OPINI

Pemberontakan Kaum Buruh

Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila. Oleh: Dr H Syahganda Nainggolan, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC) “VIVRE en travaillant ou mourir en combattant”. “Hidup Bekerja atau Mati Berjuang”. Demikian sekilas bait “Lyon”, karya pianis Prancis Franz Liszt, awal abad ke-19. Dia terinspirasi menggubah karyanya melalui pemberontakan kaum buruh Prancis. Pemberontakan kaum buruh tekstil di Lyon Prancis masa itu terjadi sebanyak 3 kali, tahun 1831, 1834 dan 1848. Untuk menghancurkan pemberontakan pertama, 20.000 tentara Prancis dikerahkan untuk melumpuhkan kaum buruh. Sementara itu, pemberontakan kaum buruh dalam sejarah, di manapun berada, akan terukir dalam warna darah dan keringat. Karena hukum eksploitasi yang dilakukan kaum borjouis atau oligarki terhadap buruh bersifat kekal. Kekekalan itu hanya bisa dihancurkan dengan kegigihan dan solidaritas kaum buruh menentukan nasibnya. Pemberontakan yang berdarah-darah di Lyon Prancis, seperti yang diuraikan di atas, akhirnya telah menjadikan kaum buruh menjadi tuan di negeri sendiri di sana. Dalam uraian sejarah equality di Paris dan Perancis, menurut Thomas Piketty, selama 200 tahun, akhirnya berhasil menekan ketimpangan dari Gini 0,7 menjadi 0,3. Moh Jumhur Hidayat dan sejumlah tokoh tokoh Serikat Buruh telah mengumumkan pemberontakan terhadap kaum oligarki. Mereka akan mengepung Jakarta tanggal 10 Agustus 2022. Tuntutannya adalah Cabut UU Omnibuslaw. Gerakan pemberontakan ini telah dimulai dengan aksi Long March kaum buruh dari Gedung Sate, Bandung. Mereka akan disambut di berbagai kota yang akan mereka lewati sebelum sampai Jakarta. Mengapa UU Omnibuslaw? UU Omnibuslaw yang diketuk palu oleh DPR pada bulan Oktober 2020 lalu adalah UU karya rezim Joko Widodo yang paling berbahaya bagi kaum buruh. Sesungguhnya bukan hanya kaum buruh, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. UU ini dibuat untuk memastikan dukungan legal bagi eksploitasi buruh secara bebas, sebebas-bebasnya. Hubungan pengusaha vs buruh yang sudah berhasil dikerangkakan secara baik paska reformasi, baik melalui UU Tentang Serikat Pekerja, 2002, UU Hubungan Industrial 2003, UU SJSN 2009, yang mengatur perlindungan buruh dari eksploitasi kaum oligarki, dihancurkan oleh UU Omnibuslaw. Ratusan demonstran buruh dan mahasiswa yang mengecam kehadiran UU itu dianiaya, ditangkap dan bahkan Jumhur sendiri di penjara, pada tahun 2020. Jumhur Hidayat dipenjara karena mempublikasikan statement bahwa UU Omnibuslaw hanyalah kepentingan investor rakus yang biadab. Untungnya Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Omnibuslaw ini bertentangan dengan konstitusi (UUD\'45). Lalu mengapa buruh masih memberontak? Karena UU Omnibuslaw meski bertentangan dengan UUD\'45 dan masih digunakan oleh pemerintahan Jokowi. Sila ke-5 Pancasila dan Perjuangan Buruh Ketika kaum buruh berjuang di Lyon Prancis, sebagaimana disinggung di atas, negara Prancis adalah milik raja. Raja ditopang kekuasaannya oleh baron-baron kaya, yang membayar upeti. Sebelum Revolusi Prancis, hak rakyat dan kaum buruh memang tidak dimengerti oleh elit dan oligarki. Di Indonesia, persoalannya tidaklah demikian. Indonesia didirikan oleh bapak pendiri bangsa dengan keringat dan darah. Kemenangan Founding Fathers kemudian diukirkan dalam cita-cita kemerdekaan, yang salah satunya dikunci dalam sila ke-5 Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dalam 8 tahun rezim Jokowi, kita melihat negara semakin jauh dari cita-cita keadilannya. Negara kita ini lebih difungsikan untuk menumpuk hutang dan memanjakan penguasa serta segelintir oligarki. Orang-orang yang kaya terus bertambah kaya. Moralitas aparatur negara juga tidak mengarah pada fungsi bekerjanya negara pada keadilan dan rakyat terus menerus tersisihkan. Pada 5 tahun pertama rezim Jokowi, tim CNBC melaporkan penurunan kemiskinan di Indonesia paling kecil dalam sejarah paska reformasi. Hanya sedikit di atas 1% rerata pertahun. Pada masa pandemi, penurunan kemiskinan secara data resmi BPS, hanya nol koma. Namun, tercatat banyak kekayaan pejabat negara membesar pada masa pandemi. Upah buruh semakin mengharu-biru. Kenaikan upah buruh pada tahun ini rerata hanya 0,85 % alias tidak sampai 1%. Padahal Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, saat inspeksi ke pasar induk Kramat Jati Jakarta, menemukan data kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sudah mencapai 50-70%. Apakah kaum buruh yang porsi pengeluaran mereka 60% untuk kebutuhan pokok mampu bertahan hidup? Apakah mereka akan mampu memperbaiki masa depan anak cucunya? Ini pertanyaan besar tentang Sila Ke-5 Pancasila. Apalagi ketika skandal semisal Apeng, pencuri kekayaan negara dan telah merugikan negara Rp78 Triliun sebagaimana diungkap oleh Kejakgung RI, yang ramai diberitakan saat ini, bebas melanggeng tak tersentuh hukum. Kita belum tahu akhir cerita pemberontakan buruh yang dilakukan Jumhur Hidayat dan kawan-kawan Serikat Buruh lainnya. Namun, perjuangan buruh tekstil, seperti yang dilakukan di Lyon Prancis di masa lalu, setidaknya telah menghantarkan kaum buruh pada derajat hidup yang tinggi. Padahal mereka tidak mengenal sila ke-5 Pancasila. Mari kita berdoa untuk kebaikan dan kesejahteraan kaum buruh. (*)

