OPINI

Jembatan, TKA China, dan Baca Al-Quran

Bangsa Indonesia niscaya berkenan belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah mengalami penderitaan akibat intervensi China pada berbagai lini kehidupan. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta PERBINCANGAN di grup WA Profesor PT KIN ini bermula dari unggahan sebuah video \"pembuatan jembatan\" oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dengan narasi berikut. Video di atas pekerjaan pertaruhan nyawa. Inilah kurang lebih sebagian dari pekerjaan pembangunan PLTU Morowali yang dikerjakan oleh -/+ 500 TKA China. Sudah ditawarkan kepada pekerja lokal, tetapi tak ada yang sanggup dan mau. Jadi, mohon tidak menghakimi dan langsung menyalahkan Pemerintah tanpa paham akar masalah. Anda mau bertaruh nyawa dan adrenali tinggi, toh dulu dibuka kesempatan kepada warga lokal, namun tidak berani, nah apa harus dipaksa? Lihat video itu sampai tuntas baru paham. Terima kasih. Saya terpesona dengan video unggahan Prof. Imam Suprayogo tentang pembuatan \"jembatan\" di atas jurang yang menganga, tapi jadi ragu, apa iya itu pembuatan jembatan di Morowali? Salah seorang anggota grup WA menegaskan, bahwa itu bukan di Morowali. Kolega yang lain pun merespons, jadi pengin liat nanti bila boleh orang awam masuk ke lokasi, sekadar refresh, memindah kebiasaan berselancar ke langit, ke dunia riil saintek di Sulawesi Morowali. Anggota WA yang lainnya juga menyampaikan hasil penelusuran, bahwa itu pembangunan jalur listrik di China. Jadi, Prof Guru kita terjebak oleh kelompok pembela tenaga asing. Menanggapi komentar saya atas video unggahan tersebut, Prof. Imam Suprayogo menulis, bangunan serupa itu, Prof. Muhammad, bisa lihat sendiri di Tha\'ib. Sambil umrah bisa menyempatkan lihat, siapa yang membuat. Saya pun merespons balik, perihal TKA China yang menyerbu Indonesia, saya tetap cemas, dan mengharap semua pihak waspada. Prof. Imam Suprayogo menanggapi demikian. Setuju mencemaskan, Prof. Muhammad. Tapi saya lebih merasa cemas lagi ketika melihat Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam belum terbiasa membaca Al-Quran. Kolega yang lain mendukungnya. Benar sekali Prof. Senior. Setuju. Profesor lainnya pun menimpali. Betul, Prof. Imam. Apa perlu ya Calon Mahasiswa untuk prodi-prodi agama dites baca Al-Quran? Yang lain menambahkan, tes, matrikulasi, sertifikasi Al-Quran. Mungkin matrikulasi ya. Dan ada training khusus gitu. Prof. Imam Suprayogo pun bercerita. Ketika saya jadi Rektor, bukan saja mahasiswa yang saya ajak belajar Al-Quran, tetapi juga para dosen baru. Mereka yang belum terbiasa baca Al-Quran, pada setiap pagi, saya ajak untuk sorogan Al-Quran sampai bisa. Saya tugasi dosen Al-Quran atau siapa saja melayani pembelajaran Al-Quran dari jam 06.00-08.00 sampai mereka benar-benar bisa... Saya pun menegaskan, tetap lebih cemas terhadap para pendatang China daripada mahasiswa yang belum biasa membaca Al-Quran, karena para mahasiswa itu tidak akan mengancam eksistensi NKRI. Fenomena TKA China di Morowali ibarat puncak gunung es di lautan. Berapa banyak laporan pandangan mata via video tentang kedatangan TKA/warga negara China ke Indonesia, baik melalui jalur penerbangan dengan transit di bandara tertentu lalu barangkat lagi ke tempat tujuan, atau melalui kapal. Menurut kesaksian, sebagian dari para pendatang tersebut rata-rata bertubuh tegap dan berambut cepak. Memang telah ada regulasi tentang penggunaan TKA, terutama sebagai tenaga ahli. Tetapi, di lapangan, para TKA China khususnya, tidak seluruhnya memenuhi kualifikasi tersebut, termasuk aturan rasio perbandingan antara TKA yang ahli sekalipun, dengan tenaga kerja dalam negeri. Sangat wajar bila Bang Yos (Letjen TNI Purn Sutiyoso, mantan Kepala BIN) juga mewanti-wanti akan adanya eksodus Warga Negara China ke Indonesia dengan modus sebagai tenaga kerja. Mereka diduga kuat tak akan mau kembali ke negerinya, karena peraturan-peraturan yang sangat ketat di sana, termasuk pembatasan kelahiran anak. Di sini mereka bisa beranak pinak dengan leluasa, dan memperoleh hak dan perlakuan istimewa dibandingkan dengan tenaga kerja asli Indonesia, misalnya tentang standar upah buat mereka yang sangat tidak sepadan dengan upah tenaga kerja pribumi. Jika demikian, pada saatnya mereka akan menjadi mayoritas di negeri ini. Luhut Binsar Panjaitan berkali-kali memberikan narasi, bahwa kedatangan para TKA China yang banyak itu tidak masalah, karena menurutnya, tenaga kerja kita tidak punya keahlian untuk melakukannya. Sampai-sampai tenaga kerja untuk las sekalipun, harus didatangkan dari China. Benarkah demikian? Berkenaan dengan warganegara dan TKA China yang membanjiri Indonesia, Koalisi Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi mengeluarkan pernyataan sikap demikian. Bahwa fakta di lapangan TKA China merupakan masalah yang sangat serius di Indonesia. Sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo hingga saat ini sudah puluhan ribu jumlah TKA China yang datang dan tersebar di beberapa tempat di Indonesia. Mereka datang pada saat pemberlakuan PPKM darurat ketika pandemi Covid 19 sedang mengalami lonjakan signifikan. Mereka bebas berkeliaran menuju tempat proyek-proyek cuan yang melimpah dengan pengawalan ketat dari aparat, sementara warga pribumi dilarang bepergian ke tempat-tempat tertentu, seperti pusat perbelanjaan, tempat wisata, bahkan tempat ibadah. Eksistensi TKA China ini telah meresahkan sekaligus ancaman terhadap warga pribumi yang sedang mengalami himpitan ekonomi akibat PHK oleh perusahaan yang bangkrut. Bahwa sangat ironis pada saat warga pribumi kelaparan, dan kesulitan mencari kerja, justru kebijakan Pemerintah berbanding terbalik. TKA China datang berbondong-bondong, diberi angin segar, dan perlakuan istimewa. Hal ini membuat sakit hati warga masyarakat pribumi. Pemerintah tidak berpihak kepada rakyat pribumi, membuat resah, dan menyakiti hati. Dengan ini KAMI Lintas Provinsi mengambil sikap, sebagai berikut: 1. Pemerintah supaya segera memulangkan TKA China ke negeri asalnya (Tiongkok), karena berpotensi mengancam kedaulatan negara; 2. TKA China berpotensi mengacaukan dan mengintervensi Pemilu/Pilpres mendatang. 3. Pemerintah agar segera mencabut semua peraturan dan UU yang nyata-nyata merugikan rakyat, dan berpotensi mengancam eksistensi, serta kedaulatan negara. Bangsa Indonesia niscaya berkenan belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah mengalami penderitaan akibat intervensi China pada berbagai lini kehidupan. Kesadaran adalah matahari; Kesabaran adalah bumi; Keberanian menjadi cakrawala; Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. (WS Rendra). (*)

