Melihat Indonesia Lewat Citayam
Oleh Ady Amar | Kolumnis
CITAYAM tiba-tiba menyeruak ke ruang publik. Dibicarakan terus-menerus saban hari. Citayam hadir dibicarakan tanpa perlu rekayasa segala. Citayam seperti mendapat panggung untuk mengekspresikan kesuntukan sosial, khususnya di kalangan anak-anak muda.
Citayam menjadi fenomena tersendiri. Bisa dilihat dengan memicingkan mata, pula bisa dilihat dengan mata terbelalak sekalipun. Citayam bahkan bisa dibicarakan dengan nyinyir, pula dibicarakan dengan decak kagum sebuah ekspresi keriangan anak-anak muda.
Maka, Citayam bisa dilihat dan dibicarakan dari sudut manapun--poleksosbud--sebuah negeri dengan setumpuk persoalan: melihat Indonesia dari Citayam, bukan melihat Citayam dari Indonesia, itu _ga_ asyik, itu hal biasa.
Citayam nyaris sebelumnya tidak dikenal. Seperti Indonesia di belahan dunia lain, juga nyaris tidak dikenal ketimbang Bali. Sehingga orang di sana bertanya, Indonesia itu apa dekat dengan Bali. Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati-hati agar Indonesia tidak merasa tersinggung dan makin asing.
Citayam masuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Masuk Kabupaten Bogor. Orang menyebut pinggiran Jakarta. Meski bukan penduduk Jakarta. Jelas Citayam itu ada di Indonesia. Tidak salah juga jika mau menyebut, bahwa Indonesia itu bagian dari Citayam.
Ya Indonesia bagian dari Citayam. Setidaknya jika dilihat dengan munculnya fenomena anak-anak mudanya menyerbu Jakarta dengan dandan pakaian yang dikenakan. Tidak ada yang istimewa dari pakaian yang dikenakan. Biasa-biasa saja kalau tidak mau disebut sederhana. Pakaian seada-adanya layaknya anak-anak Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tahun '80-an. Mengingatkan style "Ali Topan Anak Jalanan". Tampilan anak-anak muda Citayam itu keren penuh percaya diri mampu memaksa Jakarta dan Indonesia meliriknya.
Memaksa Jakarta dan Indonesia melihatnya sebagai fenomena sosial yang menyembul yang ditangkap dan diramaikan media, khususnya media sosial. Seolah mengistirahatkan nalar untuk tidak bicara hal-hal berbau politik yang melelahkan, yang ujung permainannya mudah ditebak ke mana arahnya.
Citayam sama sekali tak dinyana jadi kehebohan tersendiri. Citayam seolah menemukan panggungnya di SCBD. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang "memberi" panggung, yang sebenarnya tak direncanakan. Tapi anak-anak muda Citayam menangkapnya sebagai panggung ekspresi diri. Anies menghadirkan itu lebih sebagai ruang ketiga bagi penduduk Jakarta.
Mula-mula hanya belasan anak mudanya dengan dandanan memaksa anak-anak kota Jakarta menerimanya. Ada yang pakai celana satu pendek dan satunya agak panjang. Baju dibiarkan kancing terbuka dari atas ke bawah. Dengan kaos seadanya nyembul. Ada yang memakai topi yang ujungnya dimiringkan ke posisi telinga kanan atau kiri.
Jadilah SCBD jadi pertemuan anak-anak muda seputaran Jakarta. Maka, inisial SCBD (Sudirman Central Busines District) pun dipelesetkan jadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok. Awalnya diraimakan anak-anak muda Citayam dan lalu diikuti anak-anak muda daerah lain di sekitarnya. Tampil bergaya yang tadinya asing buatnya, dan cuma bisa dilihat di televisi tanpa bisa mengespresikan diri.
Bukan Panggung Politik
Melihat Indonesia dari atau melalui Citayam, itu bahasa getir yang dirasa anak-anak muda, bukan saja di Citayam, tapi di seluruh pelosok negeri. Minimnya, bahkan tiadanya sarana mengekpresikan diri bagi anak-anak muda. Jika pun ada, itu cuma untuk kalangan tertentu yang berpunya, yang bisa menikmati.