Terima Kasih Jenderal, Telah Mengoreksi Diri

Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat. Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat TIADA kebahagiaan melebihi saat meyakini aparat hukum bersungguh-sungguh mau menegakkan hukum walaupun kejahatan itu terjadi di dalam tubuhnya sendiri. Memang seperti itulah yang kita rasakan sejak Kamis (4/8) ketika Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meng-update langsung perkembangan pengusutan kasus, “Polisi Tembak Polisi”.  Meski tampak terbata-bata, namun Kapolri sudah menunjukkan kerja nyata guna menuntaskan kasus yang menghebohkan itu. Kasus yang bukan hanya mempermalukan korps Bhayangkara, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang dengan segala keterbatasan membiayai penyeleggaraan negara melalui setoran pajaknya. Kita sudah semakin diyakinkan ketika ketiga kalinya Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan jajaran Polri agar membuka kasus yang menewaskan Brigadir Joshua seterang-terangnya pada 8 Juli 2022 lalu. Seruan Jokowi penting karena itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi dalam menegakkan hukum secara terang-benderang dan berkeadilan. Seruan tersebut adalah perintah langsung dari seorang presiden yang telah meletakkan posisi rakyat di tempatnya yang tepat, yaitu sebagai “atasannya”. “Supaya, tidak ada keraguan lagi di dalam masyarakat,” kata Presiden Jokowi. Wajar jika seluruh rakyat bahagia. Sudah bertahun-tahun mereka itu hanya menjadi penonton dalam dinamika politik bangsa, sering didikte dalam urusan penanganan ekonomi, dan hanya menjadi obyek dalam urusan hukum.  Hampir Diperdaya Dalam urusan “Polisi Tembak Polisi” ini pun rakyat hampir saja “diperdaya”. Disuruh mengikuti “skenario cerita” yang disusun oknum di markas polisi. Seperti pada awal peristiwa itu terjadi. Yang sangat tidak masuk akal. Masih sangat lekat dalam ingatan, bahkan sempat ada oknum penegak hukum dan oknum otoritas pers di Tanah Air hendak “bersekongkol”   membungkam rakyat melalui saluran media pers. Tidak! Sekali ini tidak! Rakyat berhak tahu. Rakyat berhak ragu. Juga berhak menguji argumentasi-argumentasi penegak hukum mengenai duduk perkara pembunuhan Joshua di rumah dinas atasannya tersebut. Terlalu mahal biaya pengabdian aparat berpangkat rendah itu jika mati tanpa kejelasan. Kita sudah mengikuti sejak Kamis (4/8), Kapolri sudah menindak 25 anggota Polri, tiga diantaranya perwira tinggi bintang satu dan bintang dua. Semuanya diperiksa dalam perkara dugaan pelanggaran etika dengan berbagai macam perbuatan. Kapolri menjanjikan tidak hanya sebatas pemeriksaan etika. Kapolri menyatakan akan melanjutkan mempidanakan pula jika ditemukan unsur itu. Inilah buktinya. Hari itu posisi Barada E yang menembak Brigadir Joshua dengan alasan membela diri (versi skenario awal) sudah berubah status malah menjadi tersangka. Pada hari yang sama, setelah dinonaktifkan sebagai Kadiv Propam Polri pada 18 Juli lalu, Irjen Pol Ferdy Sambo menjalani pemeriksaan keempat di Bareskrim Polri. Dalam artikel “Fakta Baru Horor & Teror Kasus Polisi Tembak Polisi” (21 Juli 2022), saya sudah menuliskan optimisme kasus ini akan terungkap secara terang-benderang. Saya mengutip pernyataan penulis Inggris terkenal Graham Greene (1904-1991). Greene bilang, “Seorang pembunuh dianggap oleh dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi bagi pembunuh itu sendiri hanyalah manusia biasa. Hanya jika si pembunuh adalah orang baik, maka dia bisa dianggap mengerikan.” Saya memposisikan polisi sebagai orang baik. Para pengayom masyarakat, yang sesuai kedudukannya di dalam negara kita. Yang berperan memelihara  keamanan dan ketertiban masyarakat. Menegakkan hukum, memberikan  perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri mendapat tempat terhormat, langsung di bawah Presiden. Dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI No. VII/MPR/2000. Artinya, seluruh perilaku polisi dalam pengawasan dan tanggung jawab presiden. Wajah polisi adalah wajah presiden. Saya mengira kengerian yang sama dirasakan Greene itulah yang membuat Kapolri mendapatkan dukungan masyarakat yang luas untuk bertindak tegas. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupan di Indonesia ke depan jika kasus seperti itu tidak diusut tuntas. Tim Khusus Kapolri pun bergerak cepat. Sabtu (6/8) pecah berita: Irjenpol Ferdy Sambo tokoh sentral dalam pusaran peristiwa itu telah ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua. Penahanan Sambo memang menimbulkan kontroversi sejak semalam. Banyak yang pesimistis dan mencurigai penahanan itu hanya sebatas sanksi terkait dugaan pelanggaran etika. Tapi tidak sedikit yang berkeyakinan penahanan itu terkait dengan temuan unsur pidana dalam pemeriksaannya.  Pemberitaan pers yang menggunakan diksi “penahanan” jenderal polisi bintang dua itu beredar di tengah masyarakat. Pers seperti kesusu, untuk mendahului sumber resmi. Semangat pers itu mengekspresikan dambaan seluruh masyakat. Yang penting, etika atau terkait pidana penahanan itu telah menunjukkan keseriusan pimpinan Polri pada janjinya. Yang penting, polisi menyadari posisinya sepenuhnya sudah dalam “kendali” dan pengawasan rakyat. Bukan sebaliknya, seperti disangkakan selama ini. Yang pada era kemajuan teknologi informasi semua dinding punya mata dan telinga. Kita sadar bahwa kasus ini memang masih akan melalui proses panjang dan melelahkan demi memenuhi kaidah “scientific crime investigation”. Namun,  kasus “Polisi Tembak Polisi” sudah terang tanah. Kuncinya, karena itu tadi: orang-orang baik itu “mengakui” kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah kejahatan kemanusiaan. Yang menjungkirbalikkan sistem nilai masyarakat Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Dan, yang kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sebagai bangsa berdaulat, sepuluh hari lagi akan kita peringati bersama. Merdeka! (*)

Jangan Lupakan Kejahatan Israel

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  ISRAEL memang negara kriminal. Tidak henti melakukan kejahatan, penindasan dan pendudukan. Menguasai sebagian besar wilayah  Palestina. Mempersulit muslim beribadah di Masjid Aqsha. Merusak, membunuh dan membantai. Melobi dunia agar lunak. PBB pun lemah dan mudah dikendalikan. Israel menjadi fenomena dunia tentang kisah kekebalan gerombolan penjahat.  Terakhir Israel melakukan serangan ke Gaza 6 Agustus kemarin yang menewaskan sekurangnya 10 orang warga dan 75 luka. Di antara yang tewas ada anak anak dan wanita. PM Israel Yair Lapid dan Menhan Benny Gantz beralasan serangan tersebut untuk menghilangkan ancaman. Dalih yang selalu dibuat Israel untuk membunuh, menyerang dan menduduki. Pada bulan Mei 2022 seorang jurnalis Al Jazeera Shiren Abu Akleh tewas ditembak Israel.  Awal tahun 2022 Israel kembali menyerang Palestina. Setahun yang lalu tepatnya Mei 2021 Israel membombardir Gaza dan menewaskan 230 warga Palestina 100 di antaranya wanita dan anak-anak. Terlalu banyak kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina. Pembantaian dan penghancuran di Deir Yassin, Kafr Qasim,  Safsat, Tantura, Qibya,  Dahmasy, Khan Yunis dan lainnya termasuk pembakaran Masjid Aqsha dan pembantaian 3500 orang Palestina di Kamp  Sabra dan Shatila.  Indonesia tidak boleh tinggal diam dan harus terus membantu kemerdekaan bangsa Palestina. Palestina termasuk yang pertama membantu kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejak 6 September 1944 setahun sebelum merdeka, Palestina telah mengakui secara de facto kemerdekaan Indonesia. Mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al Husaini menyebarkan kemerdekaan Indonesia itu ke seluruh dunia.  Syekh Husaini bergerak menyatukan dukungan negara Timur Tengah untuk kemerdekaan Indonesia. Akhirnya Mesir, Lebanon, Palestina dan negara Timur Tengah lainnya mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia. Syekh Husaini menyiarkan ucapan selamat berbahasa Arab dari Berlin  saat ia berada di Jerman.  Alangkah zalimnya pemerintah dan bangsa Indonesia, jika ternyata kini kita mencoba bermain mata dengan zionis Israel sang penjajah. Membuka Museum Holocaust pro Israel di Minahasa adalah bukti atas kezaliman itu. Pemerintah tidak memiliki rasa terimakasih pada bangsa Palestina yang hingga kini masih tertindas dan terjajah. Untuk mengembalikan martabat bangsa dan rakyat Indonesia, maka sudah selayaknya Museum Holocaust segera ditutup. Dukung serius perjuangan bangsa Palestina. Berteriak lah keras demi kemerdekaan Palestina. Israel hingga kini masih membabi buta menunjukkan arogansinya. Genosida adalah missinya.  Indonesia harus membangun Museum Perjuangan Palestina di negeri ini untuk mengikat tali persahabatan yang lebih erat. Museum yang berisi koleksi kontribusi kedua negara dalam mendukung kemerdekaan. Koleksi kontribusi dunia pula bagi kemerdekaan bangsa Palestina. Sejarah mesti terekam baik.  Dan yang paling penting adalah tampilan atau koleksi bukti kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina, baik pembunuhan dan pembantaian maupun pengusiran dan pendudukan. Sejarah kekejian zionis atas hak hidup warga dan bangsa Palestina.  Museum adalah pembelajaran berkelanjutan mengenai runtuh dan tumbuhnya peradaban.  Tutup Museum Holocaust Yahudi dan dirikan \"Museum Perjuangan Palestina\". Jangan lupakan kejahatan Israel!

