Terorisme, Radikalisme, dan Islamophobia

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

 Hal itulah yang menyebabkan Islamofobia dipahami di sini sebagai bentuk pemerintahan rasial yang bertujuan merusak identitas Muslim yang berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

CATATAN saya terdahulu: http://fnn.co.id/post/mengapa-islam-kontra-radikal memperoleh respons penulis buku, Prof.  Mukhlis Jamil, dengan mengirimkan pdf buku, tulisan-tulisan dalam jurnal, dan catatan. Tulisan saya tersebut juga mendapat respons kolega Shohibul Anshor Siregar di grup WA yang lain.

Atas ijin yang bersangkutan saya salin tulisan-tulisannya berikut untuk memperoleh umpan balik dari para pembaca.

https://nbasis.wordpress.com/2021/11/28/persaingan-dan-penjinakan-dunia-islam/

https://nbasis.wordpress.com/2021/06/28/chomsky-perang-melawan-teror/

https://nbasis.wordpress.com/2021/06/17/perang-baru-melawan-teror/

Kerja Terorisme: Terorisme Bukan Senjata Orang Lemah

Itulah budaya di mana kita hidup dan itu mengungkapkan beberapa fakta. Salah satunya adalah fakta bahwa terorisme bekerja. Itu tidak gagal. Berhasil. Kekerasan biasanya berhasil. Itulah sejarah dunia.

Kedua, adalah kesalahan analitik yang sangat serius untuk mengatakan, seperti yang biasa dilakukan, bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah. Seperti cara kekerasan lainnya, itu terutama senjata yang kuat, pada kenyataannya. Ia dianggap sebagai senjata bagi yang lemah karena yang kuat juga menguasai sistem doktrin dan teror mereka tidak dihitung sebagai teror.

Sekarang itu mendekati universal. Saya tidak bisa memikirkan pengecualian historis, bahkan pembunuh massal terburuk pun memandang dunia seperti itu. Jadi pilihlah Nazi. Mereka tidak melakukan teror di Eropa yang diduduki.

Mereka melindungi penduduk lokal dari terorisme partisan. Dan seperti gerakan perlawanan lainnya, ada terorisme. Nazi melakukan kontra teror. Selanjutnya, Amerika Serikat pada dasarnya setuju dengan itu.

Terorisme bukanlah senjata bagi yang lemah. Itu adalah senjata mereka yang melawan kita siapa pun kita kebetulan. Dan jika Anda dapat menemukan pengecualian historis untuk itu, saya akan tertarik untuk melihatnya.

Sifat Budaya Kita: Bagaimana Kita Menganggap Terorisme

Indikasi menarik dari sifat budaya kita, budaya tinggi kita, adalah cara memandang semua ini. Salah satu cara itu dianggap hanya menekannya. Jadi hampir tidak ada yang pernah mendengarnya. Dan kekuatan propaganda dan doktrin Amerika begitu kuat sehingga bahkan di antara para korbannya hampir tidak diketahui.

Perang terhadap terorisme (war on terrorism) yang memaksa keterlibatan banyak Negara di dunia, dan terkadang secara kualitatif maupun kuantitatif mereduksi tajam kedaulatan Negara-negara yang dilibatkan dalam kerjasama, apalagi jika negara itu Negara lemah, terutama setelah peristiwa yang lebih dikenal dengan 911, begitu dahsyat untuk diabaikan dalam kajian hubungan internasional pasca perang dingin.

Tentu saja pemupukan dominasi Negara adidaya dalam proses itu, yang sering terabaikan, juga sangat menarik.

Aksi-aksi penistaan terstruktur satu kepada lain Negara atau penduduk suatu Negara, dengan mandat pemerintahan internasional pula, tak dapat diabaikan.

Setelah kejadian 911, arah yang sangat jelas memusuhi Islam begitu kuat. Ini memang aneh. Definisi yang tidak ambigu dan dapat terterima oleh seluruh masyarakat internasional tentang terorisme itu sendiri sulit didapatkan hingga kini, termasuk oleh PBB sendiri.

Tetapi ada keinginan besar untuk memaksakan kehendak oleh kekuatan internasional. Cukup popular pemahaman saat ini di seluruh dunia bahwa tidak semua muslim teroris, tetapi semua teroris adalah muslim. Ini sangat bertentangan dengan fakta sepanjang sejarah, dan cenderung menodai Islam dan pemeluknya.

