OPINI

Untuk Menyelamatkan Negara, TNI Harus Segera Bersikap!

Begitu pula untuk anggota DPRS dan MPRS baik dari unsur TNI-Polri semua harus bersih dari anasir oligarki. DPRS dan MPRS harus diisi oleh orang-orang profesional dan akademisi yang juga bersih dari pengaruh Oligarki. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih CARUT-marut di Indonesia telah masuk pada masalah yang fundamental dan harus diatasi secara fundamental pula. Yaitu Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik yang juga telah menyandera kekuasaan. Ganasnya Rezim Oligarki Politik dan Ekonomi ini sudah mentok untuk diatasi dengan cara cara prosedural konstitusional. Saat ini semua rekayasa demokrasi prosedural telah masuk perangkap tipuan. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, contohnya, justru menjadi “perampok keadilan”. Dengan pasal ini Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi justru bisa mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini. Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.    Rezim Oligarki harus diakhiri dan dihentikan, jalan keluarnya dengan revolusi rakyat atau people power. Ini konstitusional kalau rakyat menghendaki. Dalam keadaan darurat ekonomi semua bisa terjadi termasuk menunda Pilpres 2024. Sinyalnya terlihat saat Presiden Joko Widodo bermanuver dan kasak-kusuk ojo kesusu terkait dengan Pilpres 2024. Sinyal akan terjadinya krisis pangan dan ekonomi sudah diwanti-wanti oleh Presiden Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menkeu Sri Mulyani.  Kalau dapur emak-emak sudah nggak bisa lagi berasap, dia akan keluar bawa panci lalu digendang-gendang, rakyat pasti akan marah dan keluar melawan pemerintah, sebagai solusi mencari jalan keluar dari kesulitan hidupnya. Lonceng people power itu mulai dari dapur rumah tangga yang tidak berasap lagi. People power, terjemahnya itu kedaulatan rakyat, bukan makar. Gerakan dapur tidak ngebul pasti akan nyeret menjadi gerakan Revolusi Rakyat. Kalau itu terjadi, maka semua berantakan dan itu akan menghasilkan social unresh (keresahan sosial). Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa harus bersiap-siap untuk menghadapi situasi paling buruk bersama Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Jangan ada lagi wacana yang mencoba menyeret-nyeret Jenderal Andika dalam ranah perpolitikan. Bukan tidak mungkin, peristiwa serupa seperti tahun 1998 juga bakal terjadi. Perlu diingat, pada 1998 Presiden Soeharto bisa jatuh salah satunya berawal dari dapur yang macet disamping alasan politik lainnya, hampir sama dengan keadaan saat ini yang justru lebih parah. Sebenarnya, semua ini berawal dari ketidakmampuan Presiden Jokowi untuk menerangkan ke publik bagaimana daya beli, bagaimana inflasi, bagaimana stagflasi, problem kesulitan pangan, energi dan rakusnya Oligarki yang terjadi saat ini. Inilah yang menyebabkan kita yang cinta NKRI harus membangun satu blog baru untuk mencegah jangan sampai kekacauan dan arogansi di kalangan elit ini merembet ke rakyat. Jika social unresh terjadi, demi menyelamatkan negara, Panglima TNI punya kewajiban dan kewenangan untuk “mengambil-alih” kekuasaan, kemudian ia ditetapkan oleh MPR menggantikan Presiden yang mandatnya sudah dicabut rakyat melalui people power. Adalah tugas TNI menyelamatkan NKRI dari keterpurukan ekonomi dan krisis politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Termasuk juga, potensi ancaman dari luar (terutama China) yang sudah mengirim pasukannya untuk masuk ke Indonesia dengan kamuflase TKA China.   Apabila benar terjadi people power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita. Sejarah bisa berulang dalam bentuk lain, seperti saat lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Soekarno ke Pangkostrad ketika itu, Mayjen TNI Soeharto, yang mengakhiri people power dengan membubarkan DPR dan MPR. Kemudian, membentuk DPRS dan MPRS yang akhirnya melantik Pangkostrad itu sebagai Pejabat Presiden RI menggantikan Bung Karno pada 1967 hingga terselenggaranya Pemilu 1971. Krisis 1965 (G30S/PKI) yang menyebabkan Bung Karno harus lengser. Kemudian Pak Harto naik, peristiwa sejarah ini dapat terulang kembali. Pak Nasution yang selamat dari PKI, akhirnya jadi Ketua MPRS yang melantik Pak Harto sebagai Pejabat Presiden. Setelah sebelumnya DPR dan MPR telah dibubarkan sebgaai konsekuensi dari penyerahan untuk pemulihan keamanan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kemudian dibentuklah DPRS dan MPRS. DPR-MPR dibubarkan karena peran dan fungsinya, sudah tidak lagi menjadi wakil rakyat, tetapi telah menjelma \"mewakili pemerintah\". Panglima TNI yang sudah menerima mandat “mengambil alih kekuasan” bisa segera membubarkan kabinet dan menyusun kabinet darurat menempatkan tokoh nasional untuk membantu pemulihan, ketertiban, dan menyelamatkan negara. Menunjuk tokoh yang memiliki kompetensi negarawan, misalnya Jenderal Purn Gatot Nurmantyo sebagai Ketua MPRS, Rizal Ramli sebagai Wapres mendampingi Andika Perkasa untuk memulihkan ekonomi negara. AA LaNyala Mattalitti ditempatkan sebagai Ketua DPRS. Prabowo Subianto bisa ditugaskan sebagai Ketua DPAS. Anies Baswedan mungkin lebih cocok menempati posisi Mendagri. KSAL Laksamana TNI Yudho Margono diangkat sebagai Panglima TNI. Jabatan Kepala BIN diserahkan kepada KSAU Marsekal Fajar Prasetyo menggantikan Budi Gunawan. Semua pejabat menteri dan setingkat menteri harus bebas dari anasir oligarki. Begitu pula untuk anggota DPRS dan MPRS baik dari unsur TNI-Polri semua harus bersih dari anasir oligarki. DPRS dan MPRS harus diisi oleh orang-orang profesional dan akademisi yang juga bersih dari pengaruh Oligarki. Itu dilakukan setelah Andika Perkasa sebagai pejabat Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli. Tugas segara melaksanakan Pemilu dan Pilpres secepatnya, sesuai rambu-rambu Konstitusi UUD 1945 asli. Jangan terkejut. Gambaran di atas adalah hanya sebuah pikiran alternatif dari segala kemungkinan terburuk yang terjadi. Tentu harapan kita rezim saat ini benar-benar menyadari ada situasi genting yang bisa meledak setiap saat. Reshuffle Kabinet bukan jawaban. Karena rezim masih “terikat kontrak” dan tidak akan bisa dari Oligarki serta kekuatan asing yang selama telah merusak dan menjerumuskan negara dengan utang yang menumpuk. (*)

