Tahun Baru Islam, Hijrah dan Kebangkitan Komunal Umat

Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu merubah diri apa yang ada pada diri mereka sendiri”.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

SALAH satu keunikan Islam adalah sebagai Diin tidak saja hadir sebagai petunjuk hidup. Tapi sekaligus menjadi identitas dasar bagi pemeluknya. Al-Quran menggariskan bahwa Dakwah itu tidak sekedar mengajak nanusia ke jalan Allah. Namun tidak kalah pentingnya adalah umat ini harus mampu menjadikan Islam sebagai identitasnya.

“Dan adakah perkataan yang lebih baik dari siapa yang mengajak kepada Allah, beramal saleh, dan berkata: sesungguhnya aku adalah bagian dari orang-orang Islam”.

Bagian akhir dari ayat di atas menggambarkan urgensi menampilkan identitas. Tentu kata “qaal” bukan sekedar secara lisan al-Kalimah (words). Tapi hal yang paling mendasar adalah secara lisan al-hal (action) atau ketauladanan.

Satu dari sekian banyak identitas keislaman Umat ini adalah dalam identifikasi tahun atau kalender. Saya tidak mengatakan ada larangan menggunakan tahun masihi (Gregorian calendar). Saya hanya ingin menegaskan bahwa salah satu identitas kolektif Umat adalah kalender Islam yang lebih dikenal dengan tahun Hijriyah.

Hari ini Jumat, 29 Juli, bersamaan dengan tgl 30 Dzulhijjah 1443H. Dengan demikian, Sabtu 1 Agustus sekaligus adalah tanggal 1 Muharram sebagai awal tahun baru Islam 1444 Hijriyah.

Jika saja Umat Islam tahu dan sadar betapa pentingnya tahun baru Islam ini pastinya mereka akan menyambut dengan gegap gempita penuh dengan kegembiraan. Sayang yang kita rasakan hanya biasa saja. Hampir tidak ada penyambutan yang mengekspresikan kebahagiaan dan kebanggaan itu.

Saya khawatir bahwa ini hanyalah salah satu penampakan dari penyakit kronis Umat yang sedang mengalami “inferiority complex” atau penyakit “minder” yang krusial.

Tahun Baru dan Hijrah

Kita mengenal dari sejarah bahwa Umat pertama kali menyepakati untuk memiliki kalender tahunan sendiri di masa khilafah Umar RA. Ketika itu ragam usulan sebagai identifikasi awal kalender. Ada yang mengusulkan tahun lahirnya Rasulullah atau Milad. Ada juga tahun diangkatnya beliau menjadi Rasul atau bi’tsah. Sebagian bahkan mengusulkan di hari wafatnya beliau.

Namun Umar yang kita kenal memiliki ketajaman batin yang hebat memutuskan bahwa identifikasi tahun baru Islam adalah Hijrahnya Rasulullah SAW. Artinya hari pertama tahun Islam ditandai dengan berpindahnya Rasulillah SAW dari Mekah ke Madinah.

Penetapan awal tahun Islam dengan Hijrah tentu bukan tanpa pertimbangan yang dalam. Satu di antaranya adalah bahwa Hijrah sesungguhnya dalam rentang sejarah perjalanan Umat ini dianggap sebagai tonggak kebangkitan Umat secara kolektif.

Dengan demikian pemilihan Hijrah sebagai awal kalender Islam sekaligus menunjukkan bahwa Umat ini harus bangkit tidak saja secara individual (personal). Tapi juga sebagai Komunitas dan bangsa atau Umat.

Fase-fase Perjalanan Umat

Sejujurnya dalam perjalanan sejarah Umat ini adalah lima fase terpenting dalam sejarahnya. Dan semua fase-fase itu memiliki urgensinya masing masing.

Pertama, kelahiran Muhammad SAW yang dianggap sebagai fase awal perjalanan Umat ini. Dengan lahirnya Muhammad berarti dunia siap mengalami perubahan besar. Dunia yang selama ini gelap gulita (zhulumat) kini akan tersinari dengan cahaya samawi dengan lahirnya manusia agung dan sempurna.

Kedua, diangkatnya Muhammad SAW menjadi nabi dan rasul Allah SWT. Peristiwa ini dikenal dengan bi’tsah dan ditandai dengan turunnya wahyu pertama kepada baginda Muhammad SAW. Fase ini adalah fase awal seruan (Dakwah) ke jalan Allah.

Ketiga, seruan ke jalan Allah mengalami resistensi yang besar. Puncak dari semua itu adalah diboikotnya Bani Hasyim, keluarga dekat Rasulullah, oleh masyarakat Arab secara umum. Pada fase ini baginda Rasul mengalami goncangan yang luar biasa. Dua orang terdekat beliau meninggal dunia; Abu Thalib dan Khadijah RA.

Keempat, sebagaimana janji Allah “ma wadda’aka Rabbuka wa maa qalaa” (Allah tidak meninggalkanmu dan menyia-nyiakan kamu), Allah mengajak hambaNya itu berjalan di malam hari bahkan baik ke dunia lain. Peristiwa ini adalah pemberian besar yang Allah berikan, termasuk karunia sholat sebagai hadiah besar. Peristiwa itulah yang dikenal dengan Isra’ Mi’raj yang sekaligus dikenal sebagai momentum kebangkitan Umat pada tataran individual.

Kelima, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun ketiga belas kenabian Allah memerintahkan RasulNya untuk berhijrah ke Yatsrib yang belakangan dirubah menjadi Al-Madinah Al-Munawarah. Jika Isra’ Mi’raj dikenal sebagai momentun kebangkitan individual Umat, Hijrah sesungguhnya adalah peristiwa yang menyimbolkan kebangkitan umat secara kolektif.

Setelah Hijrahnya Rasulullah ke Madinah berbagai peristiwa kemudian terjadi sebagai jalan alami menuju kemenangan yang dijanjikan. “Sesungguhnya janji Allah itu dekat” (Al-Quran). “Dan sungguh Allah tidak akan mengingkari janjiNya” (Al-Quran).

Puncak dari semua itu adalah resistensi kaum musyrik Quraish bagi Rasulullah dan pengikutnya untuk menjalankan perintah Allah berhaji. Resistensi mereka inilah yang melahirkan “Perjanjian Hudaibiyah” yang juga sekaligus merupakan pintu yang membuka terjadinya kemenangan akbar atau Fathun Mubina. Yaitu ditaklukkannya Mekah oleh Rasulullah pada bulan Ramadan di tahun ke 8 Hijrahnya Rasulullah SAW.

Kesimpulan

Kesimpulan yang ingin saya garis bawahi kali ini adalah bahwa penetapan kalender Islam dimulai dengan peristiwa Hijrah Rasul ke Madinah. Hal ini karena Hijrah merupakan simbol kebangkitan Umat secara kolektif. Melalui Hijrah Umat terbentuknya. Bahkan dengan Hijrah perdaban dunia baru terbangun dari Madinah.

Sekaligus mengingatkan kita bahwa Umat ini tidak mungkin akan bangkit kecuali kembali merajut identitasnya yang hakiki. Untuk memungkinkan merajut identitas itu diperlukan Hijrah. Tentu Hijrah dalam konteks masa kini adalah Urgensi bagi Umat ini untuk melakukan “self change” atau perubahan.

Sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu merubah diri apa yang ada pada diri mereka sendiri”.

Dan perubahan itulah sejatinya esensi dari Hijrah dalam perspektif masa kini. Semoga!

Jamaica City, 30 Dzulhijjah 1443 H. (*)

351

Related Post