Kenapa Formula E Perlu Didukung

Sayang apa yang kita saksikan justeru sekali lagi seolah menjadi justifikasi bahwa ada sebagain dari bangsa ini yang perlu lebih dewasa. Oleh: Imam Shamsi Ali, Diaspora Indonesia di Amerika DALAM sebuah postingan saya di media sosial, dan sempat viral, bahkan dikutip oleh sebagian media mainstream, saya menyampaikan kekecewaan atas “treatment” (perlakuan) yang berbeda dari pihak-pihak berwenang pada dua perhelatan akbar negeri ini. Terhadap MotoGP Mandalika di NTB dan Formula E di DKI Jakarta. Pernyataan saya tidak sama sekali ada relasi dengan teman, Anies Baswedan. Karena Gubernur NTB juga saya anggap teman dekat. Bukan juga karena urusan politik dan dukung-mendukung. Karena sejujurnya “I am not interested” dan “least interests” dalam dukung-mendukung ini. Saya di Amerika, dan cukup kenyang dengan tantangan tugas pada bidang saya saat ini. Hanya saja walau saya sudah hampir 1/4 abad hidup di negeri Paman Sam, bahkan telah meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren (SMU) hingga detik ini masih punya ghirah dan cinta negeri Indonesia. Dan karenanya selalu ingin melihat yang terbaik untuk Indonesia dan ingin melihat Indonesia menjadi maju, sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Itulah sebabnya segala hal yang menurut saya menjadi jalan kebangkitan dan kemajuan negeri, saya berikan dukungan. Tentu dengan cara dan kapasitas yang ada pada saya. Sebaliknya segala hal yang menurut saya dapat mengecilkan wajah negeri tercinta, termasuk menghambat pintu-pintu kebesarannya, saya suarakan resistensi itu. Kali ini saya bersuara tentang perlakuan yang berbeda oleh pihak-pihak yang seharusnya “berbuat” bagi kesuksesannya. Saya melihat ada perbedaan treatment kepada perhelatan MotoGP Mandalika dan Formula E di Jakarta. Kegiatan MotoGP Mandalika bahkan jauh sebelum diadakan semua potensi diarahkan untuk men-support. Hampir semua kementerian, tidak saja menyatakan mendukung. Tapi berkali-kali Menterinya ikut turun ke lapangan memastikan semua baik/siap untuk acara besar itu. Saya tentunya ikut gembira dan mendukung. Karena pada akhirnya yang tersuarakan adalah kebesaran Merah Putih. Suksesnya perhelatan itu membawa nama bangsa ini menjadi besar dan harum. Bukan hanya NTB. Tapi semua di negeri ini ikut menjadi harum. Saya mengistilahkan “mendukung sepenuh hati”. Tapi ketika sampai kepada Formula E ternyata dukungan itu ditiadakan. Kalaupun ada saya mengistilahkannya “mendukung setengah hati”. Tidak all out seperti ketika semua memberikan dukungan kepada MotoGP. Satu di antara beberapa hal yang saya perhatikan adalah konten-konten media sosial mereka yang getol “ngonten” akhir-akhir ini. Termasuk ngonten dengan “WC umum”.  Saya mencoba mencari promosi Formula E ini tapi semuanya hampir nihil. Padahal sejujurnya moment seperti ini sangat penting bagi negeri dan bangsa Indonesia untuk banyak hal. Beberapa manfaat penting dari dukungan semua pihak terhadap perhelatan Formula E ini, antara lain sebagai berikut: Satu, menjadi ajang mengenalkan Indonesia di dunia internasional. Bahwa Indonesia memang sebagai negara besar mampu melakukan hal besar, salah satunya event bergengsi seperti Formula E (dan MotoGP Mandalika) ini. Dua, Formula E sekaligus menjadi peristiwa untuk menyatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah mampu melewati krisis Pandemi yang melumpuhkan banyak sendi-sendi kehidupan. Dan karenanya Indonesia siap menyambut era baru dan dunia internasional. Tiga, sebagaimana MotoGP Mandalika, Formula E akan menguatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Minimal akan jadi pendorong semangat bagi pelaku usaha untuk bangkit dari keterpurukan akibat Pandemi Covid 19. Empat, kesempatan yang baik untuk mengenalkan potensi lokal, termasuk kuliner Nusantara, yang relatif kurang dikenal di luar negeri (termasuk Amerika). Demikian pula berbagai lokasi turisme yang kaya di luar Pulau Dewata. Sayang kecantikan negeri seringkali hanya identik dengan Bali. Lima, ajang Formula E ini menjadi momen untuk mengenalkan kapasitas anak-anak bangsa yang “yes we can” (kita mampu). Dengan perhelatan besar ini kita mampu tunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bukan hanya mampu menjadi penonton. Tapi justeru mampu menjadi pelaku sebuah perhelatan besar. Dan tidak kalah dari mereka yang terlanjur bernama besar. Enam, sesungguhnya poin ini menjadi kontra dengan apa yang terjadi ketika perhelatan ini tidak mendapatkan dukungan maksimal. Kebersamaan dalam dukungan menjadi momen yang akan membuka mata anak-anak bangsa bahwa di negeri ini setajam apapun perbedaan, termasuk perbedaan politik, ketika telah sampai kepada kepentingan Merah Putih, semua mampu bergandengan tangan dan bersatu. Sayang apa yang kita saksikan justeru sekali lagi seolah menjadi justifikasi bahwa ada sebagain dari bangsa ini yang perlu lebih dewasa. Dewasa dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga perbedaan tidak dijadikan jembatan perpecahan. Justeru dibalik menjadi jembatan “keberkahan” untuk kebaikan bersama seluruh anak-anak bangsa. Saya akhiri dengan menekankan sekali lagi bahwa bagi saya bukan karena ada kepentingan politik. Saya cukup kenyang makan burger halal di Amerika. Bukan juga karena kedekatan sebagai teman dengan Gubernur DKI (Anies Baswedan). Kenyataannya saya juga sangat dekat dengan banyak orang lain. Semua ini tidak lain untuk tujuan yang satu; Indonesia Raya. Karena itu, percayalah ketika anda membelah dada ini niscaya anda akan temukan Merah Putih berkibar….hehe! Manhattan, 3 Juni 2022. (*)

