Lanjutan Pro-Kontra Islamophobia di Indonesia

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

KEJAMNYA jejak digital. Setiap kalimat yang terucap dari mulut pejabat maupun rakyat terpateri di pusat data dunia maya. Orang bisa memaafkan, tapi tak mungkin melupakan. Nasi telah menjadi bubur. Alangkah menjijikkan bila seseorang menjilat ludahnya sendiri, dan lebih tercela bila orang berjanji tapi tidak menepati. Janji tinggal janji.

Simpelnya, ada aksi ada reaksi. Ada api ada asap. Ada asap tandanya ada api, tapi apakah asap menyebabkan api?

Apa, siapa, dan bagaimana Islamophobia, ternyata jejaknya sudah ada sejak dulu kala. Para nabi dan rasul dari masa ke masa menghadapi musuh-musuh, baik dari kalangan jin maupun manusia.

Nabi Nuh tinggal di tengah-tengah kaumnya seribu tahun minus lima puluh. Dia menyeru untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan siang dan malam. Sungguh pun demikian, yang beriman kepadanya cuma sedikit saja. Lalu Tuhan membuat perhitungan atas keingkaran mereka. Begitu pula kaum rasul-rasul sesudahnya. Ada yang dibinasakan dengan hembusan angin dingin yang sangat ekstrem berhari-hari, ada yang dibinasakan dengan wabah, dan ada yang ditenggelamkan di laut.

Tuhan begitu sayang kepada umat Nabi akhir zaman. Apa pun dan bagaimana pun kelakuan mereka, Dia tangguhkan hukuman, dan Dia beri waktu untuk insyaf kembali ke jalan-Nya.

Andaikata di negeri ini ada 1001 macam kejahatan, termasuk hujatan terhadap Islam dan pemeluknya, Tuhan tidak serta merta turun tangan. Tapi selamanya, sebuah kesalahan tidak akan berubah menjadi kebenaran karena perjalanan waktu. Manusia akan menguji kesahihan setiap ucapan, gerak, langkah, dan keputusan siapa saja yang telah beredar di media massa.

Usai membincangkan tentang ada atau tidak ada Islamophobia di Indonesia, salah seorang Guru Besar PTKIN mengunggah tulisan Prof. Nurhaidi Hasan yang menyatakan bahwa narasi Islamophobia di Indonesia adalah produk kelompok radikal untuk memojokkan pemerintah.

Indonews.id melaporkan bahwa Islamophobia menjadi istilah yang cukup populer digunakan oleh kelompok radikal dalam beberapa waktu belakangan ini. Narasi ini muncul tak hentinya untuk memfitnah pemerintah yang dituding sebagai aktor yang berusaha memecah-belah umat Islam di Indonesia.

Prof. Noorhaidi Hasan menyayangkan narasi Islamophobia sebagai fitnah terhadap pemerintah. Ia menilai narasi Islamophobia yang berkembang di tengah masyarakat belakangan ini tak lebih dari sebuah pertarungan kepentingan politik.

“Islamophobia menurut saya sudah pasti akan terjadi di negara Muslim mana pun dan tidak terelakkan. Sejauh ini isu Islamophobia sebenarnya hanya dijadikan framing oleh kelompok yang tidak suka dengan pemerintah,” ujarnya di Yogyakarta, Kamis (10/2/2022).

“Islamofobia itu bisa jadi framing yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menurunkan kepercayaan kepada pemerintah.

Perlu ada pendalaman lebih lanjut dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang gencar melayangkan tudingan Islamophobia di tubuh pemerintah.

Kita harus melihat kelompok mana yang mengatakan Islamophobia itu. Kalau berbicara kelompok radikal tentunya range-nya juga lebih luas siapa kelompok radikal itu. Pasalnya, narasi dan tudingan Islamophobia terhadap pemerintah ini jika dibiarkan dapat menimbulkan perpecahan dan kebingungan di tengah masyarakat.”

