Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (3)

Suciwati. TEMPO/ Cheppy A. Muchlis

Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.”

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN)

PANGLIMA Sampoerna Mengurus Rokok Palsu”. Begitulah judul berita yang ditulis majalah.tempo.co (Sabtu, 27 November 1993).

Ketika itu ditulis Tempo, bekas direktur produksi PT HM Sampoerna segera disidangkan, dituduh memalsukan rokok 555 dan Craven A. “Itu urusan pribadi saya,” katanya. Ia punya usaha sampingan mengekspor burung.

Tiga tokoh dituduh sebagai pemalsunya: Ir. Bambang Soelistyo alias Pek Thiam Ek, 40 tahun, Budiyanto Sukihardjo alias Tjwa Hwat Yong, 43 tahun, dan Tono Setiawan alias Lie Tik An, 53 tahun.

Mereka sudah diadili di PN Surabaya dan divonis bersalah. Menurut penyidik di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Bambang adalah pencetus ide pemalsuan tersebut.

Pertanyaannya, adakah kaitan antara “surat ancaman” Marsinah yang disita polisi kepada PT Catur Putra Surya (CPS) yang isinya tentang pembuatan plat bungkus rokok merek 555 itu yang membuat Marsinah dibunuh?

Pasalnya, jangka waktu antara Marsinah terbunuh dengan proses penyidikan kasus pemalsuan rokok 555 itu hanya berselang sekitar 5 bulan saja, setelah ditemukannya jasad Marsinah, 8 Mei 1993.

Pengusutan kasus Marsinah pun baru ditangani Bakorstranasda Jatim mulai Oktober 1993, setelah ada Surat Perintah dari Pangdam V Brawijaya sebagai Ketua Bakorstranasda Jatim kepada Kapolda Jatim pada 30 September 1993.

Dus, pertanyaannya, sebegitu rumit dan sulitkah mengusut kasus Marsinah itu sampai menelan waktu sekitar 5 bulan? Adakah kendalanya yang berarti saat itu, hingga akhirnya harus diambil-alih Bakorstranasda Jatim?

Bagaimana kinerja Polres Sidoarjo dan Polda Jatim sendiri ketika itu? Inilah yang masyarakat jadi penasaran. Kasus yang seharusnya tidak sulit untuk diungkap, menjadi jlimet seperti penembakan Brigadir Joshua ini.

Seperti halnya Brigadir Joshua, jasad Marsinah pun sempat diautopsi dua kali dan, bahkan tiga kali, karena terdapat perbedaan antara autopsi pertama dan kedua.

“Tapi, yang ketiga akhirnya tidak jadi karena jasadnya sudah rusak,” tutur seorang advokat senior di Surabaya yang pernah menjadi penasehat hukum terdakwa kasus Marsinah.

Akhirnya muncul kecurigaan, sebenarnya ada dua jasad yang dimakamkan saat itu: jasad Marsinah “asli” dan Marsinah “palsu”. Jasad Marsinah “asli” diautopsi di RSUD Nganjuk yang dimakamkan sebagai “Mrs X” di Nganjuk.

Sedangkan Marsinah “palsu” dimakamkan di desa tempat tinggal Marsinah sendiri.

Kasus kematian Marsinah ini menarik perhatian pakar forensik almarhum Abdul Mun'im Idries. Dokter forensik pada RSCM Jakarta itu menemukan banyak kejanggalan. Ia menilai visum dari RSUD Nganjuk terlalu sederhana.

Hasil visum hanya menyebutkan, Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. Tidak ditemukan laporan tentang keadaan kepala, leher, dan dada korban.

Pembuat visum harusnya menyebutkan apa penyebab kematian, apakah itu karena tusukan, tembakan, atau cekikan? Menurut Mun’im, tidak benar jika hanya disebutkan mekanisme kematian, seperti pendarahan, atau mati lemas.

Sementara dalam persidangan terungkap, alat vital Marsinah ditusuk dalam waktu yang berbeda. Namun dalam laporan hasil visum pertama, hanya ada 1 luka. Mengapa hasil autopsi pertama dan kedua bisa berbeda?