Statement itu adalah bagian dari bahasa dan publikasi dunia yang begitu besar dan secara hegemonik menentukan degradasi komunitas dan Negara muslim yang diposisikan secara peyoratif sebagai teroris, atau paling tidak tak memberi kepemihakan terhadap upaya war on terrorism itu.

https://nbasis.wordpress.com/2016/04/11/terorisme-global/

https://nbasis.wordpress.com/2010/08/10/islamophobia-mereka-akan-bakar-al-quran/

https://nbasis.wordpress.com/2017/07/10/terorisme-isis-1/

Radikalisme dan ekstremisme adalah konsep yang sering digunakan (salah). Arti dari istilah-istilah ini tidak jelas dan batas-batas antara mereka dan antara salah satu dari istilah-istilah ini dan pemikiran dan praktik politik arus utama tidak jelas.

Meskipun tidak ada definisi hukum tentang ekstremisme atau radikalisme di sebagian besar negara, namun demikian ada banyak program pemerintah yang berhubungan dengan [Melawan] Ekstremisme Kekerasan (CVE) dan Radikalisasi [De-] karena keduanya menyiratkan perubahan ke bentuk kekerasan politik tertentu: terorisme.

Catatan Penelitian ini menyajikan hasil analisis terminologis dan konseptual definisi ekstremisme dan radikalisme yang digunakan (terutama, tetapi tidak secara eksklusif) di Jerman. Tujuannya adalah untuk mengembangkan definisi konsensus akademis dari istilah-istilah ini yang sebanding dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Alex P. Schmid untuk mencapai Definisi Konsensus Akademik tentang Terorisme.

https://nbasis.wordpress.com/2019/11/26/radikalisme-dan-ekstrimisme/

https://nbasis.wordpress.com/2019/11/05/radikalisme-dan-intoleransi/

Jika konsep Islamofobia masih terus menjadi perdebatan atau selama diabadikannya ketidaksediaan menerima kenyataan berbagai dampak menyedihkan yang diakibatkannya, hal itu adalah kondisi buruk yang akan terus menghalangi tindakan melawan atau menghapuskannya.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi Islamofobia yang telah menyebar dan mengakar ini? Rekomendasi The Runnymede Trust yang dicantumkan dalam laporan 2017 dengan argumen yang kuat antara lain meminta:

Pertama, mengadopsi definisi Islamofobia sebagai rasisme anti-Muslim. Islamofobia sebagai rasisme anti-Muslim adalah “pembedaan, pengecualian, atau pembatasan apa pun terhadap, atau preferensi terhadap, (atau mereka yang dianggap) Muslim, yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau merusak pengakuan, kenikmatan atau pelaksanaan, dengan pijakan yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan publik lainnya.”

Kedua, layanan publik dan swasta serta pengusaha sektor amal harus mengumpulkan lebih banyak data tentang Muslim dan kelompok agama lainnya untuk menyoroti besaran masalah dan penderitaan hukuman Muslim yang lahir sebagai konsekuensi Islamofobia ini.

Ketiga, menindaklanjuti komitmennya untuk mengumpulkan data kesetaraan ras dan kendala-kendalanya, pemerintah harus mengadopsi strategi yang lebih luas untuk mengatasi ketidaksetaraan yang secara khusus memengaruhi Muslim Inggris.

Keempat, harus ada penyelidikan penuh dan independen ke dalam strategi kontra-terorisme yang dilakukan pemerintah. Sebagaimana diketahui, di hampir semua negara yang merasa dipayungi oleh kebijakan global war on terrorism tindakan unlawfull killing selalu menjadi pengalaman buruk merendahkan Hak Asasi Manusia dan seolah hukum kemanusiaan tidak perlu dirujuk untuk peradilan yang menjunjung tinggi peradaban.

Kelima, regulator media harus melakukan intervensi secara lebih proaktif dalam kasus-kasus pelaporan yang diduga diskriminatif, dan dengan demikian mencerminkan semangat regulasi kesetaraan.

Dalam kasus Amerika Serikat misalnya (David L. Altheide, The Mass Media, Crime and Terrorism, Journal of International Criminal Justice, Volume 4, Issue 5, November 2006), media massa, sebagaimana diketahui, memainkan peran besar dalam persepsi publik dan penerimaan perilaku kriminal oleh negara itu.