Reshuffle Kabinet Langkah Mundur Jokowi

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle Isu pergantian menteri sudah menguras energi masyarakat karena pemberitaan yang massif dan menjanjikan perbaikan pembangunan ke depan. Meskipun, sesungguhnya dalam masa dua tahun sisa pemerintahan Jokowi janji perbaikan apapun susah untuk dilaksanakan. Namun, perlu kita menganalisis manfaat apa yang mungkin diperoleh dari pergantian kabinet Jokowi hari ini. Reshuffle kabinet, didalam pemerintahan parlementer biasanya dilakukan jika sebuah partai koalisi menarik diri dari koalisi, dibentuk koalisi baru, sehingga dibentuk kabinet baru. Jika seorang menteri perwakilan partai koalisi mundur atau terpaksa mundur karena korupsi, misalnya, perdana menteri menggantikan menteri itu dari asal partai yang sama. Di Indonesia, dengan sistem presidensial, perombakan kabinet dilakukan presidsn, utamanya, karena presiden ingin memperbaiki kinerja pemerintahannya. Itulah esensi pergantian kabinet dalam sistem presidensial. Meskipun, tidak dapat dipungkiri ada kepentingan akomodasi terhadap partai pendukung. Merujuk pada kinerja, baik pada isu pembanguan, politik maupun kesejahteraan, tuntutan terhadap pemerintahan Jokowi sesungguhnya bermuara pada 3 hal: 1. Secara politik terjadi perpecahan bangsa yang sangat dalam, yang bersumber dari perbedaan pemahaman atas Pancasila dan hak-hak warganegara. Yang mana baru baru ini disinyalir Mahfud MD sebagai tantangan besar menuju 2024. Perpecahan ini diiringi juga dengan berbagai keruntuhan indek demokrasi, pelanggaran HAM yang meningkat serta peningkatan pada agenda Islamophobia.  Di samping itu, moralitas pejabat negara dalam kerangka bebas korupsi, kolusi dan nepotisme semakin buruk. Meskipun indeks persepsi korupsi semakin baik satu poin pada CP2021, itu tidak mampu menjelaskan hancur-hancuran korupsi infrastruktur, sebagaimana pernyataan pimpinan KPK bahwa korupsi infrastruktur mencapai 35-50% (Sumber: berbagai media, Pahala Nainggolan, KPK, Oktober 2021)  2. Secara pembangunan, catatan keberhasilan atau yang diklaim keberhasilan saat ini adalah transaksi perdagangan yang surplus. Terutama dari sektor ekstraktif. Perekonomian lainnya bermasalah seperti hutang luar negeri yang melonjak mencapai lebih dari Rp. 10.000 triliun, deindustrialisasi yang terus meningkat, pengangguran meningkat dan kualitas infrastruktur yang buruk.  3. Sisi kesejahteraan rakyat semakin buruk. Ikhtiar pemerintah adalah ikhtiar malas, dengan bersandar pada bantuan sosial. Subsidi yang berjumlah ratusan triliun tidak menjadi kekuatan produksi rakyat, yang menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, berbagai kekayaan yang dihasilkan dari pengerukan habis2an sumber daya alam, baik batubara, nikel, minyak goreng, dll., lebih memperkaya segelintir orang-orang kaya dan pejabat rakus. Jika 3 problem di atas merupakan inti daripada inti persoalan, maka struktur persoalan harus dijawab Jokowi dengan mereshuffle kabinet berbasis kepentingan kinerja. Misalnya dalam hal minyak goreng, perdebatan saat ini yang dilakukan oleh Luhut Panjaitan versus menteri perdagangan baru terkait perlu tidaknya minyak curah untuk orang miskin dihapus atau tidak. Ini perdebatan aneh dari dua orang yang merasa memiliki mandat. Luhut sebelumnya kita tahu mendapat penunjukan dari Jokowi sebagai ketua satgas penanggulangan harga dan ketersediaan minyak goreng. Harusnya, reshuffle berarti mengembalikan portofolio minyak goreng kepada menteri baru. Dengan keduanya masih ber \"versus\", belum jelas bagaimana pergantian kabinet ini dimaknai. Persoalan struktural lainnya yang mestinya direspon Jokowi sebagai pertimbangan reshuffle harusnya soal kepercayaan publik bahwa pemerintahan Jokowi bebas KKN. Simbol penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan Jokowi selama ini, setidaknya yang beredar di media, adalah isu penggunaan kekuasaan oleh Luhut Panjaitan dalam bisnis PCR dan tambang-tambang. Luhut semakin kaya ketika berkuasa, diungkap Sri Mulyani dalam konteks pembayaran pajak sang menteri. Sedangkan Erick Tohir, pada isu PCR dan penggunaan BUMN untuk pencitraan politik menyongsong pencapresan ke depan. Tentu saja Jokowi mengalami isu yang sama, dengan dugaan keterlibatan anaknya berbisnis dengan pihak-pihak yang terkait penggundulan hutan, yang bermasalah hukum, yang saat ini sedang dilaporkan Ubedillah Badrun, ke KPK. Rakyat berharap kedua menteri itu juga diganti. Tapi, itu tidak terjadi. Sektor infrastruktur, sebagaimana disampaikan KPK di atas, menyesakkan dada. Namun, tidak ada juga reshuffle di kementerian ini.  Dari sisi ekonomi, rakyat ingin pula adanya perubahan dalam mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan dan penghematan (ketepatan alokasi anggaran) dilakukan oleh Menteri Keuangan dan kepala Bapennas yang lebih baik. Bagaimana meningkatkan pendapatan pajak yang lebih tinggi secara umum dan khususnya dari sektor ekstraktif, bagaimana mencoret projek-projek mercusuar dikala ekonomi perlu penghematan, bagaimana meningkatkan transparansi pembiayaan agar korupsi bisa diperkecil di bawah 10%? Ini adalah masalah inti. Sektor ini memerlukan menteri baru dan visi baru. Namun, Jokowi tidak melihat pertimbangan kinerja sektor ini penting ditingkatkan. Sehingga tidak ada perlunya pula pergantian menteri di bidang ekonomi. Sektor pertanahan dan tata ruang, yang mengalami pergantian, tidak jelas maknanya. Sebab, Jokowi tidak memberi penjelasan terkait cita-citanya di Nawacita, yakni Landreform. Jika yang diminta Jokowi urusan sengketa tanah, atau pengeluaran ijin hak guna yang diskriminatif memihak usaha besar, itu juga bukan persoalan besar. Kecepatan urusan ijin hak guna bukan soal inti, karena sifatnya administratif. Inti persoalan yang tidak terpecahkan adalah keadilan kepemilikan tanah di Indonesia. Kenapa segelintir orang memiliki tanah jutaan hektar, sementara lainnya tidak memiliki.  Sektor kesejahteraan juga sama. Dalam masa krisis, anggaran negara harus dialokasikan seluas-luasnya untuk menciptakan projek-projek padat karya. Usaha-usaha UMKM sektor manufaktur dan usaha informal yang menyerap lapangan kerja, harus jadi agenda siang dan malam. Menteri-menteri yang terlalu banyak bicara di awang-awang, misalnya Unicorn, bisnis start-up, dll., jelas tidak memahami persoalan inti, bahwa rakyat saat ini butuh kepastian makan dan makan.  Jokowi seharusnya mengevaluasi secara benar tentang kapasitas menteri menteri sektor kesejahteraan lalu menggantikan diantara yang tidak baik. Terkait politik, Indonesia yang dihantui dengan perpecahan, harus direspons Jokowi dengan mengevaluasi menteri-menteri yang terkait dengan politik. Lalu menggantikan menteri yang tidak sanggup menggalang persatuan nasional. Apa yang dilakukan Jokowi, antara gegap gempita rencana pergantian kabinet dengan hanya menggantikan 2 menteri saja, merupakan langkah mundur. Kenapa mundur? Karena pergantian ini tidak mencerminkan upaya merespon tuntutan kinerja sebagai alasan pergantian. Memang, dua tahun sisa pemerintahan Jokowi, tidak bisa banyak diharapkan untuk melakukan reformasi kinerja yang bersifat struktural.  Kita tidak mungkin lagi berharap ada reshuffle berikutnya. Ini reshuffle terakhir yang paling banyak dibicarakan media saat ini.  Reshuffle yang gagal. Seharusnya, lebih baik tidak melakukan reshuffle, kalau reshuffle itu tidak memenuhi harapan publik. Sebuah pekerjaan sia-sia. (*)

