Paus Fransiskus, Prabowo Subianto dan Orang Miskin Terpinggirkan

Natalius Pigai, Staf Khusus Menakertrans 1999-2004, Aktivis Kemanusiaan

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain tidak akan bisa memperbaiki Indonesia sebagai negara yang berpotensi menjadi negara gagal.

Oleh: Natalius Pigai, Staf Khusus Menakertrans 1999-2004, Aktivis Kemanusiaan

“KEPADA Kota dan Dunia (Urbi et Orbi): Jangan berdansa di atas penderitaan orang-orang miskin dan terpinggirkan, Paus Fransiskus, 25 Desember 2018”.

“Saya memang berasal dari elit bangsa ini, keturunan elit, tetapi saya adalah satu diantara elit bangsa ini yang memiliki hati untuk rakyat, bisa berbagi kepada rakyat”. Prabowo 2019.

Paus Fransiskus menggegerkan Pemimpin Dunia ketika baru naik takta sebagai Pemimpin Gereja Katolik di Vatikan menegaskan pentingnya intervensi negara menyelamatkan kemiskinan dan kebodohan di seluruh dunia. Beberapa orang masih saja membela teori menetes ke bawah. Mereka lugu dan tidak waspada. Seperti perintah ‘kita tidak boleh membunuh’.

Sekarang kita harus mengatakan kita tidak boleh menjalankan kebijakan ekonomi yang eksklusif dan tidak adil. Paus juga mengembalikan nilai iman (fidelis), harapan (expectation) dan kasih (caritate) sebagaimana diucapkan kepada kota dan dunia (urbi et orbi) Balisika Santo Petrus pada Kotbah Natal 25 Desember 2018, jangan berdansa di atas penderitaan orang-orang miskin dan terpinggirkan.

Peran gereja sejatinya demi kepentingan umum (bonum commune), memihak kepada yang lemah (option for the poor) dan berbagi (subsidiaritas) dan solidaritas tanpa batas (solidarities) dan bahkan menjadi artikulator kaum pencari keadilan (voice of voiceless).

Dua tahun kemudian pernyataan Paus Fransiskus tersebut disambut oleh Direktur IMF Christine Lagarde pada tanggal 25 Juni 2015, bahwa sistem menetes ke bawah meningkatkan kesejahteraan pendapatan. Menciptakan ketidakadilan di hampir setiap negara.

Ketika yang kaya semakin kaya. Kekayaannya tidak menetes ke ke bawah. Demkian pula Hillary Clinton tanggal 7 Juli 2015 bahwa kita (bangsa Amerika) tidak bisa lagi menjalankan kebijakan ekonomi yang gagal. Sudah waktunya teori menetes ke bawah dikubur dalam-dalam.

Pendapat Paus Fransiskus, kontra dengan Pemerintah Joko Widodo (2014-2022) yang membawa Indonesia berpotensi sebagai Negara Gagal. Itulah sebabnya Prabowo Subianto membaca buku yang berjudul Negara Gagal. Membaca buku berjudul Why Nations Fail (Kenapa Negara Gagal) yang ditulis oleh Daren Acemoglu dan James A Robinson yang cukup mengejutkan jika dianalisis terkait tesis Pemerintahan Jokowi dalam membangun negara dan bangsa kurun waktu 2014-2022.

Para ahli ekonomi pembangunan yang berada di lingkaran pemerintahan Jokowi kurang berpikir out of the box tentang arah pembangunan. Pemerintah seharusnya membaca dan merumuskan ulang terkait dengan rancang bangun pembangunan nasional yang berorientasi pada 2 problem utama: pengentasan kemiskinan (prosperity) dan distribusi keadilan (justice).

Para Punggawa Kuasa bangsa ini berhipotesa bahwa negara gagal karena adanya kesenjangan (gap) infrastruktur yang dimiliki antara negara kaya dan miskin.

Ternyata salah! Meskipun investasi begitu banyak, negara dengan berambisi untuk metamorfosis aksesibilitas dan moda transportasi darat, laut dan udara, namun tetap saja tidak akan menjadikan Indonesia menjadi negara maju bahkan negara bisa terancam gagal karena ketidakmampuan sumber daya teknologi, tenaga dan dana, akhirnya tersandera dalam perangkap utang.