Kejanggalan lain, menurut Mun’im, adanya barang bukti yang dipakai untuk menusuk alat vitalnya ternyata lebih besar dari ukuran luka yang sebenarnya. Mun’im pun curiga, bahwa pembuatan visum itu tidak benar.

Dua orang yang terlibat dalam autopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, yaitu Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian ForensikRSUD Dr Soetomo Surabaya).

Karena adanya perbedaan hasil autopsi pertama (di RSUD Nganjuk) dengan autopsi kedua (di RSUD Dr. Soetomo) itulah kemudian dilakukan autopsi ketiga. Tapi, upaya ini gagal dilaksanakan karena jenazah sudah rusak.

Lebih parah lagi, barang bukti berupa baju Marsinah yang dikenakan ketika dibunuh dan merupakan barang bukti sangat penting dibakar begitu saja. Hal ini terungkap dalam persidangan di PN Surabaya pada Senin 7 Februari 1994.

Pembakaran baju Marsinah terjadi hanya berselang beberapa minggu setelah jenazahnya dibawa ke RSUD Nganjuk. Alasan pihak rumah sakit, karena tak ada petunjuk dari Polres Nganjuk.

Sebelumnya, setelah autopsi, barang-barang yang melekat di badan Marsinah memang disimpan di RSUD Nganjuk. Namun, itu tak berlangsung lama. Dari fakta persidangan terungkap ada kejanggalan mengapa baju dan barang bukti lainnya dibakar pihak rumah sakit.

Dalam surat yang ditandatangani Kepala RSUD Nganjuk Dr Djarwo P Siswanto, ia sudah memberitahukan Kapolres Nganjuk (Letkol Polisi Hendrajit) bahwa barang bukti itu telah dibakar pihak rumah sakit pada 24 Mei 1993.

Alasannya, karena Polres Nganjuk tifak kunjung membalas surat yang mereka kirim sebelumnya.

Itulah sepenggal cerita perihal kasus Marsinah yang hingga kini tidak bisa terungkap siapa pelaku sebenarnya, karena 9 tersangka yang diadili sudah dinyatakan “tidak bersalah” oleh Mahkamah Agung.

Bagaimana dengan kasus Munir? Mengapa Munir harus dibunuh? Akhirnya dipertanyakan juga, siapa pembunuh aktivis HAM tersebut?

Misteri Munir

Fakta yuridis, Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai Suharto di PN Jakarta. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”. 

Sebelumnya, Jaksa Cyrus mengurai motif mantan Danjen Kopassus tersebut “menghabisi” terkait langkah Munir mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus.

Seperti dilansir RADAR Surabaya (Senin, 5 Januari 2009), ia lalu dicopot dari Danjen Kopassus yang baru diemban 52 hari. Ini menyebabkan Muchdi sakit hati dan dendam.

Dakwaan pada Muchdi juga didasarkan atas keterangan Corporate Security PT Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto (telah divonis 20 tahun). Polly mengaku sudah mendapatkan “ikan besar” di Singapura. Maknanya, lanjut Jaksa Cirus, dia berhasil membunuh Munir.

Atas tuduhan itu, BIN tak bisa begitu saja lepas tangan dari konsekuensi hukum yang dihadapi Muchdi. Apalagi, Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan Direktur VI BIN Budi Santoso, juga menyebut Muchdi, mantan Kepala BIN Hendropriyono, serta Wakilnya M. As’ad Ali di persidangan.

Mengapa Munir dibunuh? Siapa sebenarnya pelakunya? Adakah ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM Indonesia? Adakah ini hasil operasi Indonesia Contra?

Artinya, Munir justru dihabisi intelijen asing dalam operasi Indonesia contra? Mengapa Polly terbang satu pesawat dengan Munir? Ini tak diungkap secara transparan. Apa benar “ikan besar” itu adalah Munir?

Rencana Munir melanjutkan studinya di Belanda sebenarnya telah diketahui banyak pihak. Selain untuk studi dengan biaya sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS), sedianya pada 7 September 2004 itu Munir mau menyerahkan “dokumen rahasia” pelanggaran HAM.

