Aku Hanya Punya Cinta

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI 

Hidup memang tak selalu memberikan kebahagiaan pada yang memiliki keyakinan, apalagi cuma sekadar kekayaan. Sama halnya dengan perjuangan yang tak akan pernah mudah  bagi yang  ingin memulai dan melewatinya. Begitupun halnya kehidupan dunia yang tak akan pernah memberikan kemewahan bagi yang menjaga kebenaran. Terkadang tak semua orang sanggup memetik  kehormatan dan kemuliaan karena begitu  tingginya untuk diraih, terlebih sembari menampuk beban kesengsaraan, kemiskinan, penghinaan dan segala macam rasa dicampakan dalam hidupnya.

Seperti halnya dengan perseteruan yang abadi, klasik dan akan mengobarkan api peperangan sepanjang peradaban manusia. Diferensiasi antara kebenaran dan kejahatan tak akan pernah luput menghiasi perjalanan hidup manusia, baik secara personal, komunitas maupun sebagai bagian dari suatu negara bangsa sekalipun. Dalam fase tertentu, setiap orang akan berada pada persimpangan jalan untuk  memilih apa yang diyakininya atau apa yang menjadi tuntutan kebutuhan hidupnya. Tak bisa dihindari setiap yang punya hati dan jiwa akan berhadapan dengan situasi dan kondisi antara memenuhi  cita-cita dan harapannya atau hanya sekedar mengikuti realitas sosial. Bagi individu yang sehat dan normal, suatu saat akan terbentur pada tembok besar, menjadi pengikut setia kesadaran ideal spiritual atau larut terbawa arus kesadaran rasional materiil.

Selain berkecamuk pergulatan hidup yang akan menentukan sekaligus memaksanya untuk berada dalam barisan yang hak atau yang batil. Perjalanan hidup juga selalu menyediakan ruang bagi bersemayamnya rasa kasih sayang, cinta dan keadilan. Porsi penting sisi-sisi humanisme  itu menyeruak seiring sejalan pada kehidupan kesehariaan. Terkadang tampil memesona dan menggairahkan dalam panggung-panggung keharmonisan dan keselarasan. Namun sering juga terlihat begitu memilukan dan menyayat hati pada saat terseret konflik pada sesama.

Warna itu begitu eksotis menyimpan keindahan sekaligus sisi-sisi gelapnya yang menjadi bumbu-bumbu kehidupan, yang terkadang menggelayuti dinamika antar sesama, persahabatan dan keluarga serta menempel kuat terutama dalam organisasi dan interaksi sosial lainnya yang lebih luas. Kebahagiaan, kesenangan dan kenyamanan  bercampur-aduk menyatu dengan kekecewaan, frustasi dan penderitaan berkepanjangan. Boleh jadi setiap orang  pasti berhadapan dengan hitam putih dan beragam warna-warni kehidupannya.

Kehidupan memang tak sekedar mementaskan yang benar dan salah atau juga yang baik dan buruk. Ada suasana yang menonjolkan kompetisi, keunggulan, dan kebanggaan, disamping tak terbantahkan ada yang terjerembab dan dikucilkan.  Menjadi lebih menarik tatkala bagaimana melihat pilihan-pilihan hidup dan proses serta konsekuensi yang dijalaninya. Ada yang menjadi pemenang ada juga yang menjadi pecundang. Bahkan ada juga yang 'survive' mengambil posisioning di tengah-tengah,  di antara kenyataan-kenyataan 

mainstream itu. Masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan mengambil "way of life" nya berdasar selera dan tujuannya. Pada perasaan-perasaan yang merasa  superioritas itu pada akhirnya berujung dominasi dan hegemoni atas segala sesuatu. Lambat-laun mewujud dan berwajah kekuasaan yang menjadi tirani bagi berseminya semua yang ideal dalam kehidupan manusia. Distorsi dan daya rusaknya menimbulkan perasaan terpinggirkan, terbuang dan ada dalam ketiadaan. Termasuk tak ada lagi tempat bagi kemanusiaan, cinta dan kasih sayang. Hubungan sosial itu hanya dipenuhi perselingkuhan, penghianatan dan dusta yang tak berkesudahan.