Sebagai contoh di Amerika Serikat dan Meksiko, Korea Utara dan Korea Selatan, Jerman Timur dan Barat. Sebelum reunifikasi tetap saja memiliki kesenjangan sebagai negara kaya dan negara miskin meskipun mempunyai infrastruktur yang hampir sama hebat.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain tidak akan bisa memperbaiki Indonesia sebagai negara yang berpotensi menjadi negara gagal.

Dalam buku Negara Gagal, secara jelas menyatakan bahwa suatu negara gagal karena sumber daya ekonomi yang ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), sementara sumber politik dan kekuasaan menopang kelompok kecil oligarki tersebut.

Prabowo Subianto adalah seorang nasionalis dan patriot, telah lama berjuang agar Indonesia menjadi bangsa yang tidak hanya mandiri tetapi berdaulat. Bangsa yang tidak gampang jatuh dalam penetrasi kapital dan hegemoni dunia ekonomi kapitalisme.

Prabowo tidak mau jika Negara menjadi komprador kapitalisme karena Kapitalisme mengajarkan setiap orang bertarung dan bertahan dalam ketidakberdayaan (survivel)dan orang miskin akan terancam, bangsa bumi putra tergerus dalam jurang kemiskinan.

Negara mesti sebagai pelopor dan perintis untuk intervensi menyelamatkan rakyat bahkan Prabowo juga menginginkan adanya subjek pembangunan dilakukan melalui kemitraan abadi antara negara dan rakyat. Tidak hanya public private partnership (PPP) tetapi public state partnership (PSP). Prabowo adalah antitesa Joko Widodo yang konon katanya Jokowinomic yang justru sumber daya ekonomi terpusat pada oligarki ekonomi, sumber daya ekonomi tergadai pada investasi asing, bahkan swasta sebagai aktor pembangunan nasional.

Dalam buku Paradoks Indonesia, Prabowo Subianto secara jelas dan tegas menginginkan pemerintah bertindak sebagai pelopor, bahkan proaktif untuk kemakmuran rakyat, pengentasan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, pembangunan sarana dan prasarana dan peningkatan sumber daya manusia melalui kompetensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan mental dan moral (atittute).

Cara pandang Prabowo Subianto yang mau menghadirkan pembangunan di tengah-tengah orang miskin, terpinggirkan dan di pedesaan ingin merubah pembangunan nasional yang selama ini berpusat di kota-kota sebagai pusat pelayanan (services centre) juga kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan (growth centre). Memang Prabowo mau mengobati bulir-bulir yang mendalam karena tingginya disparitas pembangunan, sosial dan ekonomi, disparitas antara Timur dan Barat Indonesia, disparitas antara desa dan kota.

Prabowo menyadari bahwa di masa lalu, orang desa adalah korban dari para ekonom yang mendapat julukan Mafia Barkley yang merancang bangun negara dengan sistem kapitalis menciptakan kelompok oligarki taipan-taipan Hoakiau, juga berpaham liberal memberangus cara pandang bumiputera yang berpedoman pada nilai-nilai lokal (local values).

Akibatnya, kaum bumiputera tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam dunia bisnis, juga tidak mampu memasuki dunia kerja yang membutuhkan standar kompetensi dan sertifikasi. Kemampuan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) juga perilaku dunia kerja (attitute) masih jauh lebih rendah dari negara-negara lain.

Prabowo dalam buku Paradoks Indonesia dan komitmen terhadap orang miskin yang disampaikan dalam debat ke-2 Pilpres tanggal 17 Februari 2019 mau membangun Indonesia dari basis kehidupan masyarakat desa, sebuah antitesa dari konsep efek tetesan ke bawah (trikle down effect) yang primadona di negara-negara selatan-selatan di dunia ketiga di 70-an sampai medio 90-an.

Konsep pembangunan yang digandrungi para dosen ekonomi pembangunan di universitas ternama di dunia ketiga, termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) Yogya dan Universitas Indonesia (UI). Kecuali Profesor Doktor Mubyarto pencetus Inpres Desa Tertinggal (Iki Duit Tangkarko, dalam bahasa Jawa) adalah penentang konsep kapitalisme borjuasi dan liberalisme.

Sayangnya, Mubyarto, pejuang ekonomi Pancasila itu berjuang sendirian dan dikucilkan bahkan tidak pernah diberi peran strategis di negeri ini. Lebih dari 50 tahun, sekolah tinggi pembangunan masyarakat desa diabaikan, jurusan ilmu pemerintahan desa, jurusan sosiatri pembangunan desa dipandang sebelah mata.