Pemerintah harus berupaya menjelaskan dan menjernihkan permasalahan tersebut agar masyarakat yang awam itu paham.

Menurutnya, jalan keluar yang efektif dan konkrit untuk keluar dari permasalahan narasi radikal yang memecah-belah adalah dengan me-manage keragaman dan menyadarkan kepada tokoh dan masyarakat terkait esensi kehidupan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini.

Konsep multikulturalisme mengajarkan bahwa semua umat beragama punya hak yang sama untuk beribadah dan menjalankan agamanya."

Noorhaidi juga mengapresiasi peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam upaya menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme.

Secara persentase kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme terorisme itu sudah sangat tinggi sekali, namun menurutnya, tidak cukup hanya peran BNPT saja untuk mengatasi fenomena manipulasi agama yang terjadi di tengah masyarakat, tapi juga perlu peran serta tokoh agama dan masyarakat guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal.

Sudah seharusnya tokoh-tokoh agama juga berperan menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang damai, wasathiyah, Islam Nusantara, yang bersahabat dengan budaya lokal.

Di samping itu Noorhaidi menilai, penyebaran nilai Pancasila yang luhur kepada masyakarat juga penting dilakukan guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal.

“Kampanyekan di masyarakat, otomatis ruang gerak kelompok-kelompok radikal yang sering mengatakan islamophobia itu akan semakin sempit, dan tidak akan bisa mempengaruhi opini publik.”

Terakhir, Noorhaidi berpesan kepada seluruh pihak terkait, khususnya cendekiawan, tokoh agama, dan masyarakat serta pemerintah untuk terus menggelorakan wacana tentang perdamaian, tentang Islam yang cinta damai untuk memperkuat ketangguhan masyarakat melawan radikalisme.

Wacana tentang perdamaian itu harus terus kita gelorakan di masyarakat, bahwa Islam itu cinta damai, yang akan memperkuat ketangguhan kultural masyarakat kita dalam melawan radikalisme.

Tulisan itu pun mendapat apresiasi dari para pendukung dan simpatisannya.

Penulis merespons dengan mengunggah tulisan tersebut dan mengangkat kembali catatan tentang pro-kontra Islamophobia di Indonesia, sebagai penyeimbang wacana.

Bahwa Islamophobia dalam pengertian takut dan khawatir terhadap eksistensi Islam beserta perjuangan amar makruh, nahi mungkar, dan penegakan keadilan di Indonesia itu real ada, dan bukan narasi untuk mendiskreditkan penguasa/pemerintah.

Beberapa respons kontra terhadap tulisan Prof. Nurhaidi Hasan tersebut antara lain sebagai berikut.

Prof Noorhaidi terlalu membela penguasa dengan memojokkan umat Islam. Mestinya dia melihat persoalan ini secara fair. Lihatlah umat Islam sebagai korban kebijakan penguasa. Dari sisi politik, ekonomi, dan hukum. Dia tidak memahami kenapa isu radikalisme dan terorisme ini terus digaungkan.

Antara lain karena para pembenci Islam tidak sudi umat Islam itu merdeka. Di samping itu proyek pemberantasan terorisme itu besar sekali anggarannya, sehingga tak ingin proyek itu berhenti.

Secara umum Islamofobia itu bukan berasal dari umat Islam, tapi sebagai akibat kebijakan peguasa terhadap umat Islam. Karenanya orang harus melek fakta di lapangan. Baru-baru ini ditemukan sejumlah amunisi dan senjata AK 47 di rumah seorang warga keturunan China di Bandung.

Tapi sampai sekarang tidak diusut. Tidak ada tersangkanya. Coba kalau itu ditemukan di rumah orang Islam. Mungkin sudah didor di tempat. Nah, ini cuma satu fakta saja. Masih banyak yang lain.

Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam.

Siapa beropini harus siap menanggung segala reaksi dan konsekuensi. Ada ruang untuk menjawab bila tanggapan-tanggapan pada opininya dirasa tidak memadai. (*)

441

Related Post