Mengapa Islam Kontra Radikal?

Sebagai komunitas agama, bangsa kita sudah terlalu jauh menyimpang, terlampau banyak orang-orang yang kita zalimi, teramat besar jumlah saudara kita yang menjadi miskin karena kesewenang-wenangan kita.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

KOLEGA Guru Besar PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) Prof. Dr. M. Mukhsin Jamil menulis buku berjudul “Islam Kontra Radikal: Meneguhkan Jalan Moderasi Beragama”, diterbitkan oleh SEAP-Southeast Asian Publishing Semarang Indonesia dengan ISBN 978-623-96405-2-3.

Buku ini menawarkan perspektif baru, sekaligus mengoreksi perspektif konvensional yang monolitik dan parsial terhadap radikalisme.

Kita membutuhkan perspektif baru yang lebih luwes untuk memahami kompleksitas radikalisme agama, yang tidak memisahkan analisis agama dan analisis empiris dalam memahami radikalisme. Perspektif baru itu adalah perspektif gerakan sosial.

Pada buku ini, Anda juga akan menemukan pembacaan melalui analisis wacana kritis atas narasi-narasi radikal dalam jejaring literatur kelompok Islamis di Indonesia. Karena dari sanalah wacana radikal terus diproduksi.

Tidak disadari ada banyak warisan bermasalah dari tradisi wacana agama. Oleh karenanya, kontra radikalisme jelas membutuhkan strategi jitu: memahami kompleksitas gerakan radikal, memahami narasi-narasinya, dan sekaligus meneguhkan jalan moderasi beragama.

Pada konteks inilah diperlukan sense of urgency bagi tokoh-tokoh agama untuk menyikapi warisan  bermasalah pada tradisi wacana agama.

Pembongkaran terhadap warisan bermasalah tersebut mutlak diperlukan, dan kemudian meneguhkan jalan baru melalui moderasi beragama. Selamat membaca...!

Demikian deskripsi buku ini pada cover belakangnya. Cover depan dihiasi ilustrasi gambar wajah perempuan terbelah menjadi dua. Sebelah kanan wajah perempuan berjilbab hitam tersenyum, dan sebelah kiri wajah perempuan bertutup dengan sorban, kecuali bagian mata, disertai atribut khas pejuang di pundaknya.

Penulis mengapresiasi unggahan sampul buku tersebut di grup WA Profesor PTKIN sebagai berikut.

Alangkah senang dan terima kasih sekali, Prof. Mukhsin Jamil, bila kita memperoleh versi pdf-nya di sini. Syukur sekalian dibedah bersama via zoom. Siap menyimak pandangan Prof. Yudian Wahyudi, Prof. Nurhaidi, Prof. Amin Abdullah, Prof. Fauzul Iman, Prof. Abdurrahman, Prof. Imam Suprayogo, Prof. Hasan Bakti, Prof. Syaiful Anwar, Prof.Siswanto, dan para Guru Besar PTKIN semua, tanpa kecuali. Pasti seruuu...

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal memiliki tiga arti: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (2) dalam ranah politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak.

Kecuali nomor dua, kosakata radikal mengandung makna positif. Jadi, bila buku tersebut berjudul Islam Kontra Radikal, maka radikal yang tepat dalam buku tersebut adalah untuk arti yang kedua.

Menurut Fazlur Rahman, Islam datang membawa ajaran radikal tauhid yang menentang segala bentuk kemusyrikan, termasuk penyembahan berhala. Paruh pertama QS Al-Ma'un yang termasuk ayat-ayat periode Mekkah mula-mula.

"Adakah kaulihat orang yang mendustakan hari kiamat? Dialah yang mengusir anak yatim dengan kasar, dan tidak mendorong orang memberi makan orang miskin."

Prof. Kuntowijoyo menyebut Pancasila sebagai pandangan hidup radikal yang menjadi dasar hukum dan sumber segala sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu segala peraturan dan undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila harus dinyatakan batal demi hukum.

Menjadi tugas seluruh warga negara untuk merawat, menjaga, dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila.

Sejak Pancasila disahkan pada 18 Agustus 1945, sesungguhnya tidak ada pihak yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila atau sebaliknya.

Islam pada dirinya sendiri adalah jalan hidup yang moderat. Oleh sebab itu Islam tidak memerlukan moderasi. Usaha moderasi Islam dapat dipahami sebagai upaya penjinakan Islam dan demilitansi Islam.

Para cendekiawan menengarai bahwa radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan Islamophobia adalah proyek internasional untuk menyudutkan Islam, setelah AS menjadi satu-satunya polisi dunia. Sudah saatnya umat Islam berhenti ikut-ikutan menyudutkan sesama muslim dengan label-label tertentu yang merugikan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Mari simak pesan almarhum Dr. K.H. Hasyim Muzadi berikut.

Duhai Bangsaku, Pulanglah!

Setelah sekian tahun bangsa ini mengembara entah ke mana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi kabur, ajaran adat menjelma menjadi kepingan kaca yang susah disambung kembali. Untuk pulang kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk kembali ke hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan hidayah Allah yang dapat mengembalikan ini semua.

Setelah berjalan jauh dari nilai-nilai kebenaran, kini saatnya sebagai sebuah entitas bangsa berusaha sekuat daya yang tersisa, mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaran ilahiyah secara bersama untuk “mudik” ke kampung halaman. Tidak ada jalan paling elegan untuk ditempuh kecuali dengan “tobat”, apalagi kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.

Sufi Al-Junaid berkata: “Tobat mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan. Kedua, berketepatan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah SWT. Ketiga, menyelesaikan dan membela orang teraniaya.”

Sudahkah kita menyiapkan diri untuk bertobat? Kita harus mengakui secara jujur dan ikhlas bahwa moral sebagai fondasi kehidupan berbangsa kita rusak parah. Proses recovery atas semua krisis yang kita ciptakan sendiri, harus dimulai dari kesadaran tertinggi bahwa kita sudah sangat jauh mengembara dengan nafsu, dan melupakan janji abadi kita dengan Penguasa Tunggal atas alam semesta.

Sebagai komunitas agama, bangsa kita sudah terlalu jauh menyimpang, terlampau banyak orang-orang yang kita zalimi, teramat besar jumlah saudara kita yang menjadi miskin karena kesewenang-wenangan kita.

Kesadaran pribadi sangatlah tidak memadai dijadikan starting-point, karena kita hidup sebagai sebuah bangsa. Mari bersama-sama mendekati garis yang sebenarnya, sambil meneguhkan persatuan. Hindari saling caci, saling umpat, dan saling sanggah. Sebuah kesalahan kolektif yang terencana.

Kita hidup dalam jiwa sempit di tengah alam yang luas, kita hidup sesak dalam ruangan yang lebar, kita gelisah dalam negeri yang damai, kita khawatir dalam kekayaan yang menumpuk, dan di Indonesia ini hanya ada dua orang yang tenang, sementara yang lainnya susah. Pertama, orang yang benar-benar dekat dengan Allah; dan kedua, orang-orang yang sama sekali tidak tahu urusan. (*)

530

Related Post