Penerimaan publik atas tindakan ilegal oleh pemerintah AS dalam Perang Irak, serta langkah-langkah yang diambil untuk memerangi terorisme, telah pula dipengaruhi oleh konten media hiburan dan logika media tentang kejahatan dan ketakutan.

Ini semua memiliki konteks budaya dan komunikasi massa yang mendorong ketakutan akan kejahatan di satu sisi, sementara juga membenarkan tindakan ilegal negara untuk memerangi kejahatan di sisi lain.

Propaganda dan manajemen berita (misalnya kompleks militer-media dan kegagalan jurnalisme) berkontribusi pada wacana ketakutan dan negasi simbolis dari orang lain, sebagai kriminal atau teroris — dan, dalam prosesnya, menghargai tindakan kriminal sebagaimana diperlukan dan heroik.

https://nbasis.wordpress.com/2021/05/08/islamofobia-laporan-the-runnymede-trust/

Kini “Islamofobia” adalah istilah yang telah diterapkan secara luas pada ide dan tindakan anti-Muslim, terutama sejak tragedi 9 September, sebagaimana Andrew Shryock mengemukakan tanpa sedikit pun keraguan (Islamophobia, Islamophilia: Beyond the Politics of Enemy and Friend, 2010).

Kritiknya dalam  eksplorasi kegunaan konsep untuk memahami konteks dimulai dari Abad Pertengahan hingga Zaman Modern.

Beranjak dari penjelasan umum tentang aneka konsep yang dilahirkan dengan semangat permusuhan seperti stereotip Muslim yang baik atau Muslim yang buruk; atau konsekuensi-konsekuensi psikologis dan politik yang dihasilkan oleh introduksi istilah “benturan peradaban” (Clash of civilization, Huntington, 1991), para kontributor dalam karya ini menggambarkan mitra Islamofobia, Islamofilia, yang menyebarkan oposisi serupa untuk kepentingan mendorong penerimaan publik terhadap Islam.

https://nbasis.wordpress.com/2021/04/05/islamofobia-amerika-dan-eropa/

Self-Hating Muslim

Dunia Islam tidak berada dalam ruang hampa pengaruh. Hatem Bazian dalam uraian berjudul Religion-building and Foreign Policy menegaskan Islamofobia yang berbeda dan terfokus secara historis dalam masyarakat mayoritas Muslim dengan menempatkan Islamofobia terutama sebagai proses yang muncul dan dibentuk oleh wacana hegemoni Eurosentris kolonial yang berasal dari akhir abad ke-18, yang juga menekankan peran internalisasi oleh elit pasca-kolonial.

Karena itu selain telaah sejarah yang sahih, buku ini menyarankan untuk melihat Islamofobia melalui lensa teori sistem dunia, rasisme epistemik, dan sekularisme.

Menggunakan konsep orientalisasi diri dan Westernisasi diri, buku ini cukup tuntas menjelaskan bagaimana beberapa segmen masyarakat Muslim menyatakan identitas mereka, tradisi mereka dan pandangan dunia mereka sendiri yang justru melalui pandangan asing, yaitu orientalisme Barat.

Proses inilah yang menjadi jawaban atas kemungkinan terjadinya fenomena jamak berupa kebencian pada diri sendiri oleh Muslim (self-hating Muslim) yang ditengarai tidak hanya berakar pada penjajahan, tetapi lebih umum lagi dalam perjumpaan dengan Barat sekuler-modern khususnya yang terjadi begitu dahsyat pada pergantian abad kesembilan belas.

Hal itulah yang menyebabkan Islamofobia dipahami di sini sebagai bentuk pemerintahan rasial yang bertujuan merusak identitas Muslim yang berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa.

Jika pemimpin-pemimpin Indonesia bisa menjadi tauladan, niscaya tak akan sebesar ini kontroversi ijtihad terhadap idiologi negara.

Makin besar penyimpangan terhadap Pancasila akan makin besar keinginan untuk menggantinya. Dosa siapa ini? Pemerintah wajib menjawab.

Islamofobia melahirkan berbagai macam instrumen politik, hukum dan budaya yang terus mempersempit tempat bagi agama ini.

Konsep-konsep turunannya seperti moderasi Islam, muslim moderat, dan Islam moderat, yang awalnya diciptakan oleh media dan akademisi yang memberi pemaknaan terutama atas revolusi Iran (1979) dengan pembobotan subjektif tertentu, kini di banyak negara menjadi wacana dalam pengarusutamaan politik dan budaya. (*)

346

Related Post