OPINI

Anies Puan Pasangan Kontroversial

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  POLA pemasangan di aras PT 20 % terus berkonfigurasi. Ada Prabowo-Puan, Ganjar Erik, Anies-AHY, bahkan muncul Ganjar-Anies, Prabowo-Khofifah, Anies-Puan, dan yang paling lucu Prabowo-Jokowi. Konsepsi ilusi Jokowi 3 periode adalah Jokowi-Prabowo. Para \"king maker\" sedang berfikir dan melakukan lobi keras. Sebenarnya sulit membedakan \"king maker\" dengan bandar ataupun calo Pilpres.  SurveI selalu unggulkan Prabowo, meski tingkat kepercayaan pada survey itu rendah, lembaga yang bisa dibayar dan dipesan. Ganjar selalu disebut sebagai pewaris dan kepanjangan kekuasaan Jokowi dan oligarki. Anies justru yang paling riel dalam gebyar dukungan. Paling ditakuti dan sangat berpeluang. Memasang-masangkan Anies untuk cawapres menjadi daya tarik tersendiri.  Pasangan rasional adalah Anies-AHY karena sekurangnya PKS, Nasdem, dan Demokrat cukup untuk mengusung lewat ambang batas PT 20 %. Pasangan potensial adalah Anies-Airlangga karena Airlangga Ketum Golkar berkubu dengan PAN dan PPP. Adapun pasangan kontroversial adalah Anies-Puan. Fenomena baru yang dikaitkan dengan manuver orang JK. Soal umroh segala.  Orang bisa menilai ideal sebagai pasangan relijius dan kebangsaan. Tapi itu kontroversial karena basis dukungan Anies dan Puan berada pada posisi diametral. PDIP termasuk partai yang berusaha menjegal Anies sejak awal sementara pendukung Anies rentan pada PDIP yang merepresentasi partai penguasa. Jauh dari rakyat dan umat Islam.  Kawin paksa tidak akan membuat rumah tangga bahagia.  Tiga hal penting jika kawin paksa dari pasangan kontroversial ini dilakukan, yaitu ; Pertama, kedua pendukung sebagian akan berlari ke lain hati. Atau enggan mendukung perpaduan. Kubu Islam pendukung Anies mungkin memilih golput, pendukung Puan bisa beralih ke Ganjar. Apalagi jika partai-partai awal pendukung Anies menarik diri, Anies-Puan hanya akan diajukan oleh PDIP. Artinya fatal.  Kedua, posisi Anies tidak aman karena partai pendukung Puan memiliki fanatisme yang jauh lebih kuat, sementara Anies didukung oleh partai-partai dengan ikatan yang lebih cair. Anies  akan digoyang dan dijatuhkan di tengah jalan dalam rangka membuka peluang bagi Puan untuk menjadi Presiden. Operasi intelijen bisa dimainkan.  Ketiga, Anies-Puan sulit melakukan perubahan politik karena PDIP adalah partai konservatif sekaligus the rulling party. Akan ikut berperan dalam menentukan kebijakan. Gagasan otentik dan konstruktif Anies bakal banyak terganjal. Terutama pemberantasan KKN dan penegakan HAM.  Gonjang-ganjing pemasangan Anies-Puan hanya menguntungkan Puan. Mendongkrak kenaikan ratingnya. Sementara bagi Anies sama sekali tidak menguntungkan bahkan mungkin merugikan. Qua intelektual, emosional, integritas, maupun track record kepemimpinan yang berbeda tidak akan membawa keduanya bersimbiosis mutualisma bahkan mungkin saja parasitis.  Tetapi benar kata sebagian orang bahwa Belanda itu masih jauh, jadi semua otak-atik masih terlalu dini. Meski Formula E menunjukkan kesuksesan Anies Baswedan yang mampu menaklukan Puan dan Jokowi namun belum tentu kondisi berjalan normal hingga 2024.  Dalam hal perubahan politik terjadi lebih cepat dimana Jokowi lengser sebelum 2024 atau PT 20 % ternyata telah hapus, maka cerita soal Pilpres akan bernarasi lain. (*)

Luhut = Harmoko Jilid 2?

Oleh Rahmi Aries Nova - Wartawan Senior FNN  DUA puluh empat tahun lalu, presiden kedua Indonesia yang sudah berkuasa 32 tahun lebih Soeharto, sudah ingin mundur.  Soeharto mengaku dirinya sudah \'TOP\' (Tua Ompong dan Peot). Dan baginya sudah cukup mengabdi pada negeri ini dan sudah saatnya istirahat, meluangkan banyak waktu untuk keluarga dan bermain dengan cucu-cucu. Tapi Menteri Penerangan saat itu Harmoko justru menyampaikan \'laporan palsu\'. Menyebut rakyat masih menginginkan Pak Harto untuk terus memimpin negeri. Golkar (Golongan Karya), partai pendukung pemerintah mendukung penuh. \"Pak Harto akhirnya memang terpilih lagi. Tapi dua bulan berselang gelombang reformasi tak terbendung. Pak Harto pun tumbang,\" ujar Rizal Ramli, saksi sejarah yang masih vokal hingga saat ini. Rizal mengaku ia orang pertama yang meramalkan bahwa krisis ekonomi akan menjadi krisis politik pada 1998. \"Saya sudah ramalkan itu sejak Oktober 1996,\" jelasnya lagi. Kini Rizal meramalkan hal serupa. Indikasinya sudah begitu nyata dengan kehidupan menengah ke bawah yang sudah susah, uang yang beredar sedikit sekali karena disedot untuk surat utang negara, kesulitan likuiditas dan rakyat dipukul dua kali dengan naiknya harga dan pajak serta pemerintah yang begitu pro Beijing dan otoriter. \"Saya bukan asal jeplak ini basisnya dari analisa kondisi objektif,\"  jelas Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Abdurahman Wahid itu. Bahkan boleh dibilang kondisi saat ini lebih buruk dari era Soeharto. \"Zaman Pak Harto dari minyak dan gas 85 persen untuk negara. Sekarang semua dikuasai asing, negara tidak dapat apa-apa,\" katanya dengan nada geram. Sekarang harga batubara naik berlipat-lipat, tapi negara memperoleh sedikit. Rakyat apalagi. Harga nikel naik. Tetapi, yang menikmatinya kontraktor asing dan aseng. Terbalik dibandingkan era Soeharto. Sekarang negara hanya dapat 15 persen, selebihnya dinikmati ologarki asing aseng. Rizal melihat apa yang dilakukan Harmoko pada masa lalu, kini dilakoni Luhut Bisnar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang pernah menjadi bawahannya saat ia menjadi Menko Ekuin dan Luhut menjabat Menteri Perdagangan. Menurut Rizal, sebagai bawahannya di era Gus Dur, Luhut, adalah tipe yang suka menyenangkan atasan. Ya, mirip Harmoko (almarhum). Luhut berusaha menyenangkan, karena ada sesuatu yang diinginkannya.   \"Ketika saya minta agar minyak goreng diturunkan waktu itu, dia mengatakan, \"Siap!\" Atas perintahnya itu, Luhut pun mengumpulkan pengusaha migor.  \"Ya, dia lakukan perintah saya. Akhirnya harga migor waktu itu turun,\" katanya. Luhut yang kini mengurusi soal minyak goreng hingga harga tiket masuk Candi Borobudur diduga sosok yang ingin Presiden Joko Widodo memperpanjang masa jabatannya lewat propaganda \'Jokowi Tiga Periode\' dan skenario lain yang intinya mempertahankan kekuasaan selama  mungkin dengan dukungan oligarki dan partai-partai politik yang siap \'dibeli\' dengan harga tinggi. \"Luhut itu seperti Harmoko jilid 2. Kalau di Sri Lanka ada Rajapaksa, di sini ada \'raja tipu\',\" katanya di akhir wawancara dengan FNN pekan lalu. (*)