Anies Diincar Nasdem dan Puan Maharani

Oleh: Tjahja Gunawan - Penulis Wartawan Senior FNN Situasi politik menjelang Pemilu Presiden 2024 terus menggeliat dan berubah secara dinamis. Kini para politisi di sejumlah parpol  saling mengintip dan menjajagi sosok yang hendak mereka dukung dalam Pilpres 2024. Beberapa hari lalu, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.  Bahkan jauh sebelumya, Prabowo yang juga Menhan ini telah menemui Khofifah Indar Parawansa di Surabaya. Gubernur Jatim yang memiliki basis kuat di kalangan NU ini, disebut-sebut akan dipasangkan dengan Anies Baswedan pada Pilpres 2024.  Mencium ada rencana tersebut, sehari setelah Lebaran lalu, Prabowo segera menemui Gubernur Jatim itu di Gedung Grahadi Surabaya untuk mengetahui posisi politik yang sebenarnya.  Sementara yang diketahui publik selama ini, Prabowo rencananya akan dipasangkan dengan Puan Maharani. Tapi belakangan rencana \"perkawinan politik\" Partai Gerindra-PDIP ini ternyata belum permanen. Masih ada kemungkinan berubah menjelang Pilpres nanti. Bahkan ada kemungkinan tiket Prabowo dalam kompetisi Pilpres nanti akan diserahkan kepada sosok yang lebih muda darinya. Selain itu,  belakangan ini mantan Wapres Jusuf Kalla dikabarkan aktif melakukan loby kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Tujuannya, tentu untuk menyandingkan Anies Baswedan dengan Puan Maharani dalam \"pelaminan politik 2024\".  Seperti diketahui, JK selain dikenal sebagai pengusaha senior juga ahli dan berpengalaman dalam melakukan lobi-lobi politik. Itu terbukti ketika dia merancang pasangan Anies-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI tahun 2017. Saat ini pun, JK yang baru saja merayakan ulang tahun ke 80, kembali turun gunung untuk membuka jalan bagi Anies Baswedan untuk bisa berduet dengan Puan pada Pilpres mendatang.  Meyakinkan Konstituen Meskipun secara politik kombinasi Anies-Puan merupakan pasangan ideal karena bisa mengawinkan antara kelompok agama Islam dengan nasionalis, namun tidak mudah untuk bisa meyakinkan konstituen dan massa di tingkat grass root pada masing-masing kelompok tersebut. Tapi jika itu bisa terwujud, diharapkan bisa mengatasi keterbelahan dalam masyarakat saat ini. Kini yang namanya persatuan nasional menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk bisa diwujudkan secara riil di negeri ini.  Sebelumnya Ketua DPP PDIP Puan Maharani Puan Maharani juga telah menyatakan dirinya terbuka peluang berduet dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Pilpres 2024. Puan menegaskan tak memiliki masalah, apalagi sampai bermusuhan dengan Anies. \"Mungkin saja (duet dengan Anies), nggak ada yang tidak mungkin di politik. Semua dinamika itu bisa terjadi. Ya tinggal kita lihat lagi tahun depan lah bagaimana ceritanya, cerita-cerita politik,\" kata Puan seperti dikutip portal berita Detik, Rabu (23/3/2022). Sementara itu survei Indonesia Elections and Strategic (indEX) Research menunjukkan, pasangan Anies Baswedan dan Puan Maharani sebagai capres dan cawapres menjadi pilihan favorit untuk berlaga di Pilpres 2024. Survei indEX Research digelar pada 21-30 Maret 2022. \"Pasangan capres-cawapres Anies-Puan paling banyak dipilih masyarakat dengan elektabilitas sebesar 51,3 persen,\" kata peneliti indEX Research Reza Reinaldi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (7/4/2022). Rupanya bukan hanya Puan Maharani (PDIP) yang mengincar Anies Baswedan, Partai Nasdem juga mempunyai ambisi untuk menduetkan Ganjar Pranowo dengan Anies Baswedan. Skenario Partai Nasdem ini segera dimanfaatkan isunya oleh kelompok Relawan Pro Jokowi (Projo). Sebagaimana diberitakan portal CNN Indonesia, Jumat (3/6/2022), Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi mengklaim bahwa Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sudah membicarakan capres-cawapres kepada Presiden Jokowi pada Selasa 31 Mei 2022. Menurut Budi, Surya Paloh ingin menduetkan Ganjar-Anies. Isu Surya Paloh mengusulkan nama Ganjar-Anies mencuat usai pertemuannya dengan Jokowi. Namun, Surya Paloh telah membantah kabar itu sehari setelahnya. \"Ya ketemu dengan Pak Presiden benar, tapi tidak spesifik membicarakan hal itu. Nanya hal lain seperti apa yang tadi kita diskusikan dengan Pak Prabowo,\" ucap Surya setelah pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di NasDem Tower, Rabu (1/6). Nah, belum apa-apa relawan Projo sudah membiaskan informasi pertemuan Ketua Partai Nasdem dengan Jokowi. Kedepannya Nasdem akan menemui banyak masalah kalau memaksakan  diri memgawinkan Ganjar-Anies.  Di sisi lain, ada juga kelompok lain terutama NU Struktural yang ingin menyandingkan Ganjar dengan Erick Thohir sebagai Ketua Umum \"Partai BUMN\". Namun di antara mereka masih berselisih karena satu sama lain maunya ingin jadi capres bukan cawapres.  Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, baik Ganjar Pranowo maupun Erick Thohir akan maju dalam Pilpres mendatang dengan cara \"membeli parpol\". Sponsornya para konglomerat (oligarki) dan yang menjadi King Makernya adalah Jokowi. Parpol yang sudah \"dibeli\" bohir Ganjar Prabowo adalah Partai Golkar, PPP dan PAN. Lantas ketiga ketua umum parpol tersebut menyatakan diri sebagai partai Koalisi Indonesia Bersatu.  Dalam Pilpres nanti, Jokowi berkepentingan untuk ikut cawe-cawe agar setelah tidak lagi menjadi presiden bisa hidup tenang bersama keluarganya. Dengan begitu Jokowi tidak merasa dihantui ancaman pidana terkait dugaan praktek KKN baik yang terkait dirinya maupun anaknya Gibran Rakabuming (Walikota Solo) dan mantunya Bobby Nasution (Walikota Medan).  Jika mengacu pada sistem politik yang berlaku sekarang, kombinasi pasangan yang paling realistis adalah duet Anies-Puan. Sebab Anies  memiliki elektabilitas tinggi sementara cawapres Puan Maharani berada di PDI-P yang telah memenuhi ketentuan Presidential Threshold 20 persen. Sementara Erick Thohir atau Ganjar Pranowo tidak memiliki partai.  Gubernur Jateng memang kader PDIP tapi sekarang sedang dimusuhi oleh Puan Maharani dan para kader PDIP lainnya.  Tanpa menggandeng partai lain pun, pasangan Anies-Puan sudah bisa melenggang maju melalui PDI-P dalam kontestasi Pilpres. Apalagi kalau nanti Anies didukung PKS. Maka lengkap sudah koalisi parpol nasionalis dengan partai yang berbasis ideologi Islam. ***

