OPINI
Kampanye Sesat LGBT
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PENGIBARAN bendera LGBT oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta mengejutkan, karena di samping tidak lazim, juga terjadi di Indonesia negara berideologi Pancasila yang menghormati keyakinan keagamaan. Tidak ada satu agama pun yang membenarkan perilaku menyimpang LGBT. Penyinggungan aspek keagamaan ini sepertinya beruntun, beberapa waktu lalu Singapura menolak dan mengusir ulama dan tokoh Islam Ustadz Abdus Shomad yang akan berkunjung ke Singapura. Kunjungan liburan bersama keluarga. Isu keagamaan pun disematkan seperti takfir, syahid, dan salib dalam perspektif Singapura. Bahkan dengan predikat teroris segala. Sebelumnya ada publikasi terbuka dalam acara Deddy Corbuzier melalui wawancara pasangan nikah sesama jenis Ragil Mahardika dan Frederik Vollert warga negara Jerman. Kecaman masyarakat membuat Deddy harus meminta maaf. Prakteknya LGBT terus disosialisasikan. Unik dan aneh setingkat Kedutaan Besar mengibarkan bendera LGBT. Di negara mayoritas muslim yang sebenarnya dipastikan tidak dapat menerima. Artinya ada motif berbau provokasi untuk memancing reaksi. Adakah ini berhubungan dengan peristiwa deportasi Singapura yang pernah menjadi koloni Inggris atas diri UAS? ebay mengibarkan bendera LGBT di kantor kedubes. Lucu, sekelas negara Inggris secara resmi berada di belakang LGBT. Lumrah, negara liberal membebaskan perilaku biadab hubungan sejenis. Low Batt di saat Inggris sudah kehilangan pengaruh di berbagai belahan dunia. Gila, bagaimana sehat jika hewan tak berakal pun tidak dapat melalukannya. Galau atas nilai-nilai kemanusiaan apakah LGBT itu HAM atau penyimpangan. Gawat jika perilaku kaum Luth dan Pompei dianggap baik. Gombal jika lambang pelangi adalah keindahan, padahal itu kekonyolan. Bete dan memuakkan atas pekerjaan hina yang dimuliakan. Bego masyarakat Barat yang merasa sebagai pemilik peradaban ternyata biadab. Bandel, sudah tahu LGBT itu dicela, malah dibela. Busuk memelihara badan dan jiwa yang berpenyakit menjijikan. Tipu-tipu seolah toleran pada realita manusiawi. Teror kebejatan atas kewarasan dan kebaikan. Tirani minoritas mengalahkan pandangan mayoritas. Tubruk sana tubruk sini mencari sensasi dan dukungan kaum dungu. Bendera LGBT telah dikibarkan oleh Kerajaan Britania. Tanda menyerah kepada kenistaan dan kebiadaban. Pelangi warna warni sinyal keruntuhan nilai-nilai moral. Tinggal menanti datangnya siksa Tuhan. Umat yang sehat dan ingin selamat harus mekakukan perlawanan. Inggris dilinggis, Singapura disetrika, demi Indonesia Jaya. Setelah pandemi Covid 19 yang mematikan kini LGBT telah dikibarkan dan siap disebarkan untuk membunuh nilai-nilai moral bangsa. Saatnya Indonesia untuk menjadi garda terdepan perlawanan dan pembasmian. LGBT adalah kejahatan kemanusiaan. Bandung, 23 Mei 2022
Luhut Bukan Pak Bob
Oleh Rahmi Aries Nova - Jurnalis Senior FNN JABATAN boleh berderet, status juga mentereng: Menteri paling tajir. Kekayaannya juga pasti sulit dihitung karena konon punya banyak usaha tambang termasuk nikel yang lagi naik daun. Kekuasaannya apalagi, tak terbatas. Apa yang diputuskan presiden bisa seketika ia batalkan. Pokoknya presiden saja konon turut apa kata dia. Luar biasa. Itulah Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI). Dipilih secara aklamasi, mungkin dengan pertimbangan jabatan dan kekuasaan yang ia miliki. Atau bisa juga karena Luhut, yang netizen biasa sebut Lord Luhut alias Opung, masih trauma dengan pemilihan dengan suara terbanyak. Maklum dua kali gagal saat pemilihan Ketua Umun KONI Pusat. PASI sendiri sejak 1984 dipimpin Bob Hasan sampai akhir hayatnya (37 tahun), wafat 31 Maret 2020. Pak Bob, begitu atlet biasa memanggilnya hanya menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian kurang dari dua bulan. Berikutnya saat Presiden Soeharto lengser, Bob pun menjadi penghuni Nusakambangan. Hebatnya meski di penjara Pak Bob tidak tergantikan di PASI. Perhatiannya dan \'pengorbannya\' untuk dunia atletik Indonesia tidak berkurang. Raganya boleh tidak berada di Stadion Madya Senayan (tempat latihan atletik) tapi spiritnya tetap melekat pada semua atlet yang berlatih di sana. Jangankan cuma bayar tukang urut, Pak Bob sejak dulu bahkan memberikan beasiswa bagi semua atlet Pelatnas yang ingin melanjutkan kuliah. Purnomo, Heru Prayogo dan banyak lagi atlet Pelatnas bisa menyandingkan gelar juara dan gelar sarjana berkat Pak Bob. Kebaikan Pak Bob bukan hanya dirasakan atlet tapi juga wartawan yang biasa meliput atletik. Bisa dikonfirmasi pada Duta Besar Singapura saat ini. Oh ya, pada masa kejayaannya Pak Bob juga menggelar event-event berkelas dunia yang mendatangkan pelari-pelari terbaik dunia dengan hadiah yang fantastis. Kedudukan Pak Bob sendiri sangat prestisius, anggota IOC (Komite Olimpiade Internasional). Intinya kalau Pak Bob tak tergantikan Luhut justru sebaliknya, sudah selayaknya diganti jika memang perhatiannya pada atletik ternyata cuma sebatas janji tanpa realisasi. Persis seperti rezim yang ia \'kendalikan\' saat ini, sudah selayaknya juga diganti, kalau ingin NKRI tegak berdiri. (*)
Halusinasi Jokowi Masih Berkuasa dengan Dukungan Relawan