Presiden Jokowi Memang Milik Orang Kaya

Oleh Natalius Pigai, Mantan Pekerja Komnas HAM dan Kepala Sub Bidang Statistik Kemenakertrans RI. “Dalam 8 tahun jumlah orang miskin turun hanya 1,54%, sedangkan orang kaya naik 171,7 ribu atau 61,7%. Artinya 20 Ribu Trilyun APBN dalam 8 tahun hanya diarahkan untuk proyek-proyek yang masuk kantong elit bukan orang miskin dan kaum termarjinalkan. Kontras dengan pemimpin yang dilahirkan di pinggiran sungai, muncul bak meteor sebagai pemimpin mewakili kaum papa”.  Seminggu lalu dalam perjalanan saya ke benua Amerika saya sempatkan mampir di sebuah tokoh buku Internasional untuk membeli buku seperti biasanya karena saya selalu beli dan buku-buku bestseller dunia. Selain Saya beli buku berjudul; 1). The Thanging World Order, Why Nations Succeed and Fail karya Ray Dalio. 2. How To Avoid A Climate Disaster karya Bill Gates. 3. Post Corona karya Scott Galloway. 4). Dll. Di sebuah sudut kecil saya menemukan setumpuk buku yang masih utuh sepertinya buku tersebut tidak banyak yang berminat untuk beli, berjudul “ Jokowi and The New Indonesia” karya Darmawan Prasojo with Tim Hanningan. Dalam buku tersebut karena tentang biografi politik maka keunikan Jokowi yang tergambar adalah Jokowi seorang berasal dari sebuah tempat kumuh dipinggiran sungai orbit bak meteor menjadi seorang Presiden. Jokowi memutus tembok raksasa politik dinasti yang dikuasi para oligarki politik Indonesia. Sehari yang lalu saya ditelpon orang Badan Pusat Statistik, Pak Natalius Buku “ Statistik Indonesia 2022” sudah selasai dicetak boleh ambil. Saya membaca secara saksama data soal kemiskinan pada halaman 271 tentang Kemiskinan (Poverty and Human Development) dan datanya sangat lengkap secara utuh dari 2014-2021 yang akan saya sajikan untuk rakyat Indonesia agar dapat memotret dengan mudah apakah Joko Widodo punya niat baik dan peduli pada orang miskin.  Ternyata tahun 2014 ketika Joko Widodo menjadi Presiden orang miskin di Indonesia sebanyak 11,25 % dan pada bulan September 2021 persentase orang miskin sebesar 9,71 persen artinyua selama 8 tahun Joko Widodo pimpin Indonesia hanya turun 1,54% sekali lagi hanya “Satu Koma Lima Puluh Empat Persen” selama 8 tahun memimpin Indonesia.  Kemudian berapa uang yang diberi kewenangan oleh negara untuk Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintahan  selama 8 tahun, jika setiap tahun rata-rata APBN sebanyak 2.400 maka hampir 20 Ribu Trilyun. Kemana saja uang tersebut diarahkan dan diamanfaatkan oleh Joko Widodo jika dalam 8 tahun kemiskinan hanya turun 1,54%?.  Bisa diperkirakan bahwa APBN 20 Ribu Trilyun diarahkan kepada sekelompok elit atau orang-orang berkuasa dan kroninya. Hal tersebut terlihat dari data jumlah orang kaya di Indonesia semakin meningkat sepanjang 2020 terungkap dari laporan Credit Suisse bertajuk \'Global Wealth Databook 2021. Mengutip laporan Credit Suisse, Selasa 13 Juli 2021, jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki kekayaan bersih di atas US$1 juta atau Rp14,4 miliar (kurs Rp14.400 per dolar AS) mencapai 171.737 orang pada 2020.
 Tidak fair jika hanya melihat potret kebijakan Jokowi karena itu selanjutkan saya akan menyajikan pula kebajikan yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan para Presiden sebelumnya yakni Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. Perbandingan seperti ini penting, karena gambaran periodik ini akan membuka tabir kemampuan (kapabilitas) seorang presiden. Siapa presiden yang pro dan tulus terhadap orang miskin (pro poor) dan siapa presiden yang tidak peduli dengan orang miskin, siapa presiden yang lebih pro kepada sekelompok elit oligarki dan orang-orang kaya. Berikut data penurunan kemiskinan masing-masing presiden. 1. Habibie hanya dalam setahun menurunkan angka kemiskinan 1,1% yaitu dari 24,43 menjadi 23,42%. 2. Gus Dur hanya dalam dua tahun memimpin angka kemiskinan turun sebanyak 5,01% yaitu dari 23,42% menjadi 18,41%. 3. Megawati mampu menurunkan angka kemiskinan dalam durasi waktu singkat 2,51% yaitu dari 18,41% menjadi 1,75%. 4. SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 5,7% yaitu dari 16,66% menjadi menjadi 10,96% 5. Joko Widodo menurunkan angka kemiskinan selama 8 tahun sebanyak 1,54% persen.  “Dengan demikian Presiden Jokowi dalam jangka waktu delapan tahun, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 1,54%. Jumlah yang sangat kecil sekali dibandingkan dengan presiden-presiden yang lain.  Lebih ironi lagi bahwa Jokowi 8 tahun orang miskin turun 1,54 sementara orang kaya di Indonesia naik  semakin meningkat sebanyak  61,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 107 Ribu orang sebagaimana dilaporkan tahun 2020 menurut laporan Credit Suisse bertajuk \'Global Wealth Databook 2021. Mengutip laporan Credit Suisse, Selasa 13 Juli 2021, jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki kekayaan bersih sekitar US$1 juta atau Rp14,4 miliar (kurs Rp14.400 per dolar AS) mencapai 171.737 orang pada 2020.  Pemerintah Jokowi justru menghadirkan program yang mencekik leher rakyat miskin seperti kenaikan harga BBM, Kenaikan harga listrik dan pengendalian harga pangan untuk menekan inflasi yang kurang sehingga penyebab sulitnya mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Jadi, Jokowi ini presiden untuk siapa? Presiden untuk orang kaya atau orang miskin? (*)

Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Konstitusi

Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI (Disampaikan Dalam Silaturahmi Elemen Masyarakat Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia) PERTAMA-tama marilah kita semua panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta\'ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat. Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti. Saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia yang berinisiatif mengadakan Diskusi Silaturahmi Elemen Masyarakat pada hari ini, yang mengusung tema; ‘Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Konstitusi’. Tema di atas kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah lagi. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat. Sebagai Ketua DPD RI yang mewakili daerah, saya sudah berkeliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya telah bertemu dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara. Saya menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan yang sulit untuk dientaskan. Dua hal ini adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Mengapa saya sebut Fundamental? Karena penyebabnya juga Fundamental. Sehingga penyelesaiannya juga harus Fundamental. Tidak bisa kita atasi dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Harus Fundamental. Dari Hulunya. Bukan di Hilir. Ketidakadilan terjadi karena negara ini telah terkungkung oleh Oligarki Ekonomi yang telah menyatu dengan Oligarki Politik dan menyandera kekuasaan. Dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan yang struktural, dampak dari ketidakadilan tersebut. Jadi menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini adalah: Adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Siapa mereka? Oligarki Ekonomi yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaan mereka di luar negeri. Dan mereka semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik untuk meneruskan cengkeraman mereka kepada negara ini. Silakan menjadi kaya raya. Tetapi jangan turut mengatur dan mengendalikan kebijakan negara untuk berpihak kepada kalian. Silakan kalian menjadi kaya raya, tetapi jangan gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompok kalian. Silakan untuk kaya raya, tetapi jangan hanya segelintir orang di Republik yang memiliki kekayaannya sebanding dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia. Ini ketidakadilan yang sudah keterlaluan. Sudah melampaui batas. Dan ketidakadilan yang melampaui batas harus diakhiri. Karena ketidakadilan yang melampaui batas membuat Tuhan murka. Jika kita jujur, terbukanya peluang membesarnya Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah karena kita sebagai bangsa telah melakukan Amandemen Konstitusi yang kebablasan pada 1999 hingga 2002 silam. Saya berulangkali dalam beberapa kesempatan, menyebut Amandemen tersebut sebagai peristiwa Kecelakaan Konstitusi. Sehingga hari ini kita memiliki Konstitusi yang membuat watak bangsa Indonesia semakin Sekuler, Liberal, dan Kapitalistik. Sebagai pejabat negara, saya telah disumpah atas nama Allah SWT dan disaksikan Al-Quran. Bahwa saya harus menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan. Tentu secara obyektif, sebagai pejabat negara saya harus memenuhi sumpah saya, untuk taat kepada Konstitusi hasil Amandemen tersebut. Tetapi secara subyektif, Allah SWT memberi saya akal untuk berpikir, dan Qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Sehingga saya harus melakukan koreksi atas Konstitusi hasil Amandemen yang sudah menyimpang jauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa kita. Oleh karena itu, saya juga harus melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan yang lahir tidak dalam semangat memberi manfaat kepada rakyat. Tetapi sebaliknya memberi manfaat kepada segelintir orang atau kelompok. Bahkan, yang lebih kejam, justru menyengsarakan rakyat. Tetapi secara empirik, kewenangan DPD RI dalam fungsi legislasi sangat terbatas. Demikian juga kewenangan yang diberikan di dalam Konstitusi. Oleh karena itu, yang bisa saya lakukan adalah menyampaikan langsung kepada seluruh stakeholder bangsa ini, bahwa arah perjalanan bangsa ini harus kita koreksi. Harus kita perbaiki, untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk dapat melakukan itu, kita tentu harus Adil sejak dalam pikiran. Harus Jernih sejak dari hati. Dan harus Berani mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Dan hal itu hanya bisa kita lakukan, jika kita konsisten berpijak dan bertindak sebagai Negarawan. Karena seorang Negarawan tidak berpikir tentang next election, tetapi berpikir tentang next generation. Jadi, saya tegaskan di sini, Silaturahmi Elemen Masyarakat seperti ini, mutlak diperlukan sebagai bagian dari kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan rakyat semakin terkikis karena kita sebagai bangsa telah telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila, dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dengan mengejar Pertumbuhan Domestik Bruto yang berbanding lurus dengan Tax Rasio. Kita telah meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati! Sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Padahal itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia; “Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna.” Tetapi hari ini yang tumbuh adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Oleh karena itu, saat kemarin saya diminta untuk memberi kata pengantar untuk penerbitan buku 1 Abad Tamansiswa, saya sampaikan pentingnya membumikan kembali semboyan yang digagas Ki Hajar Dewantoro. Yaitu; Ing ngarso sung tulodo; Ing madyo mangun karso; Tut wuri handayani. Karena menurut saya itulah etika. Itulah moral. Itulah budi pekerti atau akhlak. Yang seharusnya menjadi esensi dari tujuan Pendidikan Nasional bangsa ini. Sehingga kita akan menghasilkan kaum terdidik atau intelektual yang beretika. Intelektual yang bermoral. Dan intelektual yang berbudi pekerti luhur seperti para pendiri bangsa kita. Mereka inilah yang harus menjadi para pemimpin bangsa. Mereka inilah para hikmat yang memiliki kebijaksanaan. Mereka inilah yang harus ditimbang pendapatnya dalam musyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa. Bukan mereka yang lahir dari pencitraan dan survei-survei yang dibuat untuk mempengaruhi persepsi publik. Karena popularitas sama sekali tidak ada hubungannya dengan etika, moral dan akhlak. Karena Iblis pun sangat populer. Sehingga, saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut-marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, membenahi ekonomi, membenahi birokrasi dan lainnya yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Saya tidak akan membedah tentang Pancasila di hadapan para senior, para purnawirawan TNI dan para pejuang bangsa. Karena saya yakin dan percaya, Bapak Ibu dan Hadirin yang hadir adalah warga negara yang mencintai tanah airnya. Karena seorang Patriot sejati, adalah warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama. Peduli terhadap kemaslahatan bersama. Karena musuh Patriotisme adalah segala jenis tirani yang menjadi penyebab ketidakadilan. (*)

