Kotak Pandora Bahasa

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Saya tambahkan di sini, doeloe sebutan hari pertama dalam pekan itu menggunakan istilah Ahad. Sekarang, istilah Ahad itu telah diganti dengan Minggu. Ini sengaja diubah secara terstruktur, massif, dan sistematis.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

TIADA hari tanpa diskusi. Tiada wacana tanpa pro-kontra.

Bahasa adalah alat bunyi/tutur manusia untuk menyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, dan sebagainya kepada pihak lain. Ada bahasa verbal, dan ada bahasa nonverbal, yakni bahasa isyarat, baik menggunakan organ tubuh, gambar, simbol, maupun benda-benda lain, sesuai dengan situasi, kondisi, dan sarana/media komunikasinya.

Bahasa itu berfungsi untuk menyampaikan pesan tertentu, baik langsung maupun tidak langsung.

Setiap bentuk komunikasi, baik menggunakan bahasa verbal maupun nonverbal, berpeluang ditangkap berbeda dari apa yang dimaksud oleh penyampai pesan, bahkan disalahpahami, karena pengaruh situasi dan kondisi yang meliputi, termasuk status hubungan penyampai pesan dan penerimanya.

Ketika musuh bebuyutan Amerika telah terpecah menjadi negara-negara baru, jadilah Amerika polisi tunggal dunia. Maka perlu ditemukan musuh baru sebagai sasaran perang. Samuel Huntington mengintroduksi clash civilization, perseteruan peradaban, dengan memperhadapkan Barat vis a vis Islam.

Dibangunlah narasi-narasi untuk menakut-nakuti warga dunia, bahwa kebangkitan Islam akan membawa bencana, karena akan membawa kehidupan kembali ke jaman pra-kemajuan Barat. Sebagai piranti untuk mendukung wacana tersebut diciptakanlah isu-isu baru berupa ancaman terorisme, radikalisme, dan ekstremisme yang hampir semua dialamatkan kepada umat Islam, di mana pun mereka berada. Hal itu menyemaikan benih-benih Islamophobia di mana-mana.

Ada ungkapan klasik, maling teriak maling, sebagai langkah penyelamatan. Pihak-pihak yang phobia terhadap Islam dan pesan-peran konstruktif revolusionernya pun menuduh orang Islam mengada-ada, padahal phobia Islam itu memang ada, bahkan dari kalang Islam sendiri, karena faktor kepentingan tertentu.

Kemudian, dibangunlah wacana moderasi beragama yang sebagian pengamat menengarainya sebagai proyek penjinakan dan demilitansi agama, khususnya Islam.

Habis pro-kontra wacana terorisme, radikalisme, ekstremisme, dan moderasi beragama, serta Islamophobia, terbitlah wacana dan pro-kontra Rumah Sehat.

Beberapa hari yang lalu beredar telah kabar bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengubah nama rumah-rumah sakit seluruh wilayah Jakarta menjadi Rumah Sehat.

Para buzzer segera bermunculan menolaknya dengan seribu satu alasan. Tidak kurang anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun ikut bicara untuk menolaknya.

Ketua DPRD Kritik 'Rumah Sehat' Anies: Setop Bikin Kebijakan Ngawur.

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengkritik kebijakan Anies Baswedan yang mengubah istilah atau jenama 'Rumah Sakit Umum Daerah' (RSUD) menjadi 'Rumah Sehat untuk Jakarta'.

Menurut Prasetyo, pengubahan nama itu tidak penting bagi masyarakat. Semestinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat terobosan program pembangunan atau pelayanan yang berdampak langsung kepada masyarakat. “Yang terasa langsung gitu kesuksesannya di tengah masyarakat. Bukan cuma ganti-ganti nama, kemarin nama jalan, sekarang rumah sakit. Setop deh bikin kebijakan ngawur,” kata Pras dalam keterangan tertulis, Kamis (4/8).

Politikus PDIP itu menilai, Jakarta masih memiliki segudang masalah yang perlu segera dibereskan.

Misalnya, angka kemiskinan yang terus naik, permasalahan kampung kumuh di tengah kota yang belum terselesaikan. “Mereka perlu sentuhan pemerintah, butuh solusi dengan program program yang baik, bukan ganti-ganti nama begitu,” ujar dia.

Pras pun mengaku heran dengan istilah 'rumah sehat' yang digunakan Anies Baswedan untuk menggantikan nama rumah sakit. Menurutnya, sudah sejak lama semua orang mengetahui rumah sakit adalah tempat untuk mengobati penyakit.

Apalagi, penamaan rumah sakit sudah tertera dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

“Jadi memang aturannya jelas namanya rumah sakit. Dari dulu kalau kita sakit ke mana sih larinya, ya ke rumah sakit. Memang namanya rumah sakit ya untuk mengobati penyakit. Logikanya kan begitu. Kalau sudah sehat ya kerja, beraktivitas kembali,” katanya.

Diberitakan, Anies mengubah jenama 'Rumah Sakit Umum Daerah' (RSUD) menjadi 'Rumah Sehat untuk Jakarta'. Perubahan ini hanya berlaku bagi rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jakarta.

Anies mengatakan penjenamaan dilakukan karena selama ini 'rumah sakit' memiliki orientasi pada kuratif dan rehabilitatif.

Dia mengatakan penjenamaan 'rumah sakit' menjadi 'rumah sehat' juga agar peran fasilitas kesehatan itu ditambah dengan aspek promotif dan preventif.

Dengan hal ini, Dia berharap agar masyarakat datang ke RS bukan sekadar untuk berobat, tapi juga untuk lebih sehat. Menurut Anies, warga bisa datang ke 'rumah sehat' untuk melakukan medical check up, persoalan gizi, hingga konsultasi kesehatan.