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, aktivis Pergerakan 77/78 KATANYA sih ada perang antara Mega dan Jokowi. Menurut saya tidak sama sekali. Kenapa?. Ada banyak hal secara logic dan fakta/data. Pertama, PDIP sebagai partai pemenang tahun 2019, sekarang menjadi satu-satunya partai yang tanpa koalisi bisa mencalonkan Presiden. Kedua. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP punya otoritas penuh diberikan oleh kongres partainya menentukan/ memutuskan calon presiden 2024 tanpa prosedur kepartaian. Ketiga, Jokowi walaupun sudah dua periode menjadi Presiden masih tetap sebagai petugas partai tanpa diberikan jabatan apapun di struktural PDIP. Padahal Jokowi sudah melanggar janjinya “membiarkan” menteri yang diangkatnya merangkap jabatan di Partai, bahkan ada menjadi Ketua Umum partai. Seperti Airlangga dan Prabowo. Setidak-tidaknya sinyal bahwa Jokowi dari awal sudah “ingin” merangkap pula jadi pengurus PDIP, setidak-tidak di dewan Pembina. “Keinginan” kuat Jokowi untuk diberi jabatan di partainya. Tetapi sampai mendekat akhir jabatan harapan tak terkabul. Walaupun Jokowi sudah “bergenit-genit” seakan ada beberapa partai yang akan merekrutnya. Salah satunya partai anak muda PSI. Sekarang menurut survei PSI malah semakin menciut. Ulah pengurusnya sendiri. Kenapa Jokowi tidak diberi jabatan apapun di pengurus PDIP?. Hanya Megawati dan elit partai PDIP yang bisa menjawab. Saya bisa memperkirakan penyebabnya hanya satu saja. Jangan sampai trah Soekarno hilang. Keempat, Partai di Senayan selain PDIP tidak akan pernah berani merekrut Jokowi menjadi pengurus, karena prosedur di internal partai. Mereka juga sepenuhnya menyadari jika Jokowi tidaklah lagi menjadi Presiden, kekuasaannya hilang lenyap. Beda banget dengan SBY “pemilik” partai Demokrat. Kelima, Oligarki Pengusaha akan beralih cepat alias balik badan sesuai dengan “kebiasaan” mereka akan berlabuh pada rejim kuasa lain, dimana mereka bisa mendapat keuntungan setidaknya usaha mereka bisa terlindungi. Bahkan pada akhirnya mereka akan meghindar dari Jokowi. Keenam, kondisi sekarang kepercayaan rakyat anjlog terhadap Jokowi. Dasarnya hasil survei. Akan anjlog lagi, karena krisis ekonomi semakin parah. Dampak Ukraina vs Rusia, kuartal ketiga akan sangat berasa. Sementara, rejim Jokowi tidak bisa berbuat apapun, malah masih “asyik masyuk” dengan proyek IKN. Tidak punya nilai tambah buat kesejahteraan rakyat, malah jadi beban. Ketujuh, sebagian menterinya sedang asyik “mempercantik diri” untuk menjadi kontestan Pilpres, sebagian lagi akan cari selamat atau malah diam sehingga kinerja pemerintah dua tahun kedepan akan stagnan bahkan anjlog. Dari beberapa fakta tersebut analisa saya. Jokowi hanya “halu” seakan-akan masih besar. Merasa bahwa relawannya Jokowi (Projo) bisa menandingi partainya. Relawan bukan kekuatan riil, tidak ada garis yang mengikat, masing-masing mereka akan mencari selamat, tempat lindung baru. Jokowi tidak akan bisa melakukan negosiasi apapun terhadap pilihannya. Ganjar yang sebentar lagi habis masa jabatannya. Prestasinya di Jateng hanya menjadi Provinsi dengan rakyat termiskin. Jokowi bukan SBY presiden ke enam yang memiliki partai. Jokowi hanya petugas partai. Sebentar lagi akan ditinggalkan rame-rame. Kenapa halu?. Karena dulu 2013 rekayasa Oligarki dengan memanfaatkan relawan dan tokoh media berhasil \"memaksa\" Megawati mengurungkan niatnya menjadi capres. Megawati akan kalah, begitu tekanan Olikargi. Megawati mengalah menerima Jokowi sebagai capres. Itu dulu. Sekarang diyakini Megawati tidak lagi akan mengalah. Alasannya tujuh faktor diatas. Sekarang waktunya trah Soekarno harus muncul, jika tidak selamanya akan lewat. Megawati dipastikan tidak akan mengalah lagi. Jadi jika Jokowi akan memanfaatkan “relawannya” untuk menekan atau melawan “berperang”. Itulah Halu nya Jokowi. Artinya Zonk tanpa “kekuasaan nyata” penekan. Hanya sekadar teriakan buzzerRp yang berdengung. Golkar akan mencalonkan Ganjar?. Itupun tidak mungkin karena Golkar sejarahnya adalah Partai yang tidak akan pernah akan menjadi oposan. Konon sekarang juga tidak solid ada beberapa faksi. Mereka pada akhirnya akan bergabung untuk mendapatkan jatah menteri. Koalisi Bersatu Golkar, PPP, PAN hanya sekadar menaikan nilai nego, baik internal partai maupun untuk kerjasama dengan partai pemenang. Lagian PAN sudah pecah jadi tiga. Partai Ummat dan Partai Pelita. Memang lucu sistim Pemilu. Kedepan ada Koalisi Partai yang anggota Koalisinya pada Pileg 2024 tersingkir dari Senayan. Di antaranya PAN yang sudah tercerai berai jadi tiga. PPP juga. Dari semua survei yang sudah berulang-ulang dan banyak. Hasilnya tetap sama PPP 2024 akan tersingkir dari Senayan. Tersandung dengan Parlementiary Treshold. Nah lho, partai pendukung Presiden, malah sudah tidak lagi di DPR-RI. Sangat lucu bukan Bandung, 23 Mei 2022
Pidato Dagelan Presiden
Kewarasan sistem bernegara ini sudah hilang buta, tuli, bisu, dan gombloh, ini negara sedang meluncur menjadi negara gagal. Akibat hampir semua pejabat negara sudah kesurupan masuk perangkap makhluk Taipan dan Oligargi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Rakernas V Projo di Kabupaten Magelang Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022). Ia meminta relawan Pro Jokowi (Projo) tidak terburu-buru dalam menentukan pilihan politik, meski pilihannya hadir di acara tersebut. “Jangan tergesa-gesa. Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Presiden Jokowi yang disambut riuh para peserta Rakernas. Terdengar suara riuh gemuruh seperti suara dalam ketidaksadaran, seolah terhipnotis kegelapan dengan realitas politik yang sedang terjadi yang makin gelap-gulita. Jokowi berpesan kepada para sukarelawan Projo agar jangan tergesa-gesa berbicara politik tentang calon presiden pada Pemilu 2024. Ia menegaskan bahwa partai apa mencalonkan siapa belum jelas sehingga jangan sampai salah. Hak Presiden untuk berpidato, mestinya tidak usah lagi campur tangan dalam urusan politik ke depan dengan sikap negarawan dengan mengatakan bahwa saya akan mengakhiri masa jabatan ini bisa Istiqomah, jujur, dan besar hati serta masih banyak masalah yang saya tidak mampu lagi mengemban tugas saya sebagai Presiden dengan segala resikonya. Untuk apa menggunakan kalimat bersayap dikala sayapnya sudah patah berantakan tapi seolah-olah masih kuasa terbang mengatur arah politik jalannya Pilpres ke depan. Boleh saja jika ingin mempromosikan Ganjar Pranowo untuk ditawarkan ke Oligarki. Tetapi harus sadar kapasitas dan kemampuan yang bersangkutan belum layak sebagai orang nomor satu di Republik ini saat mengatur provinsi nyaris tanpa prestasi. Lain cerita kalau dalam benaknya itulah urusan Bandar Politik Oligarki. Atau masih menyimpan mimpi rekayasa perpanjangan waktu dan atau tetap ada keinginan untuk jabatan 3 periode. Jokowi menyampaikan, akan mengumpulkan seluruh relawan pendukungnya dalam rapat tingkat nasional yang lebih besar. Hal itu dilakukan untuk