PKB Melawan

Oleh Tony Rosyid Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa MESKI ikut suarakan tunda pemilu, tapi PKB tidak ikut masuk di KIB (Koalisi Indonesia Bersatu). Apa alasannya? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, PKB menganggap lahirnya KIB terlalu dini dan prematur. Berpotensi layu sebelum berkembang. Kedua, KIB berada di dalam bayang-bayang istana. PKB tidak ingin terus dikendalikan oleh istana. Apalagi, presiden tidak lama lagi akan berganti. Ketiga, di KIB, ada Golkar. Suaranya terbesar dan dominan. Ini akan membuat PKB tidak leluasa bermanuver. Sementara Cak Imin, panggilan akrab ketum PKB Muhaimin Iskandar ini, akrab dengan karakter manuvernya.  Cak Imin mbalelo? Boleh jadi iya. Manuver PKB menggoda PKS untuk diajak berkoalisi merupakan bentuk reaksi nyata penolakan PKB ikut gerbong KIB yang dibaca publik berada dalam kendali istana. Dan kita semua tahu, PKS adalah partai yang konsisten menjadi oposisinya presiden Jokowi. Ini seolah memberi sinyal bahwa PKB siap menjadi oposisi di akhir periode Jokowi. Kode keras bahwa PKB tidak ikut gerbong istana. Sikap PKB ini bisa dimengerti terutama pasca munculnya Erick Tohir di tengah komunitas NU usai Muktamar Lampung. Kehadiran Erick Tohir dicurigai sebagai langkah politik untuk mengambil PKB dari tangan Cak Imin. Sementara, Erick adalah salah satu tokoh yang dipercaya istana dan dekat dengan jajaran di PBNU. Silahkan anda cermati berbagai bentuk sindiran kader PKB terhadap Erick Tohir. Kegelisahan para kader PKB terhadap menteri BUMN ini bukan omong kosong.  Dengan ancaman itu, Cak Imin terus melakukan konsolidasi. Hasilnya? PKB solid. Kondisi ini yang membuat Cak Imin semakin percaya diri. Ketum PBNU aja dilawan, apalagi Erick Tohir. Begitulah kira-kira kesimpulannya. Rabu pahing kemarin (15/6) ada resuffle kabinet. Mendag Lutfi diganti. Meskipun Lutfi bukan kader PKB, tapi jatah Mendag selama ini memang atas nama dan rekomendasi PKB. Sekarang, Mendag diserahkan kepada PAN yaitu Zulkifli Hasan. Zulkifli selama ini dianggap loyalis Presiden Jokowi. PKB didepak, PAN masuk. Dengan resuffle kabinet, presiden Jokowi mulai memainkan kartu untuk 2024. Parpol yang tidak loyal dan ikut arahan, satu persatu menterinya dicopot. Rencananya akan ada resuffle bertahap. Apa artinya? Resuffle akan terjadi lagi dan ini ditentukan oleh hasil komunikasi politik istana dengan partai-partai koalisi. Semacam alat nego dan bahkan menekan. Nurut, maka akan dipertahankan. Gak ikut gerbong, diganti. Termasuk posisi Budi Gunawan di BIN. Ini akan alot berkaitan dengan dua kepentingan yang berseberangan yaitu kepentingan presiden Jokowi dengan Megawati, ketum PDIP. Di 2024, dua tokoh ini sulit bersatu karena kepentingan yang sulit disatukan. Sementara, Budi Gunawan ada di BIN atas rekomendasi Megawati. Sejauh apapun istana menkonsolidasikan partai-partai koalisi, akhirnya harus sadar bahwa usia semakin tua. Makin mendekati akhir periode, kondisi akan semakin lemah. Ini hukum politik. Makin tua makin lemah. Tua dalam pengertian politik. Karena itu, parpol pun berancang-ancang untuk meninggalkan kapal tua yang dinahkodai Presiden Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan, lalu mencari kapal yang baru. Kapal baru inilah yang akan membawa parpol berlayar ke masa depan. Ini adalah keniscayaan politik yang tidak bisa dilawan. Gak apa-apa jatah menteri hilang. Hanya satu-dua tahun. Tapi masa depan untuk jangka waktu 5-10 tahun akan lebih cerah. Begitulah parpol biasa membangun sikap politiknya. Termasuk PKB, juga partai-partai lain, sekarang sedang menunggu kapal baru. Mereka siap berlayar dengan kapal baru itu. Inilah yang dalam politik seringkali diistilahkan dengan pembangkangan. Sebenarnya bukan pembangkangan, tapi yang tepat adalah pembaharuan. Dalam politik, memang harus ada selalu pembaharuan. Yang baru mengganti yang lama.  Jakarta, 16 Juni 2022.

“Reshuffle” Presidennya

Macam-macam tuntutan aspirasi rakyat, diabaikan penguasa. Presiden terus berpidato, berakhir sungsang. Jangan-jangan Presiden memang keturunan Raden Sekar Sungsang/Ki Mas Lalana/Panji Mulia Rama Nata atau Raden Sakar Sungsang. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KELAKAR netizen, meski satu minggu ada reshuffle, atau bahkan setiap hari ada pergantian kabinet sudah tidak penting lagi, apalagi terjadi di ujung masa berakhirnya kekuasaan. Lebih kejam lagi sindiran, siapapun yang memiliki catatan sejarah pernah menjadi pembantu presiden (menteri) saat ini sebaik apapun kerjanya akan terbawa dalam catatan sejarah masa pemerintahan yang terburuk paska kemerdekaan. Kesan tersebut memang terlalu tendensius tetapi juga tidak bisa di nafikan sebagai sebuah kenyataan. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, semua memburuk bukan karena menterinya yang tidak bisa bekerja tetapi faktor penentunya justru ada di Presiden sendiri. Maka dalam sindirannya lebih lanjut yang harus di-reshuffle tersebut bukan menterinya, tetapi seharusnya Presidennya. Presiden Jokowi dianggap sedari awal terkesan memaksakan diri memimpin pemerintahan negara, sementara di satu sisi memiliki kemampuan terbatas. Itulah sebabnya, Jokowi dinilai sebagai presiden terburuk sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia. Awal karirnya sebagai Presiden, rakyat terpesona dengan tebar pesona dan pencitraannya, berhamburan janji-janji luar biasa menyedot sebuah harapan indah di masa pemerintahannya. Akhirnya semua terbongkar hanya isapan jempol belaka, janji tinggal janji . Kepercayaan kepada Presiden yang terus menurun ini disebabkan, antara lain: ekonomi negara berantakan, kemiskinan membengkak, indeks demokrasi terus menurun, bahkan negara mengarah ke tirani dan otoriter, ketenangan hidup rakyat terbelah oleh adu domba, negara terancam terpecah-belah. Presiden Jokowi dikritik habis dalam buku biografi karya peneliti dari Lowy Institute, Benjamin “Ben” Bland, bahwa pemerintah Jokowi menunjukkan banyak sifat terburuknya seperti mengabaikan nasihat ahli, kurangnya kepercayaan pada masyarakat sipil, dan kegagalan untuk mengembangkan strategi yang koheren. Selama ini civil society terus dilemahkan; masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa dan akademisi dibungkam, serta spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran dan membunuh keberanian rakyat, semua dalam kendali oligarki. Fakta terkini dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern 2022 yang diselenggarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jokowi mengungkapkan kekesalannya di hadapan menteri, kepala lembaga, hingga kepala daerah. Dalam Rakornas secara virtual pada Selasa (14/6/2022 itu), Presiden Jokowi mengatakan: “Maaf, kita ini pintar-pintar tapi kok caranya bodoh sekali, saya harus ngomong apa adanya. Ini uang APBN loh, ini uang APBD loh, belinya produk impor. Nilai tambahnya yang dapat negara lain, lapangan kerja yang dapat orang lain, apa enggak bodoh?” Menggelikan sekali. Ketidakmampuan dirinya mengendalikan, membina dan memaksimalkan para pembantunya bersama organ negara dalam mengelola negara, selalu melemparkan kesalahan kepada orang lain. Apalagi, diperparah kebijakan yang tidak konsisten, dan dalam hitungan jam berubah-ubah tanpa arah yang jelas. Lengkaplah ditandai dengan rezim yang berganti-ganti kabinet dalam waktu yang terlalu pendek, jelas itu pertanda adanya kekacauan dalam kabinetnya. Semua bersumber dari presiden sendiri. Pemerintahan yang sering melakukan pergantian kabinet. Dan, program yang telah direncanakan dipastikan akan berantakan. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin memudar. Kondisi negara menjadi tidak stabil, yang akan terjadi justru pergolakan sosial politik akan makin membesar. Rapuhnya kabinet akibat Presiden yang lemah, akan selalu bongkar-pasang  kabinet. Dan, seringnya ganti kabinet tidak akan pernah membawa kebaikan, justru keadaan kelola negara akan terus memburuk. Reshuffle kabinet itu tidak penting. Jika ingin perbaikan dan perubahan dalam kondisi negara yang terus memburuk adalah Reshuffle Presidennya. Presiden Sungsang Tidak salah kalau kemudian ada yang menyebutnya Presiden Sungsang. Sung Sang itu maknanya terbalik. Yang di atas menjadi di bawah, yang di depan menjadi di belakang, kepala di bawah kaki di atas, dan sebagainya. Melakukan sesuatu yang menjadi sukar karena salah jalan, keadaan jungkir balik. Contoh pembicaraan saat ini menjadi nol resultantenya karena yang diminta masyarakat Presidential Threshold nol persen, Presiden malah ribut sendiri tentang larangan anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi pengurus partai politik, calon legislatif (Caleg), hingga calon pimpinan kepala maupun wakil kepala daerah. Macam-macam tuntutan aspirasi rakyat, diabaikan penguasa. Presiden terus berpidato, berakhir sungsang. Jangan-jangan Presiden memang keturunan Raden Sekar Sungsang/Ki Mas Lalana/Panji Mulia Rama Nata atau Raden Sakar Sungsang. Presiden kadang terlihat santun dan berbudi pekerti. Setelah kita endus, di balik kedok tertata, sopan, dan bertata-krama itu ternyata adalah kepalsuan dan sungsang. Jangan terus menggonggong jika dalam posisi lemah, buta atau tidak tahu fakta, karena lolongan di alam gelap gulita pasti sungsang. Manipulasi data/informasi politik untuk mobilisasi (dukungan) politik, itu pekerjaan khas bandit politik, dan model pekerjaan politik otak sungsang. Presiden yang sungsang sangat membahayakan yang bisa menyeret negara akan menjadi sungsang pula. (*)

