Proporsionalitas dalam Memaknai Asyura!

Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Justru yang ingin saya garis bawahi adalah “penyempitan” makna dari Asyura tersebut dengan peristiwa pembunuhan cucu Rasulullah SAW.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

TAHUN baru Islam itu ternyata sangat istimewa. Selain karena kalender Islam dikategorikan sebagai salah satu identitas komunal Umat, juga karena di awal tahun ini begitu banyak peristiwa yang penting untuk dikenang.

Hijrah sebagai tonggak penetapan kalender Islam, sekaligus menjadi tonggak kebangkitan Umat secara kolektif atau komunal. Bermula dari Hijrah terjadi kemudian rentetan peristiwa yang menjadi anak-anak tangga kebangkitan Umat. Bahkan menjadi pilar terbangunnya peradaban baru (Madinah Al-Munawwarah).

Hal lain yang menjadikan awal tahun Islam unik karena dari 12 bulan (itsna asyrah syahran) bulan pertama dinamai Muharram. Kata ini begitu unik dan signifikan. Karena Muharram bermakna “penghormatan” dan “pemuliaan”. Bahwa dengan memasuki awal tahun Umat diharapkan menghormati dan memuliakan “batas-batas” (hudud) ajaran agama.

Tapi satu lagi yang terkait dengan kalender dan Tahun Baru Islam ini yang penting dikenang. Yaitu ragam peristiwa Muharram yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah Umat ini. Pada bulan Muharram ini, khususnya pada hari kesepuluh yang dikenal dengan “Asyura” terjadi beberapa peristiwa penting dalam perjalanan sejarah Umat.

Asyura dan Cinta Ahlul Bait

Ada persepsi yang dibangun atau terbangun seolah yang cinta kepada Keluarga Rasulullah SAW atau Ahlul Bait hanya sekelompok orang yang menamai diri “Syiah”. Kata Syiah itu sendiri bermakna kelompok. Atau lebih spesifik sekelompok orang yang mengaku pengikut Ali RA, sepupu sekaligus menantu Rasulullah. Suami putri Rasulullah tercinta Fatimah Az-Zahra RA.

Persepsi ini selain keliru juga sesat dan menyesatkan. Cinta pada keluarga Rasulullah itu menjadi bagian dari cinta Umat ini kepada baginda Rasul. Tentu ini bukan dalam koneksi darah. Sebab jika asasnya karena hubungan darah maka Abu Lahab juga adalah keluarga Rasulullah SAW. Tapi koneksi hati dan emosi dalam ikatan iman dan Islam.

Semua Umat yang bersyahadat dan mengaku ikut (ittiba’) kepada Rasul pasti dan harus cinta Ahlul Bait. Kecintaan ini sekaligus juga menjadi bagian dari kecintaan Umat kepada baginda Rasulullah SAW.

Namun demikian sangat penting digaris bawahi bahwa kecintaan kepada keluarga nabi (Ahlul Bait) dalam pemahaman yang benar tidak didorong oleh kemarahan atas pembunuhan Husain bin Ali di Karbala. Itu hanya sebuah peristiwa yang penting diingat sebagai bagian dari catatan kelam perjalanan sejarah Umat. Tapi cinta Ahlul Bait justru relevansinya karena cinta baginda Rasulullah, kakek Husain bin Ali.

Oleh karena cinta kepada Ahlul Bait, termasuk kepada Al-Husain, relevansinya cinta Rasulullah maka ekspresi kecintaan kepada keluarga Rasulullah mutlak sejalan dengan ajaran dan sunnahnya. Semua bentuk ekspresi atas nama cinta Ahlul Bait tapi bertentangan dengan Sunnah Rasul adalah pelecehan kepada Rasul dan Ahlul Bait itu sendiri.

Urgensi Asyura

Asyura sebagai bagian dari awal tahun baru Islam memang sangat penting. Tapi, sekali lagi, jangan disempitkan dengan sekedar pembunuhan Husain. Apalagi pengaitan itu sengaja untuk membangkitkan dendam lama, yang pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik ukhuwah dan persatuan Umat.

