OPINI

Bayangan Capres 2024

Jalan untuk ingin tenang, damai, dan harapan negara Indonesia kembali ke kiblat bangsa, serta harapan lahirnya Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 Asli telah sampai jalan buntu. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SINYAL politik tidak bisa ditafsirkan dengan eksak karena kebiasaan dan perkembangan partai politik – karena masing masing partai tidak memiliki kemandirian atau percaya diri atas kekuatannya sendiri, sangat tergantung dengan kekuatan di luar dirinya. Bagi parpol, Pilpres 2024 masih cukup waktu untuk bermanuver. Sekedar membaca sinyal dan perkembangan yang ada, tebakan politik tentang siapa Capres/Cawapres mulai terlihat bentuknya sekalipun masih buram. Setidaknya ada beberapa politisi dan tokoh yang namanya mulai digadang-gadang untuk mengikuti kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Berikut beberapa nama yang disebut-sebut itu. Puan Maharani Puan Maharani yang kini menjabat Ketua DPR RI adalah putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Akan menjadi incaran untuk dipinang para Capres karena hampir bisa ditebak Puan belum layak menjadi Capres, tetapi layak sebagai Cawapres. Tergambar capres yang layak menarik Puan (dengan kekuatan PDIP yang bisa maju secara mandiri tanpa koalisi dan pengaruh Megawati dengan Oligarki lebih kuat daripada Jokowi): Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Lainnya bukan pada kelas bakul bakso tetapi masih sangat buram. Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah ini hanya mengandalkan Joko Widodo sebagai broker untuk bisa ditolong nasib politiknya. Belum masuk tokoh elit di PDIP, miskin gagasan dan inovasi, hanya mengandalkan tebar pesona dan pencitraan saja. Dugaan kuat kesan elektabilitas tinggi karena jasa rentalan survei. Sampai saat ini belum ada respon positif dari Oligarki. Bisa jadi, sangat besar kemungkinannya terpental. Jika Ganjar memaksakan diri maju, kecuali PDIP sendiri yang mengajukan, dengan pengaruh kuatnya, Megawati bisa meminta KPK untuk memproses kasus hukum yang melilitnya. Prabowo Subianto Ketum Parai Gerindra yang kini menjabat Menteri Pertahanan itu supaya bisa maju harus koalisi dengan partai lain. Netizen mencurigai irtegritasnya labil. Pendukung lama (Pilpres 2019) terpecah, bahkan sebagian merasa sakit hati telah dikhianati (khususnya umat Islam) hampir tidak bisa lagi disembuhkan. Loyalitasnya kepada Oligarki dicurigai. Posisinya cukup berat kecuali ia bisa berpasangan dengan Puan Maharani (PDIP). Peluang lain mencari pasangan untuk koalisi atau rental partai lain. Koalisi Gerindra dan PKB itu tidak lebih hanya mainan belaka. Apalagi jika Muhaimin Iskandar, Ketum PKB maunya jadi Cawapres. Tentunya KPK tidak akan tinggal diam. Kasus “Kardus Durian” dan dugaan dia terlibat dalam kasus korupsi lainnya dibuka KPK. Prabowo akan sulit memenangkan pertarungan dalam Pilpres 2024. Sebaiknya Prabowo tidak perlu ladi turun ke gelanggang Pilpres 2024. Berilah kesempatan kepada “anak muda” untuk turut dalam kendaraan Gerindra dan beri dukungan kepadanya. AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Nama Ketua DPD RI itu mulai mendapat respon dari masyarakat, khususnya kelas menengah dan atas. Berkat kegigihan perjuangan, ketegasan sikap, dan keinginan negara kembali pada jalur konstitusi yang benar. Posisinya sangat tergantung pada Presidential Threshold 0 % dan kemampuannya melakukan bargaining position dengan parpol. Kendala yang menghadang, ia tak disukai Oligarki karena serangan ke Oligarki sangat keras dan frontal. Realistis kalau bisa “meminang” Puan. Persoalannya, maukah Puan dan PDIP dipinang LaNyalla? Dalam politik, tidak ada yang tak mungkin, meski hingga saat ini LaNyalla masih berjuang untuk PT Nol Persen.   Anies Baswedan Harus diakui, nama Gubernur DKI Jakarta ini salah satu Capres yang paling kuat di mata rakyat, telah muncul relawan dan dukungan bawah yang relatif tumbuh secara alami. Ada emosi Umat Islam akan mendukungnya. Ini telah menorehkan kesan capres yang cerdas, jujur, memiliki banyak gagasan dan inovasi dari potret gambaran selama ini memimpin Jakarta. Tampaknya cukup kuat NasDem, PKS, dan Demokrat bakal merapat dengan munculnya tokoh politik kawakan seperti mantan Wapres Jusuf Kalla yang terus melakukan lobi-lobi politiknya yang tenang dan senyap. Adapun lawan Oligarki tidak ada minat dengan Anies Baswedan. Apalagi, rezim saat ini tidak menyukainya, dan bahkan serangan dari Buzzer Oligarki sangat besar. Tujuannya tidak lain untuk men-down grade namanya sampai sukses Formula E pun, masih terus dicari kesalahannya. Hanyalah untuk menjatuhkannya. Munculnya nama lain yang ingin maju sebagai Capres sepertinya belum layak untuk masuk dalam tebakan gambaran Capres 2024. Gambaran di atas tentu masih sangat kasar. Tentu pihak Oligarki melalui “mantri” yang selama ini menjadi “komandan” di lapangan bisa dipastikan masih bargaining dan tawar-menawar dengan parpol yang sudah terjebak dengan permainannya. Indikasinya, hingga kini tidak ada satup parpol pun yang berani memutuskan nama Capres yang bakal diusungnya. Apalagi saat Oligarki telah mengadakan “raker” dan memutuskan Capres bonekanya. Semua bisa berantakan. Semua prediksi yang ditulis di atas bisa berjalan mulus jika tidak ada gejolak politik akibat berbagai kebijakan pemerintah yang telah menyusahkan rakyat. Gerakan People Power menjadi bayang-bayang yang menakutkan Oligarki. Jika pada akhirnya terjadi people power, semua rencana Oligarki yang sudah disusun dapat dipastikan bakal berantakan. Pemilu 2024 bisa saja tertunda! Perang Saudara Oligarki dengan semua binaan, piaraan, asuhan, boneka dan pasukannya – sepertinya sudah tidak bisa diajak berdamai untuk kembali membangun dan mengembalikan negara sesuai kiblat bangsa seperti amanah tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Oligarki sudah keras kepala, bandel, dan merasa semua kekuatan dan kendali negara sudah full ada dalam genggamannya. Jika rakyat sudah tak punya lagi kedaulatan negara, pilihannya hanya tinggal mau ikut kebijakan dan kemauan oligarki atau tidak, dengan segala resikonya. Itulah riil keadaan yang kini sudah terjadi. Kalau demikian keadaannya maka pilihannya perang. Wujudnya bisa menjadi perang saudara, sekalipun tujuan dari perang adalah melumpuhkan dan menghancurkan Oligarki yang sudah kelewat batas akan menghancurkan negara ini. Situasinya kini sudah sangat menghawatirkan, rentan sekali akan lahirnya kerusuhan, bentrok antar anak bangsa, people power atau Revolusi. Semua itu akibat rakyat sudah terlalu tertekan dengan kondisi ekonomi yang makin sulit akibat kebijakan pemerintah yang pro Oligarki.   Jalan untuk ingin tenang, damai, dan harapan negara Indonesia kembali ke kiblat bangsa, serta harapan lahirnya Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 Asli telah sampai jalan buntu. Yang akan muncul kerusuhan dan bisa terjadi melalui perang saudara: “Ingin damai harus siap perang”. Raplh Warso Emerson mengatakan: “Alam telah memutuskan bahwa apa yang tidak sanggup membela diri takkan dibela”. Jika ini terjadi, maka saat itulah dapat dipastikan akan muncul Kesatria yang bisa menyelamatkan NKRI dari perpecahan dan peperangan. (*)

