OPINI
Reshuffle Kabinet Semata Demi Kekuasaan, Bukan Untuk Rakyat!
Reshuffle Kabinet Semata Demi Kekuasaan, Bukan Untuk Rakyat! Dengan pendekatan ini, maka Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP, dijamin 100% akan mengikuti keinginan Jokowi. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik HARI ini ada perombakan (reshuffle) kabinet Presiden Joko Widodo. Berhari-hari isu ini telah menjadi berita hangat. Seolah dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang sangat parah. Padahal, bukan itu tujuannya! Nah, untuk apa perombakan ini? Yang jelas, keputusan Presiden ini bukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi-keuangan Indonesia yang terpuruk. Ini murni untuk kepentingan kekuasaan. Manuver politik semata. Bukan untuk kepentingan rakyat. Tapi, pemerintah mencoba menunjukkan bahwa perombakan kabinet tersebut dilakukan demi kepentingan ekonomi rakyat. Ini jelas omong kosong! Ini memang lucu sekali. Geser-geser menteri dipersepsikan sebagai langkah untuk memperbaiki perekonomian yang rusak berat. Padahal, tujuan yang sebenarnya adalah untuk menyenangkan beberapa partai politik (parpol) sambil membangun kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Jokowi sendiri. PDIP akan mendapat tambahan kursi di kabinet. Supaya Bu Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketum DPP PDIP) tidak lagi menyerang Jokowi. Inilah tujuan utama ‘reshuffle’. Untuk merekat koalisi yang akan melanjutkan upaya penambahan periode presiden atau penambahan masa jabatan beberapa tahun lewat penundaan pilpres 2024. Para pendukung Jokowi yakin kondisi perekonomian yang berada di ambang keruntuhan saat ini memerlukan perpanjangan masa kekuasaan. Operasi Tiga Periode masih saja belum menyerah. Para pendukung Jokowi masih terus saja melakukan upaya ini. Kelihatannya, rencana perioritas pertama ini akan kandas. Tapi, ada rencana prioritas kedua. Yaitu, menjadikan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) sebagai penerus Jokowi. Kedua rencana ini memerlukan premanisme politik. Ada gelagat akan terjadi begal parpol agar bisa dipastikan Ganjar punya kendaraan untuk maju pilpres 2024, andaikata PDIP tidak mau mencalonkan dia. Selain begal, akan ada pula aneksasi parpol agar mendukung Ganjar. Ada dua cara untuk ini. Pertama, pendekatan moneter atau moneytainment level 13-14 digit. Atau kedua, penyanderaan lewat kasus-kasus hukum. Para penguasa sangat mungkin melakukan semua ini. Jelas, untuk menjamin pencalonan Ganjar diperlukan salah satu parpol besar. Partai Golkar disebut-sebut sebagai bakal mengalami pembegalan. Posisi ketua umum akan diambil- alih oleh orang yang pro-Jokowi. Sebelum semua ini dilakukan, ketua umum yang berkuasa saat ini, Airlangga Hartarto, harus disingkirkan dulu dari kabinet. Dengan begitu, dia tak akan berdaya ketika dilaksanakan penggantian ketua umum yang dirancang oleh penguasa. Zulkifli Hasan, pemilik Partai Amanat Nasional (PAN), didekati dengan cara lain. Dia dijinakkan dengan kursi menteri yang hari ini diresmikan. Ini kursi basah. Sebagai Menteri Perdagangan (Mendag). Sedangkan PPP tetap diwakili oleh Suahrso Monoarfa di kabinet. Dengan pendekatan ini, maka Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP, dijamin 100% akan mengikuti keinginan Jokowi. Sekaligus hilang keraguan tentang kemungkinan KIB dibelak-belokkan oleh Airlangga kalau dia tetap ketua umum Golkar. Penyingkiran Airlangga bisa terjadi dengan mudah karena dia memang tidak melekat di Pohon Beringin. Dia tidak membumi di jaringan nasional Golkar. Beginilah perombakan (reshuffle) kabinet yang dikoar-koarkan selama ini. Sepenuhnya demi kelangsungan kekuasaan Jokowi, baik itu lewat jalur tiga periode maupun jalur Ganjar Pranowo sebagai “puppet president” (presiden boneka). Tegasnya, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. (*)
Ngabalin Mengajak Tanpa Nalar
Oleh Ady Amar Kolumnis Ali Mochtar Ngabalin, tenaga ahli Kantor Staf Presiden, memang selalu cari berita. Apa saja yang dilakukan ingin jadi berita. Meski diberitakan absurd. Dan tampaknya juru warta pun asyik \"menanggapnya\", dan lalu menuliskannya sebagai berita. Tidak penting berita itu sesuatu atau remeh temeh. Publik dibuat suka atau tidak suka pada sosok Ngabalin, yang selalu tampil all out saat membela apapun yang disampaikan Presiden Jokowi khususnya. Ngabalin selalu pasang badan jika muncul riak-riak suara protes atas kebijakan yang dibuat. Suaranya selalu meledak dengan mata melotot-lotot itu khasnya, jika adu debat dengan nara sumber di televisi. Ngegas bawaannya, meski sebenaranya itu tidak perlu dilakukannya. Tapi ya itulah Ngabalin, yang selalu tampil total. Pastilah yang dilakukannya, itu ia ingin menyenangkan Pak Boss, bahwa ia bekerja dengan benar. Pastilah pula ia ingin, jika mungkin jabatannya bisa dilirik untuk bisa makin meninggi, atau setidaknya aman di tempatnya saat ini. Konon jika Ngabalin muncul di televisi, ratting acara itu cukup tinggi. Ngabalin muncul menjadi pribadi yang disuka dan tidak disuka sama besarnya, tapi tetap ingin di dengar. Agaknya seperti entertainment, jadi hiburan melihat perdebatan model ngotot demikian itu. Tapi perdebatan itu tentu bukan pelajaran yang baik, jika harus ditonton anak-anak. Pembelajaran tidak baik. Anak-anak mesti dijauhkan melihat perdebatan model Ngabalin. Perdebatan dengan gaya menyela-nyela lawan bicara, atau merebut hak bicara orang lain dengan seenaknya. Terkadang host pun tidak dianggap jadi pemandu jalannya perdebatan. Biarkan anak-anak tumbuh di alamnya yang tanpa ngotot merebut hak kawan sepermainan, imbas meniru gaya Ngabalin berdebat. Ngabalin pandai membuat berita. Sepertinya ia tidak habis-habis buat berita. Jika tidak menemukan berita untuk di- counter, maka ia tidak kehilangan nalar untuk terus diberitakan. Ngabalin ingin terus mengisi berita. Siang kemarin viral berita tentangnya, khususnya pada pemberitaan di media online, Ngabalin bersikap hormat pada foto di dinding, seperti tentara hormat pada komandannya. Tentu itu bukan foto ayah bundanya. Pastilah saat menghormat itu, ia memastikan ada orang yang melihatnya. Tidak cukup melihat, tapi mengabadikan momen itu. Dan benar, setelahnya gaya hormat pada sebuah foto itu viral. Ngabalin menghormat tentu bukan pada orang sembarangan, yang tidak punya nilai. Ngabalin menghormat pada foto Kasad, Jendral Dudung Abdurrahman, dan itu menjadi berita. Macam-macamlah respons publik melihatnya. Tidak sedikit yang mencaci maki melihat tingkahnya itu. Tapi banyak juga yang menertawakan. Sedang saya, cukup senyum simpul melihatnya. Menghibur. Meski Ngabalin pastinya tidak meniatkan diri untuk menghibur, tapi lebih pada mengirim pesan, bahkan pesan bersayap. Jenderal Dudung Abdurrahman, pastilah dihormat Ngabalin karena ia seorang Jenderal aktif, yang masih punya kemungkinan karirnya akan menaik. Karenanya, dalam pandangan Ngabalin memberi hormat padanya menjadi perlu. Ditambah lagi, ia ingin \"menggelitik\" mereka yang menyebut Dudung sebagai Jenderal Baliho. Merujuk pada aksi Dudung yang lalu, mencopoti baliho Habib Rizieq Shihab dan FPI. Menghormat pada sang jenderal itu perlu dilakukannya. Meski itu perbuatan di luar nalar yang semestinya. Ngabalin mengajak publik untuk mencopot nalarnya barang sebentar, tentu tidak sampai kebablasan menjadi seperti dirinya. Lebih pada agar tingkah dan sikapnya bisa difahami. Jika tidak demikian, maka Ngabalin menjadi sulit difahami. Bahkan bisa difahami layaknya orang sinting. Masa foto di dinding mesti diberi hormat segala. Makanya, Ngabalin berharap mengajak kita tanpa nalar, agar bisa memahami \"alam\" Ngabalin sebenarnya. Terserah kita mau atau tidak. (*)
