja. Konsep kebebasan dan hak dasar menjadi alasan dilegalkannya perkawinan sejenis. Konsep kebebasan dan hak konstitusi  juga menjadi dasar bagi bebasnya kepemilikan senjata. Liberalisme atau kebebasan tanpa batas (jika sejalan dengan paham mereka) dan tak terkontrol menjadi alasan untuk membebaskan terjadi berbagai perilaku yang jelas merusak tatanan moralitas dan kemanusiaan. Semua realita di atas sesungguhnya merupakan ancaman yang lebih nyata dan krisis yang lebih berbahaya bagi Amerika ketimbang resesi ekonomi atau perang Ukraine seperti yang disangkakan sebagai orang. Dan ini pulalah yang bisa menjadi pintu ambruknya negara kuat (powerful) ini. Jadi, jangan riang dulu dengan kebencian sebagian, yang ingin segera melihat Amerika ambruk. Kebencian memang kadang membawa mimpi-mimpi panjang untuk melihat orang lain jatuh. Tentu dengan harapan kita menjadi kuat dan menang. Padahal “over hatred” (kebencian berlebihan) ternyata sering menimbulkan halusinasi hidup. Sebaliknya diakui atau tidak, hingga detik ini juga masih banyak yang bermimpi datang ke Amerika. Lapangan kerja masih tersedia luas. Jaminan gaji lebih jelas dengan minimum wage (gaji minimum) yang juga terjamin. Jadi tukang cuci piring masih memungkinkan untuk anda mengendarai mobil sendiri di Amerika. Belum lagi Universitas-Universitas terbaik dunia masih ada di Amerika. Anda mau Harvard, MIT, Yale, Cornell, Princeton, atau juga Columbia dan NYU sekalipun. Semua ini menjadi penyebab tumbuhnya prilaku paradox pada sebagian orang dalam memandang Amerika. Mereka kadang benci Amerika tapi (masih) juga  merindukannya. Kata anak bungsu saya, Ayman: Alhamdulillah still America, yetsss! NYC Subway, 20 Juli 2022. (*)

Pilpres 2024 Gelap Gulita

Tugasnya hancurkan semua aturan dan UU buatan/pesanan oligarki, ganti dengan aturan yang baru untuk bisa keluar dari kemelut dan menuju arah pelaksanaan Pilpres yang wajar dan normal sesuai amanah UUD 45 asli. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih HIRUK-pikuk yang sedang terjadi, yaitu koalisi partai-partai politik saat ini seperti koalisi kumpul kebo. Ciri makhluk yang terlibat dalam kumpul kebo, ditengarai sifat hedonis, nafsu terpuaskan, tidak tahu aturan dan semuanya serba instan, proyektilnya uang, uang, dan uang. Tidak penting soal Capres yang ideal, yang penting memiliki mahar politik yang bisa menjadi kesepakatan bersama. Kerjasama bisa long time atau shot time, tergantung dari uang sebagai instrumen amunisi yang bisa disepakati dan ditandatangani, maka munculah partai rentalan. Prediksi para normal pada Pilpres 2024 mendatang akan muncul pemilih tuyul, demit, dan setan. Mereka tidak pernah tampak tetapi suaranya akan mendominasi. Semuanya bisa dirasakan akibatnya sangat dahsyat tetapi bukti tidak akan pernah bisa diraba dan didapat. Di sisi lain, money politics sendiri jelas sudah disiapkan oleh para badut, bandar, dan bandit politik, semuanya demi pertaruhan menang atau menang. Proses dari hasil Pilpres 2024, bagi Oligarki tidak ada kamus untuk kalah. Bagi mereka kekalahan adalah bunuh diri, dibunuh atau harus melarikan diri. Resiko Pilpres adalah hidup atau mati. Jangan pura-pura buta: riil pertahanan jarak jauh sudah dibangun mulai konsolidasi para aparat kelurahan/desa, bupati dan gubernur, juga aparat keamanan khususnya kepolisian (yang terpantau masih sangat kejam dalam menghadapi demo-demo) harus disiapkan mental dan jumlah personilnya untuk menghadapi huru-hara yang lebih besar dan semua terjamah menerima bagi hasil atas sponsor oligarki. Dalam kondisi darurat seperti itu bisa saja TKA (indikasi kuat tentara China) yang sudah berada di dalam negeri, bisa diperbantukan bahkan kalau perlu dipersenjatai untuk mengawal kemenangan dalam Pilpres mendatang (sudah tercium adanya terorisme 9 Naga). Aparat hukum terkait dengan pengamanan hasil pilpres saat ini seperti MK sudah teruji dan lurus uji menolak Judicial Review Presidential Threshold 0 % (Nol Persen). Buzer dan rentalan survey baik untuk pengkondisian sebelum, selama, dan sesudah pemungutan suara sebagai dukungan legalitas hukum yang akan ditangani MK kalau ada keruwetan harus sudah kompak, berjalan sesuai arahan dan tidak boleh menyimpang dan salah dalam bekerja, sesuai protap perintah para bandar, bandit dan politik sebagai leader-nya. Jangan harap ada harapan Pilpres jujur, adil dalam pelaksanaan Pilpres yang akan datang. Rakyat datang ke TPS akan diskenariokan seolah bebas memilih, tetapi ketika proses hitung yang masih menggunakan sistem manual, sangat mudah yang akan muncul adalah angka demit. Bahkan, suara orang yang sudah matipun dan sakit jiwa bisa masuk dalam hitungan. Wajar kotak suara dari kardus tetap dipertahankan, personil main sulap, jelas harus sudah mendapatkan pelatihan pada level advance. Apakah gambaran dari skenario di atas hanya karangan orang yang sedang kesurupan? Mungkin ya mungkin tidak, hanya dengan yurisprudensi semua variabel kejadian sebelumnya dan fenomena saat ini adalah petunjuk yang bisa dibaca dan dianalisa dengan mudah, tidak perlu impor teori canggih dari manca negara. Sumber masalah akan terjadi dari kejadian tersebut adalah tampak dengan jelas ketika rezim saat ini indikasi kuat sudah tidak punya kuasa, daya dan nyali untuk melawan kekuasaan oligarki. Jangankan melawan, membantah remote perintahnya saja sudah lumpuh total, atas kuasa politik telepon koin dan radar yang terus mengawasi dengan segala resikonya. Keadaan makin dalam, kata Prof. Salim Said, Presiden saat ini sudah menjadi organ Oligarki. Ciri masyarakat agraris dengan mayoritas pemilih mengambang sangat rentan keterjang politik transaksional. Apalagi, masyarakat yang sedang susah dalam kehidupan mencari makan dan atau kemiskinan bisa saja untuk sementara harus dipertahankan. Tema-tema mengatasi kemiskinan apalagi tentang kesejahteraan pun rakyat sesungguhnya tidak masuk dalam skenario Oligarki. Rakyat miskin harus dipertahankan kalau perlu yang belum miskin harus dimiskinkan demi kemenangan dalam Pilpres 2024. Program politik transaksional akan berjalan lancar dan aman. Solusi untuk mengatasi keadaan yang hampir pasti akan terjadi dan sangat menakutkan, hampir semuanya tertutup tidak ada lagi. Masih tersisa cara untuk keluar dari kondisi tersebut adalah bubarkan rezim, dan ganti dengan rezim darurat. Tugasnya hancurkan semua aturan dan UU buatan/pesanan oligarki, ganti dengan aturan yang baru untuk bisa keluar dari kemelut dan menuju arah pelaksanaan Pilpres yang wajar dan normal sesuai amanah UUD 45 asli.  Gerakan perubahan ini hanya bisa dilaksanakan oleh pemilik sah kedaulatan negara, yaitu rakyat dengan melakukan people power atau Revolusi. (*)