menyerap aspirasi soal tokoh politik yang didukung. Jokowi menuturkan nanti akan membuat pertemuan besar tingkat nasional untuk seluruh sukarelawan, tidak hanya Projo. Hal ini untuk menunjukkan bahwa seluruh sukarelawan masih solid. “Saya pun nanti memutuskan pasti akan bertanya bapak/ibu dan saudara-saudara semuanya. Tidak saya putuskan sendiri, saya bukan tipikal seperti itu. Saya tanya ketuanya dahulu,” kata Jokowi yang juga Pembina Projo. Dagelan politik tanpa makna dan esensi politiknya yang sudah kosong seperti ini sudah tidak diperlukan. Akan memutuskan politik apa lagi. Jangankan ormas, Partai Politik saat ini hampir semua eksistensinya sedang ada masalah dengan konstituennya. Posisi Presiden kini dalam kondisi kritis, sudah pada pilihan mundur atau akan dipaksa mundur oleh rakyatnya. Merendahlah dan dengan kesadarannya mintalah maaf kepada rakyat saat realita negara menjadi carut-marut, kehidupan berbangsa semakin parah, semakin sulit untuk direstorasi ke kondisi semula. Sistem konstitusi palsu menjerumuskan negara menjadi berantakan, seperti bangunan yang sudah melampaui kapasitas elastisnya. Kehidupan negara ini sudah tanpa bentuk, kehidupan masyarakat semakin getas sehingga rapuh. Seperti kaca, bangunan itu sangat rentan untuk pecah berantakan dan ahirnya ambruk. Tidak usah lagi bergaya sok-tahu, sok-konstitusional dan masih mimpi sok- mengatur dan merasa masa depan masih miliknya. Tidak sadar, kesurupan tidak mengerti, benar-benar tidak paham, buta atau tidak menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan kemampuan umpan-balik untuk melakukan koreksi diri. Kewarasan sistem bernegara ini sudah hilang buta, tuli, bisu, dan gombloh, ini negara sedang meluncur menjadi negara gagal. Akibat hampir semua pejabat negara sudah kesurupan masuk perangkap makhluk Taipan dan Oligargi. Status negara sudah masuk klasifikasi negara gagal, diperparah lagi terjadinya krisis konstitusi, semua akibat salah kelola tanpa arah dan mengatur negara ugal-ugalan. Akibat Pemimpin negara yang minim kapasitas, kemampuan dan kering kerontang dari sikap dan watak negarawan. Sebaiknya saat ini Presiden dalam sisa waktu yang akan berakhir tidak usah pidato berbau politik lagi. Bekerjalah dalam sisa waktu pengabdiannya untuk sekuat tenaga menjalankan tugas negara untuk kesejahteraan rakyat. Benahi yang bisa dibenahi dan perbaikan yang mungkin diperbaiki. Situasi sudah berubah, rakyat makin peka, jangan melakukan hal-hal lucu- lucu, apalagi tampil berpidato dagelan yang sudah tidak diperlukan. Ikhtiar mengakhiri masa jabatannya dengan baik, karena resiko hukum yang akan menerjangnya sangat berat. (*)
Amandemen UUD 1945: Perang Asimetris Meniadakan Bangsa Indonesia dan NKRI
Lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa orang-orang bangsa Indonesia asli telah dimusnahkan “genosida” dan NKRI punah tinggal nama, tanpa perlu letusan peluru dan tidak disebut genosida maupun aneksasi. Oleh: Syarifuddin Simbolon, Advokat/Penasihat Hukum MENURUT para ahli antara lain: Plato; “Negara adalah suatu organisasi kekuasaan manusia dan merupakan sarana untuk tercapainya tujuan bersama”. Prof. Mr. Kranenburg; “Negara adalah suatu organisasi yang diciptakan oleh sekelompok manusia/orang disebut bangsa”. G. Priggodigdo, SH; “Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi unsur-unsur tertentu yakni harus memiliki pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup teratur sehingga merupakan suatu bangsa”. Prof. Mr. Soenarko; “Negara adalah organisasi masyarakat di wilayah tertentu dengan kekuasaan yang berlaku sepenuhnya sebagai kedaulatan”. Soekarno; “Negara adalah organisasi. Organisasi yang sangat besar”. Sebagaimana layaknya organisasi modern, harus dibuktikan adanya suatu anggaran dasar atau akte pendirian. Dalam pergaulan hidup modern, selain manusia diakui adanya organisasi atau perkumpulan sebagai subjek hukum (orang dalam hukum yakni pembawa hak dan kewajiban). Dalam ilmu hukum, subjek hukum yang bukan manusia itu disebut Badan Hukum (Belanda: Rechts persoon). Sedangkan manusia sebagai Subjek Hukum disebut orang alami (Belanda: Natuurlijkepersoon). Oleh karena itu tanpa anggaran dasar atau akte pendirian atau statuta sulit diterima atau diakui adanya organisasi atau perkumpulan subagai Subjek Hukum jika tidak boleh menyebutnya tidak mungkin. Itulah antara lain perbedaan manusia dengan organisasi atau perkumpulan sebagai Subjek Hukum. Keberadaan organisasi/perkumpulan sebagai subjek Hukum mutlak diperlukan adanya surat yakni anggaran dasar atau akte pendirian atau statuta. Anggaran Dasar atau Akte Pendirian suatu organisasi dapat juga berfungsi sebagai akte kelahiran bagi organisasi. Oleh karena itu UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 dapat juga berfungsi sebagai Akte Kelahiran berdirinya NKRI. Sedangkan keberadaan manusia sebagai subjek Hukum cukup dibuktikan dengan lahirnya manusia tersebut secara fisik. Akte kelahiran baru terbit atau diterbitkan setelah manusia itu lahir. Bahkan sebelum lahir (masih dalam kandungan ibunya) manusia sudah dianggap sebagai subjek Hukum, sudah ada haknya. Keberadaan manusia tidak tergantung pada adanya akte kelahiran. Sebagaimana layaknya anggaran dasar, suatu organisasi terdiri dari ketentuan-ketentuan dasar. Oleh karena itu Anggaran Dasar disebut juga Hukum Tertinggi atau Sumber Hukum. Demikianlah antara lain kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 yang kemudian terkenal dan sering ditulis degan singkatan UUD 1945 adalah merupakan ‘Wujud NKRI’. Tanpa UUD 1945 tidak akan ada NKRI, juga tidak akan ada manusia yang dapat melihat bagaimana rupa dan bentuk maupun susunan Negara Indonesia itu. Mari perhatikan rumusan Alinea ke 4 UUD 1945: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sesuai dengan rumusan Alinea ke-4 UUD 1945, maka UUD 1945 adalah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Sedangkan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu diperjuangkan dan dinyatakan oleh Bangsa Indonesia dan diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh dan Atas Nama Bangsa