Cinta Buta

Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan membagi sedikit kisah cintanya, berharap positif terutama pada semua entitas sosial. Semoga bisa menjadi kisah yang menyegarkan yang bisa menjadi pelajaran dan dapat  diambil hikmahnya bagi banyak orang.

Kisah Ini menceritakan pengalaman cinta yang menggeliat di tengah-tengah aktifitas sosial dan politik.

Empiris yang menggandeng kehidupan pribadi dan organisasi, di dalamnya ada mozaik persahabatan, keluarga dan korelasinya dengan negara. Sebuah kisah  yang 'excited' dilengkapi  haru-biru,   bagi yang mengalaminya begitu kental berkesan dan mengguncang jiwa. Ada kebahagiaan  sekaligus juga dilingkupi penderitaan dan yang mengenaskan. Perasaan disanjung dan dihargai juga dihina dan diabaikan, kuat begitu menyatu.

Penulis sejatinya berasal dari lingkungan keluarga yang terbatas, kalau tidak mau disebut dalam serba kekurangan. Meskipun berlatar dari keturunan nenek-moyang  yang cukup dihormati dan disegani, keluargaku praktis tergolong pas-pasan secara ekonomi, setidaknya kondisi itu  bisa dijumpai pada keadaan generasi orang tuaku. Meskipun demikian dengan kekurangan ekonomi Bapak-Emakku biasa aku memanggilnya, alhamdulillah hampir semua anak-anaknya dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, sejak kecil , aku dianggap anak yang paling berbeda dari yang lainnya. Berbeda karena kenakalannya yang luar biasa juga mungkin prestasinya yang tak biasa. Selain sejak kecil sering bikin ulah yang membuat Bapak-Emakku senewen, aku dianggap istimewa karena meskipun jarang belajar dirumah, aku  langganan rangking satu saat SD, dan sering masuk tiga besar sejak SMP dan SMA. Pada akhirnya aku menjadi faktor penting dan berpengaruh yang signifikan membentuk eksistensi keluarga termasuk Bapak-Emakku beserta anak-anaknya yang lain.

Ketika muda terutama  sejak SMA, aku sempat menjadi ketua OSIS dan Pemred Majalah Sekolah. Aku juga beruntung bisa berkesempatan mengenyam pendidikan nasionalisme di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) di bawah pimpinan Hj. Rachmawati Soekarno Putri. Uniknya, berbarengan dengan itu, di lingkungan rumah aku menjadi ketua karang taruna RW dan ketua remaja mushalla yang gandrung mengadakan kegiatan peringatan hari besar Islam dan pengajian dengan para ustad, kyai dan habaib yang cukup vokal menentang orde baru. Dua aktifitas kecil-kecilan  yang secara

Ideologis dianggap cenderung bertentangan,  yaitu Soekarnoisme dan Pan Islamisme, namun secara taktis dan strategis memiliki kesamaan karena menentang rezim Soeharto. Kegiatan kepemudaan yang religius itu memang penuh tantangan sekaligus menyenangkan, karena ada ghiroh melawan distorsi kekuasaan seperti dalam rezim sekarang ketika dituduh radikal, intoleran, politik identitas serta semua stempel anti Pancasila dan NKRI.

Kecintaanku pada Islam tak terbendung lagi terlebih saat memasuki bangku kuliah. Sejak awal aku langsung menjadi aktifis Masjid kampus Ar-Roofi namanya, kemudian  tidak beberapa lama bergabung di GMNI  dan Lembaga Pers Mahasiswa serta menjadi Ketua Senat Mahasiwa Perguruan Tinggi (SMPT). Jadilah mungkin saja  aku sedikit mahasiswa  di Indonesia, menjadi aktifis masjid yang berlatar GMNI, sebuah organisasi yang dianggap sekuler dan liberal yang  berseberangan dengan entitas Islam.