Ketegangan Politik Akan Naik

Musra Indonesia bisa jadi hanya test the water. Dampaknya hanya akan menimbulkan ketegangan politik baru yang semestinya dihindari oleh Presiden. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MUSRA Indonesia atau Musyawarah Rakyat Indonesia, konon, diinisiasi oleh belasan gugus relawan Jokowi (Presiden Joko Widodo) segera dihelat di 34 provinsi, dalam rentang waktu mulai 27 Agustus 2022 hingga Maret 2023. Sikap sinis sebagian netizen langsung muncul semua itu gagasan Presiden bersama Oligarki. Musra Indonesia, dipastikan atas restu, bahkan dugaan kuat, ide juga datang dari Presiden, sekalipun kepada publik dibungkus bahwa kegiatan tersebut diinisiasi oleh relawan Jokowi. Beberapa hari lalu Presiden telah mengundang beberapa perwakilan dari relawannya ke Istana. Dikemudian hari langsung muncul ada rencana Musyawarah Rakyat Indonesia (Musra Indonesia). Lengkap dengan susunan Panitia Dewan Pakar dan Ketua Pelaksana. Panitia Musyawarah Rakyat Indonesia (Musra) yang telah digagas sejumlah kelompok relawan Presiden Jokowi merilis daftar nama tokoh-tokoh yang terlibat sebagai panitia gelaran tersebut. Salinan daftar kepanitiaan tersebut telah tersebar luas di media sosial. Ketua Pelaksana Musra Panel Barus, Kamis (4/8). Salinan itu menyebutkan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi sebagai Penanggung Jawab Musra. Kemudian, tokoh buruh Andi Gani Nena Wea ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengarah. Ia membawahi 16 anggota dewan pengarah, termasuk mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Rudiantara. Selain itu, ada Bendahara Umum Projo Panel Barus yang menjadi Ketua Pelaksana Musra. Ia memiliki delapan orang wakil. Musra juga melibatkan 14 tokoh dari kalangan militer dan akademik yang menjadi dewan pakar. Salah satunya adalah mantan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Politik Badan Intelijen Negara (BIN) Soedarmo. Hebat betul relawan Jokowi bisa menyusun Gelaran Musra Indonesia dengan melibatkan pejabat setingkat menteri dan mantan pejabat tinggi negara. Tampaknya mereka juga sudah mencoba menerobos masuk ke Perguruan Tinggi. Tiba-tiba menyeruak informasi melalui medsos, sejumlah akademisi menolak undangan dari Relawan Jokowi untuk menjadi Dewan Pakar Musra Indonesia. Pertama datang dari Rektor Universitas Indonesia (UI) Arie Kuncoro. Arie beralasan dirinya sibuk memimpin UI. Kemudian, peneliti komunikasi politik yang juga mantan Guru Besar UI Effendi Gazali menyampaikan hal serupa. Penolakan juga datang dari Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria. Arif dengan tegas menolak undangan itu. “Yang pasti rektor harus menjaga independensi dan tidak boleh berpolitik praktis,” ucap Arif melalui pesan singkat, Jumat (5/8). Musra untuk menjaring aspirasi rakyat di 34 provinsi. Salah satu agenda salam musyawarah itu adalah menjaring usulan nama Calon Presiden. Kalau itu tujuannya kenapa Presiden tidak mengundang Koalisi Parpolnya (kalau masih utuh dan kompak) sebagai bentuk yang sah mewakili rakyat dan didukung dengan aturan tentang Presidential Threshold (PT) 20 % yang secara konstitusional akan menentukan Calon Presiden. Sebagian rakyat spontan memunculkan memorinya rangkaian kejadian sebelumnya yang masih hidup sampai saat ini munculnya isu perpanjangan jabatan dan rekayasa jabatan Presiden 3 periode. Sekalipun Presiden juga berkali kali menolaknya. Gempuran kepada MK sangat keras dan masif, yang tetap menolak Gugatan PT Nol (O)%. Setiap ada agenda apakah Kongres, Munas, Musyawarah Nasional atau apapun namanya semua agendanya lazim sudah dipersiapkan sebelumnya, forum tidak lebih hanya sebagai legalisasi. Musra Rakyat Indonesia itu (tidak salah) hanya tidak lazim dilakukan oleh Presiden Jokowi sekalipun terselubung inisiasi oleh relawan dan menafikan keberadaan Parpol yang justru telah memiliki legalitas konstitusional untuk menentukan Capres. Presiden terbaca akan tetap memaksakan keinginannya untuk tetap berkuasa. Dugaan kuat ada kegelisahan Oligargi yang sedang galau dan resah setelah rentetan gagasan perpanjangan dan/atau penambahan jabatan Presiden 3 periode, otomatis harus ada amandemen UUD 1945, dan rezim yang tetap mem-back up PT tetap 20 % mendapatkan perlawanan yang sangat keras dari rakyat dan bahkan datang dari beberapa pimpinan parpol. Anomali politik sangat sering dilakukan oleh Presiden, apa yang dikatakan bisa ditebak akan ada kejadian sebaliknya. Dugaan kuat Presiden dalam tekanan oligarki. Seharusnya dengan jabatan yang tinggal beberapa bulan ini, Presiden mengambil langkah bagaimana menurunkan harga-harga kebutuhan rakyat dan menghadapi krisis ekonomi yang sudah didepan mata. Beban hutang negara yang sangat besar dengan resiko kesulitan membayar hutang akan beresiko ke semua aspek kehidupan ekonomi, eksistensi dan harga diri bangsa dan negara sedang dipertaruhkan. Keadaan negara bisa berubah dengan cepat, mengarah pada stabilitas dan keutuhan negara. Wajah demokrasi yang mengarah ke pola otoriter, korupsi dan kerusakan moral aparatur negara yang semakin tak terkendali. Semua membutuhkan konsentrasi di ahir masa jabatannya yang tinggal beberapa bulan. Musra Indonesia bisa jadi hanya test the water. Dampaknya hanya akan menimbulkan ketegangan politik baru yang semestinya dihindari oleh Presiden. Alangkah bijaknya Presiden berjiwa negarawan dan berpikir mandiri mengikuti proses konstitusi yang sudah baku menjaga diri dan sekuat tenaga dan pikiran menghilangkan stigma masyarakat bahwa Presiden telah menjadi boneka oligarki dan hanya larut pada kepentingan kelangsungan kuasa dan kekuasan oligarki di negara ini yang mulai goyah dan telah menjadi musuh bersama rakyat. (*)

Karma Kereta Cepat: Siapa Bertanggung Jawab?