Perlukah Kepala BIN Menghadiri Rakernas PDIP?

Oleh Asyari Usman Jurnalis Senior FNN  Ada yang sangat aneh dan sangat khas Indonesia pada pembukaan Rakernas PDIP, 21 Juni 2022. Yaitu, kehdiran Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Komjen Purn Budi Gunawan. Mengapa aneh? Karena sulit menejelaskan relevansi kehadiran Kepala BIN di acara partai politik. Katakanlah BIN memang mengurusi sepak terjang parpol. Tapi, apakah mengurusi parpol-parpol harus ditunjukkan dalam bentuk menghadiri acara-acara mereka? Dengan kehadiran Kepala BIN di Rakernas PDIP itu, maka konsekuensinya lembaga intelijen tersebut harus juga menghadiri acara serupa yang dilaksanakan oleh parpol-parpol lain. Tidak konsisten kalau hanya muncul di Rakernas PDIP tapi tidak hadir di Rakernas parpol-parpol lain. Seterusnya, ada pertanyaan: apakah Kepala BIN pantas hadir di acara parpol? Tak mudah untuk dijawab. Dan semakin sulit menjelaskannya ketika Kepala BIN hanya hadir di rakernas PDIP. Mengapa hanya Rakernas PDIP? Apakah karena Banteng sedang menjadi partai terbesar di DPR? Atau, apakah Kepala BIN punya hubungan istimewa dengan PDIP atau elit partai itu? Kalau iya, apakah Kepala BIN boleh punya hubungan istimewa dengan parpol tertentu? Super aneh. Sangat mungkin, satu-satunya negara di dunia ini yang kepala intelijennya hadir di acara parpol adalah Indonesia. Unik sekali. Di negara-negara dengan sistem demokrasi, intelijen adalah aparatur negara yang bertugas untuk mengumpulkan segala macam informasi yang mengancam negara dan kemudian menganalisis tumpukan informasi itu. Menurut UU No 17 Tahun 2011, intelijen negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini juga peringatan dini. Ini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan serta keamanan nasional. BIN adalah koordinator untuk semua unit intelijen yang ada di semua kementerian dan institusi lainnya. Nah, apakah seorang pimpinan badan intelijen memang perlu duduk di depan podium Rakernas sebuah parpol? Apa tujuan dari kehadiran Kepala BIN di situ? Tentu sulit menjelaskannya. Sebab, lembaga intelijen dan orang-orangnya tidak lumrah hadir dengan identitas yang jelas. Di Rakernas PDIP, Megawati mengucapkan bahwa yang hadir ada juga “Kepala BIN”, dst.  Ada kesan Bu Mega senang pembukaan Rakernas PDIP dihadiri oleh orang nomor satu di BIN. Seolah ada keperluan psikologis partai ini untuk menunjukkan bahwa pimpinan dari salah satu institusi terkuat dan ditakuti di Indonesia memberikan “approval” (restu) kepada PDIP.  Kepala BIN itu adalah simbol dari tugas-tugas keintelijenan. Lembaga ini harus steril dari konflik kepentingan. Parpol, ormas, konglomerat, dan individu-individu yang terlalu dekat dengan pimpinan BIN bisa membuka pintu KKN yang pernah menghancurkan Indonesia, dan kelihatannya akan mengulang kembali.[]