Indonesia. Mari kita cermati teks Proklamasi: Proklamasi Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta hari 17 bulan 8 tahun 05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta. Dengan demikian, menurut hukumnya, mengganti UUD 1945 sama dengan mengganti NKRI yang didirikan pada 18 Agustus 1945 (Pengesahan UUD 1945 oleh PPKI) sekaligus merampas kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 (Proklamasi 17-8-05). Bahkan, UUD hasil amandemen itu tidak hanya sekedar mengganti Negara Indonesia dan merampas kemerdekaan kebangsaan Indonesia, namun juga telah meniadakan atau menghapuskan ‘Orang Bangsa Indonesia Asli’ atau Pribumi atau Bumiputra Indonesia (Pasal 6 ayat 1 UUD 1945). Peniadaan atau penghapusan orang Indonesia asli itu berpotensi sebagai ‘Genosida’. Mari perhatikan rumusan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Rumusan ayat ini telah diamandemen menjadi: “Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Narasi perubahan ayat ini sekilas sederhana, tanpa makna atau biasa-biasa saja. Tetapi sesungguhnya, kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, dan patut diduga tendensius. Perlu dipahami bahwa ‘bangsa’ tidak sama dengan ‘warga negara’. Seorang bangsa Amerika, Belanda atau China dapat menjadi warga Negara Indonesia, akan tetapi tidak menjadi bangsa Indonesia. Seorang bangsa Indonesia dapat juga menjadi warga Negara Amerika, Belanda, China, Jepang atau lain-lain negara. Kewarganegaraan dapat berubah atau berganti-ganti sedangkan kebangsaan tidak. Substansi kebangsaan seseorang merupakan garis keturunan (silsilah, nasab) secara biologis atau genetika sedangkan kewarganegaraan merupakan proses administrasi. Kebangsaan itu merupakan hubungan seseorang dengan bangsa, sedangkan kewarganegaraan merupakan hubungan seseorang dengan negara/organisasi. Bangsa dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam ilmu Hukum bangsa itu tergolong subjek Hukum alami (Naturlijkepersoon) sedangkan Negara tergolong subjek Hukum badan Hukum (Rechts person). Selain menghapuskan atau meniadakan atau memusnahkan orang Indonesia Asli yang berpotensi sebagai genosida, amandemen Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 juga mengakomodir kewarganegaraan ganda orang Tionghoa/China. Amandemen Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 secara juridis menunjukkan bahwa Amandemn UUD 1945 merupakan kepentingan Tiongkok atau China. Perlu diketahui bahwa; “Semua warga negara Indonesia keturunan Tionghoa juga dianggap sebagai warga negara RRC. Status kewarganegaraan ganda orang Tionghoa sudah ada, jauh sebelum Republik Indonesia lahir”. “Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan RRC, tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk bisa menanggalkan kewarganegaraan China kecuali meminta izin dari Menteri Dalam Negeri China, tetapi Kementerian hanya akan memberikan izin kalau calon telah memenuhi kewajiban terhadap Angkatan Bersenjata China”. (Dr. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, terjemahan bahasa Indonesia oleh PT Grafiti Pers, Juni 1984, halaman 121). Sesuai dengan prinsip kewarganegaraan RRC tersebut maka setiap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa juga merupakan warga Negara RRC. Status kewarganegaraan RRC itu bukan karena kehendak WNI keturunan Tionghoa/China menerima kewarganegaraan China akan tetapi oleh karena prinsip kewarganegaraan yang dianut oleh RRC. Sehingga, dengan demikian semua warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa mempunyai kewarganegaraan ganda yakni kewarganegaraan RRC bukan karena kehendaknya menerima kewarganegaraan RRC tersebut. Beberapa Pasal dalam UUD hasil amandemen yang meniadakan NKRI antara lain: Pasal 28 D 4): “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Juga Pasal 28 E 1): ’Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Kedua Pasal tersebut sesungguhnya sudah menghapuskan Negara Indonesia (NKRI) yang berdaulat. Tidak ada lagi kedaulatan Negara untuk mengatur dan menentukan atau membatasi siapa yang menjadi warga Negara Indonesia. Negara Indonesia sudah tidak ada lagi karena setiap orang berhak menjadi WNI atau mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia, memilih tempat tinggal di Indonesia, pergi meninggalkan dan kembali. Di mana lagi letak kedaulatan negara Indonesia jikalau setiap orang seperti orang Aborigin, Amerika, Belanda, China, Denmark, Jepang dll berhak mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Berhak bertempat tinggal di Indonesia, berhak pergi meninggalkan serta berhak kembali. Setiap orang menjadi bebas sesuka hatinya masuk, keluar dan kembali ke Indonesia. Karena hak adalah kekuasaan atau ijin yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Hak itu disebut juga wewenang (legalized power). Ketentuan Pasal 28 D dalam UUD hasil amandemen tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUD 1945 menentukan: “Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara”. Ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menentukan dan membatasi siapa Warga Negara Indonesia, bukan setiap orang, melainkan orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara. Prinsip-prinsip Hukum yang terkadung dalam UUD 1945 seperti Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 26 ayat 1 telah diperkuat atau diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Pribumi. Pasal 1: Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk menikmati sepenuhnya, sebagai suatu kelompok ataupun sebagai individu, atas segala hak azasi manusia dan kebebasan mendasar seperti yang tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia Internasional, dan Hukum Hak Azasi Manusia Internasional. Pasal 6: Setiap individu pribumi mempunyai hak atas kewarganegaraan. Pasal 27: Negara harus menciptakan dan menerapkan sebuah proses yang adil, independent, imparsial, terbuka dan transparan, sehubungan dengan masyarakat pribumi yang bersangkutan, memberikan hak atas hukum, tradisi, adat-istiadat dan system kepemilikan tanah untuk mengakui dan memutuskan hak dari masyarakat