Seret Modi dan BPJ ke Peradilan PBB
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan KASUS Juru Bicara Bharatiya Janata Party (BJP) Nupur Sharma yang menista Nabi Muhammad SAW telah menggoncangkan dunia. Kecaman dan reaksi nyata dilakukan negara muslim. Dubes India di berbagai negara sibuk menghadapi pemanggilan Pemerintah setempat. India memang layak jadi terdakwa. BJP adalah partai Hindu fundamentalis, radikal dan rasialis. Narendra Modi sang Ketua BJP pantas disebut sebagai seorang teroris. Umat Islam India mendapat teror oleh kebijakan BJP baik sebelum berkuasa maupun setelah berkuasa. Saat ini Modi menjabat sebagai Perdana Menteri. Kebijakan anti Islamnya bukan mereda bahkan semakin menggila. Laporan Komisi AS untuk kebebasan beragama (USCIRF) menyatakan India di bawah Modi perlu perhatian khusus karena \"terlibat pelanggaran kebebasan beragama yang sistematis, berkelanjutan, dan mengerikan\". Menlu Pompeo tahun 2019 merilis Laporan kejahatan India terhadap muslim yang masif melakukan \"pembunuhan, penyerangan, penyiksaan, kerusuhan, diskriminasi, vandalisme dan pembiaran komunitas Hindu untuk main hakim sendiri\". Korban aksi protes muslim kasus penistaan Nupur Sharma mulai berjatuhan. Kebrutalan aparat telah menghancurkan rumah-rumah dan membunuh pengunjuk rasa dengan penembakan. Nufur maupun Modi Bukannya meminta maaf atas kasus ini justru semakin nekad. Dunia harus serempak mereaksi. Dunia Islam melalui OKI wajib unjuk gigi dan bukan saatnya lagi untuk berbasa-basi. Lima langkah yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, usir atau persona non grata Dubes India di beberapa negara. Negara Arab dapat memulai dan Indonesia mengikuti. Atau Indonesia yang memelopori untuk membuktikan bahwa kita serius menyikapi kasus penistaan Nabi. Kedua, mendesak PBB untuk merealisasikan Resolusi 15 Maret 2022 yang menyatakan siap untuk melawan Islamophobia. India adalah negara Islamophobist yang terang benderang. PBB harus mulai menerapkan sanksi. Ketiga, menyeret Modi dan BJP ke International Criminal Court (ICC) Den Haag atas pelanggaran HAM berat yang mengarah pada upaya genosida umat Islam India. Terhadap penyiksaan aktivis, Modi dan BJP harus dibawa paksa ke Commitee Against Torture di Geneva. Keempat, sepanjang BJP berkuasa di India maka umat Islam akan terzalimi, karenanya harus ada kerjasama Internasional untuk menekan India agar rakyat India yang cinta damai segera melakukan upaya agar terjadi perubahan politik. BJP harus ditumbangkan. Kelima, negara Islam (OKI) mulai menerapkan sanksi nyata kepada India baik pemutusan hubungan diplomatik, blokade ekonomi, pemulangan tenaga kerja WN India, maupun ancaman militer kepada Pemerintah India. Tekanan internasional harus dilakukan untuk menghentikan kezaliman Pemerintahan Narendra Modi dengan Bharatiya Jannata Party (BJP) yang Islamophobist, radikalis dan teroris. Umat Islam se-dunia harus pula berteriak keras pada rezim India \"Go to hell with your criminal Party, Modi!\" Bandung, 15 Juni 2022
Rakyat Menuntut MK: Batalkan UU IKN Nomor 3 Tahun 2022!
Rakyat Menuntut MK: Batalkan UU IKN Nomor 3 Tahun 2022! Itu sebabnya mengapa PNKN telah berulang kali mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk berpihak kepada konstitusi, bangsa, dan rakyat Indonesia, bukan kepada oligarki! Oleh: Marwan Batubara, Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) SAAT ini Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) sedang menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Uji Formil UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang diajukan pada 2 Februari 2022. Uji formil tersebut diregistrasi oleh MK sebagai perkara No. 25/PUU-XX/2022. Setelah melalui lima kali persidangan, diperkirakan Putusan MK atas perkara No. 25/PUU-XX/2022 akan diterbitkan pada akhir Juni 2022. Di samping menyatakan sikap dan pendirian PNKN atas Permohonan Uji Formil UU IKN, tulisan ini sekaligus ingin mengaggapi sikap dari sebagian kalangan yang lebih fokus untuk menyoroti masalah pendanaan rencana pembangunan IKN baru melalui APBN. Terkesan faktor motif dan aktor utama di balik rencana sarat kepentingan oligarki tersebut diabaikan. Selain itu, tulisan ini sekaligus mengingatkan, jangan sampai Permohonan Uji Formil UU IKN berubah menjadi alat barter kepentingan politik tertentu. PNKN tidak ingin berspekulasi tentang putusan MK atas perkara tersebut, apakah UU IKN kelak akan dinyatakan konstitusional, inskonstitusional atau inskonstitusional bersyarat seperti pada putusan Uji Formil UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Apa yang selalu menjadi sikap PNKN adalah karena proses pembentukannya melanggar UUD 1945 dan UU P3 No. 12/2011, maka sangat pantas jika MK menyatakan UU IKN No. 3/2022 inskonstitusional. PNKN telah membandingkan pertimbangan mengapa MK menyatakan UU Ciptaker inskonstitusional bersyarat dengan proses pembentukan UU IKN. Ternyata ditemukan proses pembentukan UU IKN jauh lebih bermasalah, serta sarat rekayasa dan manipulasi dibanding pembentukan UU Ciptaker. Belum lagi jika motif pembentukan UU IKN diperhitungkan. Maka, jangankan konstitusional, Putusan MK yang menyatakan UU IKN inskonstitusional bersyarat saja sulit diterima akal sehat serta prinsip hukum dan keadilan. Karena itu dalam memutus perkara No. 25/2022 PNKN ingin mengingatkan MK untuk bisa bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan sebagai pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK otomatis akan membatalkan UU IKN. Artinya, MK akan menyatakan UU IKN inskonstitusional, batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Itulah sikap PNKN yang paling mendasar! Bagi PNKN tidak ada spekulasi bahwa akhir Juni 2022 nanti, permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN akan ditolak atau dikabulkan MK. PNKN ingin menyatakan hal yang sangat prinsipil ini, agar rakyat tidak tergiring rekayasa opini dan akrobat hukum, sehingga