Celotehan Bahlil
Oleh Ady Amar Kolumnis
Namanya Bahlil, bukan Bahlul. Tepatnya, Bahlil Lahadalia. Sedang Bahlul adalah tokoh sufi yang suka dengan celetukan tidak biasa, nyeleneh. Hanya asyik ekstase dengan Tuhannya.
Bahlul hadir di era Sultan Harun ar-Rasyid--sultan ke-5 dari Dinasti Abbasiyah--yang bijak. Bahlul menjadi tokoh spiritual kesayangan Sultan Harun ar-Rasyid. Sedang Bahlil hadir di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah Bahlil tokoh paling disayang Jokowi, sepertinya belum tentu.
Bahlil bukan Bahlul yang memilih menjaga jarak dengan kekuasaan. Bahlul menolak privilage istana. Memilih hidup serba kekurangan. Tidur pun tak menentu. Lebih asyik memilih tidur di pemakaman umum. Berkawan dengan jejeran nisan.
Suatu hari Sultan Harun ar-Rasyid menanyakan, mengapa ia mesti tidur di pemakaman. Sultan acap menawarkan kehidupan yang lebih layak untuknya, tapi tak diindahkan. Selalu ditolaknya. Bahlul memilih menjadi orang bebas. Karenanya, sebutan bahlul (bodoh) disematkan pada namanya, itu karena pilihan hidupnya. Bahlul tentu bukan "bodoh" dalam makna sebenarnya. Bukan "bahlul" nalar.
Jawab Bahlul, Tidur bersama para mayit itu bentuk latihan hidup sesungguhnya. Lanjutnya, agar nantinya tak merasa asing, seperti Anda yang tiba-tiba tak siap saat dikuburkan. Harun ar-Rasyid pun terperangah dan menangis mendengar jawaban Bahlul yang seperti sekenanya. Jawaban yang menyentak kesadaran.
Bahlil memang bukan Bahlul. Bahlil Lahadalia adalah Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai pembantu presiden, ia berkebalikan dengan gaya Bahlul. Bahlil pastilah punya dan memilih gaya tersendiri. Pastilah gaya yang menyenangkan Pak Bos. Bahkan Bahlil mampu menangkap perintah Pak Bos, meski tidak lewat lisan. Cukup lewat isyarat, itu sudah cukup buatnya untuk langsung eksekusi.
Maka tidaklah perlu kaget dan merasa aneh jika Bahlil akhir-akhir ini berceloteh di luar tupoksinya. Mungkin ia sedang menangkap isyarat perintah dari Pak Bos. Atau ia memilih sikap seperti seniornya, yang menjadi menteri segala urusan. Merasa ahli pada semua bidang. Semua hal lalu mesti dikomentarinya.
Bahlil terkadang memilih gaya "mbah dukun", yang menerawang peta politik ke depan. Saat lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil surveinya. Ada pertanyaan dari yang hadir di sana, tentang prospek diduetkannya Puan Maharani dan Anies Baswedan. Belum sempat Burhanuddin Muhtadi, direktur eksekutif IPI, menjawab. Muncul suara virtual dari seberang, Bagus itu. Bisa sekali putaran. Ternyata itu suara Bahlil. Tentu Bahlil punya pertimbangan tertentu menyebut dua nama tadi. Karena sebelumnya, Pak Bos pun setuju dengan pasangan Puan-Anies.
Sebelumnya, saat polemik Jokowi 3 periode. Bahlil muncul dengan mengatakan, bahwa mayoritas pengusaha menghendaki Jokowi 3 periode. Tanpa menyebutkan pengusaha siapa yang menghendaki itu. Kata orang Jawa, waton ngomong. Celoteh Bahlil bisa dinilai punya nuansa politis menyenangkan Pak Bos. Setidaknya itu kesan publik atas celotehannya.
Bahlil juga berceloteh tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Ia katakan bahwa pemindahan ibu kota itu harga mati. Padahal negara sedang kesulitan finansial. Artinya, meski pendanaannya harus ngutang ke sana ke mari. IKN mestinya tidak jadi prioritas untuk disegerakan.
Sepertinya Bahlil akan terus memproduk celotehan-celotehan yang di luar kuasa kerjanya. Memilih model celotehan asal bapak senang. Mengingatkan akan Harmoko, Menteri Penerangan era Soeharto, yang selalu menyenangkan Pak Bos dengan narasi, "menurut petunjuk bapak presiden". Harmoko kurang kreatif celotehannya ketimbang Bahlil yang lebih variarif.
Bahlil memang bukan Bahlul, yang memilih kehidupan asketik sesungguhnya. Jauh dari hingar bingar kuasa adigang-adigung-adiguna, yang cenderung rakus pada kekuasaan. Tapi asyik juga jika gaya Bahlil itu dipadukan dengan gaya Bahlul. Setidaknya keseimbangan sikap bisa didapat. Tidak ekstrem kanan maupun kiri... Wallahu a'lam. (*)