pribumi mengenai tanah, wilayah dan sumber daya mereka, termasuk yang secara tradisi dimiliki atau digunakan. Masyarakat pribumi harus mendapatkan hak untuk berpartisipasi dalam proses ini. Apabila hukum tertinggi yakni UUD Negara Indonesia sudah menentukan sesuatu seperti status kewarganegaraan itu adalah ‘Hak’ maka tidak dibenarkan adanya Undang-Undang atau ketentuan hukum di bawah UUD itu yang meniadakan atau membatasi atau menunda atau menghambat ‘Hak’ itu melainkan harus menghormati dan wajib memenuhi hak atau memberikan hak itu. Jika demikian, secara juridis, Bangsa Indonesia dan NKRI itu sudah dihapus, ditiadakan, bubar atau punah, kecuali tinggal nama. Lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa orang-orang bangsa Indonesia asli telah dimusnahkan “genosida” dan NKRI punah tinggal nama, tanpa perlu letusan peluru dan tidak disebut genosida maupun aneksasi. Demikianlah perang asimetris memusnahkan Bangsa Indonesia dan NKRI, melalui amandemen UUD 1945. Oleh karena itu, ‘Demi Hukum’ dan ‘Keadilan’, eksistensi dan keselamatan Bangsa Indonesia dan NKRI mari segera kita Kembali Ke UUD 1945. Barangsiapa yang cinta dan setia serta peduli pada Bangsa Indonesia dan NKRI berjuanglah dengan tindakan nyata agar UUD 1945, tanggal 18 Agustus 1945 jo. 5 Juli 1959 itu segera berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Air Indonesia. Insya Allah. Aamiin. Merdeka! (*)
Menjaga Nyala Api Reformasi
Pemakzulan Presiden melalui jalur konstitusi memang dimungkinkan. Pun demikian dengan pemakzulan di luar jalur ekstra konstitusi. Bahwa sejarah pergantian pemimpin negeri ini menunjukkan kemungkinan itu ada. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI SATU setengah periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo menghasilkan banyak persoalan pelik. Korupsi merajalela, ekonomi ambruk, hukum tebang pilih, rakyat terbelah, oligarki menguat, kemiskinan bertambah, hutang melampaui nalar. Reformasi menemui anti klimaks menyusul ambruknya demokrasi. Sementara itu sejumlah menteri hanyut dalam persiapan pemilihan presiden 2024. Rakyat semakin terabaikan. Situasi ini membuat mahasiswa tidak memiliki opsi lain selain kembali memekikkan aspirasi rakyat di jalan-jalan kota atau dari toa mobil komando. Sekali lagi, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat tergerak untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Narasi besar ini diusung dalam aksi-aksi yang diadakan beberapa hari terakhir, buah Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia yang digagas di Cibubur. Bersama buruh, petani, nelayan, akademisi, dan aktivis 98, mahasiswa menggelar demo pada 19 dan 20 Mei 2022. Sebanyak 17 tuntutan rakyat disuarakan. Beberapa di antaranya menyoroti maraknya praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme di jajaran pemerintahan Presiden Jokowi, mahalnya harga kebutuhan pokok, pembatalan Undang-Undang (UU) Omnibus Law, UU Ibukota Negara Baru, Presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan melalui penundaan Pemilu, dan lain-lain. Suara mahasiswa tepat mewakili kegelisahan masyarakat. Maka tak heran bila tuntutan intelektual muda ini beririsan dengan pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Terhadap isu yang sama, khususnya terkait presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan, atau penundaan Pemilu, DPD juga menolak. Penolakan ini saya bacakan pada Sidang Paripurna DPD RI 18 Mei 2022, dalam kapasitas sebagai anggota DPD dari Sulsel, sekaligus sebagai Ketua Kelompok DPD di MPR RI. Aksi nasional 19-20 Mei juga mengangkat isu kesejahteraan guru Honorer. Para peserta aksi menuntut agar ribuan guru honorer diberikan haknya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka juga meminta agar rekrutmen guru dan pegawai honorer dilakukan secara transparan dan tidak berbau KKN. Isu ini pun senada dengan keinginan DPD RI. Jauh sebelumnya, DPD telah mengirimkan 10 rekomendasi Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (Pansus GTKH) yang saya pimpin. Salah satunya adalah mengangkat guru honorer berusia 40 tahun ke atas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa melalui tes. Namun, hingga saat ini presiden belum merespon hasil kerja maraton selama 6 bulan Pansus GTKH tersebut. Untungnya, mahasiswa dan elemen rakyat kembali mengangkat isu ini setelah tertimbun begitu banyak tumpukan persoalan bangsa. Itu menandakan bahwa fokus gerakan mahasiswa tepat mewakili problem rakyat. Maka mereka harus didukung dan diberi ruang, agar demokrasi tetap tegak. Kita semua wajib menjaga nyala api reformasi. Sayangnya, gerakan moral mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat sepi pemberitaan. Mungkin situasi ini tak lepas dari kepentingan politik pemilik media yang sebagian adalah pelaku politik juga. Atau mungkin ada tangan-tangan kekuasaan bermain di sana. Entahlah. Yang jelas, berita yang disajikan tampaknya gagal mengangkat esensi tuntutan mahasiswa dan elemen rakyat. Padahal, justru inilah yang penting, supaya menjadi cermin bagi pemerintah untuk berbenah. Yang ramai disorot justru aksi-aksi rusuh yang terjadi. Kita tahu, musabab rusuh dapat terjadi karena banyak faktor. Ruang sunyi pemberitaan itu bukan pertanda mahasiswa jalan sendirian. Sejumlah guru besar dari berbagai universitas, dosen, tokoh masyarakat dan purnawirawan TNI mendukung gerakan moral mereka. Elemen buruh dan emak-emak tidak ketinggalan. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menggelar aksi di depan Gedung DPR, 19 mei 2022. Tuntutannya tidak tanggung-tanggung. Mereka mendesak Presiden Jokowi mundur dari jabatannya karena dinilai gagal mengelola negara. Tuntutan ini lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap berbagai persoalan rakyat yang gagal diselesaikan. Tuntutan Jokowi mundur bahkan menggema di kota asal Jokowi, Solo, Jawa tengah. Tuntutan ini disampaikan Aliansi Pemuda Indonesia saat melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Gladag. Jokowi dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan bangsa. Pemakzulan Presiden melalui jalur konstitusi memang dimungkinkan. Pun demikian dengan pemakzulan di luar jalur ekstra konstitusi. Bahwa sejarah pergantian pemimpin negeri ini menunjukkan kemungkinan itu ada. Namun kita tentu tidak menghendaki situasi chaos. Sebagaimana seruan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, kita semua berkewajiban menjaga konstitusi, menjaga Pemerintahan Jokowi sampai 2024. Namun, yang paling bisa menjaga semuanya adalah presiden sendiri, dengan menunjukkan kualitasnya menyelesaikan persoalan bangsa dan tuntutan rakyat. Kalau tidak, jangan salahkan rakyat bila terus meneriakkan agar presiden mundur. Konon, sebelum ada tuntutan mundur dari masyarakat, Jokowi pernah berniat mundur. Bahkan sudah membuat surat pengunduran diri. Namun, Menteri koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta Jokowi membatalkan niat itu (fnn.co.id). Bagaimana Jokowi kini pasca-tuntutan mundur di beberapa daerah? Harap-harap cemas, kita tunggu saja perkembangannya. Rizal Ramly meyakini, mundurnya Jokowi adalah pilihan terbaik saat ini. Saya pribadi meyakini hal yang sama. (*)
Jokowi Mulai Berkemas, Relawan Kadrun Siap Membantu
Oleh Asyari Usman - Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik Gara-gara kesombongan Singapura, terlewatkan berita tentang Pak Jokowi dan Bu Iriana yang mulai mengemas barang-barang pribadi di Istana untuk dikirim ke Solo. Begitu kata Mas Gibran. Sudah lima hari berita ini berlalu. Sekadar mau menawarkan bantuan. In-sya Allah bisa dicarikan relawan yang siap menolong Pak Jokowi untuk pengepakan (pengemasan). Banyak yang mau membantu tanpa bayaran. Relawan-relawan yang berpengalaman internasional. Mereka pasti antusias membantu. Yang penting Istana bisa cepat kosong. Para relawan itu tak perlu juga dikasih uang makan. Karena banyak restoran di sekitar Istana yang siap menyuplai makanan termahal mereka. Jasa pengantaran ‘first class’ ke Solo juga gratis. Dengan mobil tahun tinggi semua. Kalau Pak Jokowi mau pakai pesawat kargo, juga tidak masalah. Tetap gratis. Pesawat terbarulah. Cuma ini ada batas waktunya. Yaitu, sebelum 1 Agustus 2022. Supaya proses pindahan berlangsung secepat mungkin tanpa bisikan kepada Pak Jokowi agar terus berusaha perpanjangan 2-3 tahun atau malah tiga periode, maka relawan dan kendaraan pengantaran akan dicarikan dari kalangan kadrun, semuanya. Mengapa dari kalangan kadrun? Karena kalau dari kalangan non-kadrun dikhawatirkan mereka akan mendorong Pak Jokowi untuk tidak berkemas-kemas. Sebagai masukan saja, ada baiknya Pak Jokowi melakukan pengemasan total sebelum 1 Agustus 2022. Sebab, selain tawaran-tawaran yang menarik ini, Pak Jokowi sekaligus bisa menghindarkan pengemasan yang dilakukan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang tak berpengalaman. Dikhawatirkan orang-orang yang tak berpengalaman itu masuk ke Istana tanpa izin dan tanpa tanda pengenal. Bisa-bisa bukan pengemasan yang mereka lakukan, tapi penjarahan. Ngeri, kan? Tidak baguslah, pokoknya. Tapi, tentu Pak Jokowi punya hak konstitusional untuk memilih pengemasan oleh relawan atau orang sembarangan. Sementara menunggu pilihan itu, akan dibuka pendaftaran relawan yang berkenan membantu Pak Jokowi memgemas barang pindahan dari Istana ke Solo.[]
People Power, Now!
Pandemi dijadikan alasan yang makin kuat bagi maladministrasi publik oleh rezim ini. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menjadi bagian dari deformasi ini, bukan solusinya. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SKALA deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia ini sejak Reformasi 24 tahun silam semakin besar, sehingga semakin sulit untuk direstorasi ke kondisi semula. Sistem konstitusi palsu yang berlaku saat ini terbukti lemah, dan telah dibebani sedemikian rupa seperti bangunan yang sudah melampaui kapasitas elastisnya. Opsi selanjutnya cuma satu: runtuh. Kehidupan masyarakat semakin getas sehingga rapuh. Seperti kaca, bangunan itu rentan untuk pecah berantakan. Agenda demokratisasi, desentralisasi dan pemberantasan korupsi makih jauh panggang dari api. Sebagai sebuah sistem, hampir semua perangkat legal sok-konstitusional, kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan kemampuan umpan-balik untuk melakukan self-correction. Kewarasan sistem bernegara ini sudah hilang. No more checks and balances. Hampir semua yang mengawaki sistem itu sudah membuta, menuli, dan membisu serta nggomblohi. Pendek kata state system ini sudah mbelgedhes yang meluncur menjadi failed state. Maladministrasi publik terjadi di hampir semua sektor di mana regulasi tidak berpihak pada publik, tetapi justru berpihak pada segelintir elit politisi yang mesra dengan para taipan oligarki. Kesenjangan spasial tambah melebar dan ketimpangan sosial ekonomi makin parah. Sindrom negara gagal ini merupakan konsekuensi dari krisis konstitusi. Sambil melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah dan DPR dengan mudah mengabaikan DPD dalam kerja-kerja legislasi dan pengawasan serta budgeting. Pandemi dijadikan alasan yang makin kuat bagi maladministrasi publik oleh rezim ini. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menjadi bagian dari deformasi ini, bukan solusinya. Hampir semua upaya Judicial Review UU MD3, UU IKN, dan UU Pemilu tentang Presidential Threshold ke MK kandas. MK bukan lagi lembaga the guardian of the constitution, tapi tampak rela mendegradasi diri menjadi the pirate of the constitution. Di tengah konflik kewenangan lembaga tinggi negara ini, Ketua DPD RI Ir. La Nyalla M. Mattaliti dengan lugas telah menyatakan bahwa DPD tidak mungkin mencegah langkah terobosan sah berupa people power yang dipimpin oleh mahasiswa lalu didukung emak-emak, buruh dan para purnawirawan serta masyarakat luas. Syukurlah mahasiswa mulai menyadari krisis yang sedang mengancam masa depan Republik sekaligus masa depan mereka sendiri. Sebelum semuanya terlambat, sudah tiba saatnya semua patriot warga negara ini bergerak membersamai gerakan moral tulus mahasiswa ini. It is now or never! Gunung Anyar, 21 Mei 2022. (*)
Pilpres 2024 Terancam Macet dan Lumpuh Total!