Panitia Formula E, Undang Ustaz Haikal Hasan Bukan Mba Rara

Jakarta, FNN --  Berbeda dengan perhelatan MotoGP Mandalika yang sempat mengundang pawang hujan Mba Rara, pada pelaksanaan balapan mobil Formula E yang diundang panitia adalah Ustaz Haikal Hasan untuk memimpin do\'a di Ancol Jakarta Utara, Sabtu (4/6/2022).  Haikal diundang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta PT Jakarta Propertindo (Jakpro) ke Sirkuit Internasional Formula E untuk memimpin doa bersama. Doa bersama tersebut, dilakukan bersama sejumlah anak yatim untuk kesuksesan acara ajang bergengsi tersebut pada 4 Juni di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. \"Biar Mas Anies Baswedan menunjukkan dengan hasil kerja dan kita menunjukkan dengan doa,\" kata Haikal. \"Semuanya bekerjasama dan kompak. Ustaz minta tolong, ikhlas, kirimkan pahala Surat Al-Fatihah untuk kesuksesan acara ini,\" sambung Haikal saat memimpin doa. Penceramah kondang dengan sebutan \'Babeh Haikal\' ini pun menengadahkan tangan dan muka seraya membacakan surat pembuka Al-Qur\'an tersebut untuk diikuti sejumlah anak yatim yang dihadirkan khusus acara doa bersama tersebut. Meski saat ini cuaca di Indonesia hampir selalu panas, ada kalanya hujan tiba-tiba turun. Sebelumnya, tim Formula E Operation (FEO) mengatakan tak perlu khawatir tentang kondisi cuaca sebab pihaknya sudah mengantisipasi kondisi tersebut. “Kami menyiapkan berbagai rencana dan mitigasi untuk menghadapi berbagai cuaca,\" kata Consultant Safety, Health and Environment (HSE) FEO Richard Bate dalam keterangan terpisah beberapa waktu lalu.  Richard mengatakan, pihaknya sudah melalui banyak sekali balapan di berbagai negara dunia, dengan bermacam-macam musim sehingga, untuk menghadapi situasi seperti cuaca, mereka siap mengakomodir sesuai dengan keadaan di Indonesia. Dari sisi keamanan penonton secara umum, misalnya, Richard menjelaskan pihaknya akan mengarahkan dan menuntun semua orang untuk turun dari tribun jika cuaca sangat buruk, seperti ketika angin sangat kencang. Event Director FEO Gemma Serra mengatakan, dari sisi pertandingan, kalau sekadar hujan biasa seperti yang terjadi belakangan ini, tak akan menimbulkan masalah bagi balapan. Hal itu, lanjut Gemma, karena trek Formula E di Jakarta itu didesain dengan banyak drainase yang berfungsi baik. Formula E diikuti oleh 11 tim dan pabrikan otomotif dunia, seperti Jaguar, Mercedes, Porche dan Nissan. Untuk ajang di Jakarta kali ini dimenangkan oleh Mitch Evans dari Tim Jaguar TCS Racing, sedangkan Jean Eric Vergne (DS Techeetah) yang dalam babak kualifikasi sebagai pembalap tercepat harus puas di posisi kedua. ***

