Invasi Militer Tiongkok ke Taiwan, AS Gagal Sebelum Perang
Oleh: Jaka Setiawan | Vice Executive Director - Intelligence and National Security Studies (INSS)
Mengapa harus Taiwan? Cendekiawan AS Alan M. Wachman mengingatkan kita dalam bukunya yang berpengaruh tahun 2007, Why Taiwan?. Dalam karya itu, Wachman menjelaskan bahwa dinasti Tiongkok memandang Taiwan sebagai protective barrier terhadap penjajah asing, dan sebagai ancaman terhadap keamanan Tiongkok yang pernah dikendalikan oleh kekuatan luar.
Secara historis, ancaman yang ditimbulkan Taiwan ke Tiongkok antara lain: bagaimana loyalis Ming menggunakan pulau itu sebagai batu loncatan untuk menghasut pemberontakan di Qing Tiongkok selama abad ketujuh belas, militer Jepang melancarkan operasi melawan Tiongkok dari Taiwan selama Perang Dunia II, dan Republic of Tiongkok (ROC) melepaskan serangan dari Taiwan terhadap Komunis Tiongkok selama Perang Dingin.
Saat ini, para ahli strategi Tiongkok terus memandang kemerdekaan de facto Taiwan yang didukung AS sebagai ancaman bagi keamanan nasional serta hambatan bagi kebesaran nasional. Kemudian mereka juga menilai Taiwan yang bersatu dengan Daratan Tiongkok digambarkan sebagai batu loncatan untuk memproyeksikan kekuatan melewati rantai pulau pertama (first island chain). Pandangan seperti itu jelas menunjukan bahwa alasan Tiongkok dalam masalah Taiwan bukan hanya sebagai alasan domestik, penghinaan nasional, persatuan nasional, dan integritas teritorial untuk menaklukkan pulau itu. Pandangan ini jelas tidak dapat diterima dan membahayakan perdamaian di kawasan.
Pandangan semacam itu sudah umum diyakini oleh para ahli strategi Tiongkok. Zhang Wenmu, Profesor di Pusat Studi Strategis Universitas Beihang (The Diplomat, 2016) menegaskan bahwa Tiongkok harus mematuhi strategi Mao Zedong untuk menghadapi banyak kontradiksi yang rumit: pertama-tama mengidentifikasi dan mengatasi kontradiksi utama, dan sisanya akan dengan mudah jatuh ke tangannya. Mengenai gesekan teritorial Tiongkok saat ini versus Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara ASEAN, Zhang menegaskan bahwa "kontradiksi utama” terletak dalam masalah Taiwan.
Proyeksi Kekuatan Tiongkok
Taiwan memiliki dua sisi mata uang; Pertama, sebagai keamanan perbatasan yaitu persoalan kedaulatan dan Kedua, sebagai Keamanan menyangkut kepentingan keamanan nasional jalur navigasi maritim untuk menyokong pembangunan ekonomi dan lalu lintas perdagangan serta investasi Tiongkok. Pada dua sisi pendekatan strategis ini, Taiwan tak hanya menjadi core interest bagi kepentingan nasional Tiongkok, tetapi juga bagian penting yang tak bisa dihindari dalam proyeksi strategi maritim Tiongkok di masa depan.
Begitu Taiwan bersatu dengan Daratan, Tiongkok akan dapat memproyeksikan kekuatan militernya ke timur melalui Selat Miyako – jalur terbesar melalui rantai Kepulauan Ryukyu Jepang – dan ke selatan melalui Selat Bashi antara Taiwan dan Filipina. Hasilnya adalah, terciptanya zona pertahanan angkatan laut bersatu yang membentang dari Laut Kuning ke Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, menghubungkan pulau-pulau Laut Tiongkok Selatan Tiongkok dengan Pulau Taiwan dan Semenanjung Liaodong. Proyeksi kekuatan Tiongkok juga akan meluas jauh ke Pasifik barat, memungkinkan kapal selam nuklir Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) untuk melintas dan berpotensi melakukan serangan balik penuh mereka dan ini menjadi alasan logis bagi Tiongkok untuk mengembangkan konstruksi kapal induk PLAN lebih pesat lagi.