Dua Puluh Persen adalah Kejahatan Politik

Oleh  M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  ADANYA Presidential Threshold (PT) 20 % adalah kezaliman atau kejahatan politik. Membunuh hak partai kecil untuk dapat mengajukan Calon Presiden kecuali hanya dengan Koalisi. Koalisi itu sendiri adalah sarana kooptasi partai besar atas partai kecil. Atau secara tidak langsung merupakan bentuk pemaksaan. Pola pemaksaan dalam politik merupakan wujud dari sistem politik yang tidak sehat alias sakit.  Mahkamah Konstitusi telah menerima belasan gugatan untuk PT 20 % tersebut dan hebatnya seluruhnya ditolak. Alasan terbanyak adalah \"legal standing\" yang tidak tepat. MK ternyata memiliki pandangan yang sangat sempit dalam memahami pihak yang mengalami kerugian konstitusional. Partai politik peserta pemilu yang dirugikan, oleh karenanya partai politik atau gabungan partai politik itu saja yang berhak untuk menggugat. Sempit sekali cara pandang seperti ini.  Soal Pilpres bukan semata urusan partai politik tetapi urusan semua elemen warga negara. Karena hal ini menyangkut hak dipilih dan memilih. Dengan PT 20 % terjadi pembatasan hak konstitusional untuk dipilih dan memilih. Proses menjadi tidak demokratis dan tentu semua tahu bahwa maksud dan tujuan kita ber-konstitusi itu bukan model pembatasan seperti ini.  PT 20 % hanya memperkuat oligarki atau menyuburkan cukong alias bandar. Pemilik kapital sangat leluasa untuk bermain dalam Pilpres. Mengatur pasangan dan mencurangi kemenangan. Tragedi 2019 akan terulang bahkan mungkin lebih brutal nanti pada Pilpres 2024. Jokowi sendiri memang tamat tetapi boneka baru segera bisa dibuat. Produk pabrik PT 20 %. Hakim MK 2019 telah mendapat \"gratifikasi\" perpanjangan sehingga akan mengadili kembali gugatan Pilpres 2024. Hakimnya  itu-itu juga dan terbukti telah berprestasi dalam memenangkan oligarki melalui sukses Jokowi. Tak berguna kalaupun ada \"dissenting opinion\". Hal itu hanya bagian dari kepura-puraan dalam berdemokrasi.  Dengan banyaknya gugatan sudah terbukti UU No 7 tahun 2017 khususnya Pasal 222 secara sosiologis adalah UU yang buruk. Meskipun mungkin saja secara prosedur pembentukan undang-undang (juridis formal) sudah benar. Apalagi jika dilihat dari aspek filosofis maka kesimpulannya UU No 7 tahun 2017 ini adalah undang-undang yang zalim atau tidak adil. Harus dirombak atau dibatalkan.  Dalam penerapan hukum Hakim MK telah memahami hukum secara sempit dan legistis atau berfilsafat legisme atau berfungsi hanya sebagai tukang tiup \"terompet undang-undang\". Padahal semestinya Hakim dalam menerapkan hukum harus mampu membaca perasaan keadilan masyarakat. Ajaran legisme adalah ajaran kuno dan sudah lama ditinggalkan.  Faham Sociological Jurisprudence seperti yang dikemukakan Roescou Pound lebih layak untuk dianut apalagi jika sampai pada memahami hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat (law as a tool of social engineering) maka cara pandang Hakim Konstitusi yang positivis atau legistis dan tidak demokratis harus sudah dibuang ke keranjang sampah. PT 20 % adalah sampah politik, bau dan busuk.  Mempertahankan PT 20% adalah suatu kejahatan politik dan catatan hitam hukum. Rekayasa oligarkis dalam membunuh demokrasi.  Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi kumpulan para penjahat dan pembunuh itu.  Bandung, 24 Juni 2022

Menunggu Rapat Politbiro Oligarki

Inilah mengapa banyak Ketum Parpol mendadak berlomba-lomba memasarkan partainya dengan aneka cara. Bahkan ada partai nekat, hanya bersandar pada hasil rentalan survei dan pencitraan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SIKON politik periode kedua Joko Widodo menjabat Presiden RI mencuatkan akrobatik kiat politik anomali berlumur aroma drama politik tanpa bentuk dan arah yang jelas. Ketika koalisi gemuk delapan parpol mulai retak, bahkan pecah telah menjadi pemantik utama mengeruhnya sikon politik terkini. Menimbulkan bara panas bagaikan api nan tak kunjung padam. Ditengarai publik, sepertinya ada yang sengaja merawat sang api supaya tetap membara. Presiden dengan kewenangan dan kekuasaan bermain tukar guling/tukar tambah kekuasaan dengan resaffel kabinet menarik kader dari partai gurem untuk menambah amunisi kekuatannya yang mulai lunglai. Presiden dengan leluasa menggunakan kekuasaannya untuk berbelanja “tameng” pelindung dari serangan politik pihak oposisi. Presiden harus  berselancar di atas ombak politik yang tidak menentu dinamikanya dalam gelombang pasang surut. Menjual posisi di kementerian (ministerial portfolio) untuk merealisasikan platform politik, “rampasan perang” (spoils of office) berupa akses terhadap proyek negara ....  baik yang terlihat maupun tak tercium oleh publik” (Arya Budi, Kompas, 18 Juni 2022). Pemilu 2024 mendatang pada 14 Februari 2024 masih 20 bulan lagi, namun elit politik mulai sibuk membangun koalisi. Target besarnya jelas: berlomba untung- untungan menanam investasi untuk presiden baru. Muncul KIB (Koalisi Indonesia Bersatu), disusul koalisi “Semut Merah”, Gemuruh konvensi partai NasDem dan Raker PDIP yang mengobrak-abrik akrobat rekayasa koalisi. Lahirlah pola politik gambler, berselancar spekulasi  membuka lapak mencari peluang dari hasil jaringannya. Akibat adanya presidential threshold (PT) 20 persen hasil Pemilu 2019, semua terperangkap: partai besar elektabilitasnya capresnya rendah. Capres yang elektabilitasnya memenuhi standar partai tidak kuat ngungkit. Partai gurem pun berusaha merekayasa angkat kader dari luar partainya. Capres yang elektabilitasnya tinggi ternyata tidak memiliki partai. Sehingga, ini semua blunder menerpa dirinya yang tidak sadar ada pemain (Politbiro) di balik layar yang mengendalikan. Terpantau terpaksa beberapa partai bermanuver mondar-mandir tidak jelas akan kemana. Dinamika politik “lari berputar-putar” di situ-situ saja: tidak jelas siapa mengejar siapa dan akan kemana. Inilah mengapa banyak Ketum Parpol mendadak berlomba-lomba memasarkan partainya dengan aneka cara. Bahkan ada partai nekat, hanya bersandar pada hasil rentalan survei dan pencitraan. Apa yang akan terjadi dari akrobat maut para partai berkoalisi, semua akan berakhir dalam penantian menunggu hasil rapat politbiro Oligarki. Siapa yang akan dipanggil ke Istana Oligarki. Dan, siapa yang akan dianggap layak jadi presiden dan siapa yang akan dibuang ke got politik Oligarki. Pilpres 2024 sesungguhnya saat ini sudah selesai, hanya dengan keajaiban Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang bisa merubahnya. Beberapa partai akan berakhir tragis mengais belas kasih Oligargi berharap  mendapatkan pundi-pundi finansial agar bisa berlaga dalam Pilpres 2024. Tragis memang. Itulah wajah politik Indonesia saat ini. (*)