Kerancuan Pemahaman Ideologi Pancasila

Ah, saudara-saudara, mengapa toh begini? Apa memang bangsa Indonesia itu ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa inlander, bangsa yang pecah-belah, bangsa yang tidak mampu mengangkat dirinya ke taraf yang lebih tinggi? Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila IDEOLOGI adalah kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut berbagai bidang dalam kehidupan manusia. Dengan demikian secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa Ideologi adalah kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia. Prof Notonegoro mengemukakan bahwa Ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi dasar bagi suatu sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri: Pertama, Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan; Kedua, Mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Inilah desain Negara Republik Indonesia dengan bersumber pada Pancasila. Alinea IV Pembukaan UUD 1945: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Coba renungkan desain negara yang ada di Alenia ke-4 itu oleh pendiri negara sudah membentuk Negara dengan desain berdasarkan ideologi Pancasila. Uraian dan ide-ide atau gagasan oleh pendiri negeri ini diuraikan dalam pasal- pasal pada batang tubuh UUD 1945. Persoalan Ideologi Pancasila ini harus jelas dulu, sebab yang disebut Ideologi Pancasila itu adalah Ideologi Negara Berdasarkan Pancasila, dan tafsir itu sudah dibuat oleh pendiri negara ini di dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945. Yang dimaksud Ideologi Negara Berdasarkan Pancasila adalah UUD 1945 Asli mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasannya, itulah ideologi Negara berdasarkan Pancasila. Jadi tanpa disadari, Amandemen UUD 1945 itu yang diamandemen adalah ideologi negara berdasarkan Pancasila. Bagaimana mungkin ideologi Pancasila diterapkan pada negara yang sudah diamandemen Pancasilanya. Sejak diamandemennya UUD 1945, banyak aturan yang dasarnya Liberalisme, Kapitalisme. Seperti sistem presidensil, pilkada, pilsung, pilpres, bertentangan dengan Negara berdasarkan Pancasila. Kerancauan dan kekacauan ini karena banyak yang tidak tahu kalau Ideologi Negara Pancasila itu ya Batang Tubuh UUD 1945. Bukannya ideologi Negara berdasarkan Pancasila itu kristalisasi pemikiran tentang negara berdasarkan Pancasila yang terurai dalam pasal-pasal UUD 1945. Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Pancasila yang seharusnya menjadi dasar negara diabaikan. Mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih itu disamakan dengan Gotong-royong, disamakan dengan Persatuan Indonesia, disamakan Dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Usaha mencangkokkan Pancasila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila . Mari kita cermati apa yang di katakan Bung Karno. Cuplikan Pidato Presiden Sukarno: “Telah sering saya katakan, bahwa demokrasi adalah alat. Demokrasi bukan tujuan. Tujuan ialah satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil.   Sebagai alat, maka demokrasi (dalam arti bebas berfikir dan bebas berbicara) harus berlaku dengan mengenal beberapa batas. Batas itu ialah batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan Negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungan-jawab kepada Tuhan.” Apa yang terjadi sekarang demokrasi dianggap agama baru yang diyakini bisa membawa bangsa ini menjadi sejahtera, mana mungkin terwujud keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia diletakkan pada sistem Liberalisme Kapitalislisme. Demokrasi liberal yang dijalankan justru menuju runtuh dan punahnya bangsa ini, bagaimana tidak kekayaan Ibu Pertiwi hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sekitar 70% lahan dikuasai oleh 0,10 Aseng dan Asing. PLN yang dahulunya adalah perusahaan publik yang dibiyayai oleh rakyat melalui APBN kok sekarang bisa menjadi milik perorangan dan asing. Padahal UUD 1945 mengatur “Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jika 70% Bumi Indonesia sudah dikuasai oleh 0,10 persen orang Indonesia, maka pemerintah telah melanggar konstitusi. Apakah negara yang demikian yang kita inginkan? Marilah membangun kesadaran bersama untuk mengembalikan Indonesia, mengembalikan marwah UUD 1945 dan Pancasila secara benar. Ya, krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental! National dignity kita amblas sama sekali, sehingga banyak di antara kita ini tidak merasa malu bahwa dunia-luaran ada yang goyang kepala, ada yang bertampik sorak kesenang-senangan. Tidak merasa malu, kalau dunia-baru berkata “Indonesia is breaking up” (Indonesia mulai runtuh), Quo vadis malu, kalau dunia-baru berkata Indonesia is breaking up (Indonesia mulai runtuh), “Quo vadis Indonesia?” (kemanakah engkau Indonesia?), “A nation in collapse” (Satu bangsa yang sedang ambruk). Ah, saudara-saudara, mengapa toh begini? Apa memang bangsa Indonesia itu ditakdirkan Tuhan menjadi bangsa inlander, bangsa yang pecah-belah, bangsa yang tidak mampu mengangkat dirinya ke taraf yang lebih tinggi? Saya yakin tidak! Tetapi saya kira bangsa Indonesia salah sistem politiknya, terutama sekali dalam masa perpindahan ini. Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia telah “disalah-gunakan” oleh pemimpin-pemimpinnya dalam rock-and-roll-nya demokrasi-omong yang tak kenal batas, demokrasi-omong yang tak kenal disiplin, demokrasi-omong yang tak kenal pimpinan. Ya, demokrasi yang tak kenal pimpinan. Demokrasi kita demokrasi yang tak terpimpin. Demokrasi kita demokrasi “free fight liberalism”. Demokrasi kita demokrasi “hantam-kromo”, demokrasi “asal bebas mengeluarkan pendapat”, (demokrasi bebas mengkritik, bebas mengejek, bebas mencemooh, bebas (zonder leiderschap, zonder management ke arah tujuan yang satu. (Cuplikan pidato Soekarno). Sekarang apa yang terjadi dengan bangsa ini, caci-maki, pecah-belah justru dibiayai lewat buzer-buzer atas nama kebebasan LGBT yang bertentangan dengan kesusilaan dianggap HAM. (*)

Bedah Politik di Solo

Dari dialog tokoh Nasional ini akan dibedah politik kebangsaan dan lahirnya semangat untuk menyelamatkan Indonesia dari gangguan para begundal dan penghianat negara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih HAMBATAN menjelang Pilpres 2024. Presidential Threshold 20 % itu kelokan dan lorong demokrasi yang semakin sempit, bahkan tersumbat. Pertarungan strategi oleh para politisi partai dan mantan politisi yang pejabat negara (Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo) semua sedang bermain di lorong yang sempit. Akademisi Rocky Gerung (dalam dialog santai dengan Hersubeno Arief dari FNN) tanpa beban mengurai analisa dengan tajam, cerdik dan lincah. Konon JK sudah beberapa kali bertemu Puan, terendus dugaan JK sedang “turun tangan” mencoba menyatukan Anies Baswedan dengan Puan Maharani. Para politisi yang juga Ketum Partai sontak terbelalak, berspekulasi ini bisa menenggelamkan kasak kusuk mereka, memporak-porandakan bargaining mereka dan bisa menurunkan posisi tawarnya untuk bermain kocok sana sini. Mereka sadar JK bukan politisi kaleng kaleng. Apalagi kalau arusnya menyentuh SBY, Megawati, dan Jokowi. Kerja politik JK hanya sebagai gambaran bahwa JK sangat paham apa yang diinginkan Megawati. Sebagai sahabat Megawati, JK harus menolong karibnya bahwa Puan untuk RI satu masih perlu pematangan, disamping ada gangguan dari kadernya sendiri yang nyeruduk tanpa ijin pawangnya. JK sangat paham politik identitas yang tidak bisa diremehkan menyatunya kelompok Islam dan Nasionalis. Gambaran itu terbaca oleh JK maka wajar mencoba menyatukan Puan (Nasionalis ) dan Anies (Islam). Formasi pasangan Capres ini masih sangat cair tetapi formasi kekuatan Islam dan Nasionalis akan menjadi penentu kemenangan Capres pada Pilpres 2024. Mereka semua sedang berjibaku di lorong dan tikungan sempit, apa yang akan terjadi menjadi milik politisi yang sudah kenyang makan garam. Lorong sempit dimaksudkan bagaimana bisa melahirkan Capres yang benar-benar untuk Indonesia, bukan Capres boneka atas remote bandar Oligarki. Kalkulasi politik tetap akan berjalan dinamis dengan munculnya suatu koalisi Indonesia atau koalisi Nusantara, bebas dengan label yang serem-serem walau itu hanya glamor saja. Kabut Pilpres 2024 tetap bakal menghadapi ancaman yang sangat berat ketika transaksi politik telah menjadi budaya pemilu/Pilpres, semua bisa tenggelam dalam alam pola pragmatis. Jalan pendek atau by pass bisa saja ditempuh, dugaan kuat seperti yang dialami Jokowi asal jadi Presiden, persoalan beban politik balas jasa dengan Bandar politik dipikir kemudian. Semua lihat peluang karena dari sisi anggaran hampir tidak akan ada Capres yang kuat secara mandiri secara finansial. Sedang bandar politik jelas tidak akan berspekulasi selingkuh dengan Capres yang menolak jadi bonekanya. Gambaran selanjutnya, kata Rocky Gerung, akan dibahas di Solo bersama para tokoh Nasional lainnya bertepatan dengan HUT Mega Bintang. Ormas yang berpusat di Solo ini sudah malang-melintang dalam belantara politik yang bergerak pada tataran politik identitas Nasionalis - Islam dan muatan identitas lainnya. Bukan kekuatan politik tertentu tetapi lurus bela keadilan untuk wong cilik. Dari dialog tokoh Nasional ini akan dibedah politik kebangsaan dan lahirnya semangat untuk menyelamatkan Indonesia dari gangguan para begundal dan penghianat negara. Lahirnya pemimpin Capres yang memiliki wawasan negarawan setia kepada tujuan negara sesuai dengan UUD 45 dan utuh dengan jiwa Pancasila yang sebenarnya. Negara terhindar mengulangi kesalahan lahirnya Presiden hanya sebagai boneka Oligarki dari negara asing. Semoga lewat dialog tokoh Nasional di Solo, bersamaan Presiden juga sedang berada/pulang ke Solo. Arah politik yang sedang dimainkan oleh para politisi busuk dan politisi negarawan dibedah dan bisa terbaca dengan jelas. (*)