Kedaulatan Rakyat versus Oligarki dan KKN

Maka, siapapun calon presiden 2024 nanti, selama Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai, maka janji-janji manis Capres itu tidak akan pernah terwujud. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) (Disampaikan Pada Peringatan 25 Tahun Mega-Bintang, Solo, 5 Juni 2022) MEGA-Bintang lahir sebagai bagian dari sejarah Konsolidasi Elemen Civil Society untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Pada 25 tahun lalu, konsolidasi sipil tersebut terbangun karena arah perjalanan bangsa saat itu, dalam era Orde Baru semakin melemahkan Kedaulatan Rakyat dengan sistem pemerintahan yang semakin otoriter dan state heavy. Perlu dicatat, Deklarator dan Pendiri Mega Bintang ini tidak lain adalah tokoh Solo, Mudrick Setiawan MS. Karena memang, kedaulatan rakyat ketika itu harus kita tempatkan sebagai inti kedaulatan sebuah negara. Karena rakyat adalah pemilik negara ini. Dan cita-cita hakiki dari lahirnya negara ini adalah untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pun demikian hari ini. Rupanya konsolidasi sipil kembali diperlukan. Karena Kedaulatan Rakyat sejak era Reformasi, khususnya sejak adanya Amandemen Konstitusi pada 1999 hingga 2002 lalu, kedaulatan rakyat bukan semakin menguat. Tetapi menjadi kedaulatan prosedural dan kedaulatan seremonial melalui Pemilu. Amandemen yang dilakukan dengan dalih (alasan) untuk memperkuat sistem presidensiil dan memperkuat posisi perlemen, khususnya DPR RI, ternyata bukan berbanding lurus dengan penguatan kedaulatan rakyat. Malah justru mengubah konsep kedaulatan yang seharusnya: Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat, menjadi: Dari Rakyat, Oleh Partai Politik, dan Untuk Oligarki. Saya sebagai pejabat negara yang telah disumpah atas nama Allah SWT dan disaksikan Al-Quran. Bahwa saya harus menjalankan Konstitusi dan juga peraturan perundangan, tentu secara obyektif, sebagai pejabat negara saya harus memenuhi sumpah saya. Tetapi secara subyektif, Allah SWT memberi saya akal untuk berpikir, dan Qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir, dan Zikir. Sehingga saya harus melakukan koreksi atas Konstitusi hasil Amandemen yang sudah menyimpang jauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Saya juga harus melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan yang lahir tidak dalam semangat memberi manfaat kepada rakyat. Tetapi, sebaliknya memberi manfaat kepada segelintir orang atau kelompok. Bahkan yang lebih kejam, justru menyengsarakan rakyat. Tetapi secara empirik, kewenangan DPD RI dalam fungsi legislasi itu sangatlah terbatas. Demikian juga kewenangan yang diberikan di dalam Konstitusi. Oleh karena itu, yang bisa saya lakukan adalah menyampaikan langsung kepada seluruh stakeholder bangsa ini, bahwa arah perjalanan bangsa ini harus kita koreksi. Harus kita perbaiki, untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk dapat melakukan itu, kita tentu harus Adil sejak dalam pikiran. Harus Jernih sejak dari hati. Dan harus Berani mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Dan hal itu hanya bisa kita lakukan, jika kita konsisten berpijak dan bertindak sebagai Negarawan. Karena seorang Negarawan tidak berpikir tentang next election, tetapi berpikir tentang next generation. Sebagai Ketua DPD RI, saya sudah keliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya bertemu langsung dengan stakeholder di daerah. Mulai dari pejabat pemerintahan daerah, akademisi dan kalangan kampus, serta pesantren dan agamawan, hingga kerajaan dan kesultanan nusantara. Saya mendengar dan melihat langsung apa yang mereka rasakan dan alami di daerah. Dan, hampir semua persoalan yang dihadapi dan dirasakan sama. Yaitu: Ketidakadilan dan Kemiskinan. Dua hal ini adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Mengapa saya sebut Fundamental? Karena penyebabnya juga Fundamental. Sehingga untuk penyelesaiannya juga harus Fundamental. Tidak bisa kita atasi dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Harus Fundamental. Dari Hulunya. Bukan di Hilir. Ketidakadilan terjadi karena negara ini telah terkungkung oleh Oligarki Ekonomi yang telah menyatu dengan Oligarki Politik dan menyandera kekuasaan. Dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan yang struktural, dampak dari ketidakadilan tersebut. Jadi, saya tegaskan di sini, Konsolidasi elemen Civil Society mutlak diperlukan sebagai bagian dari kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat. Jadi, menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini tidak lain yaitu Adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepada kepentingan mereka. Siapa mereka? Oligarki Ekonomi yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaan mereka di luar negeri. Dan, mereka juga semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik. Jadi, selama Oligarki Ekonomi ini diberi ruang, apalagi untuk masuk ke dalam kekuasaan, maka sama saja dengan kita memberikan kepada Sosok Sangkala atau Buto yang rakus untuk berkuasa. Silakan menjadi kaya raya. Tapi jangan karena mengatur dan mengendalikan kebijakan negara untuk berpihak kepada kalian. Silakan menjadi kaya raya, tetapi jangan gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompok kalian. Silakan untuk kaya raya, tetapi jangan hanya Empat orang di Republik ini, tetapi kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat. Ini keterlaluan. Dan keterlaluan itu adalah Ketidakadilan. Dan ketidakadilan yang dibiarkan, membuat Tuhan murka. DPD RI sendiri secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang kami gugat adalah Pasal tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold. Bagi kami di DPD RI, Pasal tersebut merupakan Pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Karena melalui Pasal inilah, Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini. Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan pasal ini telah mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Karena Pasal ini memaksa Partai Politik untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Dan mematikan hak Partai Politik baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena adanya kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Dan yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar kita. Karena Pasal tersebut memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas. Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres. Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, hingga biaya pemenangan dalam proses Pilpres. Sehingga jangan heran bila janji-janji manis untuk mewujudkan Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan oleh para kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena mereka yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi yang memperkaya diri dari kebijakan dan kekuasaan yang harus berpihak kepada mereka. Maka, siapapun calon presiden 2024 nanti, selama Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai, maka janji-janji manis Capres itu tidak akan pernah terwujud. Bagaimana mungkin seorang Capres akan menghentikan Impor Garam, Impor Gula, Impor Beras, dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari Penikmat Uang Rente dari Keuntungan Impor? Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ayat 1, 2 dan 3 di mana bumi, air dan isinya dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat dan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak dikuasai negara, bila Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat Konsesi Lahan atas Sumber Daya Alam Hutan dan Tambang? Bagaimana mungkin seorang Capres mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut? Itulah mengapa DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita. Jadi bila Mahkamah Konstitusi nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini, bahwa Mahkamah Konstitusi telah dengan sengaja memberi ruang pada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena tidak lagi menjaga negara ini dari kerusakan dari akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini. Minggu lalu saya bersilaturahmi dengan mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno. Beliau mengatakan kepada saya: Bahwa karena beliau tahu bahwa kakek saya, Pak Mattalitti turut berjuang dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, maka beliau memberi amanat sekaligus wasiat kepada saya untuk membenahi Konstitusi Negara ini yang telah menyimpang jauh dari tujuan para pendiri bangsa. Negara ini telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini. Karena sejak Amandemen Konstitusi pada 1999 hingga 2002 itu kita semakin terang benderang dan tanpa malu-malu lagi menjadi negara yang sekuler, liberal dan kapitalis. Dan, tanpa kita sadari, pandangan hidup dan cara berpikir serta perilaku kita telah berubah secara mendasar, yang merupakan antistesa dari nilai-nilai Pancasila. Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan dengan mengejar pada pertumbuhan PDB yang berbanding lurus dengan tax rasio. Kita telah meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Sehingga negara memilih melakukan intercept dengan memberikan program BLT-BLT untuk mengatasi kemiskinan, yang celakanya terbukti tidak tepat sasaran. Ini juga pekerjaan penting dari Konsolidasi Elemen Civil Society hari ini bahwa Konstitusi kita wajib dikembalikan ke semangat dan spirit suasana kebatinan para pendiri bangsa. Bahwa Undang-Undang Dasar Naskah Asli 1945 harus disempurnakan memang betul. Tetapi tidak diubah total menjadi Konstitusi yang sama sekali baru dan sudah tidak nyambung lagi dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai dari watak dasar atau D.N.A bangsa ini. Jadi, sekali lagi, jika kita ingin melakukan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik ke depan, maka kita harus melihat dengan jernih bahwa persoalan yang kita hadapi adalah persoalan Fundamental. Maka, jalan keluar yang dilakukan juga harus Fundamental. Dan salah satu persoalan Fundamental tersebut adalah Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan. Maka jalan keluar Fundamental yang harus kita lakukan adalah akhiri rezim Oligarki Ekonomi dan pastikan Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan melalui Demokrasi Prosedural yang menipu. Kiranya itu yang dapat saya sampaikan sebagai pengantar dialog. Semoga ikhtiar kita demi Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Sehingga pertemuan kita hari ini menjadi amal jariyah bagi kita dan mendapat energi dari langit. (*)