“Presidential Threshold” 20 Persen Tanpa Pilpres

Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PERHELATAN Pilpres akan dilaksanakan 2 tahun lagi, pada tahun 2024. Salah satu perubahan UUD 1945 melalui amandemen ialah tentang Pemilihan Presiden dan pembatasan masa jabatan Presiden. Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (sistem presidentil). Pemilihan presiden tersebut dilakukan langsung oleh rakyat di mana calon presiden dicalonkan dalam satu paket berpasangan dengan calon wakil presiden oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu. Pemenang adalah pasangan yang memperoleh suara 50% + 1 secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar sebagai mayoritas di paling tidak 2/3 provinsi. Bila tidak ada yang memperoleh dukungan demikian, maka digelar pemilihan ulang. Pemenang pertama dan kedua dalam putaran pertama akan bertanding lagi dalam putaran kedua. Kali ini pasangan yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang. Aturan ini ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan, masyarakat Indonesia itu tersebar dan amat majemuk. Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan dukungan jumlah suara 50% + 1 yang terpusat di daerah tertentu saja, tetapi Presiden bagi segenap bangsa dan tanah air. Tata cara Pemilihan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2017. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden yang akan datang masih menggunakan UU Pemilu 2017 yang telah digunakan pada Pilpres 2019 yang diikuti oleh dua pasang Capres-Cawapres, yakni Pasangan 01 Joko Widodo – Ma\'ruf Amin, dan Pasangan 02, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Dampak Pilpres 2019 lalu berupa pembelahan rakyat masih ada hingga kini yang dahulu populer dengan sebutan Cebong dan Kampret. Pasal 222 UU Pemilu adalah paling krusial, apalagi menyangkut Presidential Threshold 20%. Gde Siriana menulis di Twitter, 16 juni 2022, 20:56, “Sy melihat hanya ada 3 jenis Capres mendatang. 1) Capres Istana (penerus kekuasaan rezim dan Oligarki), 2) Capres Joki (Capres maju untuk kalah, hny sekedar penuhi syarat Pilpres demokratis), dan 3) Capres Perubahan (tetapi akan dihambat melalui syarat PT 20%). Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan dalam Musyawarah Daerah tahun 2022 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) DKI Jakarta, Sabtu (11/6/2022), bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Oleh sebab itu, secara kelembagaan DPD RI telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 tersebut. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur kongsi untuk menentukan siapa pimpinan nasional bangsa. Pasal 222 memaksa partai politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas. Akibatnya, Capres dan Cawapres yang akan dipilih oleh rakyat menjadi sangat terbatas. Pasal tersebut menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural, Pilpres. Dengan begitu janji-janji manis Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena, yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dari kebijakan yang tentu harus berpihak kepada mereka. LaNyalla mempertanyakan kemampuan seorang Capres untuk menghentikan impor garam, gula, dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendesain Capres itu bagian dari penikmat uang rente dari keuntungan Impor. Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar bila Oligarki Ekonomi yang membiayai Capres tersebut adalah penikmat konsesi lahan atas sumber daya alam hutan dan tambang? Seorang Capres juga tidak akan mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, jika Oligarki Ekonomi adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut. Bila LaNyalla berpendapat bahwa Presidential Threshold 20% adalah akar masalah ketidakadilan dalam Pemilihan Presiden, menurut hemat saya, akar dari akar masalah tersebut adalah Amandemen UUD 1945 yang menetapkan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Padahal Sila ke-4 Pancasila mengamanatkan Pemilihan Presiden melalui perwakilan. Pilpres pasca amandemen menganut prinsip demokrasi liberal, memberikan hak suara pada setiap warga negara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya. Para aktivis demokrasi mengancam, bilamana tututan pembatalan PT 20% itu ditolak oleh MK, mereka menuntut agar MK dibubarkan, dan untuk itu pula mereka akan mengorganisasi gerakan People Power. Jika hal itu benar-benar terealisasi, maka boleh jadi Presidential Threshold 20% tetap ada, tapi tanpa Pilpres 2024! (*)