Demi Marwah Partai, Puan Harus Capres

Maka seharusnya PDIP sejak sekarang sudah bisa mengambil keputusan dan mengumumkannya ke publik. Agar si calon segera bisa melakukan sosialisasi mencari dukungan. Oleh: Wahyudin, Koordinator Kajian dan Analisa Keterbukaan Informasi Publik (KAKI Publik) PUAN Maharani, sebuah nama fenomenal. Perempuan pertama yang berhasil duduk di puncak singgasana parlemen. Ketua DPR RI. Boleh saja orang nyinyir, dianggap tidak pintar atau punya perilaku tidak etis karena sering mematikan mic saat anggota DPR sedang bicara. Tapi bisa dipastikan yang menyanjung jauh lebih banyak daripada yang nyinyir. Kehebatan Puan bukan saja karena dia Ketua Parlemen, tetapi sejak lahirpun dia sudah hebat. Betapa tidak, dia lahir dari seorang ibu yang anak presiden pertama Indonesia. Maka Puan adalah cucu presiden. Lebih dahsyat lagi ibunya kemudian menjadi presiden. Dan ibunya adalah presiden perempuan pertama di Indonesia. Maka sebutan Puan menjadi: Ketua DPR RI Perempuan pertama, Cucu presiden pertama dan anak presiden perempuan pertama di Indonesia. Masih ada predikat lain, yaitu Puan adalah kader andalan yang digadang-gadang menjadi calon presiden dari PDIP, partai pemenang partama di tiga kali pemilu era reformasi. Pendek kata, Puan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria sebagai Calon Presiden. Posisi Ketua DPR merupakan simbol prestasi perjuangan. Dan menjalankan tugas sebagai ketua DPR adalah indikator seseorang memiliki pengalaman memimpin lembaga tinggi negara. Lalu jika menggunakan kriteria bibit, bebet, bobot, Puan memiliki semuanya. Bibit, jelas seperti dikemukakan di depan, dia keturunan orang hebat. Bebet, atau kekayaan secara ekonomi, Puan adalah isteri pengusaha sukses. Bobot, Puan jelas tokoh yang berbobot dengan segudang pengalaman memimpin lembaga besar. Disamping Ketua DPR, Puan juga pernah menjadi menteri. Bukan sembarang menteri. Tapi menteri koordinator. Artinya menteri yang membawahi beberapa menteri. Walhasil, Puan memenuhi kualifikasi sebagai Capres. Puan bisa menjadi obat kekecewaan kaum Marhaen selama hampir 10 tahun. Kecewa karena selama pilpres dilakukan secara langsung, PDIP tidak pernah dianggap menang secara hakiki. Dari empat kali pilpres, PDIP dua kali kalah dan dua kali kecewa karena tidak  berhasil mengusung kader utamanya, Megawati Soekarnoputri. Pilpres 2004 dan 2009, PDIP mencalonkan Megawati dan kalah. Kemudian 2014 dan 2019 PDIP terpaksa menerima tekanan kuat, sehingga mau tidak mau menerima Joko Widodo sebagai Capres dari PDIP. Nama Puan sudah dimunculkan sebagai bakal calon sejak 2014. Hingga kini sudah memakan cukup waktu bagi Puan untuk mempersiapkan diri segala sesuatunya menjadi Calon Presiden. PDIP sudah berpengalaman menjadi penguasa saat Megawati menjadi Wapres dan selanjutnya Presiden. Pernah beroposisi 10 tahun saat Indonesia dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian dua periode memiliki Presiden yang bukan pimpinan di partai dan bukan bagian langsung dari partai. Tentu PDIP sudah melakukan refleksi dan evaluasi. Pasti sudah merumuskan kesimpulan, pada posisi mana PDIP harus memperjuangkan secara maksimal, mati-matian. PDIP sebagai partai besar dan tiga kali menjadi pemenang pemilu pada era reformasi ini tidak mungkin akan tinggal diam. Semampang masih pada tataran kewenangannya, maka PDIP harus menggunakan kewenangan itu untuk kepentingan yang lebih baik. Kewenangan PDIP Sesuai Undang-undang, PDIP satu-satunya partai yang memenuhi presidential threshold. PDIP bisa mengusung Calon Presiden/Wapres sendiri tanpa partai lain. PDIP bebas menentukan siapa Capres dan Cawapres yang akan diusung. Maka seharusnya PDIP sejak sekarang sudah bisa mengambil keputusan dan mengumumkannya ke publik. Agar si calon segera bisa melakukan sosialisasi mencari dukungan. Soal siapa yang akan dicalonkan, ukuran pertama adalah siapa yang memiliki komitmen tertinggi dalam merealisasikan mimpi PDIP tentang Indonesia. Yang paling bisa menjadi peluru perjuangan PDIP. Dan siapa kader yang paling bisa \'diajak bicara\' oleh PDIP dalam merealisasi mimpi-mimpi partai. Ukuran-ukuran itu mengharuskan PDIP untuk mencalokan kader pilihannya, tentu Puan Mharani. Bukan sekadar orang PDIP atau simpatisan partai. Dan untuk merealisasikan mimpi-mimpinya tentang Indonesia itu, PDIP harus mencalonkan kader utamanya menjadi Calon Presiden, bukan Wapres. Fakta yang tergambar jelas dalam sejarah Indonesia, Wapres tidaklah memiliki kewenangan besar dalam proses penyelenggaraan negara. Alangkah sangat disayangkan, jika PDIP sebagai partai pemenang pemilu, satu-satunya partai yang yang berwenang secara mandiri menentukan Capres/Cawapres. Lalu hanya rela menjadikan kader andalannya sebagai Calon Wakil Presiden. Apalagi jika mengalami kekalahan dalam Pilpres, maka PDIP menjadi kalah dua kali. Kalah dalam proses dan kalah pada hasil. Tentu harga diri partai menjadi semakin kempes tak berdaya. Berbeda keadaannya, jika PDIP gagah berani mencalonkan kader utamanya menjadi presiden. Maka pada tahapan ini partai sudah menang dan membuat rasa bangga pada pendukungnya. Tentu saja harus diperjuangkan agar bisa menang Pilpres. Modal menang Pemilu 2019 harus dipelihara dan ditingkatkan agar pemilu berikutnya juga menang. Menang Pileg dan Menang Pilpres. Jikapun kalah dalam Pilpres, tidak mengurangi marwah partai. PDIP tetap gagah berani. Maka demi marwah PDIP dan membuat kaum marhaen bisa tersenyum, Puan Maharani harus menjadi Presiden. (*)