Dengan sukacita dan bergairah, aku menjalani masa muda dengan cap aktifis 98 sambil tetap menekuni hobi sepak bola di Liga Mahasiswa dan bermain catur. Seperti dalam istilah pergerakkan, duniaku saat itu tak luput dari buku, pesta dan cinta. Sosial dan  politik menambah daftar  kesukaan kegiatan selain olahraga, meskipun agak berbeda dimensinya, beresiko dan sedikit berbahaya.

 Itulah cinta, apalagi jika sudah menjiwai. Entah anugerah, entah hidayah atau mungkin juga sudah panggilan takdir. Atau juga itu sebuah kesalahan dan kekeliruan memilih jalan hidup, aku sendiri tidak pernah tahu sampai sekarang dan tak pernah sedikitpun menyesalinya.

Usia muda dan menyandang gelar aktifis memang plus minus, penuh kontroversi dan menimbulkan polemik terutama di kalangan keluarga sendiri dan para sahabat. Sayangnya, aku lebih memilih rasa kalau tak pantas disebut ideal,  ketimbang aspek rasional. Mengikuti kata hati dan kenyamanan hidup meski tak bergelimang harta, jabatan dan fasilitas. Faktor warisan pendidikan dari Bapakku serta tokoh-tokoh ideologis sangat berpengaruh membentuk  pikiran dan watakku yang cenderung anti kemapanan. Aku mengambil keputusan penting dalam hidup untuk tidak masuk dalam sistem atau "inner circle" kekuasaan hingga sekarang. Meskipun penawaran itu,  baik jabatan maupun pendidikan lanjutan kerapkali datang mulai dari presiden hingga seorang walikota atau bupati, aku bergeming bersetia pada komitmen dan konsisten untuk tetap berada di luar "comfort zone" terutama  pada pemerintahan maupun korporasi. Aku lebih memilih mewakafkan diri sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)  yang telah digeluti lebih dari 20 tahun dan  menjadi penulis yang masih asal-asalan dan compang-camping literasinya. Maklum saja background pendidikannya cuma teknik sipil bukan sastrawan atau budayawan apalagi  jurnalis.

Sebagai orang yang tidak punya status sosial dalam ukuran formal dan normatif. Imej dan penghargaan dari luar begitu beragam, ada yang suka dan ada yang tidak suka. Ada yang menaruh simpati dan empati, namun tak sedikit yang antipati. Meskipun demikian keadaannya, aku tak pernah pesimis dan  putus asa terutama  dalam soal rezeki dan masa depan. Betapapun sekuler dan liberalnya pemikiran, aku tetap menjungjung  jiwa religius yang haqul yakin bahwasanya jodoh, rezeki dan maut adalah ranahnya Ilahi. Termasuk kemuliaan dan kehinaan pada  manusia merupakan ketentuan Tuhan. Bersandar pada keyakinan spiritual,  bahwa tak ada ada sehelai daun pun yang jatuh dari pohonnya selain karena kehendak Allah. Betapapun manusia memainkan perannya, skenario akhir tetap digariskan Sang Pencipta.

Aku tumbuh dewasa tidak kaya juga tidak miskin namun puas  hidup seadanya.  Menempel kuat dalam dada rasa bersyukur atas nikmat Tuhan selama ini. Kadang sering memberi namun tak jarang diberi, mungkin ini makna dari kata silaturahmi yang memperpanjang umur dan menambah rezeki. Pergaulan sosial dan politik membawa aku menemukan sisi lain betapa soal-soal kerezekian itu sesuatu yang ghoib, seberapa besar  manusia berdaya-upaya meraihnya. Aku silih berganti menjejaki kaki di lapangan "grassroot" sambil sesekali berkunjung ke  lingkungan para tokoh, elit dan pemimpin. Membangun relasi sosial tanpa batas, tanpa kelas dan tanpa trah. Tentunya dengan meninggalkan kesan dan pesan serta jejak rekam yang beragam, secara subyektif dan obyektif pula. Bagaimanapun berkesempatan membangun interaksi dan jejaring sosial itu, juga merupakan harta dan aset yang tak ternilai yang ikut membantu menopang perjalanan hidup. Aku yang tergolong rakyat jelata berusaha tetap qonaah dan menjaga kebersihan hati menerima anugerah sekaligus ujianNya.