Asyura menjadi sangat penting karena memang Rasulullah telah menetapkannya sebagai sebuah hari yang Istimewa. Hari yang padanya ditetapkan sebagai hari pengabdian dan taqarrub kepada Allah SWT. Bukan kemarahan dan dendam. Apalagi upaya balas dendam kepada siapa yang dipersepsikan tidak dari kalangan kelompok Ali (yang dikenal dengan Syiah itu).

Pada hari Asyura itu, konon, Allah memutuskan untuk mengampuni Adam setelah meminta ampun: “Rabbana zholamna anfusana wa inlam tagfir lanaa lanakunanna minal khasirin” (wahai Tuhan, kami telah menzholimi diri-diri kami. Dan jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang zholim).

Pada hari Asyura juga disebutkan Allah menyelamatkan Nuh dan umatnya dari banjir yang meluap dan buas. Sementara mereka yang membangkang kebenaran ditenggelamkan. Salah satunya Putra Nuh sendiri yang menolak menaiki perahu keselamatan.

Pada hari Asyura juga Allah menyelamatkan Musa AS dari kejaran Fir’aun. Mereka terselamatkan dari dua ancaman. Ancaman tenggelam di lautan luas nan buas. Dan, ancaman hancur dicincang oleh tentara Fir’aun.

Saat Rasulullah SAW pindah atau Hijrah ke Madinah itulah beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Rasulullah menanyakan kepada mereka Kenapa berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab bahwa hari itu adalah hari perayaan (syukuran) diselamatkannya Musa dari kejaran Fir’aun. Rasulullah kemudian menetapkan bahwa hari itu bagi Umat ini adalah hari puasa.

Lebih jauh beliau mengatakan: “kita lebih berhak (dekat) dengan Musa dari kalian”.

Dengan demikian Urgensi Asyura itu ada pada hari ketaatan dan taqarrub. Bukan sekedar hari mengingat peristiwa pembunuhan Husain. Apalagi peringatan itu diekspresikan dalam ragam praktik yang melanggar ajaran Rasulullah SAW. Dengan praktik-praktik yang salah atas nama Rasulullah mungkin saja sekiranya beliau masih hidup akan berkata: “hentikan klaim palsu kalian cinta kepada keluargaku. Karena perlakuan kalian justeru merusak wajah keluargaku”.

Asyura Sebagai Momen Kemenangan

Jika kita lihat rentetan peristiwa yang terjadi pada hari kesepuluh atau Asyura Muharram, dari kisah Adam, Nuh, Musa, dan disyariatkannya puasa oleh Rasulullah SAW. Semua itu merupakan peristiwa kemenangan atau kebangkitan Al-haq (kebenaran) melawan Al-bathil (kebatilan).

Bahkan ketika kita mengingat peristiwa pahit pembunuhan Husain bin Ali RA sekalipun. Hal ini juga harusnya dikaitkan dengan peristiwa pertarungan antara elemen kebenaran dan elemen kebatilan di kalangan umat ini. Tidak salah jika diekspresikan sebagai keadilan versus kezholiman pada masanya.

Justru yang ingin saya garis bawahi adalah “penyempitan” makna dari Asyura tersebut dengan peristiwa pembunuhan cucu Rasulullah SAW.

Apalagi ketika penyempitan itu sengaja terbangun di atas emosi sempit yang sangat ekstrim. Praktik berdarah-darah menyakiti diri atas nama cinta Ahlul Bait jelas dengan sendirinya justru melecehkan kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW.

Saya justeru ingin melihat ekspresi cinta itu di balik dengan ekspresi “kasih sayang” sebagaimana kasih sayang Rasulullah dan keluarganya, termasuk Al-Husain dalam bentuk berusungguh-sungguh membangun ukhuwah dan kesatuan Umat. Bukan justru membangkitkan emosi dan amarah, bahkan dendam untuk memporak porandakan Umat Rasulullah SAW.

Selamat menjalankan ibadah puasa Asyura. Semoga Allah menerima amal Ibadah kita semua. Aamiin!

New York, 10 Muharram 1444 H. (*)

281

Related Post