Citayam menjadi sesuatu yang punya nilai lebih jika fenomena itu ditarik pada persoalan sosial, bukan politik. Cuma politisi jahat yang mempolitisasi fenomena yang muncul. Seolah fenomena itu karena Anies Baswedan fasilitatornya. Maka ditimpuklah dan diseret pada masalah politik. Itu tidak fair.
Anies tampak memanjakan anak-anak muda dalam memberi ruang berekspresi. Anies melihat itu, yang disebutnya sebagai ruang ketiga--ruang pertama rumah ringgal, ruang kedua sekolah. Hadirnya anak-anak muda dari Citayam dan sekitarnya, itu fenomena sosial yang mesti disikapi dengan bijak, dan itu dengan hati. Bukan dengan pelarangan tanpa bisa memberikan alternatif pilihan. Maka peragaan busana, yang dikenal dengan Citayam Fashion Week (CFW), yang diadakan di zebra cross, tepatnya di Jalan Tanjung Karang atau di jalan menuju Stasiun BNI City dan Terowongan Kendal di Dukuh Atas, itu disikapi dengan beragam.
Tentu ini bukan panggung politik Anies Baswedan, karena taruhannya tidak kecil. Bahkan bisa jadi sasaran tembak mereka, yang cuma bisa cuci tangan atas fenomena sosial--ketimpangan sosial yang jika tidak pelan-pelan diurai akan meledak jadi aksi sosial--yang ada.
Anies justru berani mengambil jalan licin yang penuh pertaruhan, itu demi melihat Indonesia yang lebih baik. Melihat anak-anak muda Citayam dan sekitarnya sebagai persoalan anak-anak muda negeri yang perlu difasilitasi. Memang bukan tanggung jawab utamanya selaku Gubernur DKI Jakarta mengurus warga di luar wilayahnya. Tapi sebagaimana selalu diucapkannya, semua boleh bekerja di Jakarta. Dalam konteks luas, semua boleh gunakan fasilitas yang dibuat Pemprov DKI seluas-luasnya, tidak cuma untuk warga Jakarta saja.
Tentu perlu diatur dengan piranti kebijakan yang ada. Dan itu, agar "panggung" yang dihadirkan tidak bersinggungan dengan peraturan lainnya.
CFW di SCBD itu awal yang baik, meski banyak kekurangan di sana-sini, dalam menghadirkan anak-anak muda mengekspresikan diri. Mestinya kementerian terkait--Menparekraf Sandiaga Uno--menangkapnya sebagai peluang untuk mendayagunakan potensi pariwisata dan ekonomi kreatif. Dan itu dahsyat. Juga Kemensos Ibu Tri Rismaharini, belum tampak hadir di sana melihat itu sebagai fenomena sosial, yang sebenarnya itu tupoksinya.
Dalam hitungan bulan CFW dibicarakan semarak, tidak saja dalam negeri. Dibicarakan juga oleh media fesyen Jepang, Tokyo Fashion. Tulisnya, CFW itu mirip dengan kemunculan Harajuku Fashion Street, di Jepang. Harajuku adalah sebuah distrik yang berada di Shibuga, kota Tokyo. Distrik ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda yang bergaya out of the box sejak tahun 1990-an.
"Thread keren tentang ribuan anak muda Indonesia yang berdandan dan membuat jalan-jalan di Jakarta Pusat menjadi hidup sebagai fashion catwalk, seperti Harajuku di Jepang," tulis Tokyo Fashion di akun Twitternya.
Anies Baswedan, meski tidak diniatkan, seolah memilih tantangan jadi peluang. Meski itu penuh risiko. Ia sepertinya enjoy menjalaninya. Seperti tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Meski tentu aturan mesti ditegakkan: mana model pakaian yang boleh dan tidak boleh diumbar di ruang publik. Tidak lantas menghalalkan apa yang keluar dari asas kepatutan, itu dianggap bagian dari ekspresi. Anies dan timnya pastilah sudah menyiapkan pirantinya, yang terus akan dikaji dan disempurnakan.
Akankah CFW di SCBD jadi satu legacy yang ditinggalkan Anies, yang bisa dikenang panjang atau cuma tren sesaat anak-anak muda dalam mengekspresikan diri. Sepertinya waktu yang bisa menjawabnya. (*)