Terima Kasih Jenderal, Telah Mengoreksi Diri

Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat

Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat.

Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat

TIADA kebahagiaan melebihi saat meyakini aparat hukum bersungguh-sungguh mau menegakkan hukum walaupun kejahatan itu terjadi di dalam tubuhnya sendiri.

Memang seperti itulah yang kita rasakan sejak Kamis (4/8) ketika Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meng-update langsung perkembangan pengusutan kasus, “Polisi Tembak Polisi”. 

Meski tampak terbata-bata, namun Kapolri sudah menunjukkan kerja nyata guna menuntaskan kasus yang menghebohkan itu. Kasus yang bukan hanya mempermalukan korps Bhayangkara, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang dengan segala keterbatasan membiayai penyeleggaraan negara melalui setoran pajaknya.

Kita sudah semakin diyakinkan ketika ketiga kalinya Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan jajaran Polri agar membuka kasus yang menewaskan Brigadir Joshua seterang-terangnya pada 8 Juli 2022 lalu.

Seruan Jokowi penting karena itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi dalam menegakkan hukum secara terang-benderang dan berkeadilan.

Seruan tersebut adalah perintah langsung dari seorang presiden yang telah meletakkan posisi rakyat di tempatnya yang tepat, yaitu sebagai “atasannya”. “Supaya, tidak ada keraguan lagi di dalam masyarakat,” kata Presiden Jokowi.

Wajar jika seluruh rakyat bahagia. Sudah bertahun-tahun mereka itu hanya menjadi penonton dalam dinamika politik bangsa, sering didikte dalam urusan penanganan ekonomi, dan hanya menjadi obyek dalam urusan hukum. 

Hampir Diperdaya

Dalam urusan “Polisi Tembak Polisi” ini pun rakyat hampir saja “diperdaya”. Disuruh mengikuti “skenario cerita” yang disusun oknum di markas polisi. Seperti pada awal peristiwa itu terjadi. Yang sangat tidak masuk akal.

Masih sangat lekat dalam ingatan, bahkan sempat ada oknum penegak hukum dan oknum otoritas pers di Tanah Air hendak “bersekongkol”   membungkam rakyat melalui saluran media pers.

Tidak! Sekali ini tidak! Rakyat berhak tahu. Rakyat berhak ragu. Juga berhak menguji argumentasi-argumentasi penegak hukum mengenai duduk perkara pembunuhan Joshua di rumah dinas atasannya tersebut. Terlalu mahal biaya pengabdian aparat berpangkat rendah itu jika mati tanpa kejelasan.

Kita sudah mengikuti sejak Kamis (4/8), Kapolri sudah menindak 25 anggota Polri, tiga diantaranya perwira tinggi bintang satu dan bintang dua. Semuanya diperiksa dalam perkara dugaan pelanggaran etika dengan berbagai macam perbuatan. Kapolri menjanjikan tidak hanya sebatas pemeriksaan etika.

Kapolri menyatakan akan melanjutkan mempidanakan pula jika ditemukan unsur itu. Inilah buktinya. Hari itu posisi Barada E yang menembak Brigadir Joshua dengan alasan membela diri (versi skenario awal) sudah berubah status malah menjadi tersangka. Pada hari yang sama, setelah dinonaktifkan sebagai Kadiv Propam Polri pada 18 Juli lalu, Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan keempat di Bareskrim Polri.

Dalam artikel “Fakta Baru Horor & Teror Kasus Polisi Tembak Polisi” (21 Juli 2022), saya sudah menuliskan optimisme kasus ini akan terungkap secara terang-benderang. Saya mengutip pernyataan penulis Inggris terkenal Graham Greene (1904-1991). Greene bilang, “Seorang pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik, maka dia bisa dianggap mengerikan.”

Saya memposisikan polisi sebagai orang baik. Para pengayom masyarakat, yang sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara  keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan  perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat, langsung di bawah Presiden.

Dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI No. VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi dalam pengawasan dan tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden.

Saya mengira kengerian yang sama dirasakan Greene itulah yang membuat Kapolri mendapatkan dukungan masyarakat yang luas untuk bertindak tegas. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupan di Indonesia ke depan jika kasus seperti itu tidak diusut tuntas.

Tim Khusus Kapolri pun bergerak cepat. Sabtu (6/8) pecah berita: Irjenpol Ferdy Sambo tokoh sentral dalam pusaran peristiwa itu telah ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua. Penahanan Sambo memang menimbulkan kontroversi sejak semalam. Banyak yang pesimistis dan mencurigai penahanan itu hanya sebatas sanksi terkait dugaan pelanggaran etika.

Tapi tidak sedikit yang berkeyakinan penahanan itu terkait dengan temuan unsur pidana dalam pemeriksaannya. 

Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, untuk mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat.

Yang penting, etika atau terkait pidana penahanan itu telah menunjukkan keseriusan pimpinan Polri pada janjinya.

Yang penting, polisi menyadari posisinya sepenuhnya sudah dalam “kendali” dan pengawasan rakyat. Bukan sebaliknya, seperti disangkakan selama ini. Yang pada era kemajuan teknologi informasi semua dinding punya mata dan telinga.

Kita sadar bahwa kasus ini memang masih akan melalui proses panjang dan melelahkan demi memenuhi kaidah “scientific crime investigation”. Namun,  kasus “Polisi Tembak Polisi” sudah terang tanah.

Kuncinya, karena itu tadi: orang-orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan kemanusiaan. Yang menjungkirbalikkan sistem nilai masyarakat Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

Dan, yang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sebagai bangsa berdaulat, sepuluh hari lagi akan kita peringati bersama. Merdeka! (*)

328

Related Post