Media Sosial Revolusioner

Perlahan tapi pasti, media sosial terus mencairkan kebekuan demokrasi formal. Pseudo demokrasi yang hanya melahirkan pemimpin korup dan tiran, sedikit demi sedikit berhasil ditelanjangi dan diarak massal.Media sosial pada akhirnya menjadi etalase publik yang memajang distorsi penyelenggaraan negara. Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SEIRING era keberlimpahan informasi, perkembangan teknologi komunikasi  terasa kian massal, efisien dan efektif dimanfaatkan publik. Tak hanya menyentuh dimensi sosial, interaksi udara menunggang kehebatan dan kecanggihan satelit itu, leluasa menyasar  dinamika peradabapan manusia secara lebih komprehensif. Persoalan budaya,  politik, ekonomi, hukum, keamanan dsb, menjadi langganan tetap dan menu keseharian dari membuncahnya  tema-tema media sosial. Menariknya, tak hanya menampilkan aspek kuantitatif dan kualiatif, konten media sosial juga dipenuhi keberagaman berita. Tentang pergerakan populasi manusia dan persoalan HAM, eksistensi perilaku dan habitat binatang,  dinamika alam dan ekosistemnya, serta semua informasi lainnya yang saling bercampur mengisi hingar-bingar ruang lintas sosial tersebut. Alhasil, pelbagai isu dan  intrik sesak menyeruak atas nama kebebasan berpendapat dan menikmati suguhan demokrasi. Sejalan dengan itu, antara hoax dan fakta semakin sulit dibedakan. Agitasi dan propaganda semakin tipis selisih identitasnya dengan keberadaan ujaran kebencian, permusuhan dan fitnah sekalipun.  Ada pertarungan sengit antara yang gemar mengumbar kamuflase dan  manipulasi data dengan yang masih setia mengusung suara marginal dan  realitas obyektif rakyat. Pun demkian, selalu saja ada politisasi dan anggaran berbiaya besar yang menempel pada para buzzer dan pendengung yang beroperasi sebagai petugas pembelahan sosial, pemecah-belah bangsa dengan modus menghina agama dan melecehkan para ulama dan pelbagai gerakan moral.  Belakangan semakin terus bertumbuh dan meningkat eskalasinya, dari sekedar media alternatif menjadi media pengharapan dan tempat bertumpu gejolak hati dan jiwa rakyat. Ketika terjadi penyumbatan saluran aspirasi dari mekanisme formal dan normatif, suara rakyat mengalir deras menyusuri kanal-kanal pembebasan. Amanat  rakyat yang digaungkan  seakan seperti air bah yang tak terbendung.  Bukan hanya sekedar aspirasi, lebih dari itu, keinginan yang membatin dan lama bersemayam sebagai \"silent mayority\", kini menjelma menjadi amplitudo gugatan dan perlawananan serta pembangkangan. Media sosial akhirnya benar-benar menjadi media kesadaran kritis dan kesadaran makna bagi proses penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa. Mengungkap kenyataan secara terbuka dan ekspresif, tentang nilai-nilai dan betapa paradoksnya ketika dituangkan dalam praktek-prakteknya. Lebih polos dan murni mengurai syahwat KKN, memamerkan betapa betapa bugilnya para  politisi, pejabat dan pengusaha tanpa    aurat integritasnya, serta bangganya para pemimpin dan penguasa pada kerakusan dunia. Termasuk juga begitu masif dan serba permisifnya,  distorsi penyelenggaraan negara tampil seronok, mabuk  dan tanpa malu,  marak di pangung-pangung sosial rakyat. Meskipun bagaikan berselancar dengan ranah pidana yang berbungkus UU ITE, media sosial tetap digandrungi rakyat sebagai wadah sekaligus sarana refleksi dan evaluasi kebangsaan. Sebuah gerakan gerilya opini dan berpotensi sebagai mobilisasi, juta langkah taktis dan stategis yang tak bisa diremehkan, sangat memungkinkan menjadi stimulus meraih capaian tuntututan  kesetaraan dan keadilan sosial. Dengan lepas dan tanpa beban,  namun tetap tajam dan menohok menguliti para pemimpin dan aparat pemerintahan yang korup dan dzolim. Rakyat larut menjadikan media sosial sebagai sidang sekaligus vonis dari pengadilan rakyat yang sesungguhnya.  Mungkin dan boleh jadi ini cara sebagian besar rakyat berkomunikasi, setelah negara dan aparat pemerintahannya gagal menyampaikan bahkan sekedar memahami kehendak dan  aspirasi rakyat. Ketika media mainstream tak berperan memainkan fungsi kontrol dan menyampaikan kebenaran, maka media sosial seakan meniadi kawan seiring sejalan dalam berdemokrasi dan ramah menerima kegelisahan dan kecemasannya. Sama halnya dengan suara kritis, perlawanan  dan pembangkangan yang selalu dikawal tindakan represif, penjara  dan ancaman kematian. Maka celoteh rakyat yang sejatinya menjadi representasi dari upaya mencari  nafkah keadilan dan kebebasan yang terbelenggu. Sepertinya, dapat mewakili anomali konstitusi,  terutama saat pendapat rakyat tak lagi dapat dicegah untuk  mengemuka dan memenuhi ruang publik, meskipun itulah satu-satunya dan yang terbaik yang dimikili rakyat dalam berdaulat sebagai warga negara dan warga bangsa. Duhai media sosial yang revolusioner, meski tanpa pasukan dan senjata dan uang negara yang berlimpah, serta para pemuja dan penghamba kekuasaan  yang berlindung atasnama negara. Semoga tetap dinamis dan mengupayakan perubahan dan kehidupan yang lebih baik untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Layaknya keindahan jargon-jargon Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang sering dikumandangkan. (*)

Jokowi Berkhianat pada PDIP dan Megawati

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan INI belum berbicara soal pengkhianatan Jokowi pada negara, bangsa dan rakyat Indonesia. Amanah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa dinilai gagal ditunaikan dan menyimpang.  Perhatian kita tertuju dahulu kepada pengkhianatan Jokowi kepada partai pengusung utama dan Ketua Umum Partai tersebut. Jokowi diajukan sebagai Capres pada Pemilu 2014 maupun 2019 oleh PDIP meskipun yang bersangkutan bukan berasal dari kader PDIP. Saat menjadi Gubernur DKI sebelumnya Jokowi diusung oleh Partai Gerindra bersama PDIP. Peran PDIP baik untuk Pilgub 2012 maupun Pilpres untuk menggoalkan Jokowi sangat besar. Bahkan dapat disebut sebagai penentu utama.  Tetapi kini ternyata Jokowi mulai menjaga jarak dengan  PDIP. Perseteruan Jokowi dengan Megawati semakin meruncing. Sejak KPK \"milik Jokowi\" dan Kejagung \"milik Megawati\" maka target-target hukum saling berbalas. Pembongkaran kasus korupsi jadi mainan untuk memperkuat posisi.  Waktu Iedul Fitri lalu, Jokowi dengan Megawati tidak berhalal bihalal, Jokowi memilih ke Jogyakarta. Dalam perhelatan pernikahan adik Jokowi baik Megawati maupun Puan tidak menghadiri. Sebaliknya di saat acara penting BIN Smart Campus Soekarno yang dihadiri Prabowo, Budi Gunawan dan Hendropriyono, Jokowi yang tidak hadir. Aktivis PDIP Bambang Pacul menyatakan ada pihak yang menjauhkan Jokowi dari Megawati dan PDIP. Rupanya Jokowi \"mutung\" karena kemauannya tidak didukung. Soal perpanjangan masa jabatan tiga periode. Akhirnya saling bermusuhan. Namun \"hengkang\" nya Jokowi dari Mega dan PDIP dapat berkonsekuensi apalagi jika kualifikasinya sampai pada pengkhianatan.  Tiga kemungkinan akibat politik ke depan yang dapat terjadi akibat Jokowi berkhianat, yaitu : Pertama, bersama kekuatan oposisi PDIP akan melakukan upaya untuk menurunkan Jokowi sebelum tahun 2024 baik dengan melakukan tekanan politik maupun proses Sidang Umum MPR. Mengendalikan trium virat dan mempengaruhi MPR untuk menghasilkan pasangan yang dianggap menguntungkan PDIP.  Kedua, ikuti alur waktu hingga Pemilu 2024 dimana PDIP maju dengan Capres sendiri, tidak mendukung \"calon kepanjangan tangan\" jokowi. Jokowi kehilangan basis partai pelindung. Akhirnya akan masuk fase penghukuman pasca masa jabatan.  Ketiga, penunjukkan Plt Kepala Daerah yang dipastikan \"orang orang Jokowi\" akan diganggu PDIP sehingga skenario bantuan Kepala Daerah untuk sukses Pilpres dapat digagalkan. Bandar atau oligarki dibuat ragu untuk tetap berada di belakang kepentingan Jokowi.  Dengan melepaskan diri dari PDIP dan Megawati, Jokowi kehilangan  sandaran partai politik. Jokowi semakin teralienasi dan menyebabkan pilihan hanya satu yaitu mundur. Dalam hal tidak mundur, Jokowi tetap ingin menempatkan diri sebagai \"king maker\" untuk banyak kandidat Ganjar, Erik, Sandi, Anies bahkan Prabowo. Berharap \"king\" nya nanti dapat menyelamatkan pribadinya baik kekayaan maupun keluarganya.  Dengan memusuhi PDIP yang telah berjasa melahirkannya justru Jokowi itu berkhianat di akhir.  Sejarah banyak mencatat bahwa pengkhianat selalu memiliki garis ujung kehidupan yang tragis.  Jokowi dengan Megawati bukan sekedar pecah kongsi tetapi soal bukti teman yang tidak berbalas budi. Puan yang semestinya dibantu dan didukung, justru ditelikung. Ganjar Pranowo telah menjadi boneka jokowi dan oligarki untuk menghabisi Megawati dan Maharani.  Meskipun begitu, Jokowi akan habis masa kekuasaannya sebentar lagi. Dan demi menyelamatkan diri terpaksa ia harus tabrak sana sini. Tapi semua itu adalah tahap sakaratul maut yang tidak akan bisa menolong untuk menghidupkan kekuasaan menjadi seribu tahun lagi.  \"Betrayal is not a way of calm, victory and happiness but a form of restless, defeat and suffering\" Berkhianat bukan jalan bagi ketenangan, kemenangan, dan kebahagiaan tetapi wujud dari kegelisahan, kekalahan, dan penderitaan.  Bandung,  03 Mei 2022