Pakta Integritas Capres

Oleh  M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SIAPAPUN yang menjadi Presiden pengganti Jokowi harus berbeda dengan pendahulunya dalam hal integritas diri sebagai pemimpin. Terlalu banyak kelemahan Jokowi yang menggambarkan adanya masalah integritas diri tersebut. Dari mulai banyak janji yang diingkari, plintat plintut dalam bersikap, orientasi kerakyatan yang lemah, kapitalistik, tidak bersahabat pada kelompok agamis, hingga lemah pemberantasan KKN.  Untuk menghindari pola kepemimpinan yang sama maka dibutuhkan komitmen kuat dalam melakukan perubahan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan komitmen Capres agar terjaga integritas dirinya sebagai pemimpin bangsa dan negara.  Pertama, membebaskan dari motif untuk memperkaya diri melalui kekuasaan politik, kuat untuk memimpin gerakan pembersihan birokrasi dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.  Kedua, siap untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan pengendalian kekuatan oligarki khususnya oligarki bisnis yang sangat merusak tata kelola pemerintahan.  Ketiga, mengembangkan ekonomi berbasis kerakyatan dan keumatan. Melumpuhkan ekonomi kapitalistik dan liberalistik. Pemihakkan pada ekonomi kecil dan koperasi bukan sekedar basa-basi.  Keempat, mengingat umat Islam adalah mayoritas, tanpa harus bersikap diskriminatif, umat Islam janganlah dipinggirkan apalagi dimusuhi. Jadikan umat sahabat dan buang stigma terorisme, radikalisme, atau intoleransi. Hapuskan Islamophobia.  Kelima, berkomitmen pada penghormatan HAM. Bongkar dan hukum siapapun yang telah melakukan pelanggaran HAM. Termasuk Presiden, Menteri atau aparat yang terlibat atau pernah terlibat dalam perbuatan pelanggaran HAM tersebut.  Pakta Integritas harus dibuat dan dipegang oleh para Capres. Di samping sebagai alat kontrol publik, juga berfungsi untuk melakukan kontrol diri atas berbagai godaan yang mungkin terjadi.  Capres yang menjadi antitesis dari Presiden saat ini adalah harapan rakyat. Bersipirit perubahan dan pembersih dari limbah kebijakan politik yang tidak pro rakyat. Hutang dan para koruptor pengotor negeri harus dieksekusi. Para penjilat diikat erat jangan diberi tempat dan dapat banyak berbuat.  Capres tanpa pakta integritas bukan saja tidak layak untuk dipilih tetapi juga jika kecurangan membuatnya terpilih, maka hasil Pilpres bukan final dari proses politik yang terjadi. Rakyat harus tetap melakukan pembenahan dengan menggelorakan perlawanan.  Tapi jika Capres berpakta integritas terpilih, maka rakyat harus membantu maksimal. Mengawal agar Presiden tetap berani dan kuat untuk dapat merealisasikan komitmen tersebut.  Sekali lagi catatan penting amanat yang harus dipenuhi : Berantas KKN, lepaskan kungkungan oligarki, bangun ekonomi kerakyatan dan keumatan, hapuskan Islamophobia, dan tegakkan HAM.  Presiden berintegritas akan mampu membuat sejarah untuk agama, bangsa dan negara.  Bandung, 5 Juni 2022

Formula E-xcellent!

Busuk hati Erick tercium oleh semua orang. Publik akan mengatakan menteri BUMN ini adalah politisi yang akan melestarikan pembelahan bangsa. Dia itu seorang partisan tulen. Berbahaya bagi negara. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis, Pemerhati Sosial Politik ALHAMDULILLAH! Formula E yang Excellent! Di kamus, “excellent” berarti “extremely good”. Sangat bagus. Itulah yang ditakdirkan Allah, Sabtu (4/5/2022). Balap mobil listrik terbesar di dunia berjalan sangat sukses. Tak cukup hanya disebut sukses. Kini, Menteri BUMN Erick Thohir (ET) terisolasi sendirian. Dia melakukan salah langkah dalam mempolitisasi posisi semua BUMN di tengah perhelatan olahraga internasional itu. Erick memblok BUMN. Tidak ada satu pun yang menjadi sponsor Formula-E (FE). Dilarang oleh Erick Thohir. Hanya karena tuan rumah balap ini adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Yang bakal menjadi capres terkuat. ET memang habis-habisan dalam upayanya untuk mengerdilkan FE. Jelas, tujuannya bisa dibaca dengan terang. Yaitu, untuk mereduksi kesuksesan Anies sebagai penanggung jawab tertinggi FE. Erick menunjukkan kualitas terendahnya sebagai politisi yang ambisius. Sikap ini membuat publik tak bisa membantah bahwa Erick adalah boneka oligarki konglomerat hitam. Para cukong itu memang tidak rela Anies sukses di perhelatan FE ini. Mereka gunakan tangan ET untuk menjelekkan reputasi Anies. Sekarang, sukses Formula-E menjadi berita besar olahraga. Media musuh Anies pun mau tak mau harus memberitakan balap ini. Agar mereka tidak kelihatan aneh. Busuk hati Erick tercium oleh semua orang. Publik akan mengatakan menteri BUMN ini adalah politisi yang akan melestarikan pembelahan bangsa. Dia itu seorang partisan tulen. Berbahaya bagi negara. Untuk Anies Baswedan, selamat atas kesuksesan Formula E-exellent. Rakyat akan menunggu kesuksesan Formula A pada Pilpres 2024. (*)

Leadership of Hope: Demokrasi, Redistribusi dan Krisis Global Dalam Regenerasi Kepemimpinan Indonesia ke Depan (2)