Mengapa Tidak Berempati Pada 6 Ayah yang Putranya Dibunuh dan Disiksa

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan KINI meski masih berduka, Ridwan Kamil sudah mulai \"ngabodor\" yang membuat nitizen bingung antara harus tertawa atau sedih. Bodoran seperti lokasi makam Cimaung disebut Tigerwater, salah tulis Bern menjadi Berlin dikoreksi Bekasi, petazi\'ah yang menyatakan mohon maaf lahir bathin dikomentari dikira halal bihalal, serta netizen yang khawatir trauma, jawabannya tidak phobia kecuali bayar hutang.  Ada nuansa empati berlebihan dalam peristiwa musibah tenggelamnya Emmeril Kahn Mumtadz putera Gubernur Ridwan Kamil.  Kita tentu berduka dan simpati pada orang tua yang kehilangan putera tercintanya. Apalagi tenggelam saat berenang. Semoga Eril kembali dengan bahagia dan kedua orang tua sabar menerimanya. Tentu hal ini menjadi ujian berat bagi keluarga.  Tetapi fenomenanya menjadi sedikit terganggu, terutama pada saat penyambutan \"semarak\" yang berlangsung hingga pemakaman. Pengerahan anak-anak sekolah menjadi di luar kelaziman. Apalagi tersiar berita bahwa pengerahan tersebut bersumber atas surat resmi instansi atau dinas.  Tanpa harus menyinggung pertanyaan akan prestasi dan kontribusi Eril bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara nyatanya prosesi itu dinilai berlebihan. Netizen yang banyak bersimpati sudahlah pasti, sementara yang mengkritisi juga ada. Hal yang biasa untuk penilaian baik atau buruk.   Ibrah atau pelajaran kesedihan dan rasa sayang orang tua pada putera yang meninggal karena musibah juga berlaku sama pada orang tua enam putera yang meninggal dibunuh dan disiksa aparat. Enam anggota laskar FPI yang tanpa dosa telah dihabisi. Sangat tragis. Orang tua itu merasakan lebih sakit lagi karena si pembunuh dan penyiksanya ternyata dilepaskan oleh Hakim Pengadilan di negara Pancasila.  Adakah simpati atau empati kita sama seperti meninggalnya Eril putera Gubernur Ridwan Kamil yang meninggal tenggelam saat rekreasi berenang  ? Tentu tidak ! Karena orang tua keenam putera yang dibunuh dan disiksa itu bukan pejabat yang terkenal. Mereka orang biasa yang tidak punya kekuasaan dan kekayaan. Orang tua yang hanya mampu sekedar memberi makan anak-anaknya. Untuk menyekolahkan pun sudah teramat berat.  Adakah karangan bunga atau ucapan duka cita di media satu halaman ? Adakah penyambutan yang dikerahkan di sepanjang jalan  ? Jika Eril diberi predikat syahid, adakah keenam putera yang meninggal itu berpredikat biasa-biasa saja  ? Padahal mereka itu sedang mengawal gurunya, membela dengan nyawa atas ulama yang dihormati, mereka menjadi martir agar guru, pemimpin, ulama yang dijaganya dapat lolos dari pengejaran dan upaya pembunuhan oleh orang tidak dikenal ?  Alangkah indahnya setelah merasakan betapa beratnya hati ditinggal putera tercinta, Bapak Gubernur Ridwan Kamil tiba-tiba datang bersimpati kepada enam ayah yang puteranya meninggal karena ditembak oleh aparat dahulu. Bukanlah menunjukkan empati itu adalah sikap yang membahagiakan?  Keenam putera itu sedang berjuang di jalan Allah lalu dibunuh dan disiksa dengan keji. Di negeri sendiri bukan di luar negeri. Sayang minim empati. Difitnah membawa senjata dan melawan petugas, bahkan awalnya didisain untuk menjadi tersangka.  Kita perlu belajar jujur, apa adanya, jauh dari sekedar membangun pencitraan. Siapapun menyadari bahwa anak adalah titipan Allah yang dapat diminta kembali titipannya itu. Begitu juga dengan titipan lain seperti kekayaan atau kekuasaan. Tidak ada guna habis-habisan untuk menumpuk kekayaan dan tidak ada gunanya pula berambisi untuk memperbesar kekuasaan. Semua itu tidak akan abadi, kelak akan diambil kembali. Mungkin tiba-tiba.  Kita belasungkawa atas meninggalnya Eril putera Ridwan Kamil, kita pun harus berempati dan berbelasungkawa pula pada keluarga keenam syuhada yang dibunuh dan disiksa sadis dalam kasus KM 50. Jangan ada perlakuan diskriminasi dan penyikapan berlebihan terhadap peristiwa musibah seperti ini.  Khawatir ditegur Allah nantinya.  Bandung, 23 Juni 2022

Wajah Politisi Dadu Sintir

Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih ARTI kata dadu sintir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dadu pusing. Bawah permukaan dadu diberi tangkai untuk memutar (sintir). Kalau dadu sudah beputar di atas piring, baru ditutup tempurung. Itulah gambaran partai sekarang ini. Dengan kata lain, partai-partai harus terus-menerus berputar tetapi tetap dalam tempurung yang dimainkan oleh bandar  Politik Oligarki. Bandar politik oligarki memang canggih dan licik. Hampir semua partai dipaksa harus masuk dan mau bermain dadu Politik Sintir. Pertarungan yang seolah-olah heroik berpacu taktis dan strategi untuk meraih kemenangan pada Pilpres 2024, sibuk luar biasa beradu cerdas membuat koalisi, membidik dan menjaring capres. Mereka sadar bahwa dalam politik ada dalam pertaruhan menang atau kalah. Menang berarti untung, kalah berarti buntung, atau menang berarti kondang dan kalah harus menanggung wirang. Tetapi mereka tidak sadar semua seperti bebek lumpuh dalam kendali remot Bandar Oligarki. Wajah perpolitikan di Indonesia, sangat buram bahkan hitam pekat - tidak seindah layaknya partai harus berjuang memenangkan Pilpres dengan kesatria dalam alam demokrasi yang wajar. Hampir semua partai terperangkap permainan politik dadu Bandar Politik.   Dengan kekuatan finansialnya, Bandar Politik bisa mengatur resonansi, gerakan, dan oskestrasi hampir semua partai. Juga, digendam harus mengikuti remot mereka, berjoged ria gaya Budak Oligarki. Dengan penuh percaya diri, pasang dasi merah, hijau kuning di dadanya, seraya masih membela diri inilah gaya politik reformasi. Di samping terperangkap finansial dari Oligarki, sebagian partai gurem buka lapak menawarkan sewa partainya kepada para Capres dengan harga Rp 1 triliun, belum termasuk biaya operasional. Saat pilpres berlangsung mereka semua berada di belakang layar tidur semua. Dalam kondisi kesurupan partai dan para politisi membentuk koalisi dan capres kesana-kemari tanpa akal sehat, itu ciri politisi amatiran tak punya disiplin berpikir. Sesungguhnya politisi dituntut disiplin, memahami perilaku politik dan mutlak harus memiliki kepekaan memahami sinyalnya dengan akurasi tinggi. Kalau tidak, berarti cuma muter-muter macam dadu sintir. Dalam kajian komunikasi politik dikatakan, \"Inti pesan komunikasi sering berada pada pernyataan yang tidak diungkapkan\". Tipu sana-sini sesuai nafsu politik hitamnya, menyihir masyarakat agar bisa menjadi pengikutnya. Rakyat dibuat ribet dengan tingkah laku politisi. Seolah merasa hebat tak ubahnya wajah partai dan para politisi di negeri ini seperti pelaku dadu sintir yang sedang dikendalikan oleh para bandar politik. Benar yang dikatakan Bung Hersubeno Arief, wartawan senior FNN bahwa: \"Rakyat pemilih hanya menjadi justifikasi. Siapa yang menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan semua jabatan publik lainnya sudah mereka ditentukan\". \"Mereka lah para oligarki yang menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini. Para politisi, pejabat negara mulai pusat sampai daerah, sesungguhnya  hanya sebaga jongos dibayar murah oleh oligarki\". (*)

