Pemberontakan Kaum Buruh
Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila.
Oleh: Dr H Syahganda Nainggolan, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC)
“VIVRE en travaillant ou mourir en combattant”.
“Hidup Bekerja atau Mati Berjuang”. Demikian sekilas bait “Lyon”, karya pianis Prancis Franz Liszt, awal abad ke-19.
Dia terinspirasi menggubah karyanya melalui pemberontakan kaum buruh Prancis. Pemberontakan kaum buruh tekstil di Lyon Prancis masa itu terjadi sebanyak 3 kali, tahun 1831, 1834 dan 1848.
Untuk menghancurkan pemberontakan pertama, 20.000 tentara Prancis dikerahkan untuk melumpuhkan kaum buruh.
Sementara itu, pemberontakan kaum buruh dalam sejarah, di manapun berada, akan terukir dalam warna darah dan keringat. Karena hukum eksploitasi yang dilakukan kaum borjouis atau oligarki terhadap buruh bersifat kekal.
Kekekalan itu hanya bisa dihancurkan dengan kegigihan dan solidaritas kaum buruh menentukan nasibnya. Pemberontakan yang berdarah-darah di Lyon Prancis, seperti yang diuraikan di atas, akhirnya telah menjadikan kaum buruh menjadi tuan di negeri sendiri di sana.
Dalam uraian sejarah equality di Paris dan Perancis, menurut Thomas Piketty, selama 200 tahun, akhirnya berhasil menekan ketimpangan dari Gini 0,7 menjadi 0,3.
Moh Jumhur Hidayat dan sejumlah tokoh tokoh Serikat Buruh telah mengumumkan pemberontakan terhadap kaum oligarki. Mereka akan mengepung Jakarta tanggal 10 Agustus 2022. Tuntutannya adalah Cabut UU Omnibuslaw.
Gerakan pemberontakan ini telah dimulai dengan aksi Long March kaum buruh dari Gedung Sate, Bandung. Mereka akan disambut di berbagai kota yang akan mereka lewati sebelum sampai Jakarta.
Mengapa UU Omnibuslaw?
UU Omnibuslaw yang diketuk palu oleh DPR pada bulan Oktober 2020 lalu adalah UU karya rezim Joko Widodo yang paling berbahaya bagi kaum buruh. Sesungguhnya bukan hanya kaum buruh, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. UU ini dibuat untuk memastikan dukungan legal bagi eksploitasi buruh secara bebas, sebebas-bebasnya.
Hubungan pengusaha vs buruh yang sudah berhasil dikerangkakan secara baik paska reformasi, baik melalui UU Tentang Serikat Pekerja, 2002, UU Hubungan Industrial 2003, UU SJSN 2009, yang mengatur perlindungan buruh dari eksploitasi kaum oligarki, dihancurkan oleh UU Omnibuslaw. Ratusan demonstran buruh dan mahasiswa yang mengecam kehadiran UU itu dianiaya, ditangkap dan bahkan Jumhur sendiri di penjara, pada tahun 2020.
Jumhur Hidayat dipenjara karena mempublikasikan statement bahwa UU Omnibuslaw hanyalah kepentingan investor rakus yang biadab. Untungnya Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Omnibuslaw ini bertentangan dengan konstitusi (UUD'45). Lalu mengapa buruh masih memberontak? Karena UU Omnibuslaw meski bertentangan dengan UUD'45 dan masih digunakan oleh pemerintahan Jokowi.
Sila ke-5 Pancasila dan Perjuangan Buruh
Ketika kaum buruh berjuang di Lyon Prancis, sebagaimana disinggung di atas, negara Prancis adalah milik raja. Raja ditopang kekuasaannya oleh baron-baron kaya, yang membayar upeti. Sebelum Revolusi Prancis, hak rakyat dan kaum buruh memang tidak dimengerti oleh elit dan oligarki.
Di Indonesia, persoalannya tidaklah demikian. Indonesia didirikan oleh bapak pendiri bangsa dengan keringat dan darah. Kemenangan Founding Fathers kemudian diukirkan dalam cita-cita kemerdekaan, yang salah satunya dikunci dalam sila ke-5 Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Dalam 8 tahun rezim Jokowi, kita melihat negara semakin jauh dari cita-cita keadilannya. Negara kita ini lebih difungsikan untuk menumpuk hutang dan memanjakan penguasa serta segelintir oligarki. Orang-orang yang kaya terus bertambah kaya. Moralitas aparatur negara juga tidak mengarah pada fungsi bekerjanya negara pada keadilan dan rakyat terus menerus tersisihkan.
Pada 5 tahun pertama rezim Jokowi, tim CNBC melaporkan penurunan kemiskinan di Indonesia paling kecil dalam sejarah paska reformasi. Hanya sedikit di atas 1% rerata pertahun.
Pada masa pandemi, penurunan kemiskinan secara data resmi BPS, hanya nol koma. Namun, tercatat banyak kekayaan pejabat negara membesar pada masa pandemi. Upah buruh semakin mengharu-biru. Kenaikan upah buruh pada tahun ini rerata hanya 0,85 % alias tidak sampai 1%.
Padahal Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, saat inspeksi ke pasar induk Kramat Jati Jakarta, menemukan data kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sudah mencapai 50-70%.
Apakah kaum buruh yang porsi pengeluaran mereka 60% untuk kebutuhan pokok mampu bertahan hidup? Apakah mereka akan mampu memperbaiki masa depan anak cucunya?
Ini pertanyaan besar tentang Sila Ke-5 Pancasila. Apalagi ketika skandal semisal Apeng, pencuri kekayaan negara dan telah merugikan negara Rp78 Triliun sebagaimana diungkap oleh Kejakgung RI, yang ramai diberitakan saat ini, bebas melanggeng tak tersentuh hukum.
Kita belum tahu akhir cerita pemberontakan buruh yang dilakukan Jumhur Hidayat dan kawan-kawan Serikat Buruh lainnya.
Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila.
Mari kita berdoa untuk kebaikan dan kesejahteraan kaum buruh. (*)