Tugas dan tanggungjawab yang sama juga ada di pundak DPD RI. Maka DPD telah melakukan ancang-ancang, mempertimbangkan urgensi pembentukan Pansus Kereta Kereta Cepat Jakarta Bandung. Bagaimana pun juga, Pemerintah harus menjelaskan dan bertanggung jawab atas kebijakan yang ditengarai bermasalah ini. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD - MPR RI AWAL 2016 lalu, Presiden Joko Widoao meresmikan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Enam tahun berselang, kereta yang dinanti tak kunjung tiba. KCJB yang ditarget beroperasi pada 2019, hanya omong kosong tanpa realisasi.  Sejak awal, proyek kereta cepat memang sudah masalah. Ketika Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mengeluarkan modal sebesar 3,5 juta dolar AS untuk mendanai studi kelayakan proyek ini, China tiba-tiba muncul dengan klaim studi kelayakan untuk proyek yang sama. Indonesia lalu kepincut China, memunggungi JICA dan segala pembicaraan dengannya.  Keputusan itu menuai “karma”. Problem demi problem beranak pinak di sepanjang pengerjaan proyek ini. Ada pilar yang jatuh, drainase yang buruk, dan seterusnya. Semua persoalan teknis ini masih di tambah problem non teknis yang turut menimbulkan kontroversi. Tenaga kerja asal China, misalnya. Ingat kontroversi tukang las kereta cepat?  Seolah tak berkesudahan, masalah demi masalah terus bermunculan menyusul pembengkakan biaya atau cost over run KCJB. Celakanya, China meminta Indonesia ikut menanggung pembengkakan biaya itu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, salah satu alasan Pemerintah menghindari Jepang adalah karena China menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN.  Dalam kunjungan kerja yang saya lakukan ke Jepang, Duta Besar kita Dr. Yusron Ihza Mahendra sempat bercerita kepada rombongan kami yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Dr. Agus Hermanto dari Partai Demokrat. Yusron menyampaikan betapa PM Abe sangat kecewa atas putusan pemerintah tersebut. Kekecewaan itu disampaikan PM Abe kepada pak Yusron karena dia dikalahkan dalam proyek yang sudah digelutinya dan tidak tertandingi selama berpuluh puluh tahun, sehingga menjadi icon Jepang atas proyek kerata tersebut. Bagi Jepang, pengerjaan kereta cepat memang dipandang sulit terlaksana bila murni menggunakan skema business to business (b to b) sehingga meminta pemerintah Indonesia menjamin proyek tersebut. Sebaliknya, China menggoda Indonesia dengan iming-iming tanpa APBN. Ini pula yang menjadi salah satu alasan pemerintah “membelot” ke China. Namun ludah terpaksa dijilat kembali. Pembiayaan KCJB tanpa merogoh kocek APBN yang disahkan Jokowi melalui Perpres Nomor 107 Tahun 2015 diralat. Yang  ralat ya presiden sendiri melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021.  Dengan Perpres itu, pemerintah menyetujui cuan sebesar 4,1 triliun dicairkan ke proyek KCJB melalui skema penyertaan Modal Negara (PMN) ke PT Kereta Api Indonesia (KAI). Skema inilah yang membuat argumen b to b tetap dipertahankan, meski terkesan akal-akalan.  Penyertaan modal 4,1 triliun rupanya hanya untuk menutupi kewajiban 25 persen biaya pembengkakan yang harus ditanggung konsorsium BUMN Indonesia yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China sesuai komposisi saham, dimana PSBI memiliki saham sebesar 60 persen.  Lalu, bagaimana dengan cost over run 75 persen lainnya? Pada titik inilah kisah pilu itu kian mengenaskan.  China Development Bank (CDB) secara terbuka meminta Pemerintah Indonesia turut menanggungnya. Situasinya bak kata pepatah. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Estimasi biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan kereta cepat awalnya sebesar 5,5 miliar dolar AS, yang kemudian membengkak menjadi 6,07 miliar AS. Setelah melalui kajian pada 2021, proyek itu berpotensi naik lagi sekira US$ 1,17-1,9 miliar dolar AS atau sekira Rp 16,6 – 26,98 triliun dengan kurs Rp14.200 Proyek telah berjalan. Pilihannya, lanjut atau mangkrak. Posisi Jokowi jelas dilematis. Di satu sisi, akan sangat sulit memaksakan penggunaan duit APBN yang pas-pasan, terlebih di tengah sorotan tajam banyak pihak. Di sisi lain, proyek unggulan ini memengaruhi citra Jokowi yang semakin pudar. Bila mangkrak, lalu apa lagi yang bisa didengungkan? Konon, Pemerintah tengah mencari jalan keluar dan tidak buru-buru menyetujui usulan China. Sebagai solusi alternatif, Wakil Menteri BUMN mengusulkan agar pemerintah meminjam duit ke China. Usulan ini diperkuat oleh staff khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.  Pemerintah sepertinya berputar di situ-situ saja, tidak jauh-jauh dari dua kata: China dan utang. Begitu miskin kreativitas. Padahal, harusnya kita bisa belajar banyak pada Sri Lanka, Kenya, dan Pakistan perihal jebakan utang China atau Chinese money trap. Dalam kasus kereta Cepat, potensi jebakan itu harus diwaspadai, mengingat Pemerintah agaknya mulai tersandera proyek ini: lanjut atau mangkrak? Pilihan terbaik tentu melanjutkan. Tetapi konsekuensinya juga tidak mudah, yakni kembali mengutang atau memaksakan menalanginya dengan APBN. Bila menggunakan APBN, bagaimana mempertahankan argumentasi b to b? Anggota Badan Anggaran DPR Hermanto menduga, proyek ini memiliki agenda tersembunyi. Awalnya diberi harga murah, lalu kemudian dibengkakkan. Bila dugaan ini benar, lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Siapapun itu, tentu harus dicari tahu agar ada pembelajaran dan tidak terulang di kemudian hari. Maka, saya sepakat dengan usul pakar ekonomi yang juga Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini agar DPR segera membentuk Panitia Khusus Kereta Cepat Jakarta Bandung.  Fraksi PKS DPR RI telah menyatakan akan mendorong pembentukan Pansus Kereta Cepat Jakarta Bandung. Kita berharap, fraksi-fraksi lain menyambut gagasan ini, sebab DPR memiliki tugas dan tanggung jawab konstitusional untuk melakukan pengawasan dan memberi masukan kepada Pemerintah. Tugas dan tanggungjawab yang sama juga ada di pundak DPD RI. Maka DPD telah melakukan ancang-ancang, mempertimbangkan urgensi pembentukan Pansus Kereta Kereta Cepat Jakarta Bandung. Bagaimana pun juga, Pemerintah harus menjelaskan dan bertanggung jawab atas kebijakan yang ditengarai bermasalah ini. Momentum penyelesaian perkara ini ada dua, yakni diselesaikan sekarang atau setelah Pemerintahan Jokowi berlalu. Kalau diselesaikan sekarang, barangkali imbasnya tidak terlalu kompleks. Kalau menunggu diselesaikan oleh pemerintahan pasca 2024, ceritanya bisa kemana-mana. Nah, pilih yang mana? (*) 

Pilihan Tepat Kapolri: “Selamatkan Institusi!”