Sebenarnya Prabowo Subianto mau membangkitkan kembali praktik dengan strategi membangun Indonesia dari pinggiran yang sudah lama ditengelamkan termasuk oleh Joko Widodo. Di negara Tanzania baik di Sanzibar maupun di Tanggayika, Prof Julius Nyerere menerapkan konsep sosialisme utama yang menghidupkan semangat kebangsaan dengan menggairahkan agrobisnis di pedesaan. Demikian pula penerapan konsep Felda di Malaysia, dimana roda pertumbuhan ekonomi dihidupkan oleh industri perkebunan dengan mobilisasi sumber daya manusia di wilayah-wilayah Felda.

Demikian pula konsep Semaul Undong di Korea yang membangun kota dari pinggiran. Di paruh kedua 70-an dan awal 80-an negeri ini juga pernah belajar dari Tanzania, khususnya konsep transmigrasi dan pembangunan desa. Jejak kaki Julius Nyerere 1981, terukir di SMA Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan.

Oleh karena itu, membangun Indonesia dari desa sudah pernah dipraktikan dan hasilnya kita bisa menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri melalui swasembada pangan.

Pertanyaannya adalah apa program nyata dan hal baru dari konsepsi Nawacita yaang membangun Indonesia dari pinggiran? Bangsa Indonesia tertipu karena minimnya gagasan dan implementasi dalam pemerintahan Jokowi 2014-2022.

Sebelum mempertanyakan program nyata, kita mesti bertanya, lagi intensi dasar munculnya butir membangun Indonesia dari pinggiran, sebab konsep membangun Indonesia dari pinggiran telah ada sebelum pemerintahan Jokowi bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Program kolonisasi penduduk Grobogan dan Purwodadi ke Kedong Tataan, Kalianda, Lampung Selatan, melalui politik etis Belanda atas perjuangan Dowes Dekker atau Suwardi Suryaninggrat, dkk 1912, yang kisahnya dilukiskan dengan baik oleh peneliti Perancis, Patric Levang berjudul Tanah Sabrang.

Setelah Indonesia merdeka 1945, program kolonisasi diubah sebutannya menjadi transmigrasi, ciri khas bangsa Indonesia, bahkan program asli Indonesia karena istilah transmigrasi tidak ditemukan dalam kamus bahasa asing termasuk dalam ensiklopedia terlengkap dunia; Britanica maupun juga Americana.

Lalu apa yang baru dalam program Prabowo yang akan datang? Tentu saja yang baru adalah langkah nyata, menuliskan butir cita-citanya lazim makin menua dilaksanakan di negeri ini.

Jaman Joko Widodo, mendengar dan membangun rakyat memang mengharu-birukan perasaan bagi orang-orang pinggiran dan yang terpinggirkan. Namun memasuki 8 tahun masa pemerintahan Jokowi berbagai persoalan korupsi terkait infrastruktur pedesaan, korupsi dana desa oleh pelaksana di desa, kabupaten dan juga Kementerian Desa makin meyakinkan kita bahwa Nawacita hanya adagium simbolik, cita-cita tidak substansial bahkan utopia perubahan.

Prabowo sudah paham bahwa penduduk pedesaan adalah orang-orang yang lahir, tumbuh dan berkembang di daerah terpencil, terisolasi, jauh dari hiruk- pikuk modernisasi Indonesia, bahkan desa diasosiasikan sebagai ujung dari pembangunan. Kemiskinan dan kebodohan yang menumpuk di perdesaan seringkali dikapitalisasi para penguasa dan politisi untuk kepentingan, setelah berkuasa ditinggalkan begitu saja.

Pemerintah memiliki sumber daya yang cukup, baik anggaran, personel dan fasilitas hanya butuh pemimpin empati, tulus, konsisten membangun desa. Anggaran desa saat ini cukup besar, bahkan paling besar dalam sejarah Republik Indonesia.

Selain anggaran pembangunan desa di Kementerian Desa sebesar Rp 170 triliun, juga terdapat di berbagai satker seperti; PUPR, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, Kementerian Dalam Negeri. Kita harus memiliki kemauan untuk merubah (unwilling to change), kita harus mau melakukan revolusi dalam berfikir (revolusio normain), dan juga mau menjadi orang gila dalam membangun di negeri ini. (*)

402

Related Post