Kita, sekali lagi, harus merebut pengelolaan negara kita ini, menyingkirkan kekuasaan Oligarki, dan membangun demokrasi, persatuan nasional dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Sabang Merauke Circle (Disampaikan pada acara 25 Tahun Mega Bintang, 5 Juni 2022, di Solo) INDONESIA, sebagai negara miskin, juga mempunyai potensi kegagalan yang sama, yakni menjadi negara gagal, rakyat miskin dan perang saudara. Kemiskinan bangsa dan rakyat mayoritas di Indonesia selalu berulang terjadi sejak jaman penjajahan dan kemerdekaan karena nafsu segelintir elit ingin mengambil untung semuanya. Tapi, saat ini adalah jaman terburuk sepanjang sejarah kita. Ketika Soekarno membacakan pledoinya di pengadilan Laanraad di Bandung, dalam pledoi tersebut, dia mengutuk segelintir oligarki, kapitalis Belanda dan Eropa, yang membawa keuntungan untuk negeri mereka. Namun, pada masa itu, keterjajahan membuat kita tidak berdaya dalam melawan bangsa asing. Saat ini, ketika Indonesia telah merdeka 77 tahun, negara ini juga tak berdaya menghadapi segelintir Oligarki yang begitu rakus. Ekonomi tumbuh dalam model yang  buruk. Professor Matriana Mazzucato menyebutnya sebagai model “consumption-led growth” bukan “investment-led growth”. Uang-uang yang diambil share holder sebagai keuntungan disimpan mereka, umumnya di luar negeri, bukan ditanamkan kembali dalam investasi. Dalam kasus minyak goreng, misalnya, pemerintah terkejut atau justru berpura-pura terkejut, kantor pusat perusahaan perusahaan minyak goreng itu ternyata ada banyak di luar negeri. Ekonom Faisal Basri, pada sisi lain, mencatat penjualan batubara sepanjang setahun krisis ekonomi saat ini mencapai Rp 1000 Triliun, begitu juga minyak sawit yang mencapai ratusan triliun rupiah. CNBC News (9/2/2022) mencatat sepanjang 9 bulan pertama tahun 2021, enam emiten batu bara membukukan pendapatan Rp 133,8 triliun, naik 41% dari tahun sebelumnya. Ini belum lagi situasi perang Ukraina-Rusia. Pertanyaan Faisal Basri, apa sih untungnya buat bangsa dan rakyat Indonesia? Setimpalkah perolehan negara dari royalti dan pajak?  Situasi kemiskinan kita, baik karena dampak dari pandemi Covid-19, maupun karena faktor-faktor ekonomi yang ada pra-krisis, begitu menyolok dan sangat menyakitkan karena tidak ada tanda-tanda bangsa ini ke depannya bakalan memikirkan kekayaan dari semua untuk untuk semua. Tidak ada tanda-tanda yang miskin akan sejahtera. Pemimpin nasional umumnya tidak mempunyai sense nasionalisme yang kuat untuk membangun ekonomi rakyat. Tema-tema seperti redistribusi, seperti pemerataan penguasaan lahan/tanah, penguatan upah buruh dan berbagai tema kesejahteraan tidak menjadi arus utama. Upah buruh, misalnya, secara rerata hanya mengalami kenaikan di bawah 1% tahun lalu, hanya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menaikkan upah minimum sebesar 5,1%. Begitupun, para pengusaha yang menggugat keputusan Anies Baswedan itu. Padahal, sesungguhnya upah buruh adalah alat redistribusi kekayaan yang paling utama. Redistribusi penguasaan tanah juga tidak terjadi. Upaya Presiden Jokowi dalam sertifikasi tanah adalah berasal dari ide jenuin Hernando de Soto, seorang ekonom liberal di Peru, yang maksudnya untuk mendorong rakyat kecil masuk ke dalam market ekonomi. Sementara, konsep redistribusi aset, tanah misalnya, adalah untuk memberdayakan kemampuan produksi kaum miskin. Agar para petani mampu berdikari. Supaya kita tidak terus-menerus tergantung pada impor pangan. Kita sekarang akan beralih pada isu global. Bagaimana situasi dunia saat ini. Setelah pandemi Covid-19 mereda dan pengaruhnya pada kita. Professor Stiglitz dalam tulisannya “Davos 2022 meeting was a missed opportunity over globalization”, The Guardian, 1 Juni 2022, memperlihatkan krisis global yang dialami dunia saat ini, dengan berbagai persoalan yang meliputi ketidak pastian arah ekonomi ke depan, kehancuran sistem supply-chain, dan ambiguitas banyak negara dalam melihat situasi demokrasi dan atau ultra nasionalistik, yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 serta perang Ukraina-Rusia. Globalisasi mengalami cacat sejarah ketika masa pandemik, negara-negara maju malah memperlihatkan ego sentris dalam memonopoli vaksin dan obat-obatan , yang membuat makna global dalam persaudaraan manusia mengalami degradasi. Mazzucato, Professor pada University of London, dalam diskusi  “What next for global growth?”, World Economics Forum yang dipandu Tom Kenee (30/5/2022) memperlihatkan distribusi (distributive justice) kesejahteraan saat ini begitu buruk. Porsi inkom kaum buruh dibandingkan profit yang didapatkan kaum kapitalis adalah porsi terburuk sepanjang sejarah kapitalisme. Hal ini terjadi karena kontrol institusi negara, atau rezim global, terlalu lemah untuk meminta agar profit yang diperoleh segelintir elit diinvestasikan kepada sektor produksi. Terutama jika mengingat, misalnya, berbagai inovasi teknologi  yang ada saat ini dihasilkan oleh riset yang dibiayai pemerintah (publik), bukan swasta.  