Batu sandungan pertama Tiongkok menaklukan first island chain Taiwan adalah Jepang. Secara historis Jepang mengendalikan Taiwan sebagai protective barrier dan simpul transportasi. Pada konteks itu, Jepang ingin memanfaatkan posisi geopolitik Taiwan yang unik untuk mengamankan akses ke rute navigasi transportasi dan energi di kawasan tersebut serta untuk membangkitkan strategi maritimnya kembali. Jepang oleh Tiongkok dituduh menyembunyikan rencana rahasia untuk mencegah reunifikasi damai Taiwan dengan Tiongkok. Tuduhan tersebut dibuktikan dengan Perjanjian Perikanan Jepang - Taiwan 2013 dan perluasan wilayah geografis konsentrasi aliansi militer AS - Jepang. Zhang Wenmu mengajukan peringatan serupa, menyatakan bahwa Jepang bertujuan untuk mempertahankan akses ke Selat Taiwan untuk memajukan strategi Laut Tiongkok Selatan. Dia bahkan menyebut wilayah Taiwan sebagai kepentingan inti Jepang.
Para ahli strategi nasionalis neokonservatif Tiongkok bahkan mendesak untuk mengadopsi kebijakan yang lebih tegas menghadapi AS. Orang - orang garis keras itu sangat banyak terutama di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Salah satu contoh menonjol adalah buku Unrestricted Warfare, diterbitkan pada tahun 1999 oleh dua kolonel PLA. Analisis dan argumen buku tersebut diarahkan pada satu tujuan dasar: identifying weaknesses in the U.S. military and ways of exploiting them. Penulis buku ini menjelaskan secara rinci bagaimana strategi dan kelemahan Amerika; ketergantungan yang tidak semestinya pada teknologi, keengganan yang hipersensitif terhadap korban, kelemahan dalam integrasi perang bersama. Selain analisis militer, asumsi yang mendasari Unrestricted Warfare adalah bahwa Amerika Serikat adalah musuh bebuyutan Tiongkok dan bahwa suatu hari nanti RRC harus menghadapi musuhnya secara militer.
America's Coming War?
Kutipan pernyataan seorang cendekiawan AS terkemuka urusan Tiongkok, Michael Pillsbury dalam buku yang diterbitkan tahun 2006, America's Coming War with China: A Collision Course over Taiwan, telah mempelajari materi yang tersedia dari ahli strategi militer di RRC dan tidak ada satupun dari lebih dari 200 buku yang diulas dalam studinya "mengakui bahwa Amerika Serikat dapat mengalahkan Tiongkok dalam skenario apapun— tetapi banyak teknik yang diajukan mengalahkan pasukan AS.” Selain itu, “tema umum dalam perang PLA adalah bahwa Amerika dinyatakan sebagai declining power dan dalam dua atau tiga dekade akan hilang.” Banyak lagi nada bercampur permusuhan dan penghinaan Tiongkok terhadap Amerika Serikat.
Jika pandangan ahli strategis Tiongkok bertemu dengan pendekatan historis kebijakan Luar Negeri AS di Georgia dan Ukraina rasanya, perang nirmiliter sedang terjadi. Bagaimana saat ini AS sedang melakukan peperangan nirmiliter mencegah perang dengan manuver-manuver latihan gabungan, manuver kapal induk AS di selat Taiwan dan berbagai tindakan diplomatik dan pernyataan psywar terhadap Tiongkok. Usaha-usaha AS ini diharapkan memiliki deterrence effect sehingga Tiongkok tidak berani dan berpikir seribu kali untuk menjalankan aksi militer terhadap Taiwan. AS justru sekarang sedang melakukan perang urat saraf dan mengulur-ulur Taiwan agar tetap status quo. Namun, jika aksi militer benar-benar dijalankan oleh Tiongkok terhadap Taiwan, artinya upaya AS gagal sebelum berperang untuk mempertahankan Taiwan. Karena AS akan menjalankan skenario seperti di Georgia dan Ukraina. (*)