 Langkah Kapolri mencopot dan memutasi 25 anggota Polri yang diduga terlibat dalam “penanganan” kematian Brigadir Joshua memang sangat tepat. Pilihan ini memang sangat sulit diputuskan Kapolri. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) BANYAK pihak mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang berani mengambil “resiko” dengan menyelamatkan istitusi Polri terkait penembakan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat, Jum’at (8/7/2022). Dalam narasi versi polisi sejak awal disebutkan, peristiwa itu terjadi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga Nomor 46 (DT-46) Jakarta Selatan. Polisi menyebut, senjata yang digunakan Bharada Richard Eliezer Pudhihang Lumiu alias Bharada RE adalah pistol Glock-17, sedangkan Brigadir Joshua menggunakan pistol jenis HS-9. Sayangnya, hingga saat ini belum diketahui siapa pemegang pistol Glock-17 yang sebenarnya. Ada kesan, polisi enggan menyentuh dan mencari register  dari senjata yang biasa dipegang oleh seorang perwira itu. Semoga dengan keputusan Kapolri yang mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1628/VIII/kep/2022 tertanggal 4 Agustus 2022, sebanyak 25 anggota Polri dimutasi itu, bisa membuka tabir penembakan Brigadir Joshua ini. Beberapa hari yang lalu Kapolri Jenderal Listyo telah melakukan pemeriksaan 25 personel polisi dalam kasus meninggalnya Brigadir Joshua. Mereka turut dalam pemeriksaan itu atas dugaan ketidakprofesionalan dalam menangani tempat kejadian perkara (TKP). “Personel polisi ini kita periksa terkait dengan ketidakprofesionalan dalam penanganan TKP,” ujar Listyo Sigit dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (4/8/2022) malam, seperti dikutip PMJ News. Selain menyangkut ketidakprofesionalan saat penanganan TKP, personel polisi yang terlibat dalam pemeriksaan tersebut juga diduga menghambat jalannya penyidikan. “Beberapa hal yang kita anggap bahwa itu membuat proses olah TKP dan juga hambatan dalam hal penanganan TKP,” tegas Listyo Sigit. Ia menuturkan, hal itu sebagai tindakan tegas pada yang turut menghambat proses penyidikan. “Penyidikan yang tentunya kita ingin bahwa semuanya bisa berjalan dengan baik,” tuturnya. Tidak sampai di situ, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali mengambil tindakan tegas terhadap 4 polisi yang juga diduga turut menghambat proses penanganan perkara penembakan Brigadir Joshua. Ada empat orang yang kita tempatkan di tempat khusus, selama 30 hari ke depan. Listyo Sigit juga menuturkan bahwa pihaknya akan menindak sesuai keputusan Tim Khusus (Timsus) yang telah dibentuknya itu. “Sisanya kita akan proses sesuai dengan keputusan dari Timsus. Apakah itu masuk pidana atau masuk etik,” ujar Listyo Sigit. Ke-25 personel polisi yang tidak profesional itu telah menjalani pemeriksaan oleh Irsus Timsus Polri di bawah pimpinan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol. Agung Budi Maryoto. Kapolri juga memerinci para personel itu, yakni 3 personel perwira tinggi (pati), 5 personel berpangkat kombes polisi, 3 personel berpangkat AKBP, 2 personel berpangkat kompol, 7 personel perwira pertama, serta 5 personel bintara dan tamtama. Mereka itu dari kesatuan Propam, Polres Metro Jakarta Selatan, dan juga ada beberapa personel dari Polda Metro Jaya dan Bareskrim. Terhadap 25 personel tersebut, telah dilakukan pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik. Di samping itu, mereka akan diproses secara pidana apabila dari pemeriksaan yang berlangsung terdapat tindak pidananya. Meski begitu, Kapolri meyakini Timsus akan bekerja keras dalam mengungkap insiden tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk membuka kasus itu secara transparan, sehingga penyidikan bisa dipahami dan menginginkan penyidikan betul-betul transparan. “Saya yakin bahwa Timsus akan bekerja keras, kemudian menjelaskan kepada masyarakat sehingga membuat terang peristiwa yang terjadi,” tegasnya. Langkah Tepat! “Tapi, Kapolri sudah semakin tegas. Karena itu ditunggu saja hasil akhirnya nanti. Sebab,  taruhannya juga pada institusi Polri dan SPP (Sistem Peradilan Pidana) itu sendiri,” ujar advokat DR. Luhut Marihot Parulian Pangaribuan kepada FNN.co.id, Sabtu (13/8/2022). Ketika diperiksa sebagai saksi pelapor dalam kasus dugaan pembunuhan berencana di Bareskrim Polri, Selasa (2/8/2022), Kamaruddin Simanjuntak selaku tim kuasa hukum keluarga Brigadir Joshua sempat mempertanyakan kepada penyidik soal handphone dan pakaian yang dikenakan korban. “Kami bertanya tentang apakah handphone daripada almarhum Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat sudah ketemu atau belum,” kata Kamaruddin di Bareskrim Polri, Selasa malam. “Mereka  semua tidak ada yang berani menjawab. Saya tanya, apakah saya harus berkirim surat untuk menanyakan (hal) itu sudah (dikuasai) penyidik handphone-nya,” ujar Kamaruddin. Menurutnya, ia menggunakan metode aplikasi ternyata semua isi handphone itu sudah dihapus. “Mereka tidak berani menjawab. Sebaiknya saya bersurat ke Kabareskrim dan Dirpiddum,” lanjutnya. Kamaruddin juga mengonfirmasi kepada penyidik perihal keberadaan pakaian yang dikenakan Brigadir Joshua sebelum kejadian insiden yang disebut “baku tembak” itu. Kamaruddin tanya lagi. Kali ini soal pakaian Brigadir Joshua. Apakah bajunya almarhum mulai bajunya, celananya, kaus kakinya sudah dikuasai penyidik atau belum. Lagi-lagi, ia mengklaim, penyidik tak mampu menjawab. “Mereka (penyidik) juga tidak bisa menjawab,” ujar Kamaruddin. Ia mengatakan, di dalam BAP tadi dituangkan, advokat senior ini pertanyakan juga bahwa ponselnya hilang. Kemudian, pakaian terakhir yang dipakai baju juga hilang. Menurut Kamaruddin, perihal baju itu penting diketahui. Sebab, bila insiden yang dialami Brigadir Joshua karena tembakan, otomatis bajunya bolong. “Kenapa tanya soal baju? Kalau ditembak berati bajunya bolong dan berdarah kalau di tembak dari belakang, otaknya, darahnya bercucuran kena ke baju,” ujar dia. Menurutnya, keberadaan baju penting diketahui guna mengungkap penyebab luka yang dialami Brigadir Joshua. “Kemudian, dilukai di pundak kanan tentu bajunya juga rusak karena sampai luka terbuka. Apakah itu karena (kena) golok atau sayatan? Kami belum tahu. Dengan ada bajunya akan ketahuan,” ujar Kamaruddin. Dari baju yang dipakai Joshua saat ditembak itu, dapat diketahui kandungan karbon di baju almarhum sehingga bisa diketahui juga dari jarak berapa meter Joshua tertembak.Jika baju tersebut telah dimusnahkan, maka akan ada tersangka lagi. Yaitu: tersangka penghilangan barang bukti pembunuhan. Dari tersangka tersebut akan ditemukan siapa yang memerintah pemusnahan. Langkah Kapolri mencopot dan memutasi 25 anggota Polri yang diduga terlibat dalam “penanganan” kematian Brigadir Joshua memang sangat tepat. Pilihan ini memang sangat sulit diputuskan Kapolri. Apalagi jika kemudian ditemukan bukti adanya keterlibatan jenderal bintang dua lainnya yang seangkatan dengan Listyo Sigit. Sehingga, dapat membuka tabir “kejahatan” lainnya yang selama ini tertutup. (*)