Ombudsman Turun Tangan Penghancuran Masjid yang yang Berubah Jadi Indomaret

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Perusakan dan penghancuran bangunan cagar budaya Masjid \"Nurul Ikhlas\" di Jl Cihampelas 149 Bandung oleh PT KAI yang kini berubah fungsi menjadi toko Indomaret jelas merupakan perbuatan pidana. Pihak-pihak yang bertanggungjawab atas penghancuran Masjid ini dapat diseret ke meja hijau.  Pada tahap awal DKM Masjid Nurul Ikhlas telah melaporkan kepada Ombudsman atas dugaan mal administrasi instansi. Ombudsman Jawa Barat melakukan pemeriksaan. Meminta keterangan dari berbagai pihak di lingkungan Pemkot Bandung.  Keterangan Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi dan Tata Ruang tanggal 1 Nopember 2021 telah mengeluarkan surat teguran kepada PT KAI Daop 2 Bandung bahwa bangunan toko yang kemudian menjadi Indomaret tidak memiliki Izin persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Kepala Satuan Pamong Praja Kota Bandung membenarkan bahwa pembangunan gedung toko tidak memiliki PBG. Ada pernyataan dari penanggungjawab untuk bersedia tidak melaksanakan pembangunan sampai terbit PBG dan tidak mengoperasikan masjid (yang dibuat di belakang toko) sampai terbit PBG.  Hingga bangunan selesai bahkan toko Indomaret beroperasi, PBG tidak dimiliki dan sayangnya tidak ada penyegelan untuk penghentian, yang ada hanya penempelan stiker bahwa bangunan tidak memiliki PBG. Stiker itupun kini hilang.  Satuan Pamong Praja menyatakan bahwa pengrusakan atau penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" jika cagar budaya jelas melanggar UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Perda Kota Bandung No 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Penghancuran itu adalah perbuatan pidana. Penyidikan Kepolisian dilakukan atas laporan Walikota melalui Dinas kepada penyidik Kepolisian.  PT KAI memohon untuk solusi atas penghancuran Masjid cagar budaya kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, namun setelah pertemuan dengan Tim Ahli Cagar Budaya, solusi itu tidak jelas. Bisa difahami penghancuran Masjid cagar budaya tidak mungkin ada solusi selain proses penyidikan pidana. Fakta tidak bisa direkayasa.  Ombudsman masih membuka tanggapan Pelapor, namun tentu sulit Ombudsman Jawa Barat untuk membuat konklusi selain fakta bahwa telah terjadi perusakan Masjid cagar budaya oleh PT KAI dan mal administrasi Pemkot Bandung yang berakibat bangunan Indomaret  dapat terselesaikan dan beroperasi.  Publik berhak menuntut agar terhadap bangunan Indomaret yang tidak memiliki izin/PBG itu segera disegel dan Indomaret di bawah PT Indomarco dilarang untuk beroperasi. Atas perusakan atau penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" yang merupakan cagar budaya patut untuk segera dilaporkan dan diproses penyidikan atas pelanggaran pidananya.  PT KAI atau pihak lain yang turut serta harus menerima konsekuensi hukum dari perbuatan kriminal tersebut.  Bandung, 21 Juli 2022