Tangkap dan Usir WNA Asing yang Membahayakan Negara

Kita diam, kita akan musnah dan berujung malapetaka untuk anak-anak bangsa kita. Tinggal satu kesempatan terakhir menyelamatkan anak bangsa, sebelum mereka semua menjadi budak. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TELAH lama terbit Buku berjudul “Dendam Sejarah Khubilai Khan di Tanah Jawa (Awal Benturan Peradaban) di Nusantara”. Disusun oleh: Letjen TNI M Setyo Sularso, Letjen TNI Yayat Sudrajat dan Kolonel Inf. Heru Dwi Wahana. Penerbit: Pusat Sejarah TNI. Dengan literatur yang sangat kuat, siapapun yang sempat membaca akan mengetahui betapa susah payah kaum Bumi Poetra merebut kemerdekaan, betapa bahaya nafsu ancaman China yang tidak pernah padam akan merebut bumi Nusantara dan kaum Bumi Poetra akan dihancurkan/dimusnahkan. Lahirnya istilah \"Voter\'s Gentrification\", sudah ada sejak dulu adalah usaha untuk mengubah \"orang lokal\" (Pribumi) yang dulunya mayoritas menjadi minoritas atau akan dimusnahkan, itu nyata. Para pendatang akan menjadi kelompok mayoritas yang akan menguasai ekonomi, politik, dan kekuasaan pemerintahan lokal, awal target mereka adalah menguasai DKI Jakarta, Kalimantan, dan Sumatera. Selama ini usaha mereka selalu gagal karena para raja dan pemimpin negara paska kemerdekaan sadar akan sejarah dan bahaya mereka akan menguasai Nusantara. Tiba-tiba di masa rezim Presiden Joko Widodo, jangankan dilawan dan dicegah, justru “Karpet Merah digelar silakan masuk ke Bumi Nusantara suka-suka, silakan akan berbuat apa saja”. Sudah direncanakan lama oleh RRC dan Taipan di Indonesia dari dulu hingga sekarang, lewat proyek Real Estate Developers Taipan itu membuat kota baru. Muncullah di era Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta dan Presiden, seperti proyek Meikarta dan proyek di Pulau Reklamasi. Proyek yang mereka targetkan tidak sebatas Meikarta dan pulau Reklamasi di DKI Jakarta saja, bahkan reklamasi sepanjang pesisir Utara pulau Jawa, saat sedang dalam pekerjaan mereka, rezim Jokowi justru memfasilitasi mereka membangun reklamasi. Bahkan siapapun yang coba-coba menghalangi akan berhadapan dengan rezim saat ini dengan segala resikonya. Dibangun banyak komplek dan perumahan-perumahan baru dengan tujuan yang sama untuk ditempati oleh imigran gelap dari RRC di pinggiran Ibu Kota, seperti proyek Meikarta, Pulau Reklamasi dan berbagai proyek perumahan di pesisir pantai di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Konon, di Kepulauan Riau sudah padat warga asing keturunan China juga menggeliat sangat cepat di Kalimantan Barat. Sedang merayap ke arah daerah rencana IKN. Awalnya mereka datang, tinggal di apartemen atau perumahan-perumahan, belajar bahasa Indonesia, kemudian membeli E-KTP dengan \"menyogok\" Pak RT, Pak RW dan Pak Lurah setempat dan berani membayar mahal sampai Rp12 juta per KTP. Dengan bekal E-KTP, KK dan SIM Aspal (asli tapi Palsu) itu, mereka kemudian akan ikut mendaftarkan diri menjadi konstituen pemilik suara (voter) dalam Pemilu atau Pilkada. Setelah itu membeli KK dan beli SIM dengan membayar mahal juga. Mereka tahu, pejabat Indonesia rata-rata korup, murah, dan mudah dibeli dengan uang recehan, tidak memiliki rasa Idealisme dan Patriotisme serta kosong Jiwa Nasionalismenya. Ada perubahan landscape demography, populasi dan ethnicity dalam satu kota, kabupaten atau Ibu Kota, hal itu akan mempengaruhi hasil Pemilu atau Pilkada di satu daerah. Bila etnis pendatang itu sudah menguasai Ibu Kota DKI Jakarta, maka menguasai Indonesia hanya soal waktu. Makin berani sekarang mereka mulai merintis jalan pintas, ingin memiliki dan mengajukan Capres etnis keturunan China sendir yang jelas-jelas merugikan, marginalized dan mengubah landscape kekuatan Geopolitik Indonesia. Sejalan dengan menguasai kekuasaan politik, mereka akan melemahkan, dan bahkan akan menghancurkan golongan Pribumi. Rezim sesama Oligarki selalu melindungi semua proyek milik Taipan meski proyek itu banyak menyalahi aturan, bahkan mereka sudah membuat aturan dengan membeli lembaga pembuat aturan/undang-undang. Karena hampir personil oligarki juga dari etnis China. Bahkan mereka yang melawan kerakusan dan bahaya Oligarki diserang balik sebagai rasis, seperti yang dialami Letjen TNI Purn Sutiyoso yang dituding oleh Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah rasis hanya karena mengingatkan bahaya TKA China yang sudah masuk ke berbagai daerah. Ancaman terbesar bagi golongan Pribumi Indonesia saat ini adalah keturunan dan etnis China. Orang Pribumi mulai terusir dari tempat tinggalnya yang lalu digantikan oleh pendatang dari China RRC. Proses penggusuran ini seperti yang terjadi di Singapore atau Malaysia saat ini. Tersisa kejelian, kearifan raja Jogjakarta menerapkan kebijakan protectionism dari seorang Raja, seorang pemimpin yang waskito, wibisono dan wicaksono, pemimpin yang arif, bijaksana dan memiliki wawasan jauh ke depan, melarang etnis China memiliki tanah di tlatah Yogjakarta. Atas kejadian ini harap semua RT, RW, Kepala Desa, Lurah dan Camat serta Bupati di seluruh Indonesia harus melakukan \"Sweeping\" terhadap semua penduduk pendatang di kelurahannya masing-masing dan mencari tahu, melakukan screening dan scrutinizing \"Kewarganegaraan\" mereka satu per satu. Harus ditelusuri dari mana asal-usul dan prosesnya hingga mereka memiliki kewarganegaraan Indonesia atau menjadi WNI. Check apakah E-KTP, KK dan SIM mereka itu asli, Aspal atau Palsu. Kemudian cek Visa ijin tinggal mereka. Masih berlaku atau sudah kadaluarsa. Jangan lupa untuk memata-matai gerak-gerik mereka di desa Anda, bila ada terbukti menyimpan senjata api, harus digrebek oleh Polisi atau TNI. Kalau palsu, harus segera diproses seusai hukum yang berlaku. Sekalipun ada kendala sebagian aparat terkait justru larut ikut melindungi mereka hanya karena upah dan kepentingan ekonomi belaka. Semua ini harus dilakukan oleh semua Warga Negara Indonesia, khususnya golongan Pribumi Indonesia. NKRI itu negaramu, jangan sampai pendatang mengusir dirimu dari negaramu sendiri. Jangan takut membela hak kemerdekaan negaramu sendiri. Lawan dan usir mereka kembali ke negaranya seperti keberanian para raja-raja saat memotong telinga mereka dan mengusir kembali ke negaranya. Kemerdekaan Indonesia itu adalah untuk kesejahteran dan kemakmuran golongan Pribumi asli Indonesia, bukan untuk warga pendatang asing dan para Taipan. Dalam kasus datangnya warga China yang Tenaga Kerja Asing (TKA), harus kita usir kembali ke negaranya karena sangat membahayakan kedaulatan negara dan bahkan indikasi kuat akan mengacaukan proses Pemilu dan Pilpres di Indonesia. Kita diam, kita akan musnah dan berujung malapetaka untuk anak-anak bangsa kita. Tinggal satu kesempatan terakhir menyelamatkan anak bangsa, sebelum mereka semua menjadi budak. Usir mereka kembali ke negaranya. Rezim yang tidak sadar akan bahaya ini dan tidak bisa diingatkan harus diturunkan dengan paksa demi keselamatan negara dan warga pribumi dari kepunahannya. (*)