Cabut UU Cipta Kerja Sialan

Oleh M. Rizal Fadillah  |  Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Di Gedung Sate Bandung berkumpul para pekerja yang bersiap-siap melakukan aksi long march menuju Gedung DPR Senayan Jakarta. Agenda long march menyusuri berbagai kota dan kabupaten akan disambut berbagai komunitas buruh atau masyarakat. Semangat perjalanan adalah untuk mendesak pencabutan UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.  Di media sosial muncul alasan desakan pencabutan diantaranya UU ini tidak berpihak pada buruh atau pekerja tetapi sekedar mengabdi pada kepentingan majikan atau pemilik modal, memperkokoh rezim investasi, serta melegalisasi penumpukan hutang luar negeri. Peserta aksi di antaranya menyebut UU Omnibus Law sebagai UU haram jadah dan sialan.  UU yang menjadi bukti bahwa penyelenggara negara menganut faham kapitalisme ini memang layak dicabut. Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang mengarahkan pada pembangunan sistem ekonomi berfondasi kerakyatan dan kekeluargaan. Kapitalisme adalah penjajahan oligarki atas buruh dan rakyat.  Secara hukum UU Omnibus Law atau Cipta Kerja  ini juga cacat. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan UU tersebut cacat formil. Proses pembentukannya menginjak-injak aspek prosedural. Sengaja memanipulasi demi tujuan investasi, hutang luar negeri dan oligarki. Meski MK juga  ternyata masih mengabdi pada rezim oligarki dengan memberi ruang perbaikan prosedural selama dua tahun.  Lucu, ironi, dan catatan gelap hukum telah ditorehkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana suatu UU yang \"cacat formil\" masih dinyatakan berlaku hingga dua tahun perbaikan ? Kewarasan hukum semestinya menegaskan bahwa UU yang cacat formil itu tidak berlaku hingga dilakukan perbaikan. Aksi sejuta buruh tanggal 10 Agustus 2022 harus disikapi serius oleh pemangku kebijakan. UU Omnibus Law dipandang buruh sebagai penindasan atas hak-hak pekerja. Gerakan perlawanan akan terus menggelinding dan menggumpal. Tidak selesai pada 10 Agustus. Sulit diterima kuatnya fikiran otoriter untuk memaksakan UU Omnibus Law. UU yang menurut peserta aksi itu haram jadah atau sialan.  UU Omnibus Law cacat sempurna sebagai produk hukum. Secara yuridis terbukti sebagai mana diputuskan MK. Secara filisofis UU ini melawan prinsip keadilan. Menzalimi pekerja dan memanipulasi seolah-olah demi menciptakan lapangan kerja. Secara sosiologis ditolak baik mahasiswa maupun kaum pekerja. UU Omnibus Law adalah UU tipu-tipu dan pemaksaan rezim sesat.  Buruh adalah bagian dari rakyat yang melawan melalui aksi-aksi. Sepanjang tidak ada pencabutan diduga aksi akan berkelanjutan dan apabila sampai mogok nasional terjadi mungkin dampak perekonomian akan luar biasa. Buruh bersatu sulit dikalahkan.  Gerakan solidaritas buruh di Polandia dahulu mampu menumbangkan kekuasan Kapitalis dan Komunis. Lech Walesa pimpinan gerakan adalah tokoh pembangkang sekaligus penerima Nobel Perdamaian. Aksi yang berujung mogok nasional mengubah peta politik Polandia.  Nah, mungkinkah gerakan buruh di Indonesia dengan isu Omnibus Law mampu melahirkan Lech Walesa lain yang mampu mengubah peta politik bangsa Indonesia ? Kita ikuti saja \"long march\" perjuangannya.  Bandung, 6 Agustus 2022

Pertumbuhan Negeri Khayal dan Ilusi Deflator

Coba hitung berapa pertumbuhannya kalau deflator hanya 50 persen atau 25 persen? Semakin rendah angka inflasi terserap dalam deflator, maka pertumbuhan (ilusi) semakin tinggi. Dalam hal deflator hanya 25 persen, maka pertumbuhan (ilusi) melonjak menjadi 60 persen. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) KAWAN di negeri Khayal bertanya, bagaimana cara menghitung pertumbuhan ekonomi. Yang bersangkutan terlihat bingung, karena menganggap fakta dan angka tidak sesuai. Diskusi kemudian berkembang menarik dan disampaikan contoh perhitungan sebagai berikut. Tahun lalu, negeri Khayal memproduksi produk A sebanyak 1.000 unit, diekspor dengan harga US100 per unit, sehingga total ekspor negeri Khayal menjadi USD100.000. Tahun ini, harga produk A naik menjadi USD200 per unit, produksi dan ekspor negeri Khayal tetap 1.000 unit, tetapi total nilai ekspornya melonjak menjadi USD200.000. Berapa pertumbuhan riil ekspor negeri Khayal? Berdasarkan data di atas, ekspor nilai nominal (harga berlaku) negeri Khayal pada tahun lalu dan tahun ini masing-masing USD100.000 dan USD200.000, artinya pertumbuhan nilai nominal ekspor adalah 100%, sesuai kenaikan harga dari USD100 menjadi USD200 per unit: inflasi. Tetapi, berapa pertumbuhan sebenarnya, yaitu pertumbuhan riil, atau pertumbuhan harga konstan? Yang dimaksud dengan pertumbuhan riil adalah pertumbuhan jumlah barang (produksi) dan ekspor: atau kuantitas. Dalam hal negeri Khayal, pertumbuhannya 0 persen, karena produksi dan ekspor tahun lalu dan tahun ini sama besar, 1.000 unit, artinya tidak ada pertumbuhan. Perhitungan matematisnya sebagai berikut. Pertama, nilai nominal (tahun ini) disetarakan (dikonversi) menjadi nilai riil (tahun lalu): ekspor nilai nominal tahun ini dibagi kenaikan harga (deflator). Yang menjadi pertanyaan, berapa angka deflator ini? Artinya, berapa angka inflasi yang efektif terserap di dalam perhitungan menjadi deflator, untuk konversi nilai nominal menjadi nilai riil? Inflasi, kenaikan harga di negeri Khayal di atas 100 persen, harga naik dari USD100 menjadi USD200 per unit. Kalau angka inflasi ini seluruhnya terserap dalam perhitungan faktor konversi nilai nominal menjadi nilai riil, atau deflator, maka diperoleh perhitungan pertumbuhan riil seperti di atas, yaitu 0 persen. Tetapi apa yang terjadi kalau hanya sebagian dari kenaikan harga yang terserap di dalam perhitungan deflator, misalnya hanya 60 persen (bukan 100 persen)? Dalam hal ini, pertumbuhan riil (seolah-olah) sangat tinggi, melonjak menjadi 25 persen, karena nilai nominal ekspor tahun ini yang sebesar USD200.000 dianggap setara dengan USD125.000 tahun lalu: USD200.000 / (1+60%) = USD125.000. Sehingga seolah-olah tercipta pertumbuhan 25 persen, dari USD100.000 menjadi USD125.000. Coba hitung berapa pertumbuhannya kalau deflator hanya 50 persen atau 25 persen? Semakin rendah angka inflasi terserap dalam deflator, maka pertumbuhan (ilusi) semakin tinggi. Dalam hal deflator hanya 25 persen, maka pertumbuhan (ilusi) melonjak menjadi 60 persen. Negeri Khayal senang, dapat membodohi rakyatnya dengan prestasi ilusi gemilang. Rakyat negeri Khayal bingung. Produksi tetap kok dibilang pertumbuhan tinggi: 25 persen atau bahkan 60 persen? Siapa yang bodoh? (*)