Reshuffle Gak Ngaruh

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan RESHUFFLE mini terjadi juga. Nuansanya penghiburan untuk dua partai koalisi yang lama mangap-mangap ga dapet-apet PAN dan PBB. Ketum PAN Zulkifli Hasan memperoleh Menteri Perdagangan, sementara Sekjen PBB Afriansyah Noor mendapat hadiah Wakil Menteri Tenaga Kerja.  Selainnya, mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto diminta mengawal tanah sebagai Menteri ATR. Wamen ATR ganti orang yang masih sesama PSI Raja Juli mengganti Surya Tjandra. Satu lagi Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo putera Papua.  Sederhana saja nampaknya reshuffle kali ini.  Sebenarnya jangankan sederhana untuk yang besar-besaran sekalipun reshuffle gak ngaruh apa apa untuk dua hal. Pertama kepentingan rakyat dan kedua perbaikan kinerja Pemerintahan. Dua Menteri dan tiga Wakil Menteri baru hanya bagi-bagi kursi dan gilir-gilir orang.  Dilihat dari kompetensi juga tidak pas. Zulhas berpengalaman di bidang kehutanan, Hadi Tjahjanto Angkatan Udara yang mungkin diposisikan untuk menaku-nakuti urusan Darat, khususnya tanah IKN. Tiga lainnya sama saja konteks bagi-bagi dan gilir-gilir kursi. Kementrian adalah kue untuk dibagi dan dinikmati.  Reshuffle gak ngaruh untuk membawa Pemerintahan Jokowi  menjadi \"husnul khotimah\". Grafik kinerja pemerintahannya terus menurun. Para Menteri dan Wakil Menteri yang baru dilantik dinilai tidak memiliki daya dongkrak. Apalagi spektakuler.  Reshuffle gak ngaruh karena para Menteri berbasis Partai sedang asyik menyiapkan Pemilu legislatif maupun Pilpres. Karenanya Polarisasi tetap akan terjadi bahkan semakin tajam. Kekecewaan pada komposisi hasil reshuffle juga diprediksi mempertajam konflik.  Reshuffle gak ngaruh bagi oligarki, karenanya negara tidak akan menjadi lebih demokratis. Oligarki tetap berkuasa dan menentukan arah bangsa. Menjadi cukong bagi para pejabat yang diangkat dan dipilih. Presiden dan kabinetnya adalah wayang-wayang politik yang dimainkan.  Reshuffle gak ngaruh untuk mengubah orientasi pembangunan yang materialistis. Agama dan spiritualitas bangsa yang tetap terpinggirkan. Teriak investasi sambil hutang luar negeri yang terus membengkak. Reshuffle pun tidak akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Reshuffle gak ngaruh pada pengubahan tuntutan rakyat yang ingin Jokowi cepat-cepat disudahi. Mundur demi kebaikan negeri. Memberi kesempatan pada pemimpin yang lebih cerdas, jujur, dan kapabel. Pemimpin yang mampu memperbaiki kerusakan parah atas semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.  Reshuffle gak ngaruh apa apa selain upaya Jokowi untuk berbagi demi menyelamatkan diri dan kroni.  Hanya itu saja, enteng kok.  Bandung, 16 Juni 2022

Ketidakmampuan Rejim Jokowi, Apa Masih Perlu Dipertahankan?