Curhat Amanat Penjabat

Dalam konteks Negara, masih ada peluang untuk JR, bukan hanya ke MK, tapi juga ke MA. Semoga Rakyat/Umat Islam tak hanya jadi komentator, tapi menangkan Pemilu 2024 untuk koreksi berbagai hal yang bermasalah itu. Oleh: Prof. Dr. Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta SALAH satu media sosial ada yang mengunggah tulisan: “RIP Pemilu, Welcome Kediktatoran”. Pilkada 2022 diundur, dan ditunjuk Penjabat. Sementara itu, jabatan Presiden selesai Oktober 2024. Niatnya Pilkada dan Pilpres Serentak 2024, artinya berbarengan. Tapi ternyata tidak juga, jaraknya jauh. Pilpres 14 Februari 2024, sedangkan Pilkada 27 November 2024. Jadi, apa gunanya Pilkada diundur dan dilakukan serentak? Di mana penghematannya? Dengan jadwal Pilpres dan Pilkada seperti itu, apa gunanya menunda Pilkada 2022: toh tidak serentak juga? Mengapa juga jadi terbalik pelaksanaan Pilpres terlebih dahulu? Dengan jadwal seperti ini, mana bisa dianggap akan berlangsung Jurdil? Penundaan Pilkada dan Penunjukan Penjabat Kepala Daerah sementara jelas demi melanggengkan kekuasaan, dibantu dengan kotak kardus? RIP Pemilu. Seharusnya Pilpres yang semestinya dimajukan ke 2022, terlebih dengan batasan defisit anggaran 3% harus kembali pada 2023. Dengan kelonggaran itu APBN masih cukup ruang untuk mengatasi kendala pendanaan Pemilu, yang bahkan sampai hari ini pun belum ada kesepakatan budget final. Sementara itu gerakan masif menggalang dukungan 3 periode terus saja berlangsung. Pidato Jokowi agar bawahannya tidak bahas 3 periode hanya sebatas meredam protes saja. Jika sampai dilakukan Amandemen UUD agar Jokowi bisa 3 periode, maka akan ada periode ke 4, 5, dst. Faham \'legalisme\' yang menggunakan hukum sebagai justifikasi untuk berbuat semaunya adalah cikal bakal kediktatoran. Masa jabatan Gubenur/Walikota/Bupati jelas diatur dalam UUD/UU, yaitu 5 tahun. Saat masa jabatannya selesai, otomatis selesailah posisinya sebagai pejabat, dan pejabat tersebut sudah tidak punya legitimasi/kekuatan hukum untuk tetap menjabat. Aapalagi secara sepihak memperpanjang masa jabatannya/menolak diganti. Sampai hari ini tidak ada UUD/UU yang memberikan hak itu. Kalau Penjabat/Pejabat Sementara Gubernur/Walikota/Bupati itu bertugas selama 2,5 tahun apakah ini wajar? (Wajar menurut Penguasa yang bikin peraturan). Karena kita berada di negara yang ada aturan hukumnya. Aturan hukumnya sangat jelas. Dan, itu bukan baru kemarin dibuat. Malah sudah ada sejak tahun 2016. Kalau memang tidak setuju, ajukan ke MK. Tapi ke mana saja selama ini dari tahun 2016 baru bangun di tahun 2022? Fraksi PKS di DPR sudah beberapa kali mencoba mengoreksi. Tapi, mayoritas Fraksi dan Pemerintah tetap berpendapat begitu. Sudahkah pakar-pakar yang hebat itu menggunakan hak formal konstitusional sejak awal? Bukan hanya teriak di medsos. Jika ada pihak yang tidak setuju dan tidak puas dengan Undang-Undang dan Peraturan yang telah disahkan/ditetapkan, maka pihaknya dipersilakan mengajukan gugatan ke MK. Pengalaman bertahun-tahun, sejak Pilpres terdahulu (2014) hingga Pilpres  berikutnya, termasuk gugatan atas beberapa Undang-Undang, yang terakhir tentang Presidensial Threshold 20% dan UU IKN, apakah MK telah berpihak pada kebenaran dan keadilan? Jadi lingkaran setan perundang-undangan dan penegakan hukum di Nusantara. Susahnya, MK sudah dalam genggaman kekuasaan. Bahkan, sekarang sudah berubah menjadi Mahkamah Keluarga. Keadaan ini harus dilawan dengan keras. Perjuangan dengan jalur konstitusi sudah menjadi mainan penguasa Oligarki. Ya itulah konsekuensi dari aturan yang ada. Juga pentingnya menang Pemilu. Sama saja di lingkungan ASN, Perguruan Tinggi, Ormas, bahkan Pesantren, selalu ada ketentuan/aturan yang tidak memuaskan semua pihak. Dalam konteks Negara, masih ada peluang untuk JR, bukan hanya ke MK, tapi juga ke MA. Semoga Rakyat/Umat Islam tak hanya jadi komentator, tapi menangkan Pemilu 2024 untuk koreksi berbagai hal yang bermasalah itu. Semua Warga Negara dengan demikian niscaya berusaha sungguh-sungguh menegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI sesuai dengan kemampuan, keahlian, dan kapasitas pada bidang-bidangnya. (*)