Menyelamatkan Indonesia Masuk ke Mulut Nekolim China

Demi mendapatkan kesejahteraan sendiri. Perilaku elit ini sudah jamak di negeri ini. Dengan sistem politik demokrasi pasar bebas, maka semuanya dilakukan dengan jual beli dan untung rugi. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila BERBONDONG-bondongnya TKA China saat pandemi Covid-19 berlangsung menjadi pertanyaan besar bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia yang waras, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan negara bangsa ini. Dikabarkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menyetujui proyek OBOR yang diinisiasi oleh China itu. Diperkirakan pada tahap awal proyek raksasa OBOR China sudah ditandatangani pada April 2019 lalu. Proyek ini bagi China untuk mempermudah koneksi dagang antar-negara di Eropa dan Asia melalui jalur sutra maritim. Sebelumnya dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF –BRI), China sudah menawarkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatra Utara (Sumut) sebagai proyek tahap pertama. Dilanjutkan proyek di Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu, pengembangan energi bersih di kawasan Sungai Kayan, Kalimantan Utara, pengembangan kawasan ekonomi eksklusif di Bitung, Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Kura-Kura Island di Bali. Proyek OBOR China diyakini banyak kalangan dapat memberikan kerugian bagi Indonesia. Dari 28 kerja sama antara Indonesia dengan China dalam kerangka tersebut, nilainya mencapai US$91 miliar atau lebih dari Rp 1.288 triliun. OBOR dianggap menjadi visi geoekonomis China paling ambisius dengan melibatkan 65 negara, dan melingkupi 70% populasi dunia. Konsep ini akan menelan investasi mendekati US $4Milyar, termasuk $900 juta yang telah diumumkan China. China telah menyiapkan diri untuk menguasai jalur darat dan maritim bagi kepentingan ekonominya. Ada 5 tujuan yang ingin diraih China dalam Inisiasi OBOR, yaitu koordinasi kebijakan, konektivitas fasilitas, perdagangan tanpa hambatan, integrasi keuangan, dan ikatan masyarakat (people to people bond) Bung Karno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, pernah memperingatkan bahaya bentuk penjajahan model baru. Yaitu apa yang beliau sebut dengan neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim). Penjajahan tidak lagi dalam bentuk koloni (menguasai wilayah bangsa lain), tapi dalam bentuk penguasaaan ekonomi dan ideologi. Makanya Bung Karno dulu mencanangkan gerakan BERDIKARI (berdiri di atas kaki sendiri). Penjajahan nekolim ini sifatnya laten, nyaris tidak tampak secara fisik. Mengejawantah dalam bentuk berbagai ketergantungan negara berkembang – terutama yang kaya sumber daya alam – terhadap negara maju. Modus operandinya pun sangat sistematis dan, seakan-akan, sangat logis. Sehingga tanpa disadari sebuah negara berkembang tersebut semakin terkungkung ketergantungan terhadap negara maju, alih-alih mampu mandiri. Demokrasi liberal yang dipraktikan di Indonesia tak lebih dari usaha-usaha asing untuk pecah-belah terhadap bangsa Indonesia. Para elit politik bukan lagi penyambung lidah rakyat Indonesia. Seperti Bung Karno yang sangat memahami dan mengerti amanat penderitaan rakyat Justru elit politik di negeri ini menjadi penyambung lidah para Nekolim untuk menguasai negeri ini. Maka tidak ada kamus pada otak elite politik untuk memandirikan bangsa nya. Apalagi berdikari. Justru mereka menjadi agen asing untuk mempermulus NEKOLIM CHINA. Menguasai negeri ini melalui proyek proyek OBOR. Untuk memperlancar itu semua rakyat diadu-domba dengan melempar isu radikal, khilafah, pecah-belah. Yang satu Islam radikal, yang satu Islam Nusantara. Semua ini bagian desain untuk kepentingan Nekolim. Dengan demikian rakyat yang sebahagian umat Islam tidak bersatu dan melakukan protes. Sebetulnya sejarah panjang pernah dialami oleh rakyat Indonesia. Pecah-belah yang dulu dilakukan oleh politik penjajah Belanda. Sekarang yang melakukan justru bangsa sendiri. Elit-elit politik. Demi mendapatkan kesejahteraan sendiri. Perilaku elit ini sudah jamak di negeri ini. Dengan sistem politik demokrasi pasar bebas, maka semuanya dilakukan dengan jual beli dan untung rugi. Maka untuk menyelamatkan anak cucu kita, perlu kita melakukan Gerakan anti Nekolim China. Rakyat harus membangun kesadaran menyelamatkan negara bangsa untuk kembali ke UUD 1945 asli. “Diam kita ditindas. Maka bergeraklah menyelamatkan bangsa ini”! (*)