Oleh Syafril Sjofyan  - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 GORENG menggoreng BuzzerRP memoles citra rejim Jokowi dengan puja puji. Jokowi dikesankan sebagai dewa. Mampu mengatasi segala urusan bangsa. Mereka secara brutal membully para tokoh dan aktivis yang kritis, yang berusaha mengingatkan pemerintah.  Mereka tutup mata terhadap ketidak mampuan rejim Jokowi melawan “Mafia” migor. Hanya satu masalah. Migor. Berbulan bulan telah berlalu, sudah melewati satu semester. Pemerintah tak mampu membereskan problem langka dan mahalnya minyak goreng. Presiden Jokowi mencegah tinggi dan langkanya minyak goreng “bertentangan” dan “melanggar” peraturan perundang-undangan khususnya azas kecermatan, azas kepentingan umum, dan azas keadilan. Jokowi melarang ekspor minyak sawit mentah per 22 April 2022. Faktanya tidak secara signifikan mengatasi masalah. Harga Migor tak bergeming.  Malah menyebabkan petani sawit mengalami kerugian. Menteri segala urusan Luhut Binsar Panjaitan akhirnya dipalangkan oleh Jokowi. Hanya bisa “mengeluh” ketidak tahuan banyaknya para Taipan Sawit/ CPO/ Migor berkantor di luar negeri. Hingga kini harga kemasan curah masih tinggi. Kebijakan minyak goreng akan gagal lagi. Ambyar. Wow, rejim Jokowi tidak bisa menjangkau para taipan. Mereka Berjaya, ‘mafia’ sepertinya kuat. Adu kuat?. Pemerintah gagal lagi. Lemah?.  Karena kemudian mekanisme subsidi malah dihapus. Subsidi diganti dengan memberlakukan kembali DMO/DPO mulai 1 Juni 2022.  Jika demikian tanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan keterjangkauan harga minyak goreng rejim Jokowi bukan saja perlu dipertanyakan. Perlu evaluasi ketidakmampuan rejim Jokowi. Hanya satu masalah. Migor. Belum yang lain. Apa masih perlu dipertahankan?. Sementara berdasarkan survei terbaru Indonesia Political Opinion (IPO) medio 23 - 28 Mei 2022, terhadap kinerja Jokowi mayoritas tidak puas dan sangat tidak puas, yaitu sebesar 60 persen. Sementara yang puas hanya 40 persen. Tanda kepercayaaan masyarakat terhadap pemerintah Jokowi merosot jauh. Lantaran kebijakan-kebijakan yang diambil “terkesan” tidak memihak ke masyarakat. Ketika ekonomi masyarakat susah, inflasi meningkat, kebijakan yang tidak pro rakyat diambil. Salah satu nya, minyak goreng itu. (*)

Reshuffle Kabinet, Politik Dagang Sapi Jelang Pilpres

Oleh: Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN  MENJELANG Pilpres 2024, Presiden Jokowi dan kroninya yang tergabung dalam partai penguasa yang terdiri dari PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PPP dan PKB, membuat manuver politik melalui perombakan kabinet (reshuffle) pada Rabu 15 Juni 2022.  Reshuffle kabinet ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan bangsa apalagi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perombakan kabinet ini tidak lebih dari praktek politik dagang sapi belaka. Ini benar-benar hanya untuk memenuhi ambisi kekuasan para elite parpol pendukung Jokowi. Berulang kali menteri dirombak pun tidak akan bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan negara saat ini.  Persoalan utamanya bukan pada menteri tetapi pada Presiden Jokowi sendiri yang tidak memiliki kapasitas dan kemampaun memimpin negeri ini. Sehingga semakin lama persoalan bangsa makin menumpuk. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial dan ketidakadilan hukum.  Persoalan yang melingkupi bidang ekonomi mencakup rendahnya daya beli masyarakat sementara harga berbagai kebutuhan pokok terus meningkat. Belum lagi membengkaknya angka pengangguran dan kemiskinan serta meningkatnya utang pemerintah dan BUMN.  Akibat persoalan diatas, kesenjangan sosial dalam masyarakat pun semakin melebar. Jurang antara kelompok kaya dengan  masyarakat miskin semakin menganga. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin. Pada saat yang sama tidak sedikit pejabat negara yang menumpuk kekayaannya dari hasil uang korupsi. Perilaku korup di lingkungan pejabat negara semakin menjadi-jadi di era reformasi ini. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang mencontohkan praktek kolusi dengan kasat mata. Anaknya Gibran Rakabuming menjadi Walikota Solo sementara mantunya Bobby Nasution menjadi Walikota Medan. Melihat kenyataan ini, saat ini masyarakat Indonesia seolah melihat sebagai sesuatu yang wajar. Masyarakat cenderung permisif dengan perilaku KKN yang dilakukan pejabat negara. Padahal, gugatan fundamental yang diarahkan terhadap pemerintah Orde Baru adalah soal KKN. Tujuan gerakan melengserkan Presiden Soeharto pada tahun 1998 untuk memberantas KKN. Tapi sekarang justru praktek KKN makin subur.  Itulah sebenarnya problem mendasar bangsa Indonesia saat ini. Namun, kondisi psikologis masyarakat ini tidak dirasakan oleh para pejabat dan elite kekuasaan sekarang. Akhirnya, mereka yang berada di kelompok elite  sibuk mengurus dan mengamankan kepentingan sendiri dan kelompoknya, sementara masyarakat  kebanyakan dibiarkan  berjuang mengatasi persoalan hidupnya masing-masing.  Rakyat miskin dipelihara Jika merunut pada teori ilmu sosiologi, kesenjangan sosial dalam masyarakat sebenarnya bisa menimbulkan keresahan sosial. Jika tidak diatasi,  dapat memicu terjadinya kerusuhan sosial. Namun, kemiskinan di Indonesia ini seolah sengaja \"dipelihara\" oleh penguasa untuk dijadikan sebagai objek politik kepentingan para elite kekuasaan setiap momen pemilu baik pilkada, pileg maupun Pilpres. Masyarakat miskin bisa dininabobokan dengan politik uang.  Kembali kepada manuver politik Jokowi dan kroninya. Hal itu sama sekali terlepas dengan kepentingan masyarakat luas. Itu hanya untuk memenuhi nafsu kekuasaan para elite politik. Mereka ini kemudian \"menjual\" posisi politiknya kepada kelompok oligarki. Akhirnya, kebijakan pemerintah didagangkan oleh para elite kekuasaan.  Momen perombakan kabinet sengaja dilakukan Jokowi sebelum Rakernas Partai Nasdem dan PDI-P. Tujuannya, agar Rakernas kedua partai itu bisa merekomendasikan capres yang bisa melanjutkan program pembangunan Jokowi. Sebelumnya Anies Baswedan diwacanakan Partai Nasdem sebagai sosok capres 2024. Namun Gubernur DKI ini dianggap tidak bisa diterima kelompok oligarki dan tidak menjamin proyek besar Ibukota Negara (IKN) bisa dilanjutkan oleh Anies Baswedan.  Nah, dengan masih amannya posisi menteri dari Partai Nasdem di jajaran kabinet, besar kemungkinan partai ini masih akan sejalan dan seirama dengan partai koalisi Jokowi pada Pilpres 2024.  Bahkan sekarang partai penguasa ditambah dengan PAN, setelah ketua umumnya diberi jatah Menteri Perdagangan. ****

Mengartikan Solusi Fundamental Sebagai "People Power"