Seenaknya sendiri DPR (sangat mungkin karena tekanan kekuatan dari luar) “sim salabim diterjemahkan ada ambang batas 20 %”. Bahkan, seperti anak teka (TK) diberi permen ramai akan menambah angka PT-nya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih UNDANG-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti sebut Pasal 222 UU Pemilu Langgar Konstitusi (Rabu, 27 Apr 2022). Kalimat singkat itu benar karena pasal tersebut membuka peluang negara akan berada dalam situasi stuck atau lumpuh. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan Presidential Threshold atau Ambang Batas, akan membawa bencana karena tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang harus ada di negara ini. Ratusan juta rakyat Indonesia peserta Pemilihan Presiden bisa kehilangan hak pilih. Negara pun bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck, macet dan lumpuh total. Bukan hanya rakyat Indonesia akan kehilangan hak untuk memilih, tetapi bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan. Hal itu bisa terjadi apabila gabungan partai politik yang mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,01 persen atau 75,01 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Mengapa bisa stuck atau lumpuh? Karena UU Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap di tengah jalan atau di tengah tahapan. Dimana tahapan dilanjutkan dengan satu pasang melawan kotak kosong. Kalau hanya ada satu pasang calon akibat adanya (“ambang batas”) maka tidak ada lagi pasangan yang bisa didaftarkan, dalam kondisi seperti ini kekacauan negara akan muncul. Dengan kata lain, Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga bisa berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut. Partai politik dan perwakilan di DPR kesurupaj dalam dunia pragmatis hanya memburu finansial dengan watak henonismenya, sudah tidak lagi peduli atas segala kemungkinan yang akan terjadi, antara lain akan terjadinya kemacetan pada mendaftarkan calon Presiden. Karena calon tunggal tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon tersebut berhalangan tetap di tengah jalan. Para bandit negara dan Oligarki memang cerdas hitung menghitung politik, kalau itu terjadi maka otomatis akan ada penundaan pemilu, sebagai alternatif kalau penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan yang diperjuangkan saat ini gagal. Keadaan tersebut berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan tata negara bangsa ini. Dan dapat mengancam tujuan serta cita-cita nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Persoalan ambang batas (presidential threshold) pencalonan presiden yang berlaku di Indonesia sejatinya menyimpang dari prinsip presidensialisme. Sistem presidensial yang sebenarnya tidak mengenal sama sekali hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden. Tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif. Presidential threshold yang berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR menyimpang dari prinsip presidensialisme. Jadi, tidak salah ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) mengatakan anggota DPR seperti anak anak TK. Di Amerika Serikat (AS), syarat untuk menjadi capres di sana sederhana, yakni cukup berkewarganegaraan AS tinggal tetap di AS minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal. Apa Indonesia merasa lebih hebat dalam wawasan dan pengalaman tentang praktik demokrasinya. Tak ada syarat lain, misalnya harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di kongres atau DPR seperti di Indonesia. Ambang batas itu adalah aturan dalam undang-undang yang merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi. Seenaknya sendiri DPR (sangat mungkin karena tekanan kekuatan dari luar) “sim salabim diterjemahkan ada ambang batas 20 %”. Bahkan, seperti anak teka (TK) diberi permen ramai akan menambah angka PT-nya. Berdasarkan catatan yang kita ketahui bahwa sepanjang 2017-2022 diketahui berkali-kali gugatan atas Pasal 222 yang mengatur ambang batas capres ke MK. Namun, tak ada satupun gugatan yang dikabulkan. MK canggih dan kuat betul pertahanannya. Mungkin sudah layak harus menerima kehormatan bintang Maha Putra atau maha lainnya, sebagai pahlawan kusuma bangsa. Ada sinar pencerahan kecil tetapi tak berdaya seperti apa yang dikatakan Saldi Isra dan Suhartoyo, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan presiden, jelas memaksakan sebagian logika sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Penolakan MK atas Judicial Review atas pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang semua mental, rakyat sudah mengetahui ketika penguasa dan dugaan atas kuasa penguasa yang lebih besar sudah berubah menjadi hukum. Jangan harap dan jangan pernah mengharapkan ada keadilan. Bencana Pilpres 2024 akan lumpuh dan macet total adalah opsi hukum konstitusi yang tidak boleh diremehkan. (*)
Sinyal Jokowi Turun?
Konon, sebelum ada tuntutan mundur dari masyarakat, sebenanya Jokowi pernah berniat mundur. Bahkan, sudah membuat surat pengunduran diri. Namun, Luhut minta untuk batalkan niat tersebut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN SECARA mengejutkan, tiba-tiba putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang juga Walikota Solo membenarkan bahwa ayah dan ibunya sudah mulai mengemasi isi kediaman Istana Negara dan mengirim menggunakan kurir ke Sumber Banjarsari, Kota Solo. Apakah pengiriman barang miliknya itu adalah sinyal Jokowi segera turun dari jabatan Presiden RI seperti halnya Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dipaksa lengser karena demo besar-besaran? Gibran hanya menjawab, pengiriman barang ke kampung halaman Jokowi tersebut adalah hal yang wajar. Sebab, ayahnya akan habis masa jabatannya sebagai Presiden RI, meski sebenarnya masih 2,5 tahun lagi. Sikon politik yang masih tidak pasti sekarang inilah yang membuat Jokowi segera boyongan. “Kalau boyongan, sebenarnya sudah dilakukan sejak awal 2022 lalu menyusul banyaknya demo di mana-mana,” ujar sebuah sumber yang dekat dengan Istana. Karena ketidakpastian kondisi politik saat ini, sehingga kalau harus keluar Istana, maka Jokowi dapat keluar dengan cepat dan barang-barang pribadi miliknya aman. “Jangan sampai seperti saat Gus Dur dulu. Banyak barang pribadi beliau yang hilang,” lanjutnya. Kabar lain menyebutkan, sejak