Korporasi raksasa bekerja untuk kepentingan pemilik saham (share holders) saja. Stiglitz dan MAzzucato juga mempersoalkan tidak adanya kritik atas segelintir pengusaha farmasi yang mencari keuntungan berlimpah ruah dari  pandemi Covid-19, sebuah pertanyaan besar tentang moral kebersamaan manusia hidup di dunia saat ini. Terkait dengan situasi dunia saat ini, McKensey, dalam “Spotlight on Davos: Highlitghts from the 2022 annual meeting”, menyoroti “global instability” terkait perang Ukraina-Rusia menjadi sumber utama resiko potensial dalam ketidakpastian pertumbuhan ekonomi ke depan. Hal ini menggantikan problematika pandemi covid-19 yang mulai dapat diatasi dan inflasi ekonomi global selama ini. Perang ini telah mengakibatkan indeks harga makanan secara global naik antara 20-45% sampai Q4 tahun ini.  Memang dampak langsung dihadapi oleh kawasan Eropa, yang tergantung pada kebutuhan energi dan makanan, berupa naiknya jumlah kemiskinan sebanyak 44 juta orang, maupun negara-negara yang tergantung dengan gandum, nikel, material untuk pupuk seperti Amonia dan potassium, yang di produksi kedua negara ini dalam jumlah signifikan. Begitu juga, rasa insekuriti telah menghantui berbagai belahan dunia, karena kenaikan anggaran pertahanan negara-negara barat, untuk keperluan perang, semakin tinggi. Indo-pasifik, baik yang diperkenalkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika, Blinken, dalam pidatonya di Universitas Indonesia, beberapa bulan lalu, maupun yang diangkat Tom Kenee dalam diskusi di Davos, beberapa hari lalu, adalah lingkungan strategis Indonesia saat ini. Indonesia, menurut framework Indopasifik, mempunyai keterikatan dengan transaksi dagang yang menembus angka 3 triliun dollar. Oleh karenanya, kita mendapatkan tekanan besar dari kekuatan-kekuatan strategis yang akan mengambil keuntungan dalam wilayah ini, khususnya Amerika dan China. Ketegangan dunia bukan saja ada di Eropa akibat perang Ukraina dan Rusia, namun saat ini ketegangan di kawasan Indo Pasifik berada pada tingkatan kewaspadaan tinggi. Baru-baru ini, Amerika, Jepang dan Australia telah berhasil menggaet India, membentuk QUAD, untuk berhadapan dengan RRC, baik dalam perang urat syaraf, maupun perang sesungguhnya.  Indonesia, yang coba bersikap netral, khususnya dalam perang Ukraina-Rusia, pasti tidak dapat bertahan selamanya. Contoh yang paling baru adalah ketika pertemuan sektor keuangan dan perbankan G-20 di Washington beberapa minggu lalu, di mana menteri keuangan Amerika, Janet Yellen, mengkritik Indonesia yang coba melihat situasi sekarang sebagai situasi normal. Yellen menekankan suatu istilah baru di dunia saat ini, “FriendShore”, sebuah istilah kerjasama yang menyandarkan bantuan pada sahabat dengan “value” yang sama. Dalam tekanan global yang semakin bersifat langsung, mampukah Indonesia berjalan terus dengan “politik dua kaki”? Situasi global saat ini, sekali lagi, sangat berbahaya bagi kita. Baik itu yang bersifat umum, seperti pertumbuhan global yang rendah, inflasi yang besar dan ancaman perang dunia, maupun yang bersifat langsung, seperti ketergantungan kita pada utang dan impor, membutuhkan sebuah kepemimpinan nasional yang kokoh, berintegritas dan tidak gampang tunduk pada kemauan asing. Isu demokrasi, redistribusi dan tantangan geopolitik merupakan isu sentral bagi transformasi bangsa kita ke depan. Kedalaman persoalan, kompleksitas dan komplikasi, telah saya uraikan di atas. Pada tahun-tahun mendatang, ketika generasi tua lengser dari kekuasaan nasional, ketiga isu di atas bisa saja menjadi “bom waktu” bagi kehancuran bangsa kita. Persatuan bangsa tidak mungkin dibangun tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa keadilan sosial  akan menjadi sumber konflik sosial laten. Tanpa persatuan dan demokrasi, Indonesia akan menjadi bangsa lemah yang gampang didikte asing serta menorong munculnya para petualang politik yang menjadi kolaburator asing. Ini adalah persoalan yang harus diatasi. Tapio menyakitkan sekali fenomena yang ada saat ini, narasi politik besar bangsa kita dikendalikan oleh pemain-pemain tua yang telah gagal dalam memajukan bangsa kita, tetap saja pada utak-atik copras-capres untuk perebutan kekuasaan. Belum ada pemikiran nasional untuk rembug bagaiman mengatasi krisis ini. Dalam pertemuan HUT 25 Mega-Bintang ini, tentunya kita sebagai kekuatan rakyat yang berkumpul di sini, harus mampu membangun narasi serius mengurus negara. Menyiapkan konsep-konsep pembangunan yang berbasis keadilan redistribusi (redistributive justice). Mengilhami persaudaraan, persatuan dan kebebasan. Kita semua adalah kaum pecinta negeri ini. Kita adalah orang-orang yang bertarung dari masa-ke-masa hanya semata-mata untuk rakyat. Kita hanya tahu kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi. Kita, sekali lagi, harus merebut pengelolaan negara kita ini, menyingkirkan kekuasaan Oligarki, dan membangun demokrasi, persatuan nasional dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merebut dan mengelola persoalan berat ini tidak bisa dihasilkan dari politik pencitraan dan iklan berbiaya tinggi. Tidak bisa dipercayakan begitu saja pada pemimpin partai politik dan segelintir oligarki. Kita harus mencari tokoh-tokoh nasional baru yang kuat dan memihak rakyat. Mengajak mereka menguatkan barisan rakyat, buruh, tani, mahasiswa dan ulama. Mereka itulah yang akan memberi harapan pada rakyat, sebuah “Leadership of Hope”. Terima kasih. (*)