People power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN KETIKA memberikan kata sambutan dalam Musyawarah Daerah Tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta pada Sabtu (11/6/2022), Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan bahwa bangsa ini menghadapi persoalan fundamental. “Jika kita ingin melakukan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, maka kita harus melihat dengan jernih, bahwa persoalan yang kita hadapi ini adalah persoalan fundamental. Maka, jalan keluar yang dilakukan juga harus secara Fundamental,” tegasnya. LaNyalla mengungkapkan, salah satu persoalan fundamental ini yaitu Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik yang juga telah menyandera kekuasaan. “Maka, jalan keluar fundamental yang harus kita lakukan adalah mengakhiri Rezim Oligarki Ekonomi dan pastikan Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan melalui Demokrasi Prosedural yang menipu,” tegas LaNyalla. Jika menyimak pernyataan LaNyalla di atas, setidaknya ada dua jalan keluar fundamental yang harus dilakukan. Yaitu: Mengakhiri Rezim Oligarki Ekonomi dan Menolak Demokrasi Prosedural. Demokrasi Prosedural yang dimaksud LaNyalla tentunya Pemilihan Presiden. Mengapa disebut menipu? Karena ternyata presiden terpilih tidak menepati janji-janji saat kampanye dulu. Tidak salah kalau LaNyalla menyebut dengan istilah Demokrasi Prosedural yang menipu! Apalagi, suara rakyat kini dihadang dengan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jelas-jelas Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng keadilan justru menjadi “perampok keadilan”. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam “Naskah Pembukaan Konstitusi” kita.  Secara massif masyarakat hingga lembaga tinggi negara DPD RI mengajukan Judicial Review (JR) ke MK untuk menghapus Pasal 222 UU Pemilu tersebut, semuanya kandas. Kekuatan kekuasaan rezim bersama Oligarki Ekonomi ini seperti begitu kokoh menghadangnya. Khusus DPD RI secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke MK atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang digugat adalah tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.  LaNyala berkeyakinan, bahwa pasal ini adalah pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Sebab, melalui pasal inilah, Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini. Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan, pasal ini telah pula mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sebab pasal ini memaksa parpol untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Dan, ini mematikan hak parpol baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena ada kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.    Pasal seperti drakula ini memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas. Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendesain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres.  Untuk memutus mata rantai hubungan Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik tersebut adalah dengan mengakhiri rezim yang disokong Oligarki Ekonomi ini. Naiknya harga-harga kebutuhan dapur bisa menjadi pemicu terjadinya people power agar rezim pimpinan Presiden Joko Widodo ini berakhir. Perlu diingat, pada 1998 Presiden Soeharto bisa jatuh salah satunya berawal dari dapur juga, antara lain karena harga susu yang mahal. Emak-emak lalu keluar ikut turun ke jalan bersama mahasiswa. Bukan tidak mungkin, peristiwa serupa juga bakal terjadi saat pemerintahan Presiden Jokowi sudah dalam keadaan darurat ekonomi. Sementara Presiden bermanuver dan kasak-kusuk ojo kesusu terkait dengan Pilpres 2024. Padahal, seperti kata pengamat politik Rocky Gerung, kita bisa menyatakan bahwa kemungkinan tidak terjadi Pilpres 2024 karena kondisi ekonomi yang memburuk dan itu bukan hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia. Itu yang sekarang sedang dihitung oleh para analis KPU. Bisa jalan gak kalau anggarannya itu dipotong separo, hanya untuk menyelamatkan ekonomi kita. Bisa gak IKN itu dilanjutkan kalau terpaksa anggaran yang disiapkan harus dipakai buat membeli politik. Jadi trade-off semacam itu atau kampanye APBN akan mendikte politik APBN-nya bolong. Artinya, politik bakal berantakan juga. Kita hanya bisa terangkan itu sebagai analisis, nanti dianggap solusi, apa ya solusinya percepat Pemilu? “Solusinya ya ganti presiden, solusinya ya lakukan people power. Itu bahaya, segala semacam. Kalau itu enggak diucapkan lalu orang diam-diam merasa memang gak ada solusi kalau kayak gitu,” tegas Rocky Gerung. Kalau dapur emak-emak nggak bisa lagi berasap, dia akan keluar bawa panci lalu digendang-gendang, tukang ojek ikut di situ karena tukang ojek juga tahu dapurnya nggak berasap lagi. Itu akan sampai juga ke buruh-buruh, merasa bahwa daya beli mereka makin turun. Jadi lonceng people power itu mulai dari dapur emak-emak. Menurut Rocky Gerung, itu yang disebut sebagai gerakan rakyat yang berupaya untuk mencari solusi. Solusinya mestinya di kabinet dan parlemen, tapi karena 2 lembaga itu sama isinya, yaitu irasional maka emak-emak cari jalan rasional itu. Mereka mau di jalan itu yang akan mengumpulkan banyak orang. Maka terjadilah dengan apa yang disebut people power. “Itu namanya people power. Terjemahnya kedaulatan rakyat, itu bukan makar, kan begitu,” tegas Rocky Gerung. Ia menyatakan siap memimpin people power. Pernyataan ini disampaikan Rocky saat peringatan HUT Mega Bintang ke-25 di Solo beberapa waktu lalu. Social Unresh Rocky Gerung mengingatkan, kita harus bersiap-siap bila terjadi keadaan yang bukan sekedar peluang tapi pasti terjadi. Soal krisis pangan dan ekonomi yang juga sudah diwanti-wanti oleh Presiden dan Menkeu Sri Mulyani.  Kalau itu terjadi, maka semua berantakan dan itu akan menghasilkan social unresh (keresahan sosial). Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa seharusnya bersiap-siap juga untuk menghadapi situasi paling buruk bersama Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Semoga tidak ada lagi orang yang mencoba menyeret-nyeret Jenderal Andika dalam perpolitikan, seperti yang disebut-sebut namanya menjadi salah satu Capres Partai NasDem. Karena, itu akan mempersulit koordinasi kalau sampai terjadi social unresh yang disebabkan oleh kekacauan ekonomi politik yang sebenarnya berawal dari ketidakmampuan Presiden untuk menerangkan ke publik bagaimana daya beli, bagaimana inflasi, bagaimana stagflasi, problem kesulitan pangan dan energi karena perang di Eropa, Ukraina.  Jadi, seperti kata Rocky, sebenarnya banyak hal yang tersembunyi dari hiruk-pikuk soal koalisi dan capres-mencapres ini. Itu yang menyebabkan kita harus membangun satu blog baru untuk mencegah jangan sampai kekacauan dan arogansi di kalangan elit ini merembet ke rakyat. Jika social unresh terjadi, demi menyelamatkan negara, Panglima TNI wajib hukumnya untuk “mengambil-alih” kekuasaan, kemudian ditetapkan oleh MPR menggantikan Presiden yang mandatnya sudah dicabut rakyat melalui people power. Apalagi, jika ditambah dengan adanya resolusi rakyat yang mendesak supaya TNI segera menyelamatkan NKRI dari keterpurukan ekonomi dan krisis politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. People power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita. Bermodalkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Pangkostrad ketika itu, Mayjen TNI Soeharto mengakhiri people power dengan membubarkan DPR dan MPR serta membentuk DPRS dan MPRS yang akhirnya melantik Pangkostrad itu sebagai Pejabat Presiden RI menggantikan Bung Karno pada 1967 hingga terselenggaranya Pemilu 1971. (*)