maraknya demo-demo yang menuntut agar Jokowi mundur, Ibu Negara Iriana, merasa ketakutan. Sehingga, dia sering pulang kampung dan menenangkan diri di Solo. Tampaknya Ibu Iriana nyaman dan merasa aman tinggal di Solo ketimbang di Jakarta, meski komponen rakyat Solo Raya melakukan demo untuk meminta Jokowi segera turun dari jabatannya. Dalam mimbar bebas rakyat Solo Raya meminta Jokowi segera turun karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu salah mengelola bangsa, sehingga rakyat semakin sengsara (bantuan tunai itu bukan penyelesaian masalah). “Aset bangsa tergadaikan, kekayaan alam dikuasai segelintir manusia, hukum tebang pilih, perusahaan negara terpuruk untuk menghasilkan pendapatan bangsa, harga diri bangsa jatuh dititik terendah,” kata mereka. Juga, “Himpitan ekonomi masyarakat semakin mencekik leher, merajalelanya penista agama, keharmonisan antar agama tercabik-cabik, adu domba antar agama, masyarakat dan ormas,” lanjut mereka dalam rilisnya. Menurut aktivis Solo, Ahmad Daroji, mimbar bebas yang diadakan Jum’at (20/5/2022) meminta Presiden Jokowi segera turun dari jabatan. “Jokowi tidak bisa menyelesaikan persoalan bangsa lebih baik,” jelasnya. Desakan supaya Jokowi mundur dari jabatannya sebagai Presiden memang sudah menggema di seantero Nusantara. Rencana reshuffle kabinet akhirnya dibatalkan setelah beberapa diantara yang dicalonkan tak ada yang bersedia mengisi jabatan menteri. Sebelumnya memang ada rencana untuk reshuffle beberapa menteri, namun karena tidak ada yang bersedia maka rencana itu dibatalkan. Apalagi, rumor yang beredar di sekitar Istana, Jokowi diberi waktu hingga Juli 2022 supaya mundur dari jabatannya. Jika benar rumor yang beredar di sekitar Istana itu, maka boyongan barang milik Jokowi menjadi salah satu indikasi, bahwa Jokowi memang benar-benar akan meninggalkan Istana Negara. Apalagi, jauh sebelumnya juga beredar kabar, didapat dari putrinya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, segera memilih pensiun dan meletakkan seluruh jabatannya lalu tinggal di luar negeri beredar masif di media sosial. Info tersebut tentu saja tidak bisa serta merta bisa dipercaya, kecuali keluar dari mulut Luhut sendiri. Jika benar demikian, ini juga sebagai sinyal bahwa Luhut sudah tidak bersedia lagi sebagai “Presiden Bayangan”. Apalagi, posisi Luhut yang menjadi common enemy rakyat, khususnya umat Islam tidak bisa dinafikan dari stigma pejabat negara dengan kekuasaannya melebihi peran Presiden Jokowi sendiri. Sebagai “Komandan” Oligarki, jika benar Luhut akan menanggalkan semua jabatannya, berarti Jokowi sudah benar-benar sudah ditinggalkan Oligarki yang selama ini, konon, yang menyokong dirinya. Karena merasa bakal ditinggalkan Oligarki – lewat Luhut – itulah bisa jadi, akhirnya Jokowi memang harus meninggalkan Istana juga. Sebab, penopang utama utamanya sudah tidak sanggup lagi menyokong Jokowi. Sementara itu, sebagai “Petugas Partai” dari PDIP, sejauh ini tampaknya PDIP juga mulai menjauhi dan meninggalkan Jokowi. Sehingga, Jokowi sekarang ini merasa “sendirian” jadinya. Tidak ada lagi kawan lamanya. Apalagi, beberapa menterinya lebih sibuk kampanya untuk maju Pilpres 2024. Meski sudah “ditegur” Presiden Jokowi, toh mereka masih tetap memasarkan dirinya sebagai Capres yang layak untuk menggantikan Jokowi. Desakan untuk mundur kepada Jokowi memang cukup kuat. Jokowi dianggap gagal menunaikan amanah sebagai Presiden untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Bahkan, dia dinilai justru sebagai sumber dari masalah itu sendiri. Pembelahan masyarakat bernuansa SARA terkesan dibiarkan begitu saja oleh Presiden Jokowi. Dia hanya mengejar investasi asing, terutama asal China dan membuka pintu lebar-lebar untuk TKA China hingga jumlahnya jutaan. Praktis, sebagian lahan kerja pada akhirnya juga dikuasai TKA China sebagai konsekuensi dari investasi yang ditanamkan China di Indonesia. China telah mengekspor warganya untuk cari makan dan hidup di Indonesia. Mantan Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan Kepala BIN Sutiyoso ketika memberikan sambutan dalam silaturahmi Tokoh dan Ulama DKI di Jakarta Islamic Center (JIC) mengingatkan adanya ancaman TKA China itu. “Mari kita jaga persatuan dan kesatuan kita, karena kita ini mayoritas, jangan sampai suatu saat kita ini tersisih,” kata Sutioso, Rabu (18/5/2022). Bang Yos merasa miris dengan banyaknya TKA yang datang ke Indonesia. “Saya miris kok banyak sekali pekerja asing datang, kalau dia investor bawa duit ya silakan, kalau tenaga ahli silakan, tenaga ahli itu dua atau tiga, bukan ribuan,” jelasnya. Purnawirawan Letnan Jenderal TNI itu menilai bahwa ribuan pekerja asing itu tidak akan pulang ke negeri asalnya. “Jadi kita harus waspada, saya jamin orang itu gak akan pulang ke negaranya,” kata Bang Yos. Menurutnya, banyak di negara di dunia sudah kemasukan etnis Tionghoa. “Alhamdulillah saya sudah kunjungi 50 negara lebih, tidak ada negara yang bebas dari etnis Tionghoa, semua ada,” ungkapnya. “Yang paling dekat adalah Singapura, perdana menteri pertama orang Melayu, sekarang sudah tidak ada lagi. Lihatlah Malaysia sudah beberapa departemen dipimpin etnis ini,” tambah Bang Yos. Deportasi terhadap Ustadz Abdul Somad (UAS) telah memberi bukti Singapura itu masih Islamphobia. Sikap pemerintah Indonesia atas perlakuan pada salah satu warganya ini malah terkesan sebagai “jubir” Singapura. Jelas, itu menunjukkan tidak ada wibawa lagi pada pemerintahan Indonesia. Dari kondisi di luar negeri tersebut, seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Belum lagi, kewajiban bayar hutang yang sudah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Sebenarnya, banyaknya hutang ini juga menjadi beban pikiran Jokowi. Apalagi harus memulihkan ekonomi yang sudah carut-marut. Makanya, sebelumnya ada kabar, Jokowi pernah ingin mundur. Karena tidak sanggup untuk mengembalikan kondisi ekonomi sebelum menjabat Presiden. Jika dia harus melanjutkan hingga 2024, jelas tidak akan sanggup lagi. Konon, sebelum ada tuntutan mundur dari masyarakat, sebenarnya Jokowi pernah berniat mundur. Bahkan, sudah membuat surat pengunduran diri. Namun, Luhut minta untuk batalkan niat tersebut. Jadi, boyongan barang-barang miliknya dari Istana itu menjadi indikasi jika Jokowi benar-benar akan “turun” sebelum 2024. (*)