akhirnya dapat menerima jika kelak MK memutuskan UU IKN konstitusional atau inskonstitusional bersyarat seperti UU Ciptaker. Partisipasi publik dalam pembentukan UU IKN ternyata jauh lebih bermasalah dibanding saat pembentukan UU Ciptaker dan karenanya MK menyatakannya berlaku bersyarat. Rekayasa akrobat putusan MK tersebut sangat potensial terulang. Saat itu MK menyatakan bahwa UU Ciptaker masih dianggap berlaku, karena pemerintah telah jauh melangkah, termasuk menerbitkan sejumlah peraturan turunan UU Ciptaker. Pada UU IKN pemerintah pun telah pula menerbitkan belasan peraturan (PP dan Perpres), sehingga MK sangat potensial menyatakan UU IKN masih berlaku. Padahal, saat mengajukan permohonan uji formil, PNKN telah menuntut agar MK menerbitkan putusan sela, meminta agar pemerintah menunda penerbitan peraturan turunan UU IKN, sampai proses uji formil selesai. Namun MK tidak menggubris. Di sisi lain, pemerintah tetap konsisten dengan sikap arogan dan otoriternya, sejak menyusun RUU IKN hingga menerbitkan peraturan turunan, tak peduli fakta bahwa UU IKN sedang diuji formil. Dengan sikap pemerintah dan MK yang tampak pro oligarki ini, maka UU IKN bisa saja dinyatakan berlaku. Apapun kelak putusan MK, PNKN tetap akan terus menyuarakan hal-hal yang prinsip dan sesuai konstitusi: Jika UU IKN dinyatakan berlawanan dengan konstitusi, maka nyatakanlah hal tersebut secara gamblang dan tuntas, tanpa embel-embel, tanpa sarat. Proses pembentukan UU IKN inskonstitusional, maka seharusnya hanya ada satu putusan, yakni UU IKN batal demi hukum. Jika ingin dibentuk kembali, maka prosesnya harus dimulai dari awal, sebagaimana layaknya pembentukan UU baru. Publik perlu diingatkan tentang motif di balik rencana pembangunan IKN baru. Terlepas dari penjelasan pemerintah dan tujuan pembangunan pada website Bappenas bahwa diyakini motif paling dominan di balik rencana pembangunan IKN baru adalah perburuan rente dan kepentingan oligarki untuk bisnis dan kekuasaan. Ditengarai, motif utama ini ditunggangi pula oleh kepentingan sempit golongan tertentu, termasuk PKI gaya baru dan politik OBOR China. Sebab dominannya motif di atas, maka oligarki kekuasaan terus menggadang-gadang supaya Jokowi bisa menjadi Presiden RI untuk periode yang ketiga. Targetnya adalah agar pembanguan IKN tetap terjamin dan bisa pula segera dimulai. Karena itu, PNKN perlu mengingatkan agar rakyat tidak terkecoh dengan isu kemampuan APBN untuk mendanai IKN baru. Juga dengan isu IKN baru yang bisa mangkrak akibat terbatasnya kemampuan APBN. Sebab, jika UU IKN sudah berlaku, terutama setelah lolos uji formil di MK, maka agenda oligarki dan para penumpang gelap akan berjalan mulus. Faktanya pemerintah menyatakan pembangunan IKN baru dilakukan melalui lima tahap dan akan berlangsung hingga 2045. Jika keputusan strategis itu berupa UU IKN telah diambil dan lolos pula dalam uji formil di MK, maka kekuasaan ologarkis tinggal menjalankan agenda yang sangat tidak prioritas bagi rakyat, meski dalam 1-2 tahun pertama tersendat dana APBN. Berikutnya, agenda China untuk mengamankan eksodus rakyat China ke IKN baru dan Kalimantan pun akan berjalan lancar. Karena itu, seharusnya rakyat tidak terkecoh dengan isu IKN mangkrak dan masalah keterbatasan APBN. Jadi seandainya pun saat ini APBN bermasalah, bukan berarti IKN baru akan batal. Karena berbagai motif di atas, termasuk kepentingan PKI Gaya Baru, diyakini pembangunan IKN baru oleh rezim pro oligarki akan terus berlanjut. Hal penting lain, kalau bicara esensi, ditinjau dari sisi kedaulatan, martabat bangsa dan berbagai sarana yang akan dibangun, maka tidak ada alasan untuk membiarkan objek vital nasional (obvitnas) dibangun oleh swasta. Memang. IKN itu akan dibangun melalui tiga opsi skema pendanaan, yakni melalui 1) APBN, 2) KPBU (Kerja-sama Pemerintah dan Badan Usaha) berupa kerjasama BUMN & Swasta, dan 3) Swasta. Namun karena terbatasnya kemampuan APBN dan BUMN di satu sisi dan dominannya peran dan dana swasta, maka pihak swasta akan sangat dominan menguasai obvitnas di IKN baru. Kondisi ini, di samping menyisakan beban operasi bagi APBN selama bertahun -tahun ke depan, maka kedaulatan dan martabat bangsa pun akan tergadai kepada swasta. Belum lagi bahwa aspek strategis dan hankam negara akan berada di bawah kendali swasta dan asing. Sebenarnya, jika bicara obvitnas, seharusnya penyelenggara negara tidak sedikit pun menyediakan celah kompromi. Tidak ada lagi alasan obvitnas dibiarkan dibangun swasta dengan berlindung di balik KPBU. Namun melihat berbagai kasus yang terjadi selama ini, rezim oligarki telah membiarkan asing menguasai pembangunan KA Cepat Jakarta-Bandung, smelter nikel di Sulawesi, proyek listrik dan berbagai sarana lain, maka potensi tergadainya negara pada asing dan pengusaha oligarki atas proyek IKN hanya tinggal menunggu waktu. Yakni menunggu waktu jika rezim oligarki berhasil melanggengkan kekuasaan. Karena itu, hal terpenting dan mendesak adalah bagaimana agar rencana proyek oligarki dan asing, berupa IKN baru, segera dihentikan. Karena UU IKN telah dibentuk oleh rezim oligarki (eksekutif dan legislatif) secara konspiratif serta melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi, maka UU IKN harus segera dibatalkan MK. Itu sebabnya mengapa PNKN telah berulang kali mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk berpihak kepada konstitusi, bangsa, dan rakyat Indonesia, bukan kepada oligarki! Jika bicara soal MK, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita telah mencatat berbagai “prestasi MK” yang lebih memihak oligarki. Misalnya MK membiarkan lolosnya sejumlah UU pro oligarki berupa UU Korona No. 2/ 2020, UU KPK No. 19/2019, UU Minerba No. 3/2020, dan UU Ciptaker No. 11/2020. Karena itu PNKN dan rakyat ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK agar memutus perkara Uji Formil UU IKN sesuai hati nurani, konstitusi dan kehendak rakyat: Bahwa UU IKN No.3/2022 harus dinyatakan inskonstitusional dan batal demi hukum. Jakarta, 14 Juni 2022. (*)
Menakar Nasib PPP dan PAN Dalam KIB Pasca Pemilu 2024
Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa KIB memang disiapkan untuk Ganjar Pranowo (GP), jika ia tetap tidak dapat tiket dari partainya, PDIP. Dari KIB-lah tiket untuk GP bisa maju sebagai Cawapres. Oleh: Ady Amar, Kolumnis PEMILU Serentak 2024, mengikat partai politik dalam mendukung Calon Presiden (Capres) yang dipilihnya. Bahkan pada parpol tertentu, pilihan Capres itu sangat mempengaruhi hasil pemilihan legislatif (pileg) parpol bersangkutan. Semacam satu paket antara memilih Capres dan memilih anggota legislatif. Dalam narasi lainnya, konstituen memilih partai tertentu, artinya memilih anggota legislatif dari partai tertentu, jika partai itu mengusung Capres yang dimauinya. Pada partai tertentu, dalam menentukan siapa Capres yang akan diusung, itu berpengaruh pada perolehan kursi legislatifnya. Salah memilih Capres, artinya yang bukan diinginkan konstituen, akan mempengaruhi suara pemilih dengan tidak memilih anggota legislatif dari partai bersangkutan. Menjadi lebih bijak jika parpol mendengar suara konstituennya. Tidak cuma berdasar dan ditentukan suara elit partai, dan abai pada pemilik suara yang sah. Jika itu yang terjadi, maka tidak mustahil partai itu akan terpental dari Senayan. Sebab hasil Pileg tidak sampai memenuhi ambang batas parliament threshold yang 4%. Bahkan, tidak cuma mempengaruhi hasil Pileg untuk DPR pusat, tapi juga berdampak mengena pada perolehan suara DPRD, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Mestinya ini menjadi perhatian elit partai dalam menentukan nasib partainya, jika ingin tetap eksis atau malah ditinggalkan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) khususnya, adalah dua partai yang punya hubungan erat, bahkan tak terpisahkan antara Pilpres dan Pilegnya. Jika itu dibandingkan dengan partai lain, yang ikut kontestasi pemilu 2024. PPP dan PAN adalah dua partai yang hampir sama basis konstituennya, yaitu pemilih muslim. Meski Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga punya basis pemilih yang sama. Hanya saja dua partai terakhir itu lebih solid konstituennya. Sedangkan PPP dan PAN memiliki konstituen yang mudah beralih ke lain hati. Berpindah ke partai lain. PPP adalah salah satu partai warisan Orde Baru yang tersisa. Hasil fusi dari beberapa partai Islam, yang juga diwarnai ormas-ormas Islam, meski bukan institusi ormas resmi. Setelah reformasi 1998, bermunculan banyak partai baru lain. Baik yang berideologi agama maupun kebangsaan. Ini awal mula PPP terkikis. Ditinggal beberapa ormas besar pendukungnya. NU – yang sebelumnya menarik diri karena menganggap adanya ketidakadilan pembagian jatah, khususnya jabatan Menteri Agama, juga kesadaran ingin kembali ke khittah 1926 – yang lalu membentuk partai politik sendiri untuk menampung suara kaum nahdliyyin. Lahirlah PKB. Partai yang didirikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kyai utama NU lainnya. Begitu pula suara ormas Muhammadiyah yang ada di PPP, sebagian besar suaranya tersedot dengan hadirnya PAN – partai hasil reformasi yang diawaki M. Amien Rais, yang ketika itu juga masih sebagai Ketua Umum Persyarikatan Muhammadiyah – meski PAN tidaklah identik dengan Muhammadiyah. Tidak semua warga Muhammadiyah memilih PAN, meski diawaki Amien Rais. Tapi tetap saja kehadirannya bisa mengikis PPP, yang tidak lagi dianggap sebagai “Rumah Besar” umat Islam. Begitu pula nasib PAN, yang tidak baik-baik saja. Perolehan suaranya sebagai partai hasil reformasi, hanya bertengger di papan tengah. Ini menandakan warga Muhammadiyah tidak semua menjadikan PAN satu-satunya kendaraan politiknya. Persebaran warga Muhammadiyah ada di banyak partai politik. Ditambah lagi ada kemelut internal di PAN, yang berpuncak sampai harus melengserkan pendirinya, Amien Rais, lewat Munas V di Kendari, Sulawesi Tenggara (10/2/2020), yang berakhir ricuh. Seolah azas yang dipunya PAN, yang berakhlak politik dengan bersandar pada agama, dan yang membawa rahmat bagi sekalian alam (AD Bab II, Pasal 3), itu ditanggalkan. Amien Rais lalu mendirikan Partai UMMAT, yang sedikit banyak akan juga menyedot konstituen PAN. Simpatisan Amien Rais di PAN, itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, akan bisa lebih lagi menyedot habis konstituen PAN, jika partai ini salah menentukan/memilih Capresnya. Jika ditambah Partai UMMAT tepat dalam mendukung sosok Capres yang dimaui konstituen PAN. Selesailah nasib PAN itu. PPP dan PAN dalam KIB Akankah PPP mengulang sejarah buruk yang pernah dibuat. Dan, itu terjadi ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilihan pada salah satu pasangan calon gubernur – PPP memilih Ahok-Djarot – maka suara legislatif PPP di DPRD DKI Jakarta kursi suaranya melorot dari 10 menjadi 1 kursi. PPP ”dihakimi” konstituennya, itu karena budeg telinga. Abai mendengar suara pemilihnya, yang menjatuhkan pilihannya pada Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Mestinya itu jadi pelajaran terbaik bagi PPP untuk tidak mengulanginya. Jika masih mengulang peristiwa Pilkada DKI Jakarta, maka PPP (juga PAN) dipastikan akan ditinggal konstituennya. Peringatan juga bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pun akan bernasib sama ditinggal konstituennya, jika nekad memilih Capres yang bukan selera pemilihnya. PKS pada Pemilu 2024, perolehan Pilegnya bisa dipastikan tidak lebih baik dibanding Pemilu 2019 lalu. Itu disebabkan perpecahan di internal partai. Banyak tokoh utama partai memilih hengkang, di antaranya Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Rofi\' Munawwar, dan masih banyak lainnya. Mereka mendirikan Partai Gelombang Rakyat (Gelora). Tentu kehadiran Partai Gelora itu akan mempengaruhi suara Pileg PKS. Apalagi jika Partai Gelora ini mendengar dengan baik Cawapres pilihan konstituennya, yang sebenarnya sama dengan konstituen PKS. Partai Gelora ini memang belum punya hak mengusung Capresnya, tapi tetap bisa mewacanakan presiden yang dipilihnya, yang sesuai dengan suara konstituennya. Maka, PKS mesti cermat jika masih ingin dipilih konstituennya. Kita sudahi saja pembahasan tentangnya. Kita kembali pada pembahasan PPP dan PAN. Pertanyaan dasarnya, apa keuntungan PPP dan PAN, yang seperti ujug-ujug membentuk poros koalisi dengan Partai Golkar. Tiga partai berkumpul, dan itu memenuhi jumlah keikutsertaan presidential threshold yang 20%. Dengan demikian KIB bisa mengusung Capres dan Cawapres-nya sendiri. Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, menyatakan bahwa calon KIB untuk Capres diambil dari KIB sendiri. Artinya, bukan calon dari luar koalisi. Jika demikian, bisa jadi Airlangga yang akan diusung sebagai Capres, atau Zulkifli Hasan (Ketum PAN), atau justru Suharso Monoarfa (Ketum PPP). Tiga nama yang tidak punya elektabilitas memadai. Jika tidak mau dikatakan, tiga nama yang tidak menjual. Maka spekulasi berkembang, bahwa KIB itu hadir atas “perintah” Istana. Apa perlunya sampai muncul perintah demikian. Jika diteruskan, apa hubungan antara Istana dengan ketiga partai tersebut, selain ketiga partai itu sebagai partai pendukung pemerintah. Meski partai lainnya, partai pendukung pemerintah tidak tergabung dalam KIB. Jika benar munculnya KIB itu “instruksi” Istana, maka bisa disebut itulah bentuk intervensi pada ketiga partai itu. Lalu untuk apa? Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa KIB memang disiapkan untuk Ganjar Pranowo (GP), jika ia tetap tidak dapat tiket dari partainya, PDIP. Dari KIB-lah tiket untuk GP bisa maju sebagai Cawapres. Jika itu benar, bisa dipastikan bahwa GP memang manusia spesial, yang sampai tiketnya pun disiapkan oleh Istana lewat ketiga parpol yang tidak ada sangkut paut dengan GP. Bahkan dua dari partai pengusungnya, PPP dan PAN, mesti bertaruh besar dengan perolehan nasibnya pada Pemilu 2024. Jika PPP dan PAN sudah berhitung dengan matang, berhitung pilihan elitnya sama dengan konstituennya, yang juga memilih GP, itu tidak mengapa, ya monggo saja. Tapi kalau itu hanya suara elitnya, bahkan untuk kepentingan kecil elitnya, di mana konstituennya misal lebih memilih Anies Baswedan – belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta (2017) – maka tamatlah PPP, juga PAN. Pilpres 2024 masih dua tahun lagi. Dinamikanya akan makin kencang jika memasuki setidaknya pertengahan tahun 2023. Akankah KIB itu kokoh sampai 2024, pastilah tidak ada yang bisa memastikan. Pada saatnya nanti, seperti biasanya, semua parpol akan mengambil sikap pragmatis dengan memilih jalannya sendiri. Segala kemungkinan bisa terjadi. Rakyat tetap berharap munculnya sosok Presiden yang tidak dibesarkan oleh oligarki, agar negeri ini tidak makin terpuruk. Wallahu a\'lam. (*)
Presiden di “Samping” Jalan
Mungkin tidak pernah membaca sepenggal pidato awal Khalifah Umar bin Khatab, saat akan mengemban amanah sebagai Khalifah, sebagai pondasi menjalankan amanah sebagai Presiden. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEPENGGAL kalimat Umar bin Khattab setelah ditunjuk sebagai Khalifah kedua: Saudara-saudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) aku enggan memikul tanggung jawab ini. Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah aku sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Ya Allah aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati. Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku....... Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku... Catatan di atas hanya sekilas sebagai kaca benggala: Presiden kita, Joko Widodo, ketika rakyat ingin meluruskan dari kekeliruan kebijakan yang diambil, bahkan hanya sekedar kritik mengingatkan, langsung dipersekusi, tangkap, dan ditahan. Semua rakyat harus jadi loyalis buta-tuli atas apapun itu benar atau salah. Presiden selalu mengucapkan bahwa dirinya taat pada konstitusi, bermacam- macam narasi ingin bersama rakyat untuk rakyat. Pada saat bersamaan banyak UU titipan oligargi bermunculan, bukan hanya mengabaikan suara rakyat, berujung pada banyak masalah menjadi liar tak bisa diselesaikan, ujungnya hanya membuat susah dan penderitaan rakyat. Keinginan memperpanjang masa jabatan dan atau masa jabatan tiga periode, sudah dicegat rakyat masih saja bermanuver. Telah diingatkan bahaya hutang untuk membangun infrastruktur diabaikan sehingga sinyalnya akan berahir berantakan. Carut marut dalam tata kelola negara terus ditutup dengan tebar pesona dan pencitraan. Kesan Presiden tidak amanah, plin-plan, ambisi pada kekuasaan melekat pada dirinya selalu tidak konsisten. Celakanya kesan sebagai Presiden boneka oleh masyarakat sudah tidak mungkin bisa dihapus lagi dari benak pikiran rakyat. Ekonomi berantakan, hutang menggunung, korupsi merambah di semua level dari pusat sampai desa telah menjadi perilaku buruk dan budaya hitam pekat. Wajar gempuran dari para ahli dalam berbagai bidang keahlian dan politisi yang terus menerpa dirinya. Semakin banyak ruang tembak tertuju padanya, sementara makin banyak rakyat yang kecewa. Serangan dari masyarakat muncul tanpa henti membuat keki Jokowi di mata masyarakat. Setiap kebijakan selalu berakhir mengundang pro kontra akibat kebijakan yang mangrotingal tidak jelas ujung sasarannya. Di atas penderitaan rakyat, para pejabat negara hidup berpesta pora asyik dengan jalan hidupnya sendiri-sendiri yang hedonis dan terus memperkaya diri. Koalisi gemuk andalannya sebagai pelindung dan pengaman kebijakannya itu ambyar. Mereka keluar bermain catur mengatur di balik layar kekacauan yang makin merambah kemana-mana. Semua pembantu para menterinya bebas dengan orkestrasi sesuai selera, hobi dan kepentingan dengan targetnya masing masing hampir semua sudah lepas dari kendali dan kontrol Presiden. Para pimpinan partai dan petinggi pengendali partai sedang bersolek, untuk mendandani diri agar terlihat menarik di mata rakyat. Suara kartun berbalik arah banyak politisi bersolek dengan kebesaran simbol simbol agama. Jokowi, terjebak dalam dilema, ia berada di persimpangan jalan. Maju kena mundur kena – masalah rumit datang silih berganti, Jokowi akan semakin tantrum dan bingung, galau, bingung dan resah. Menjadi sasaran tembak, lurus mengarah pada jantung dan pikirannya. Seperti tengah berdiri di perapian, bara api yang menyala-nyala. Salah langkah akan terbakar, salah menentukan kebijakan akan “habis” di mata netizen. Politik hanya berhitung saat menguntungkan akan merapat dan akan segera Presiden saat merasa sudah tidak berguna, bahkan dalam hitungan politik akan merugikan. Tidak ada teman yang abadi mendampingi, yang ada adalah kepentinganlah yang abadi. Orang benar dan tuluspun akan masuk dalam arus penurunan kepercayaan. Sekarang ini adalah hari hari yang melelahkan bagi Jokowi, tidak mudah merangkul masyarakat yang sudah terluka. Apapun kebijakannya akan mendapat penolakan dan perlawanan rakyat. Menyerah dan meletakkan jabatan saat ini atau nanti sama saja akan berakhir dengan nestapa. Mungkin tidak pernah membaca sepenggal pidato awal Khalifah Umar bin Khatab, saat akan mengemban amanah sebagai Khalifah, sebagai pondasi menjalankan amanah sebagai Presiden. Semua akan berakhir. Jika melihat kantung mata Jokowi, dan tidak semakin gemuk tubuhnya, ia tengah berada dalam situasi dilema, seperti makan buah simalakama, serba tidak nyaman, penuh resiko. (*)
Mereka Tahu Anies Lebih Dari Mampu, Tapi Tetap Saja Akan Dijegal
Tak pelak lagi, semua ini dilakukan untuk mencegah Anies Baswedan. Publik sudah tahu manuver kotor yang didalangi oleh oligarki cukong itu. Rakyat tak akan membiarkan rencana mereka terlaksana. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik INGIN rasanya untuk tidak menunjukkan inklinasi kepada Anies Baswedan. Namun, pikiran kotor orang-orang yang ceroboh membuat terpancing juga untuk mengatakan betapa ruginya Indonesia jika Anies yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta itu tidak diberi kesempatan duduk sebagai presiden. Sebab, Indonesia saat ini sangat membutuhkan seorang figur yang memiliki kapabilitas dan integritas. Dan, sejak lama publik melihat Anies memiliki dua ukuran ini. Negara sedang sempoyongan akibat kebijakan yang keliru. Tidak sedikit kebijakan yang mengistimewakan konglomerat rakus dan mengabaikan rakyat. Kondisi di semua sektor dan lini sangat mencemaskan. Sungguh-sungguh ini mengkhawatirkan. Utang luar negeri menggunung sampai 7,000 triliun. Berat membayar cicilannya. Rakyat semakin susah. Keterbelahan sosial kian dalam dan mengeras. Intinya, situasi dan kondisi semakin kritis. Kehidupan ekonomi dan sosial-politik semakin keruh. Di tengah situasi yang runyam ini, sangat mengherankan ada gerakan yang bertujuan untuk menghadang Anies Baswedan maju pada Pilpres 2024 nanti. Sungguh sangat licik. Mereka itu tahu persis Anies sangat mampu. Lebih dari mampu untuk memperbaiki Indonesia. Namun mereka tak rela Anies menjadi presiden. Sayangnya, yang mencoba untuk mempersulit adalah para elit politik yang justru memahami bahwa Anies adalah solusi untuk keadaan yang serba berat sekarang ini. Sulit memahami jalan pikiran mereka. Hanya ada satu penjelasan. Bahwa para elit politik itu semata-mata cuma memikirkan kepentingan pribadi dan keluarga serta kelompok mereka. Sama sekali tidak memikirkan rakyat. Mereka tampil seolah untuk rakyat. Pura-pura pro-rakyat. Tetapi, semua itu omong kosong belaka. Rakyat sudah lelah hidup dengan elit politik yang berkelakuan jahat itu dan hanya mementingkan diri sendiri. Elit politik seperti yang ada sekarang ini tidak berguna bagi rakyat. Sebaliknya mereka menyusahkan rakyat. Tapi, sistem korup yang ada saat ini membuat mereka tetap bisa berkuasa. Publik sangat muak. Elit politik terus-menerus menipu rakyat. Tak keliru kalau mereka ini disebut elit politik bangsat. Semua yang mereka lakukan adalah tindakan yang menguntungkan mereka saja. Sebaliknya, mereka membuat rakyat menderita. Ambang batas pilpres (presidential threshold atau PT) 20% adalah “dead squad” (regu tembak) yang mereka ciptakan untuk menghabisi calon presiden yang tidak bisa mereka kendalikan. PT 20% ini bertujuan untuk mengekalkan kekuasaan elit politik bangsat. Dan mereka semua itu adalah kaki-tangan oligarki. Mereka adalah boneka oligarki yang membiayai mereka puluhan triliun. Rakyat yang sudah sangat muak itu, tidak akan membiarkan para elit politik bangsat dan oligarki jahat terus-menerus mengatur hasil pemilu dan pilpres. Rakyat akan bangkit melawan kesewenangan ini. Gugatan (judicial review) PT 20% belum ada yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sangat tak masuk akal. Begitu banyak yang menggugat, tidak satu pun diterima. Ini akan memicu mosi tidak percaya dari rakyat terhadap MK. Apalagi ketua lembaga yang seharusnya sangat terhormat ini adalah adik ipar Presiden Jokowi sendiri. Pastilah menimbulkan kecurigaan rakyat. Tak pelak lagi, semua ini dilakukan untuk mencegah Anies Baswedan. Publik sudah tahu manuver kotor yang didalangi oleh oligarki cukong itu. Rakyat tak akan membiarkan rencana mereka terlaksana. Semua permainan jahat yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan politik yang bersekongkol dengan pemegang kekuasaan bisnis, akan dilawan rakyat. Diperkirakan rakyat akan turun ke jalan dalam jumlah besar dan meluas di seluruh pelosok negeri. Mereka yakin hanya dengan cara ini rencana jahat penguasa dan oligarki cukong bisa digagalkan. Medan, 14 Juni 2022. (*)
DPD Benteng Demokrasi
Oleh M. Rizal Fadillah ADA fenomena baru dimana berbagai elemen masyarakat menyampaikan aspirasinya kepada DPD RI. Ketua DPD kerap menerima delegasi tersebut. Fenomena ini menandai kurangnya kepercayaan pada kamar lain yakni DPR RI. Introspeksi atas bacaan publik bahwa institusi Parlemen yang berisi orang-orang partai politik sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Menyiapkan untuk Pemilu baik legislatif maupun Pilpres. Rakyat relatif terabaikan. Persoalannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di samping jumlah anggotanya kalah jauh dari DPR RI juga lebih dominan sebagai organ MPR RI. Jadi keseharian \"wakil rakyat\" adalah anggota DPR. Hanya itulah karena sistem fraksional menyebabkan anggota DPR terkungkung oleh kebijakan fraksi atau partai secara institusional. Sehingga peran anggota menjadi terbatas baik untuk berbicara, bersikap maupun bermanuver dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. DPD di bawah kepemimpinan LaNyalla Mattalitti nampaknya lebih \"bernyala\" dan dinilai cukup solid. Perjuangan menegakkan demokrasi dengan menggugat Presidential Threshold 20 % adalah contoh, begitu juga soal pengkritisan atas kedaulatan oligarki ekonomi dan upaya mendorong terbitnya UU Anti Islamophobia adalah concern bersama anggota DPD yang patut diapresiasi. DPD adalah benteng demokrasi. Sekurangnya untuk saat ini. Perwakilan Daerah prakteknya bukan hanya perwakilan \"daerah\" tetapi perwakilan \"orang-orang daerah\" artinya siapapun dapat menyampaikan aspirasi dan memohon agar aspirasinya diperjuangkan oleh anggota DPD. UU 17 tahun 2014 mengatur juga kewenangan DPD antara lain mengajukan RUU Otda, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan, pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lain yang berhubungan dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Ikut pembahasan RUU di atas. Memberi pertimbangan RUU APBN, RUU pajak, pendidikan dan agama. Termasuk mengawasi pelaksanaan UU APBN, pajak, pendidikan dan agama tersebut. Ketika Pemerintah cenderung menaikkan berbagai pajak yang dinilai semakin membebani rakyat, mengarahkan pendidikan menjauh dari nilai-nilai moral bangsa, serta agama yang tidak diposisikan penting, maka DPD menjadi strategis untuk berada di front depan perjuangan kerakyatan dan keumatan sekaligus benteng dari pemulihan kedaulatan rakyat yang semakin tergerus oleh keserakahan penguasa oligarki. Pintu masuk DPD sebagai benteng demokrasi adalah bahwa anggota DPD dipilih langsung dalam Pemilu. Konsekuensinya adalah bahwa anggota DPD wajib memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Hakekatnya seluruh rakyat pemilih dapat mempercayakan aspirasinya untuk diperjuangkan oleh anggota DPD. Hubungan anggota DPD dengan rakyat harus tetap erat, bukan hanya dekat dengan kelembagaan Pemerintah Daerah. DPD saat ini memang dirasakan menjadi benteng dari demokrasi. Ketika rakyat merasa tergerus bahkan kehilangan kedaulatannya. Partai politik yang semestinya menjadi bagian dari \"kekuatan rakyat\" disayangkan dalam prakteknya justru berfungsi sebagai organ supra struktur politik. Kembali menjadi infra struktur politik hanya menjelang Pemilu. Saat akan memanfaatkan dan mengemis untuk mendapatkan suara rakyat. Sebagai pilihan sistem bikameral semestinya jumlah anggota DPD relatif berimbang dengan DPR bukan seperti sekarang yang jomplang. Perlu perubahan jumlah keterwakilan daerah ke arah yang lebih proporsional. Setiap Provinsi berbeda dalam jumlah keanggotaan DPD. Ditentukan berdasarkan jumlah penduduk atau indikator lain dari perbedaan Provinsi. Ketika demokrasi tengah dihancurkan oleh kejahatan oligarki, maka DPD dituntut dan harus memperkuat fungsi sebagai benteng dari demokrasi. Bandung, 14 Juni 2022
Penataran Pancasila Ke-3: Indonesia Merdeka Dasarnya Apa?