Saya Belum Pernah Lihat Mega Semurka Itu

Dulu, Mega  pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang  kawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan.  Catatan Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat  SAYA belun pernah  melihat Megawati semurka itu. Kasihan!  Padahal, di usia lanjut, 75 tahun (lahir 23 Januari 1947) harusnya Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P). Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmat Allah.  Mega sudah mengantar partainya menang Pemilu  dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survei  tetap  menempatkan PDI-P pada posisi tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK.  Hasil survei Litbang Kompas teranyar yang baru kemarin diumumkan, bukan hanya masih  di puncak, tetapi PDIP mengalami kenaikan persentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah.  Kurang apa lagi? Gelar doktor dan professor kehormatan pun sudah diraih.  Coba lihat video pendek yang (dengan sengaja diedarkan) merekam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Selasa 21 Junk 2022, pas ayahanda Kaesang dan Gibran itu berulangtahun ke 61. Video itu kini viral. Semakin menyempurnakan berkah kenikmatan yang diperoleh Megawati di usia tigaperempat abad.  Mega menerima Jokowi di ruang kerjanya. Meja kerja Mega membatasi keduanya dengan posisi presiden menghadap di depannya. Tidak beda dengan posisi Ratu Inggris ketika menerima perdana menterinya menghadap, seperti biasa kita tonton di film.  Lihat juga Puan Maharani. Kita bisa komen, enak benar hidup Puan. Dia tampak leluasa membuat video selfie yang merekam pertemuan ibunya dengan Presiden Jokowi tanpa pengawalan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden).  Puan sangat istimewa dalam peristiwa istimewa itu.  Puan seperti cucu kita yang tetiba  datang bermain mobil-mobilan remote control di ruangan saat kita berbincang serius dengan tamu. Siapa kira- kira yang berani menegur cucu seperti itu? \" Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)? \" Demikian Allah berfirman dalam surat Ar Rahman yang diulang sampai 31 kali. Ekspresi Marah Dengan setting pertemuan yang divideokan itu, wajar kita terkejut menyaksikan Megawati sesudahnya, di hari yang sama, saat  berpidato  di dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P.  Ia seperti banteng terluka mengancam menyeruduk siapa saja yang dinilai mengganggu dan merintanginya.  Dalam potongan pidatonya yang beredar luas, Megawati menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. Video itu  fokus mengambarkan kemurkaannya. Tidak jelas siapa yang mengedarkan video yang berpotensi jadi bumerang itu.  \"Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati! Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,\" kata  Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama, tetapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju., \"Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out !,\" sambungnya dalam tone sama lantangnya.  Kontras dengan kenyamanan yang ditampakkan Mega ketika menerima Jokowi. Di ruangan itu, ia dikelilingi elit  lingkar dalam Teuku Umar, antara lain Pramono Anung, Prananda dan Puan (lagi selfie ), Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan (Kepala Badan Intelijen Nasional/KaBIN). Menyindir wartawan Saya baru pertama kali melihat Mega semurka itu di depan publik. Yang sering saya saksikan, sebatas hanya sindiran ke berbagai pihak. Tidak  terkecuali kepada wartawan atau pers.  Dulu, Mega  pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang  kawan wartawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan. Puluhan tahun lalu, saya  pernah ngobrol dengan Sukmawati, adik Megawati, di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Mega yang sebenarnya pendiam.  “Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau  memimpin partai,” kata Sukma.  Waktu itu Megawati belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Tetapi sudah terjud ke dunia politik, walau elum lama.  Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin berulangkali saya putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak.  Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal.  Pilpres 2024 merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari trah Soekarno.  Benar,  PDI-P telah berhasil mengantarkan  kader PDI-P  yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P inginkan. Jokowi  bukan pendiri partai tersebut dan bukan trah Soekarno.  Mega  sudah merasakan kesulitan \"mengendalikan\" kader yang bukan trah Soekarno yang menjadi Presiden RI.  Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi  dia kerap berbuat \"seperti anak nakal\" tidak menurut  Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Banyak persoalan lagi.  Sejak reformasi,  baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. \"Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam,\" ujar Asep. Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion , yang berarti tanda.  Ilmu yang  mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18).  Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata tetapi, tidak bisa dengan ekspresi wajah. Alasannya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin Anda kontrol sebelumnya. Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda jika diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula.  Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam.  Sayang sekali. Mega mungkin lebih tepat me- replay kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo justru akan bisa mengantarkannya  ke istana dan mendudukkannya di kursi presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.  Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu \"banyak muka\" dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang  tidak mendapat keadilan.