Di grup-grup WA pun segera muncul celoteh tentang asal-usul istilah rumah sakit di Indonesia, yang konon konsepnya berasal dari kata hospital dalam bahasa Inggris yang dapat dimaknai sebagai rumah penyembuhan atau rumah perawatan menuju sehat. Tapi, mengapa istilah rumah sehat jadi heboh dan bikin orang tepuk jidat?

Nama “Rumah Kesehatan” semakin banyak digunakan: untuk meningkatkan kesehatan, dan tentu saja juga pengobatan dan perawatan bagi orang sakit. Bahasa Inggris malah tidak kenal istilah “Sick House”, tetapi (Health Care) hospital: pelayanan kesehatan.

Banyak tempat pelayanan kesehatan di Belanda menggunakan nama Gezondheidshuis: Rumah Kesehatan, dan Gezondheidscentrum: Pusat Kesehatan, untuk memberi pelayanan kesehatan bagi orang sakit, dan orang yang mau mencegah menjadi sakit.

Salah seorang teman di grup WA pun berseloroh,  "Sick House itu lebih cocok untuk Ganti Nama Gedung DPRD dan DPR RI."

Jilan Mardhani mengunggah tulisan di laman FB bertajuk Rumah Sehat berikut.

Mengubah istilah 'rumah sakit' menjadi 'rumah sehat' itu bukanlah hal baru. Tahun 2013-2015 ketika menangani klien yang bergerak di jasa kesehatan, gagasan itu kerap jadi pembicaraan ahli medis. Mereka adalah para pemegang saham institusi yang sedang saya tangani waktu itu.

Dalam banyak kesempatan lain pun ia kerap mendengar celetukan serupa. Terutama ketika ngalor-ngidul membandingkan pelayanan kesehatan dengan negara tetangga dekat kita, seperti Singapore, Malaysia, dan juga Thailand yang belakangan ikut dielu-elukan sebagian masyarakat kita yang ingin sembuh dari penyakit mereka.

Terjemahan 'hospital' ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'rumah sakit' memang agak sembrono. Boleh dibilang ngawur. Mestinya ahli bahasa di negeri ini sudah lama menengarai. Lalu mengusulkan padanan 'hospital' yang sesuai.

Sebab, kata yang konon berasal dari bahasa Latin itu (hospes/hospit) bermakna sebagai 'tamu'. Sejarahnya kemudian menunjukkan penggunaan kata itu sebagai upaya yang dilakukan untuk merawat ksatria-ksatria Inggris yang terluka sehingga sembuh dan sehat kembali.

Dalam bahasa Inggris sendiri, kata 'host' di antaranya dimaknai sebagai seseorang atau kelompok yang memberikan pelayanan atau menghibur tamu yang berkunjung. Jadi, 'hospital' semestinya diartikan sebagai suatu sarana yang memberi pelayanan kepada pasien sakit agar pulih dan sehat kembali sehingga dapat melakukan aktivitas seperti sediakala.

Zaman terus berkembang bersama pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Kini banyak yang mendatangi sarana pelayanan kesehatan yang disebut 'rumah sakit' itu, sekedar untuk menjaga dan memelihara jiwa dan raganya tetap sehat, dan terhindar dari berbagai penyakit (preventif).

Beberapa sarana juga kerap digunakan untuk memberi penyuluhan atau menyebar luaskan pengetahuan umum kepada masyarakat tentang hal-hal yang perlu mereka maklumi. Agar dapat mencegah penyakit, mendeteksi dini gangguan kesehatan, hingga memelihara kesehatan dan kebugaran tubuhnya (promotif).

Ongkos yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tertular penyakit atau mengalami degradasi kesehatan, memang selalu lebih mahal dibanding mencegahnya. Kesadaran dan upaya melakukan tindakan preventif itu, secara statistik, berkait erat dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Menyempurnakan sebutan 'rumah sakit' menjadi 'rumah sehat', dari sisi komunikasi, adalah langkah cerdas dan perlu.

Sayangnya, gagasan 'rumah sehat' dilontarkan ketika suasana politik sedang memanas menjelang pesta demokrasi 2024 mendatang. Oleh Anies Baswedan pula. Gubernur Jakarta yang popularitasnya memang sedang bergerak lincah di tengah pesaing yang kedodoran dan sibuk menghujat.

Dalam konteks usul penggantian istilah 'rumah sakit' menjadi 'rumah sehat' kali ini, reaksi berlebihan yang dilontarkan lawan politiknya yang terusik – dengan segala hormat – lebih terlihat 'panik dalam kedunguan'.

Tak semua langkah Anies Baswedan sekadar populis dan bermakna kontra produktif. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah keberpihakannya pada politik identitas saat pilkada 2017 lalu. Dalam beberapa hal lain, dia sudah membuktikan sebaliknya.

Mungkin tulisan ini pun ada yang menghujat. Terbuka atau tertutup. Saya hanya ingin menyarankan: gunakanlah akal sehat.

"Move on, ah!"

Demikian unggahan Jilal Mardhani di laman FB-nya, 4 Agustus 2022.

Prof. Azyumardi Azra menambahkan, 'Hospital', 'hospitality'='rumah keramahan' atau 'rumah perawatan'.

Saya pun menimpali, hospital sama dengan rumah sakit adalah salah kaprah.

Saya tambahkan di sini, doeloe sebutan hari pertama dalam pekan itu menggunakan istilah Ahad. Sekarang, istilah Ahad itu telah diganti dengan Minggu. Ini sengaja diubah secara terstruktur, massif, dan sistematis.

Andaikata Anies mendeklarasikan bahwa dalam kalender/penanggalan 2023 di Wilayah Jakarta, hari Minggu kembali ke hari Ahad, apa kata dunia? (*)

361

Related Post