Leadership of Hope: Demokrasi, Redistribusi dan Krisis Global Dalam Regenerasi Kepemimpinan Indonesia ke Depan (1)

Terkait persoalan dalam negeri, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa kita. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70% orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekedar indikator saja. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Sabang Merauke Circle (Disampaikan pada acara 25 Tahun Mega Bintang, 5 Juni 2022, di Solo) BANGSA Indonesia ke depan akan mengalami regenerasi kepemimpinan nasional dengan tantangan yang sangat berat. Regenerasi itu terjadi manakala tokoh-tokoh sentral dalam perpolitikan nasional, seperti Megawati Sukarnoputri, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan lain sebagainya, mengalami usia renta dan oleh karenanya secara alamiah harus lengser dari perpolitikan nasional. Berbagai kalangan yang lebih muda, seperti Anies Baswedan, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Agus Harimurti Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, Andika Perkasa, Erick Tohir, Sandiaga Uno, La Nyalla Mattalitti, dan lain sebagainya, telah menawarkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan nasional tersebut. Persoalannya adalah situasi nasional dan global yang menyertai regenenerasi saat ini begitu buruk, khususnya setelah berbagai masalah bertubi-tubi, yang dalam level global, diatandai dengan krisis pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia dan ketegangan dagang dan politik antara Amerika/Barat dengan China, serta dalam level nasional kita mengalami kemunduran ekonomi, perpecahan politik dan merosotnya moral kebangsaan.  Kemerosotan moral kepemimpinan saat ini ditandai dengan merajalelanya korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial, maupun kejahatan terkait langka dan mahalnya minyak goreng serta pula adanya menteri-menteri yang mencari keuntungan bisnis dari situasi pandemi Covid 19. Dalam ulang tahun Mega-Bintang ini, saya akan mengupasnya dalam judul di atas, yang melihat dimensi demokrasi, dimensi keadilan sosial dan krisis global sebagai faktor penting yang harus dipertimbangan bagi semua pihak untuk kelanjutan eksistensi bangsa ini. Kita membutuhkan kepemimpinan nasional baru yang kokoh ke depan. Kita harus meninggalkan kepemimpinan korup, yang berpura-pura cinta rakyat, dan minus nasionalisme, menuju kepemimpinan yang penuh harapan. Dimensi “Leadership nasional” bukan “leader” adalah gugusan kepemimpinan, bukan sekedar seorang pemimpin. Dibutuhkan kepemimpinan kolektif yang penuh harapan bukan pemimpin-pemimpin lemah, apalagi sekedar menjual negara ini kepada asing. Mega-Bintang sebagai sebuah spirit, yakni sprit perlawanan atas penindasan bagi kaum miskin dan atas kepemimpinan negara yang otoriter, di masa lalu, diharapkan dapat menjadi refleksi untuk kita menemukan jalan konsolidasi kekuatan rakyat yang mampu melahirkan kepemimpinan nasional yang penuh harapan itu (leadership of hope). Persoalan kita saat ini sesungguhnya terlalu banyak (too many) untuk kita pikirkan, kompleks dan komplikasi. Pertama, yang paling berat adalah soal demokrasi yang amburadul dan perpecahan bangsa. Dalam kacamata indonesianis, demokrasi kita saat ini bersifat tidak menentu. Ada yang menyebutnya illiberal-demokrasi, yakni demokrasi yang bersifat seolah-olah namun faktanya  dikendalikan rezim yang berkuasa. Ada juga yang menyebutnya “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengalami kemunduran yang tajam, seperti kembali pada masa orde baru. Perbedaan pendapat diseleksi oleh rezim yang berkuasa, mereka berusaha menjinakkan dengan berbagai rayuan, sampai pada pemenjaraan aktifis, seperti yang saya dan beberapa anggota Koaliasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan beberapa pimpinan Front Pembela Islam (FPI) alami juga. Pemberlakuan undang-undang maupun pasal-pasal karet dilakukan terang-terangan, sekali lagi mirip dengan orde baru ketika menangkapi para aktifis dengan UU Subversif.  Rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) berusaha memonopoli narasi demokrasi dan ideologi dalam versi yang mereka inginkan. Terutama ketika mendirikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasiala (BPIP). Ini persis saat Presiden Suharto mendirikan BP7, Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Masyarakat dibelah oleh garis ideologi semu, Pancasila versus non Pancasila, sesuka hati definisi penguasa. Faktanya, arah bangsa yang salah, saat ini diakui sendiri oleh “shareholders” rezim Jokowi. Surya Paloh, seorang pendiri rezim Jokowi, mengakui bahwa Indonesia saat adalah negara kapitalis liberal dan uang adalah segala-galanya,  artinya bukan negara Pancasila. “You tahu nggak bangsa kita ini adalah bangsa kapitalis hari ini, you tahu nggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini. Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila,” demikian petikan pidato Paloh di Universitas Indonesia, 14 Agustus 2019, yang dikutip berbagai media. Megawati Soekarnoputri pada tahun ini telah menuduh DPR suka bikin undang-undang yang inkonstitusional dan orang-orang pintar di Indonesia banyak menjual aset negara. Menteri Jokowi, Mahfud MD, juga mengakui adanya situasi perpecahan bangsa yang begitu besar, serta kepemimpinan yang lemah, menuju tahun 2024 nanti. Banyak lagi potret politik yang kacau balau, seperti kegagalan pemerintah mengendalikan harga minyak goreng, penunjukan militer dan polisi aktif dalam jabatan kepala daerah masa transisi, nafsu kekuasaan rezim Jokowi untuk memperpanjang jabatan ataupun isu 3 periode, dan lain sebagainya, khususnya pula upaya mempertahankan UU Omnibus Law yang sejatinya inkonstitusional. Buruknya demokrasi, pengekangan atas kebebasan dan arah bangsa yang salah, sejalan dengan pembajakan demokrasi oleh kekuatan oligarki. Biaya politik yang mahal dan semakin lebih mahal lagi, menunjukkan kegagalan eksistensi ideologi bangsa dan juga ideologi partai politik saat ini. Tanpa ideologi, dan kepemimpinan yang memihak rakyat dan kepentingan nasional, maka pemilik modal mampu mengkooptasi negara dan partai politik untuk kepentingan segelintir pemilik modal itu sendiri. Oligarki juga selalu melakukan politik “devide et impera”, poltik adu domba, agar rakyat bertikai satu sama lainnya, sehingga kehabisan energi untuk perubahan struktural. Dan itu telah terjadi, saat ini, khususnya diperlihatkan, misalnya, oleh adanya keinginan pemilik modal menentukan siapa presiden Indonesia terus menerus dan oleh kasus ketidakberdayaan rakyat memperoleh harga minyak goreng dan berbagai barang lainnya secara murah saat ini. Kedua, terkait persoalan dalam negeri, saat ini kemiskinan dan ketidakpastian hidup dirasakan oleh mayoritas bangsa kita. Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan 70% orang Indonesia mengalami kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ini sekedar indikator saja. Deindustrialisasi dan informalisasi sektor formal, terlebih akibat pandemi Covid-19, menjadi fenomena kehidupan, yang mana pertahanan hidup rakyat bergantung pada penghasilan terbatas harian dan pertolongan keluarga dalam “extended family”. Memang paska pandemi Covid 19, semua negara mengalami kesulitan dalam mempertahankan kelayakan hidup masyarakat bawah. Di Amerika, misalnya, TIME edisi Mai 2022, mengulas situasi di Amerika “Middle Class, Low Hope”, dengan “trouble with the H’s”, yakni mahalnya harga kontrakan (House), mahalnya biaya kesehatan (Health Care) dan biaya pendidikan (Higher Education). Beberapa media di Prancis, juga mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di Perancis saat ini bangkit merespon kepemimpinan nasional mereka, baik Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron, maupun oposisi Maria Le Pen, tidak punya konsep mengurus rakyat bawah. Persoalannya, negara-negara besar mempunyai kekayaan yang cukup untuk bertahan dalam krisis ekonomi yang panjang. Namun, negara berkembang, seperti Pakistan dan Bangladesh, kita saksikan mengalami kegagalan dalam mempertahankan diri dalam situasi seperti ini. (*)

Penataran Pancasila ke-1: Indonesia Merdeka Dasarnya Apa?