Efek Puan dan Ganjar, Adu Kuat Megawati vs Jokowi

Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN BEREDAR narasi di medsos seperti berikut ketika berlangsungnya Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2022. “Kok melas banget yaaa? Malah dia yg hrs menghadap. Emaaaak. Udah menghadap kursinya yg diduduki gak layak untuk seorang kepala negara. Emaaaknya duduk di kursi lebih waaah. Dan menghadap meja besarnya”.  “Bentuk lain dari keangkuhan dan kebodohan? Kok bisa perlakukan Presiden, spt staf koorlap sedang menghadap manajer”. Dalam video berdurasi 7 menit yang sudah ditonton 31,2 ribu tayangan itu, tampak sekali Presiden Joko Widodo menghadap Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Tampak pula Ketua DPR RI Puan Maharani disaksikan kakaknya, Prananda Prabowo, sedang mengambil gambar saat Presiden Jokowi menghadap Mega. Dalam narasi yang beredar, video ini diambil sebelum pembukaan Rakernas PDIP tersebut.    Entah petuah apa yang disampaikan kepada Jokowi, sayangnya nyaris tidak terdengar suaranya. Namun, jika melihat posisi tempat duduknya, layaknya seorang anak buah yang sedang menghadap The Godfather seperti dalam film mafioso. Jokowi tampak gelisah seakan sedang dimarahi Megawati. Sikap Megawati itu baru diketahui ketika Mega menyampaikan pidatonya. Ia bicara keras kepada kader PDIP yang dinilai “menyimpang” dari kebijakan partai. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Tidak salah, peringatan keras itu jelas ditujukan kepada Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Apalagi, belakangan ini Ganjar memang sibuk bermanuver untuk membangun citranya untuk kepentingan Pilpres 2024 mendatang. Ganjar telah melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Teguran keras Megawati itu tampaknya juga ditujukan kepada Jokowi yang dinilainya bermain di “dua-tiga kaki” dan ikut bermanuver untuk muluskan Ganjar jika manuver tiga periode dan perpanjang masa jabatan presiden itu ternyata gagal total. Untuk mengantisipasi semua, maka Jokowi bersama Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai orang kepercayaannya, menyiapkan Ganjar sebagai “sekoci” Jokowi. Mereka menyiapkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP. Di sisi lainnya pula, Partai NasDem ternyata memasukkan nama Ganjar yang menjadi salah satu dari tiga nama yang bakal diajukan NasDem sebagai calon presiden 2024. Nama Ganjar muncul bersama Gubernur DKI Anies Baswedan dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Mungkin inilah yang dimaksud main di “tiga-kaki” itu. Jurnalis Senior Asyari Usman menggambarkan ceramah pembukaan Rakernas oleh Megawati itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Sekoci darurat ini disiapkan Jokowi untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap Gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bahwa Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Teguran keras Megawati ini masih patut dipertanyakan. Apakah benar ini untuk partai atau pribadi terkait dengan keinginan putrinya, Puan Maharani, yang juga mengincar tiket Capres PDIP itu. Manuver Ganjar ini pula yang menyebabkan perpecahan Banteng dan Celang di Jawa Tengah. Banteng mendukung Puan. Sedangkan Celeng menyokong Ganjar. Untuk meredakan amarah Megawati sebenarnya tidak terlalu sulit. Coba ikuti saran saya. Satukan dua kekuatan PDIP ini: Puan dan Ganjar. Apalagi, PDIP sendiri, jika mengikuti aturan Presidential Threshold 20%, toh bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri tanpa “kerjasama” dengan partai lainnya. Dan, sebagai “petugas partai”, sebaiknya Ganjar mengalah dulu, dia Cawapres dan Puan sebagai Capresnya. Ganjar baru boleh nyapres setelah dua periode Puan jabat presiden. Jadi, Ganjar bisa maju Capres pada Pilpres 2034 nanti. Maka, pada saat itu, tidak akan ada lagi penghalang bagi Ganjar untuk maju Pilpres, karena toh Puan – atas nama Undang-Undang – jabatan Presiden itu dibatasi 2 periode saja. Jadi, Ganjar akan mulus menuju Kursi Presiden. Kalau Puan dan Ganjar bersatu, peluang untuk menang Pilpres 2024 sangat besar. Dan, sebaiknya PDIP segera mendeklarasikan Puan Maharani – Ganjar Pranowo sebagai paslon Presiden dan Wakil Presiden 2024. Ini agar Ganjar tak “dibajak” oleh NasDem yang sudah memasukkan namanya sebagai salah satu Capres juga berpeluang diusung NasDem pada Pilpres 2024 sebagai Capres. Terkait Ganjar, Asyari Usman menulis, Megawati tidak akan sampai hati jika memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Tidak Pantas Perlakuan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang seolah sedang mengadili Jokowi di dalam “ruang rektor” yang videonya tersebar luas itu, sangat “tidak pantas”. Jabatan Presiden itu tidak identik dengan Jokowi. Sekalipun saat ini kursi itu sedang di tempati oleh “petugas” partai bernama Jokowi, toh faktanya, Jokowi itu adalah Presiden Republik Indonesia yang sah secara hukum. Sejak dilantik MPR, Jokowi itu presiden Rakyat Indonesia. Mungkin ada rasa tidak suka, bahkan benci kepada Jokowi. Tapi, seharusnya Megawati tidak memperlakukan Jokowi seperti layaknya seorang anak buah mafioso yang sedang “diadili” oleh The Godfather PDIP. Sebagai rakyat yang menyaksikan perlakuan atas Presiden Jokowi, tentunya tidak salah kalau kita marah, kecuali kita memang sudah menganggap bahwa kita sudah tidak punya presiden lagi. Artinya, keberadaan Jokowi sudah kita anggap, tidak ada! Ketika menerima Jokowi, seharusnya Megawati menemuinya di sofa yang ada di ruang tamu sehingga posisi duduknya bisa melingkar dan tampak santai. Saat itulah Megawati bisa memberikan petuah jika ada perilaku Jokowi yang dinilainya “salah langkah”. Sebagai sesepuh PDIP, tugas Megawati itu menasehati dan mengayomi semua “petugas” partai. Kalau dia sakit, Megawati harus mengobati. Jabatan Presiden menempati tempat tersendiri. Jabatan presiden silih berganti. Ketika Presiden sedang lupa diri, jangan hanya ditertawai, meskipun terlihat kerjanya hanya menyakiti rakyat dengan beragam kebijakannya. Lepas kendali konstitusi, melepas kebijakan halusinasi yang penuh hanya fantasi. Sehingga, semua larut hanya ikut berimajinasi. Jangan perlakukan nista saat masih ditugasi sebagai Presiden. Jangan merasa tersaingi. Jabatan Presiden harus tetap dihormati. Jangan saling mengunci dan melucutinya. Apalagi dengan rasa iri dan dengki. Jokowi harus tetap didampingi. Sebagai Ketum PDIP, Megawati seharusnya bisa menasehati, saling melengkapi. Bukan apriori, seolah merasa membawahi Jokowi. Melihat kejadian itu semua merasa ngeri. Terkesan Presiden sedang diadili oleh Ketum Parpol. Mawas dirilah dan hormati, jabatan Presiden itu milik negeri. Bukan milik Partai! (*)

Megawati Hajar Jokowi dan Ganjar, Mungkinkah Mereka Diam Saja?

Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bicara keras. Tidak tanggung-tanggung, Bu Mega menyindir dan mempermalukan Presiden Joko Widodo, juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di depan Rakernas PDIP yang berlangsung di sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, 21 Juni 2022. Mega menceramahi, tepatnya memarahi, Jokowi dan Ganjar. Megawati menghajar kedua “petugas partai” itu terkait dua hal. Pertama, langkah Jokowi menyiapkan kendaraan pilpres untuk Ganjar. Kedua, soal “prime minister” (perdana menteri) Jokowi – dalam hal ini Luhut Binsar Panjaitan. Harus diakui, Bu Mega cukup piawai. Beliau menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi yang telah kenyang dengan pengalaman. Ceramah pembukaan Rakernas itu membuat Jokowi seperti seorang mahasiswa yang sedang berhadapan dengan seorang ‘dosen killer’ yang karismatik. Kita lihat substansi yang pertama, yaitu langkah Jokowi menyiapkan sekoci darurat untuk Ganjar pada pilpres 2024. Sekoci darurat ini disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak memberikan tiket kepada Ganjar. Megawati telah menganggap gubernur Jawa Tengah ini terlalu maju dalam mengkampanyekan dirinya untuk jabatan presiden. Di sini, Megawati mengeluarkan peringatan keras. Bu Ketum menekankan kembali hak pribadinya di PDIP untuk menentukan capres Banteng. Beliau memperingatkan Jokowi dan Ganjar agar tidak melakukan politik dua-kaki, tiga-kaki, dst. Dia mengancam akan memecat mereka dari PDIP. “Kalian…siapa yang mau berbuat manuver, keluar! Karena apa? Tidak ada di dalam PDI Perjuangan itu yang namanya main dua-kaki, main tiga-kaki, dan melakukan manuver,” kata Megawati dalam nada tinggi. “Ingat, lho. Lebih baik keluar, deh. Daripada saya pecati lho kamu,” tegas Megawati. Peringtan keras ini jelas tertuju kepada Ganjar. Sejak setahun ini, dia sibuk bermanuver untuk membangun jalan menuju pilpres. Ganjar melakukan pencitraan di mana-mana, terutama di Jawa Tengah. Sedangkan Jokowi –melalui orang kepercayaannya, Luhut Binsar Panjaitan – menyiapkan koalisi beberapa partai politik, yaitu Golkar, PAN, dan PPP. Melalui sejumlah kader PDIP, Megawati memperingatkan agar Jokowi tidak mengusahakan tiga periode atau penundaan pilpres. Masinton Pasaribu, misalnya, langsung menggempur Luhut soal ini. Sedangkan Puan Maharani menyindir Ganjar yang tidak berbuat apa-apa untuk Jawa Tengah. Substansi kedua adalah soal peranan Luhut di pemerintahan. Bu Mega memang tidak menyebutkan secara langsung kekuasaan besar Luhut di kabinet Jokowi. Tetapi, dia mengatakan bahwa pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial. Bukan sistem parlementer. Bu Mega agak kesulitan ketika menggunakan analogi sistem parlementer ini untuk menyindir Luhut. Tetapi, sangat jelas bisa dipahami bahwa Bu Ketua Umum menegur keras Jokowi karena menyerahkan begitu banyak tugas kepada Menko Marinves (Kemaritiman dan Investasi) itu. Bahkan, banyak kekuasaan yang berada di luar lingkup dan keahliannya juga diserahkan kepada Luhut. Dengan peringatan keras dan sindiran tajam tentang penyiapan Ganjar sebagai capres, apakah Jokowi akan diam saja? Dan, apakah Ganjar tidak takut dipecat kalau terus sibuk dengan pilpres? Terkait Jokowi, yang perlu diingat bahwa dia sebetulnya lebih merasa dirinya sebagai “kader oligarki” ketimbang sebagai kader PDIP. Artinya, Jokowi tidak akan berhenti menyiapkan Ganjar untuk pilpres 2024 sampai dia pasti masuk ke Istana. Jokowi sekarang merasa sudah sangat kuat. Bagi dia, peringatan keras Bu Mega itu bisa dijinakkan melalui diskusi-diskusi tertutup tentang sistem moneter, sistem barter, investasi politik, tentang ‘how to make money from power’, atau diskusi mengenai operasi penggantian “kelamin politik” menjadi “kelamin uang”. Berbagai diskusi ini pasti akan menarik minat Bu Mega. Sebab, belakangan ini beliau rajin menimba ilmu pengetahuan. Jokowi bisa menyediakan para ahli di bidang-bidang itu untuk berdiskusi tertutup dengan Bu Ketum. Terkait Ganjar, Bu Mega tidak akan sampai hati memecat dia. Jadi, itu hanya sebatas gertakan saja. Terutama kalau Ganjar bisa menyelesaikan kuliahnya di Universitas Oligarki dan mendapatkan nilai bagus dan hadiah besar dari para dosen Oligarki. Jadi, tak diragukan lagi bahwa Jokowi akan jalan terus untuk menyiapkan Ganjar; dan Ganjar akan berkampanye semakin gencar. Medan, 22 Juni 2022. (*)