Dan Bangsa Indonesia Memilih Pancasila Dengan 5 Silanya Yang Menjadi Kesepakatan, Bukan Pancasila Yang Bisa Diperas Menjadi Eka Sila, Tri Sila, Atau Gotong Royong. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila CUPLIKAN Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 boelan 8 tahoen 2605. Ketoea: Sidang jang terhormat! Sekarang lebih dahoeloe, agar soepaja bisa tjepat, saja hendak membatjakan preambule jaitoe moekadimah atau pemboekaan dari Oendang-oendang Dasar. Sebagaimana tadi telah dikatakan oleh Padoeka Toean Zimukyokutyo, Pernjataan Kemerdekaan jang dirantjangkan oleh Panitia Penjelidik hendaknja dihapoeskan sama sekali. Demikian poela kata Pemboekaan boeatan Tyoosakai djoega dihapoeskan sama sekali, tetapi baiklah kembali kepada moekadimah – demikianlah namanja dahoeloe – jang diboeat oleh Panitia Ketjil tempo hari, dengan sedikit perobahan. Pertama perobahan” “Moekadimah” diganti dengan “Pemboekaan”. Kemoedian kata-katanja tadi soedah dibatjakan oleh Toean Moh. Hatta. Baiklah sekali lagi saja batja dengan perlahan-lahan. PEMBOEKAAN “Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itoe ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka pendjadjahan di atas doenia haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan peri-keadilan. Dan perdjoeangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia ke depan pintoe gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatoe, berdaulat, adil dan makmoer. Atas berkat rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja. Kemoedian daripada itoe oentoek membentoek sesoeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah-darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itoe dalam soeatoe Oendang-oendang Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: Ke-Toehanan Jang Maha Esa, menoeroet dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan – perwakilan, serta dengan mewoedjoedkan soeatoe keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia.” Sidang jang terhormat! Demikianlah pemboekaan itoe, dan sebagai tadi telah dikatakan oleh padoeka Toean Zimukyokutyo dan oleh saja sendiri, soepaja sedapat moengkin dengan setjara kilat kita bisa terima. Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo: Saja kira “menoeroet dasar kemanoesiaan” diganti dengan “KeToehanan Jang Maha Esa, kemanoesiaan jang adil” dan seteroesnja. Ketoea: Toean Ki Bagoes Hadikoesoemo, soepaja dipakai “KeToehanan Jang Maha Esa”, dan perkataan “menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab” ditjoret sadja. Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo: “Berdasar kepada: “KeToehanan Jang Maha Esa, menoeroet dasar kemanoesiaan jang adail dan beradab”. “Menoeroet dasar” hilang. Ketoea: Berdasar kepada apakah Republik kita itoe: “Ke-Toehanan Jang Maha Esa, menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab”. Perkataan-perkataan “menoeroet dasar” ditjoret. Djadi: “Ke-Toehanan Jang Maha Esa, kemanusiaan jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan”, dan seteroesnja. Toean-toean semoea faham? Tidak ada lagi? Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo: Di atas toean Ketoea: “maka disoesoenlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itoe”, apa tidak “maka disoesoenlah pemerintahan”. Ketoea: Kemerdekaan itoe disoesoen dalam satoe Oendang-oendang Dasar. Kita akan lantas membikin Oendang-oendang Dasar. Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo: Jang disoesoen di sini pemerintahan, boekan kemerdekaan, “maka disoesoenlah pemerintahan”. Ketoea: Tidak, kemerdekaan, oentoek pemerintahan kita soesoen Oendang-oendang Dasar. Anggota Ki Bagoes Hadikoesoemo: Apa tidak bisa dirobah mendjadi: “maka disoesoenlah pemerintahan itoe”. Ketoea: Tidak, pemerintahan itoe disoesoen dalam satoe Oendang-oendang Dasar. Soedah? Toean-toean lain? Anggota Otto Iskandar Di Nata: Kalimat kedoea: “pintoe gerbang”. Itoe tidak ada. Djadi baiklah diganti dengan kata-kata: Ke Negara Indonesia”. Ketoea: “Mengantarkan rakjat Indonesia ke Negara Indonesia”, tidak “ke depan pintoe gerbang”? Saja kira tidak berkeberatan dengan adanja perkataan “pintoe gerbang”, sebab Negara Indonesia beloem ada. Hatta Zimukyokutyo: Rakjat kita, kita antarkan ke moeka pintoe gerbang sadja. Kalau ke Negara Indonesia, kita melangkah kepada grondwet. Itoe bedanja. Sekarang kita bawa rakjat Indonesia ke moeka “pintoe gerbang” sadja. Ketoea: Toean Otto telah moefakat. Toean-toean tidak ada lagi perobahan? Silahkan toean Goesti. Anggota I Goesti Ketoet Poedja: Ajat 3: “Atas berkat rahmat Allah” diganti dengan “Toehan sadja, Toehan Jang Maha Koeasa”. Ketoea: Dioesoelkan soepaja perkataan “Allah Jang Maha Esa” diganti dengan “Toehan Jang Maha Esa”. Toean-toean semoea moefakat: perkataan “Allah” diganti “Atas berkat Toehan Jang Maha Koeasa”. Tidak ada lagi, toean-toean? Kalau tidak ada, sekali lagi saja batja seloeroehnja, maka kemoediaan saja sahkan. PEMBOEKAAN “Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itoe ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka pendjadjahan di atas doenia haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan peri-keadilan. Dan perdjoeangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia ke depan pintoe gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatoe, berdaulat, adil dan makmoer. Atas berkat rahmat Toehan Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja. Kemoedian daripada itoe oentoek membentoek soeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah-darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itoe dalam soeatoe Oendang-oendang Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: Ke-Toehanan Jang Maha Esa, kemanusiaan jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan-perwakilan, serta dengan mewoedjoedkan soeatoe keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia.” Setoedjoe, toean-toean? (soeara: Setoedjo) Di dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945, dokumen itu dijadikan Preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang sekaligus berlaku sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia. Pada pokoknya, akhirnya Pancasila hasil galian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan secara padat dan indah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan yang pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan dan sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Dengan penataran ini kita bisa merasakan dan memahami bagaimana Pancasila dalam proses dari 1 Juni 1945 kemudian 22 Juni 1945 dan final 18 Agustus 1945. Dan Bangsa Indonesia memilih Pancasila dengan 5 Silanya yang menjadi kesepakatan, bukan Pancasila yang bisa diperas menjadi Eka Sila, Tri Sila, atau Gotong Royong. Artinya Pancasila bukan dilahirkan pada 1 Juni 1945, sebab BPUPKI Tidak membuat keputusan pada 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. (*)
Koalisi Parpol dan “Koalisi” Korupsi