Hasilnya, yaitu ”Piagam Jakarta” atau ”Jakarta Charter ” yang ditandatangani di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 22 Juni 1945. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila PANCASILA Bukan Lahir 1 Juni 1945 dan Bung Karno Bukan Pencipta Pancasila. Setiap penguasa selalu mengubah sejarah seenak hatinya, bahkan tak peduli soal benar dan salah, sesuai realitas sejarah atau tidak, yang penting semua kepentingan penguasa itu tercapai. Begitu juga dengan setiap tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, tidak peduli dasarnya apa yang menetapkan hari lahirnya Pancasila. Bahkan, Bung Karno sendiri tidak pernah mengatakan Pancasila itu lahir 1 Juni 1945. Bahkan Bung Karno tidak pernah mengatakan ada Pancasilanya Bung Karno. Justru Pancasila yang menjadi dasar Indonesia merdeka itu adalah Rumusan Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945, mengapa? Karena, Bung Karno sendiri mengatakan Pembukaan dan Proklamasi adalah loro-loro ning atunggal yang tidak dapat dipisahkan, artinya rumusan yang ada di alinea ke IV itulah yang mendasari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Entah mengapa Pemerintahan Joko Widodo meletakan Pancasila lahirnya 1 Juni 1945 dan selalu dianggapnya Pancasila itu ciptaan Bung Karno, padahal Pancasila sebagai dasar Indonesia merdeka itu adalah hasil kompromi, hasil kesepakatan antara kaum kebangsaan dan kaum Islam, PKI dan kaum sosialis tidak ikut merumuskan Pancasila dan tidak ada yang menjadi anggota BPUPKI /PPKI . Jadi, sangat logis kalau PKI selalu ingin merubah Pancasila sebagai dasar negara. Dalam buku Bung Karno “Penyambung Lidah Rakyat” yang ditulis Cindy Adams, Si Bung kembali mempertegas… Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah. Jadi Bung Karno mengakui bukan yang menciptakan Pancasila itu memang benar. Mana mungkin Bung Karno menciptakan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan begitu Pancasila bukan dilahirkan, siapa yang melahirkan? Memang menjadi tidak masuk akal masa’ Ketuhanan Yang Maha Esa dilahirkan tanggal 1 Juni 1945. Yang lebih aneh lagi, para cerdik pandai tidak ada yang protes, termasuk juga perguruan tinggi dan rektornya. Padahal UGM yang juga punya Pusat Studi Pancasila nggak bereaksi, malah seakan manut saja. Harusnya sebagai bangsa kita selalu melihat sejarah sebagai kaca benggala. Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasific, penjajah Jepang berusaha menarik simpati dan mencari dukungan rakyat Indonesia dengan janji akan memberikan kemerdekaan di kelak kemudian hari. Dan untuk itu dibentuk dan kemudian disahkan berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 28 Mei 1945. BPUPKI itu mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab pertanyaan ketua badan tersebut – Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat – : “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?” Menjawab pertanyaan itu hampir separo dari anggota BPUPKI – sekitar 30 orang –, menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun, belum ada satu pun yang mengutarakan pandangan yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya dibangun Indonesia Merdeka. Jam 10.00 pagi tanggal 1 Juni 1945, barulah Bung Karno mendapatkan gilirannya. Disampaikannya gagasannya dalam suatu pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato Pancasila Bung Karno yang ditawarkannya sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka tersebut, selanjutnya Rajiman sebagai Ketua BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Pancasila yang dipidatokan Bung Karno. Panitia Kecil yang semula terdiri dari 8 orang, dengan beberapa perubahan dan penambahan, akhirnya menjadi Panitia Sembilan yang terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia Sembilan ini bertugas: Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen ini sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, yaitu ”Piagam Jakarta” atau ”Jakarta Charter ” yang ditandatangani di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 22 Juni 1945. Jadi keputusan yang dikeluarkan dan disetujui oleh seluruh Anggota BPUPKI adalah Piagam Jakarta yang oleh Soekarno disebut gentlemen\'s agreement antara kaum Islam dengan Kaum Kebangsaan. (*)

Partai Taman Kanak-Kanak

Menu bicara Calon Presiden menjelang Pilpres berbusa-busa, merasa paling kompeten, paling jago dan semua rakyat dianggap sampah dan bodoh semua. Persis seperti ketika anak-anak sedang bermain-main, mereka suka memaksa dan menang sendiri. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih FUNGSI partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan dan menjaga pemerintahan pada rel tujuan negara, adanya partisipasi politik rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa. Umumnya memiliki gagasan tentang politik untuk mempromosikan ideologis atau kebijakan dalam rangka mencapai tujuan negara. Pasca Amandemen UUD 1945, partai politik di Indonesia seperti kehilangan pegangan, bahkan kering-kerontang kosong dari pijakan ideologi yang harus diperjuangkan. Larut tanpa bentuk dalam kendali Oligarki. Bersama penguasa terus membanggakan pencapaian telah diraih. Dan terus memperkenalkan partainya sebagai partai yang telah berjasa untuk bangsa dan negara. Lupa itu tidak perlu dilakukan karena partai itu baik atau buruk, konsisten dengan tujuan negara atau tidak, rakyatlah yang akan menyeleksi dan memberikan apresiasinya. (CherLisa Biles). Sementara mereka hidup bergerombol seperti anak-anak yang nyanyi-nyanyi dan tepuk tangan bersama sesuai yang dimintai Bapak dan Ibu gurunya agar anak-anak bergembira ria. Suka berebut permen (makanan pemanis anak anak) begitu mendapatkan mereka bersuka ria, jika tak dapat atau merasa kurang banyak mereka murung dan ngambek. Begitulah gambaran anak anak partai yang sedang sekolah taman kanak- kanak di Senayan yang dulu pernah disindir Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anak-anak berbalik arah marah dan ngamuk menurunkan Gus Dur dari singgasana sebagai Presiden. Sangat suka memakai baju baru lengkap dengan dasi, bahkan tidak segan-segan beli gelar Hororis atau Honoris Causa, tetapi otaknya tetap saja masih memble. Maklum namanya Taman Kanak kanak. Ketika kenalan dengan anak-anak dari luar negeri merasa minder dan rendah diri: “Posisinya membuatmu merasa rendah diri, tanpa izinmu, karena kapasitasmu” (Eleanor Roosevelt). Mungkinkah belum sampai pada pendidikan bahwa “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali” (Aristoteles), lagi-lagi karena masih anak anak. Terlalu berat untuk pelajaran tentang keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, pertahanan dan mempertahankan dasar negara dan UUD 1945. Kurikulum tentang apa partai dan peran dan fungsi partai, seperti belum mereka kenal karena masih taman kanak kanak. Bicara urusan apa saja soal negara terus berputar-putar seperti cerita Kancil nyolong (mencuri) mentimun. Mereka selama ini anak-anak sangat suka asik main gadget cerita presiden dalam ketoprak, masih asing dengan dunia nyata yang sedang terjadi. Menu bicara Calon Presiden menjelang Pilpres berbusa-busa, merasa paling kompeten, paling jago dan semua rakyat dianggap sampah dan bodoh semua. Persis seperti ketika anak-anak sedang bermain-main, mereka suka memaksa dan menang sendiri. Partai-partai sering melakukan rapat kerja bahas ini dan itu semua hanya mengulang pelatihan menyanyikan lagu-lagu lama atau nyanyian lagu wajib saja. Ketika anak-anak disuruh Bapak/Ibu guru menghafal Pancasila dengan lantang berdiri. Pancasila: 1. Keuangan yang Maha Kuasa; 2. Kemanusiaan tak beradab; 3. Persatuan para buzer; 4. Kerakyatan yang dipimpin Oligarki; 5. Keadilan sosial hanya slogan. Itulah rumusan Pancasila ajaran oligarki. Sekilas dari gambaran tersebut menjadi keharusan adanya perubahan total UU kepartaian agar partai benar berperan dan berfungsi sebagai mestinya. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Seharusnya partai: a strong wall in the hard times and be a smiling sun in the good times. (Jadilah dinding yang kuat ketika masa-masa sulit. Jadilah matahari yang tersenyum, ketika masa-masa indah) – jaga negara ini dari keruntuhan jangan malah larut ikut andil merusak dan menghancurkan negara. (*)