Kotak Pandora Bahasa

Saya tambahkan di sini, doeloe sebutan hari pertama dalam pekan itu menggunakan istilah Ahad. Sekarang, istilah Ahad itu telah diganti dengan Minggu. Ini sengaja diubah secara terstruktur, massif, dan sistematis. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta TIADA hari tanpa diskusi. Tiada wacana tanpa pro-kontra. Bahasa adalah alat bunyi/tutur manusia untuk menyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, dan sebagainya kepada pihak lain. Ada bahasa verbal, dan ada bahasa nonverbal, yakni bahasa isyarat, baik menggunakan organ tubuh, gambar, simbol, maupun benda-benda lain, sesuai dengan situasi, kondisi, dan sarana/media komunikasinya. Bahasa itu berfungsi untuk menyampaikan pesan tertentu, baik langsung maupun tidak langsung. Setiap bentuk komunikasi, baik menggunakan bahasa verbal maupun nonverbal, berpeluang ditangkap berbeda dari apa yang dimaksud oleh penyampai pesan, bahkan disalahpahami, karena pengaruh situasi dan kondisi yang meliputi, termasuk status hubungan penyampai pesan dan penerimanya. Ketika musuh bebuyutan Amerika telah terpecah menjadi negara-negara baru, jadilah Amerika polisi tunggal dunia. Maka perlu ditemukan musuh baru sebagai sasaran perang. Samuel Huntington mengintroduksi clash civilization, perseteruan peradaban, dengan memperhadapkan Barat vis a vis Islam. Dibangunlah narasi-narasi untuk menakut-nakuti warga dunia, bahwa kebangkitan Islam akan membawa bencana, karena akan membawa kehidupan kembali ke jaman pra-kemajuan Barat. Sebagai piranti untuk mendukung wacana tersebut diciptakanlah isu-isu baru berupa ancaman terorisme, radikalisme, dan ekstremisme yang hampir semua dialamatkan kepada umat Islam, di mana pun mereka berada. Hal itu menyemaikan benih-benih Islamophobia di mana-mana. Ada ungkapan klasik, maling teriak maling, sebagai langkah penyelamatan. Pihak-pihak yang phobia terhadap Islam dan pesan-peran konstruktif revolusionernya pun menuduh orang Islam mengada-ada, padahal phobia Islam itu memang ada, bahkan dari kalang Islam sendiri, karena faktor kepentingan tertentu. Kemudian, dibangunlah wacana moderasi beragama yang sebagian pengamat menengarainya sebagai proyek penjinakan dan demilitansi agama, khususnya Islam. Habis pro-kontra wacana terorisme, radikalisme, ekstremisme, dan moderasi beragama, serta Islamophobia, terbitlah wacana dan pro-kontra Rumah Sehat. Beberapa hari yang lalu beredar telah kabar bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengubah nama rumah-rumah sakit seluruh wilayah Jakarta menjadi Rumah Sehat. Para buzzer segera bermunculan menolaknya dengan seribu satu alasan. Tidak kurang anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun ikut bicara untuk menolaknya. Ketua DPRD Kritik \'Rumah Sehat\' Anies: Setop Bikin Kebijakan Ngawur. Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengkritik kebijakan Anies Baswedan yang mengubah istilah atau jenama \'Rumah Sakit Umum Daerah\' (RSUD) menjadi \'Rumah Sehat untuk Jakarta\'. Menurut Prasetyo, pengubahan nama itu tidak penting bagi masyarakat. Semestinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat terobosan program pembangunan atau pelayanan yang berdampak langsung kepada masyarakat. “Yang terasa langsung gitu kesuksesannya di tengah masyarakat. Bukan cuma ganti-ganti nama, kemarin nama jalan, sekarang rumah sakit. Setop deh bikin kebijakan ngawur,” kata Pras dalam keterangan tertulis, Kamis (4/8). Politikus PDIP itu menilai, Jakarta masih memiliki segudang masalah yang perlu segera dibereskan. Misalnya, angka kemiskinan yang terus naik, permasalahan kampung kumuh di tengah kota yang belum terselesaikan. “Mereka perlu sentuhan pemerintah, butuh solusi dengan program program yang baik, bukan ganti-ganti nama begitu,” ujar dia. Pras pun mengaku heran dengan istilah \'rumah sehat\' yang digunakan Anies Baswedan untuk menggantikan nama rumah sakit. Menurutnya, sudah sejak lama semua orang mengetahui rumah sakit adalah tempat untuk mengobati penyakit. Apalagi, penamaan rumah sakit sudah tertera dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. “Jadi memang aturannya jelas namanya rumah sakit. Dari dulu kalau kita sakit ke mana sih larinya, ya ke rumah sakit. Memang namanya rumah sakit ya untuk mengobati penyakit. Logikanya kan begitu. Kalau sudah sehat ya kerja, beraktivitas kembali,” katanya. Diberitakan, Anies mengubah jenama \'Rumah Sakit Umum Daerah\' (RSUD) menjadi \'Rumah Sehat untuk Jakarta\'. Perubahan ini hanya berlaku bagi rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jakarta. Anies mengatakan penjenamaan dilakukan karena selama ini \'rumah sakit\' memiliki orientasi pada kuratif dan rehabilitatif. Dia mengatakan penjenamaan \'rumah sakit\' menjadi \'rumah sehat\' juga agar peran fasilitas kesehatan itu ditambah dengan aspek promotif dan preventif. Dengan hal ini, Dia berharap agar masyarakat datang ke RS bukan sekadar untuk berobat, tapi juga untuk lebih sehat. Menurut Anies, warga bisa datang ke \'rumah sehat\' untuk melakukan medical check up, persoalan gizi, hingga konsultasi kesehatan. Di grup-grup WA pun segera muncul celoteh tentang asal-usul istilah rumah sakit di Indonesia, yang konon konsepnya berasal dari kata hospital dalam bahasa Inggris yang dapat dimaknai sebagai rumah penyembuhan atau rumah perawatan menuju sehat. Tapi, mengapa istilah rumah sehat jadi heboh dan bikin orang tepuk jidat? Nama “Rumah Kesehatan” semakin banyak digunakan: untuk meningkatkan kesehatan, dan tentu saja juga pengobatan dan perawatan bagi orang sakit. Bahasa Inggris malah tidak kenal istilah “Sick House”, tetapi (Health Care) hospital: pelayanan kesehatan. Banyak tempat pelayanan kesehatan di Belanda menggunakan nama Gezondheidshuis: Rumah Kesehatan, dan Gezondheidscentrum: Pusat Kesehatan, untuk memberi pelayanan kesehatan bagi orang sakit, dan orang yang mau mencegah menjadi sakit. Salah seorang teman di grup WA pun berseloroh,  \"Sick House itu lebih cocok untuk Ganti Nama Gedung DPRD dan DPR RI.\" Jilan Mardhani mengunggah tulisan di laman FB bertajuk Rumah Sehat berikut. Mengubah istilah \'rumah sakit\' menjadi \'rumah sehat\' itu bukanlah hal baru. Tahun 2013-2015 ketika menangani klien yang bergerak di jasa kesehatan, gagasan itu kerap jadi pembicaraan ahli medis. Mereka adalah para pemegang saham institusi yang sedang saya tangani waktu itu. Dalam banyak kesempatan lain pun ia kerap mendengar celetukan serupa. Terutama ketika ngalor-ngidul membandingkan pelayanan kesehatan dengan negara tetangga dekat kita, seperti Singapore, Malaysia, dan juga Thailand yang belakangan ikut dielu-elukan sebagian masyarakat kita yang ingin sembuh dari penyakit mereka. Terjemahan \'hospital\' ke dalam bahasa Indonesia menjadi \'rumah sakit\' memang agak sembrono. Boleh dibilang ngawur. Mestinya ahli bahasa di negeri ini sudah lama menengarai. Lalu mengusulkan padanan \'hospital\' yang sesuai. Sebab, kata yang konon berasal dari bahasa Latin itu (hospes/hospit) bermakna sebagai \'tamu\'. Sejarahnya kemudian menunjukkan penggunaan kata itu sebagai upaya yang dilakukan untuk merawat ksatria-ksatria Inggris yang terluka sehingga sembuh dan sehat kembali. Dalam bahasa Inggris sendiri, kata \'host\' di antaranya dimaknai sebagai seseorang atau kelompok yang memberikan pelayanan atau menghibur tamu yang berkunjung. Jadi, \'hospital\' semestinya diartikan sebagai suatu sarana yang memberi pelayanan kepada pasien sakit agar pulih dan sehat kembali sehingga dapat melakukan aktivitas seperti sediakala. Zaman terus berkembang bersama pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Kini banyak yang mendatangi sarana pelayanan kesehatan yang disebut \'rumah sakit\' itu, sekedar untuk menjaga dan memelihara jiwa dan raganya tetap sehat, dan terhindar dari berbagai penyakit (preventif). Beberapa sarana juga kerap digunakan untuk memberi penyuluhan atau menyebar luaskan pengetahuan umum kepada masyarakat tentang hal-hal yang perlu mereka maklumi. Agar dapat mencegah penyakit, mendeteksi dini gangguan kesehatan, hingga memelihara kesehatan dan kebugaran tubuhnya (promotif). Ongkos yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tertular penyakit atau mengalami degradasi kesehatan, memang selalu lebih mahal dibanding mencegahnya. Kesadaran dan upaya melakukan tindakan preventif itu, secara statistik, berkait erat dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Menyempurnakan sebutan \'rumah sakit\' menjadi \'rumah sehat\', dari sisi komunikasi, adalah langkah cerdas dan perlu. Sayangnya, gagasan \'rumah sehat\' dilontarkan ketika suasana politik sedang memanas menjelang pesta demokrasi 2024 mendatang. Oleh Anies Baswedan pula. Gubernur Jakarta yang popularitasnya memang sedang bergerak lincah di tengah pesaing yang kedodoran dan sibuk menghujat. Dalam konteks usul penggantian istilah \'rumah sakit\' menjadi \'rumah sehat\' kali ini, reaksi berlebihan yang dilontarkan lawan politiknya yang terusik – dengan segala hormat – lebih terlihat \'panik dalam kedunguan\'. Tak semua langkah Anies Baswedan sekadar populis dan bermakna kontra produktif. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah keberpihakannya pada politik identitas saat pilkada 2017 lalu. Dalam beberapa hal lain, dia sudah membuktikan sebaliknya. Mungkin tulisan ini pun ada yang menghujat. Terbuka atau tertutup. Saya hanya ingin menyarankan: gunakanlah akal sehat. \"Move on, ah!\" Demikian unggahan Jilal Mardhani di laman FB-nya, 4 Agustus 2022. Prof. Azyumardi Azra menambahkan, \'Hospital\', \'hospitality\'=\'rumah keramahan\' atau \'rumah perawatan\'. Saya pun menimpali, hospital sama dengan rumah sakit adalah salah kaprah. Saya tambahkan di sini, doeloe sebutan hari pertama dalam pekan itu menggunakan istilah Ahad. Sekarang, istilah Ahad itu telah diganti dengan Minggu. Ini sengaja diubah secara terstruktur, massif, dan sistematis. Andaikata Anies mendeklarasikan bahwa dalam kalender/penanggalan 2023 di Wilayah Jakarta, hari Minggu kembali ke hari Ahad, apa kata dunia? (*)