Semua tokoh bijak, negarawan dan cendekia kebajikan sudah kehabisan kata untuk menggambarkan Indonesia kini, ahli bahasa kehabisan kamus untuk menggambarkan Indonesia dengan kata, selain kalimat ngeri dan mengerikan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PILPRES 2024 masih cukup waktu, partai sudah keburu nafsu menggalang koalisi, mencari peluang posisi terbaiknya. Koalisi besar atau gemuk bersama penguasa sejak lama sudah bisa ditebak, saatnya tiba pasti pecah. Karena kepentingan masing-masing partai sudah bergeser mengejar peluang kepentingan politik pragmatisme baru yang bisa membawa keuntungan dan membantu keselamatan partainya. Idealisme perjuangan partai untuk rakyat sudah lama mengering, buka lapak menjelang Pilpres adalah keniscayaan bagi mereka yang harus dimanfaatkan dan dimaksimalkan mencari figur capres dan peluang politik finansial yang dibungkus dengan nama koalisi. Politikus gaya katak berenang itu pasti paham sekali mendayung sebanyak- banyaknya pulau bisa dilampaui. Elit parpol pasti paham bahwa dalam pertarungan politik segmen pemilih bisa dikelompokkan menjadi; The Sinner, The Saint dan The Savable, biasa dikenal dengan massa mengambang (floating mass) yang tidak terikat dengan parpol tertentu. Bagi suatu parpol itu sulit untuk mengutak-atik kelompok pertama. Musuh politik bisa dimasukkan ke dalam kelompok ini. Kelompok kedua, sudah aman dan dipastikan selalu memberi dukungan. Yang menjadi tantangan (challenge) bagi parpol adalah kelompok ketiga, yaitu massa mengambang. Massa mengambang bisa diartikan sebagai kelompok massa yang tidak terikat parpol/calon tertentu atau yang belum menentukan pilihannya dalam ajang pemilihan pimpinan daerah/nasional. Kelompok ini menduduki porsi terbesar dalam suatu pemilihan. Dalam berbagai studi, loyalis partai hanya pada kisaran 5 sampai 10 %. Ini artinya, 90-95 persen pemilih di masing-masing parpol itu sangat mungkin berpindah haluan atau pilihan. Massa mengambang di Indonesia sulit didekati dengan rayuan ideologi, atau program-program partai, dan perdebatan politik yang menjenuhkan. Rakyat sudah capek dengan kesusahan hidup. Mereka semua butuh sesuatu yang melenturkan otot-otot, pikiran, kesusahan dan kesengsaraan mereka. Dari sinilah politik transaksional dengan beli suara ditanggap sinyalnya oleh oligarki. Ketika datang menyodok segepok duit mereka semua akan runtuh. Mereka sudah pada titik habituasi dari kesulitan hidup dan beruntung kalau bisa bertahan untuk hidup. Oligarki sangat paham tentang kehidupan partai di Indonesia bahkan sangat paham kemampuan finansial para capres yang akan mencalonkan dirinya itu. Oligargi juga bergerak taktis mengunci para Capres yang akan berlaga dengan PT 20 %. Oligargi itu bergerak cerdik, bahkan peta masa mengambang telah mereka kuasai sampai tingkat desa. Dan, oligarki lebih cepat bergerak taktis untuk mengendalikan dan menguasai masa mengambang bahwa kebijakan masa mengambang adalah kebijakan massa yang tidak tahu arah politik, biasanya massa ini mudah terbawa arus politik. Ciri partai politik di Indonesia sudah terdeteksi: Pertama, ikatan mayarakat dengan partai politik lemah, bahkan sebagian tidak tersambung sama sekali; Kedua, adanya fenomena deparpolisasi yakni gejala psikologis tidak percaya lagi dengan parpol sebagai wadah aspirasi. Rakyat mengerti hubungan dengan partai politik hanya beberapa detik di bilik suara, itu pun hanya karena beban psikologis setelah terima mahar untuk memilihnya. Selain karena transaksional, sebagian dari mereka masih mau bergerak ke bilik suara lebih banyak ditentukan oleh faktor ketokohan, bukan afiliasi parpol. Kondisi seperti ini bagi Capres tidak akan bisa berlaga tanpa mengiba partai politik sebagai formalitas syarat yang harus dipenuhinya PT 20 %. Penawaran dari partai tertentu yang tidak mampu menjual Capresnya buka lapak ugal-ugalan mahalnya. Sementara saat berlangsungnya Pilpres peran sangat minim – kekuatan kemenangan sudah total milik Oligarki. Di sisi lain kebutuhan finansial bagi para Capres suka atau tidak suka harus masuk dunia politik transaksional dengan pemilih, dihadapkan pada pilihan sulit. Oligargi yang jauh lebih siap telah menawarkan perangkapnya. Diskursus yang dibangun para elit partai koalisi dan elit politik lainnya sering tidak nyambung dengan massa mengambang, bahkan dengan masyarakat. Masing masing asyik di dunianya sendiri-sendiri. Kondisi seperti ini harus ada jalan keluarnya, PT 0 % harus dipenuhi MK dan harus ada perangkat konstitusi siapapun Capres yang terbukti menggunakan jasa oligarki harus dinyatakan gugur, baik sebelum, selama, dan sesudah dia dinyatakan menang dalam pertarungan Pilpres 2024. Ngerinya Korupsi Korupsi tergambar telah menjadi kesepakatan bersama penyelenggara negara Indonesia maju. Maju, bergerak, berjuang bersama menggigit, menggerogoti sebagai rayap sebagai koruptor. Dijamin aman karena semua terlibat, dari – oleh dan untuk koruptor, satu nasib satu perjuangan tidak boleh ada yang menggangu. Selagi ada kesempatan kapan lagi, datangnya peluang tidak akan bisa diulang lagi. Tentu harapan mereka peluang korupsi itu bisa berlanjut dengan aman, mumpung pemimpin tertinggi langsung atau tidak langsung sudah memberi sinyal restunya, asal upeti dari hasil korupsi tersebut jangan sampai terlambat setornya. Atau berbagilah saling mengait satu sama lain. Rakyat telantar, menjerit karena betapa susahnya untuk bertahan hidup, bagi darah para koruptor yang berlaku adalah hukum dari karya Plautus berjudul Asinaria: Homo Homini Lupus, “Manusia adalah serigala bagi sesama manusia lainnya”. Negara Harakiri atau bunuh diri sebagai hukuman mulai populer pada masa Kekaisaran Tokugawa pada zaman Edo (1600-1867) – para koruptor itu sudah berhitung dengan umurnya, berkidung rumekso ing urip muda foya foya - tua kaya raya - mati masuk surga. Soal di liang lahat nanti akan dimakan rayap geni – tak perlu takut toh semua belum bisa dibuktikan. Masihkah Indonesia – masih bisa diselamatkan dengan cara-cara prosedural biasa. Menkopolhukam Mahfud MD saja bingung, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mattalitti pesimis. Rakyat jelata tinggal pasrah hanya bisa istighfar, sesekali berdoa shalawat nariyah. Menyerah mengusap air mata, dengan sesenggukan terus mengalir ucapan istighfar, meratapi nasib negeri makin mengerikan. Semua tokoh bijak, negarawan dan cendekia kebajikan sudah kehabisan kata untuk menggambarkan Indonesia kini, ahli bahasa kehabisan kamus untuk menggambarkan Indonesia dengan kata, selain kalimat ngeri dan mengerikan. Lan Antono dan Taufiq Ismail benar: “Dunia Ini Pangung Sandiwara”. Lagu yang bawakan Rocker Indonesia Ahmad Albar pada tahun 78, mungkin bisa menggambarkan perilaku pengelola negara seperti ini. Kalau sudah demikian alternatif jalan keluarnya harus meminjam teori Plato 2.500 tahun lalu yang mengatakan, kalau demokrasi sudah menjadi anarkis memang harus muncul apa yang disebut strong leader, “pokoknya babat saja dulu, daripada negaranya hancur”, Atau, mungkin bisa juga seperti di Pilipina segera munculkan kekuatan people power: “kekuatan rakyat yang memaksa penguasa dzalim turun”? (*)