Sebagai orang yang akrab dengan keterbatasan dan sudah lama membunuh keinginan menjadi kaya, aku merasa nikmat Allah tak pernah berhenti dan putus-putusnya, terutama nikmat keimanan, kesehatan, keluarga dan memiliki habitat sosial yang menyenangkan. Aku bersyukur menjadi jembatan membantu adik-adikku menyelesaikan sarjananya dari program beasiswa atau perhatian relasiku. Aku bersyukur menjadi wasilah rahmat Allah dapat membangun rumah Emak-Bapakku meski aku beserta  istri dan anak-anakku belum memiliki rumah sendiri. Aku bersyukur menjadi penghubung keluarga Bapakku, keluarga Emakku dan keluarga istriku untuk berangkat menjalanjan  umroh meskipun aku beserta istri dan anak-anakku belum  terpilih beribadah di Mekah tempat paling mulia  mulia dan yang  menjadi pusat peradaban manusia. Aku bersyukur dalam kapasitas sebagai Pekerja Sosial Masyarakat  banyak membantu dan berbagi bersama orang-orang  penyandang masalah kesejahteraan sosial. 

Rasa syukur dan kepuasan batin karena kebesaran Allah karena  yang tepah menjadikanku  perantara untuk membahagiakan keluarga Emak-Bapakku, sahabat  dan orang lain, meski kehidupan keluargaku sendiri masih diliputi serba  kekurangan.

Sesungguhnya aku bersyukur atas apa yang menjadi pengalaman dan sekarang sedang berlangsung, sembari melakukan refleksi, intropeksi dan evaluasi untuk memperbaiki kehidupan mendatang. Pun demikian, perjalanan hidup aku dan keluarga bukan tanpa kendala dan masalah. Bahkan beberapa kali dalam beberapa fase kehidupan,  aku mengalami pasang surut dan bahkan penderitaan hidup yang menyesakkan dada. Kehilangan respek, tak mendapat penghargaan,  tak dihormati dan mendapat penghinaan juga selalu mengiringi  perjalanan hidup. Antara harapan dan keinginan tak selalu selaras dengan apa yang didapatkan. Begitulah kehidupan, ia begitu penuh dengan warna layaknya manusia dan alam,  seperti kemajemukan dan khebinnekaan rakyat Indoneia serta  pelangi yang muncul pada waktu tertentu.

Sewaktu era reformasi sebelum peristiwa 98, aku sempat mengalami intrik dan isu  bahwasanya aku sebagai aktifis pergerakan  merupakan agen BAIS dan BAKIN.  Rumor itu berkembang usai aku memukul seorang Mr. Tong Djoe taipan kenamaan asal Singapura, karena konglomerat etnis Cina itu  mendzolimi Bapakku. Karena peristiwa itu, sampai-sampai seorang Juanda tokoh intelejen yang sempat dikenal publik sebagai pembisik Gus Dur semasa presiden, berusaha keras menemuiku.

Jauh setelah bergulirnya era reformasi, aku dan keluargaku kembali diuji melawan kekuasaan saat keponakan balita perempuanku Falya Rafani Blegur usia 1, 3 tahun,  harus meregang nyawa akibat mal praktek RS. Awal Bros. Perlawanan hukum keluargaku harus kandas ketika menghadapi RS. Awal Bross yang notabene komisaris dan direksinynya adalah para jenderal pensiunan dan aktif. Keluarga menolak uang suap ratusan juta rupiah dan masalah itu menjadi viral sebelum membahananya kasus Jesica kopi sianida. Masih banyak lagi hambatan ketika aku mengambil hak sebagai warga  negara harus berhadapan dengan politisasi birokrasi dan lainnya, hingga saat ini.