Konon, Munir dari Jakarta membawa 2 tas. Koper berisi pakaian, dan tas kerja hitam isinya dokumen pelanggaran HAM di Indonesia seperti peristiwa Tanjungpriok, Warsidi Lampung, Timor-Timur, dan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Jadi, “ikan besar” itu adalah sandi dari “dokumen rahasia”?

Ketika rehat Bandara Changi, Polly dan Munir turun dan minum di Café Bean, Changi. Mereka memesan minuman. Tas berisi dokumen yang dibawa Munir gagal diserahkan ke agen asing.

Karena gagal, agen asing yang menyaru sebagai pelayan café itu meracuni minuman Munir dengan arsenik cair. Padahal, Polly sempat mencegah Munir agar tak meminumnya, dan menawarkan kopi pesanannya, tapi ditolak.

Beberapa saat sebelum meninggalkan cafe, Munir mulai tampak linglung. Bisa jadi, Munir itu dibunuh karena dianggap membahayakan jika BIN menangkap Munir dan agen asing penerima tas itu.

Supaya jaringan intelijen asing ini tak terbongkar, maka Munir harus dihabisi. Selang sekitar 3 jam setelah Garuda meninggalkan Bandara Changi, Singapore melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Munir mulai sakit perut dan muntah. Pertolongan dr. Tarmizi Hakim di atas pesawat, gagal: Munir tewas!

Anehnya, hasil autopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) baru diketahui 2 bulan kemudian. Disebutkan, di lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg.

Mengapa NFI menyerahkan hasil autopsinya kepada Indonesia begitu lama? Mungkinkah lembaga intelijen Belanda FDN terlibat dalam operasi Indonesia contra ini?

Di mana dokumen rahasia yang ketika itu dibawa Munir hingga di Bandara Changi itu? Sayangnya, begitu Munir ditemukan tewas, tas hitam itu raib. Entah dari intelijen mana yang mengambilnya.

Dengan kematian Munir, pihak yang paling dirugikan yaitu BIN. Sebab, Munir adalah aset negara yang bisa membantu membongkar jaringan intelijen asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, tidak mungkin BIN terlibat pembunuhan Munir.

Apalagi, penyebab kematian Munir adalah racun arsenik cair yang tak dimiliki BIN. Dari puluhan jenis racun arsenik, yang meracuni Munir adalah satu jenis arsenik yang hanya dimiliki asing. Setelah kasus itu, pelayan yang mengantar minuman sudah tidak ada lagi di café tempat Munir minum.

Terungkap pula, ternyata si pelayan baru bekerja di café itu sekitar 3 bulan. Setelah Munir terbunuh, pelayan ini menghilang. Pemilik café juga berganti. Jadi, sejak tiga bulan sebelumnya, Munir menjadi target operasi Indonesia contra.

Bagi intelijen asing, dokumen yang dibawa Munir itu sangat penting. Sebab, dengan dokumen tersebut, mereka bisa menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

NFI sendiri cenderung mempersulit pemerintah Indonesia ketika meminta hasil autopsi dan sample organ Munir. Entah apa alasannya, organ Munir disimpan di NFI.

Itu yang memperkuat dugaan, operasi Indonesia contra atas Munir ini juga melibatkan intelijen FDN. Terlebih lagi, Suciwati, istri Munir menolak autopsi ulang. Padahal, dengan autopsi ulang atas jenazah Munir, bisa mengungkap dugaan adanya keterlibatan agen asing dalam pembunuhan Munir ini.

Sayangnya, Polri tak berusaha menyentuh dugaan tersebut. Polri lebih suka mengusik mantan pejabat BIN seperti Muchdi. Padahal, tidak semua operasi intelijen bisa dibuka secara transparan.

Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.”

“Sampai sekarang memang hanya Allah, Tuhan semesta, yang paling tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut,” lanjut Nurhana yang menjabat Dan Pomdam Brawijaya (1993-1996) itu.

Akibatnya memang pasti ada korban berikutnya akibat carut-marut kondisi peradilan di Indonesia. “Dan opini publik yang dibentuk oleh pihak sponsor tertentu,” ungkap Nurhana. (*)

859

Related Post