Teladan Bung Natsir
Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN)
KETIKA awal kasus pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, Duren Tiga 46 Jakarta Selatan, suara anggota Komisi III DPR RI nyaris tidak terdengar sama sekali.
Sampai akhirnya Menko Polhukam Mahfud MD menyindir dan mengkritiktisi sikap mereka.
Kabar yang berhembus, konon, selama ini mereka menerima upeti dari Sambo yang masih memimpin Satgassus Merah Putih – sebelum dibubarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo – sebesar Rp 500 juta/bulan.
Kalau benar seperti itu faktanya, tentunya upeti yang diserahkan ke pejabat DPR yang lebih tinggi bisa di atas angka setengah miliar rupiah. Dipastikan, Mahfud MD berani bicara dan mengkritik DPR karena dia pegang datanya.
Apakah Ketua MPR Bambang Soesatyo yang terkesan membela Ferdy Sambo itu juga menerima kucuran dana haram dari jaringan sindikat narkoba dan judi online “kolega” Kaisar Sambo? Hanya dia dan Allah SWT yang tahu.
Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini anggota DPR sering bermain mata dengan pengusaha, pejabat korup, maupun pihak lain yang merasa terancam perilaku korupnya.
Presiden Joko Widodo sendiri pernah buka-bukaan terhadap kasus-kasus korupsi yang saat ini tengah diselesaikan para penegak hukum di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah dipenjara.
“Hingga hari ini sudah 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi,” ungkap Jokowi dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai Kartini, Jakarta di Balai Kartini, Kamis (1/12/2016).
Sebanyak 23 anggota DPR, seperti ditulis Detik.com, berjudul Ahad (29 Sep 2019 10:08 WIB), “Jejak Para Anggota DPR 2014-2019 yang Terjerat Kasus Korupsi”, terjerat korupsi. Mereka ini dari berbagai partai politik maupun Komisi yang ada di DPR.
Supaya mereka tidak terjebak dalam skandal korupsi, sebaiknya mereka bisa belajar dari sikap teladan Mohammad Natsir selama menjadi pejabat di DPR maupun eksekutif.
Beginilah karakter politisi kita dahulu, sampai meninggal di usia lebih dari 80 tahun tetap dicintai dan dihormati jutaan rakyat.
Bung Natsir
Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama 4 adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya Mohammad Natsir dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.
Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956.
Ketika itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.
Aba – demikian anak-anaknya memanggil Natsir – ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun ini.
Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar begitu tahu ayahnya menolak tawaran dengan amat halus agar tak menyinggung perasaan tamunya. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” ungkap Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.
Nasihat itu begitu membekas di hati Lies (72 tahun). Aba dan Ummi Nurnahar – ibunda Lies – selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”
Ketika sang ayah menjadi Menpen pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Jogjakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.
Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menpen. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies.
Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Jogjakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.
Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut pula. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim mengenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri.
Penampilan Natsir tidak berubah ketika dia menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat.
Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dinilai tak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi lengkap dengan perabotan, sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.
Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal.
Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. “Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala,” ujar Lies.
Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah menengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jaraknya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri.
Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan, keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas.
Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Saat masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan.
Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Saat hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir.
Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien.
Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis.
Saldonya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.
Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. “Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies.
Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok “anak Menteng” menjadi “anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta.
Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat, seorang pejabat pemerintah.
Mereka menjalani “kehidupan nomaden”, terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.
Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (kini Jalan HOS Cokroaminoto), Jakarta Pusat.
Rumah itu sebetulnya dijual dengan “harga teman”, tapi Natsir tetap tidak mempunyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun.
Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.
Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya.
Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan dari almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya.
Itulah gambaran kesederhanaan mantan pejabat negara. Rasanya sekarang ini sangat sulit sekali menemukan pejabat semacam Natsir. (*)