Menjelang pilpres 2019, giliranku menjadi korban kriminalisasi ketika saat itu aku mengambil sikap melawan rezim dan berusaha membongkar kasus pungutan liar yang cukup besar pada Program Sistematika Tanah Langsung (PTSL)  atau program pemutihan sertifikat yang dulu dikenal masyarakat  sebagai PRONA. Bahwa program PTSL yang dikampanyekan presiden RI Jokowi dengan pembagian sertiifikat tanah gratis  tidak sepenuhnya sesuai kenyataan, ada kebohongan saat di banyak kota kabupaten, prosesnya pembuatan sertifikat ada pembiayaan berkisar antara 2-7 juta tiap sertifiikat. Bayangkan dan pikirkan saja tiap kota kabupaten membuat mengajukan sertifikat ribuan dan menghasilkan uang pungutan liar ratusan miliar tidak masuk kas negara, uang sebesar itu dan  baru dari satu kota atau kabupapten saja. Sama dengan yang lain, sebagai aktifis yang tidak pernah kehilangan ruh pergerakan, sikap kesadaran kritis  terhadap distorsi kekuasaan memang penuh resiko, membuat rezim gemar membungkam perlawanan dan melakukan kriminalisasi.

Kini menjelang pilpres 2024 selain agitasi dan propaganda yang berusaha menciptakan pembusukan dan pembunuhan karakter, aroma itu menyengat menyelimutiku.

Aku yang sudah lama mengambil sikap oposisi terhadap rezim dan kebetulan mengambil pihan politik mendukung capres tertentu.

Harus menghadapi bukan saja tuduhan dan fitnah dari sesama aktifis pergerakan, bahkan kini sudah mulai mendapat 'warning', pembatasan dan sedikit resistensi dari tim yang capresnya aku dukung sepenuh hati dan jiwa. Ketika aku sedang dalam persiapan deklarasi relawan capres, beredar info yang menyatakan  ada kecenderungan  statemen sekaligus ultimatum bersifat  represi psikologis,  jika aku muncul akan menyebabkan polarisasi dan berakibat mendegradasi capres yang didukung. Dipikir-pikir benar juga, mengingat kandidat capres yang kugadang-gadang, capres potensial untuk menang sekaligus potensial disingkirkan dalam pilpres 2024.

Betapapun semua keadaan yang demikian itu, yang membuat aku dianggap sebagai penipu dan penjahat bahkan oleh kawan-kawan seperjuangan sendiri. Kriminalisasi dari tuduhan dan vonus hukuman kejahatan dan penipuan yang tak pernah aku lakukan. Aku  tak gentar sedikitpun, aku tak mundur sedikitpun dan aku tak mau menyerah dalam langkah gerak perlawanan terhadap siapapun rezim yang bedebah. Pembusukan, pembunuhan karakter, dan kriminalisasi tak akan mampu  meredam gejolak darah juangku.

Cintaku pada kemanusiaan, cintaku pada tanah airku dan cintaku pada keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, tak akan luntur digerus usia, waktu dan jaman. Api itu tak akan pernah padam, pengabdian itu sejatinya tanpa titik akhir. Kalau Ghandi pernah berkata" My nationalism is humanity" dan diikuti Soekarno dengan ungkapan " My nationalism is also humanity".

Maka selayaknya seluruh  rakyat Indonesia juga memiliki kemanusiaan yang membebaskan negara dan bangsanya dari penindasan dan ketidakadilan. Maka aku akan menjadi skrup-skrup nasionalisme, menjadi jamaah dari masa aksi yang bersedia menumpahkan keringat dan darah untuk Ibu pertiwi tercinta dari nekolim berupa oligarki.

Sebuah cinta dari seorang  anak bangsa, cinta yang dapat membunuhku meskipun negara menjadi senjatanya. Aku memang mencintai umat Islam dan seluruh warga negara bangsa yang kini hidup begitu memprihatinkan. Tak akan pernah habis cintaku pada republik ini walaupun itu hanya cinta buta. Meskipun bertepuk sebelah tangan, wahai negaraku tercinta  yang telah dibajak oligarki dan para penghianat bangsa.  Selamanya cinta itu ada dan  tak pernah berkurang sedikitpun.  Betapapun  di negara ini yang ada dan  tersisa hanya cinta dan rakyat hanya punya mimpi tentang keadilan dan kemakmuran. Seperti impianku juga, mimpi dari seorang yang hanya punya cinta.

Munjul, 23 Juli 2022.

359

Related Post