OPINI

Anies Baswedan Presiden

Keadaan rakyat yang sudah mulai paham bahwa oligarki harus dilawan oleh rakyat, maka oligarki mungkin akan bermain sangat hati-hati dengan tetap mengandalkan tawaran lobinya melalui kekuatan finansialnya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TIDAK perlu dengan cara yang terlalu rumit, sampai saat ini peta pergerakan partai politik yang akan mengusung Capres mendatang sudah bisa ditebak, bahkan sudah bisa dibaca dengan mudah. Formasi yang sering disebut koalisi sepertinya masih bergerak, tetapi ruang geraknya sudah mulai terbatas. Sejalan dengan reaksi masyarakat yang juga sudah bisa dibaca arah pilihannya pada Pilpres 2024 mendatang. Koalisi Indonesia Bersatu ( KIB ) hampir tidak mungkin akan menentukan Capres dari masing anggota koalisinya. Kalau itu terjadi pasti akan pecah. Sejak awal koalisi ini sudah menandai diri sebagai “koalisi kosong”. Presiden Joko Widodo yang diisukan mengendalikan KIB itu omong kosong. Jokowi hanya ingin Presiden mendatang bisa melindungi dirinya. Diplomasi yang dimainkan tanpa pijakan dan arah yang jelas. Selain itu, masih adanya keinginan perpanjangan masa jabatannya (atas desakan Oligarki) pasti akan kandas di jalan. KIB dengan proses politik saling menghargai dan tidak boleh mencoreng muka partai di luar koalisinya, apapun strategi yang akan dilakukan akhirnya akan menyatu dengan kekuatan partai lainnya. Terdekat, itu akan menyatu dengan Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan PKS. Logika bargaining politiknya sederhana, tidak perlu ada yang jadi Capres dari partainya tetapi bagi-bagi formasi kabinet (apabila bisa memenangkan Capres pada Pilpres 2024), akan mengikat diantara mereka. Sekalipun belum memformalkan menyebutkan diri sebagai koalisi tetapi Partai Nasdem, Demokrat dan PKS adalah gabungan kekuatan partai yang sejak awal sudah solid. Hanya masing-masing Ketua Umumnya bersepakat untuk tidak buru-buru menyebutkan dirinya koalisi. Adalah cara mudah untuk melihat gerak partai di luar dirinya tetapi komitmen akan mencalonkan Anies Baswedan tidak tergoyahkan. Kekuatan tersebut sangat dirasakan oleh partai lainnya dan dengan santun ia  mendekatkan dirinya untuk saling menjaga kehormatan masing-masing partai partai. Sinyal KIB akan bersatu dengan Demokrat, PKS dan Nasdem itu sangat besar peluangnya akan terjadi. Formasi ini akan menarik Anies Baswedan sebagai Capres yang akan diusung. Akan lebih dahsyat kalau pada detik-detik terakhir apabila PDIP diberikan kehormatan pemimpin kekuatan partai untuk Puan Maharani dapat tempat terhormat sebagai Cawapresnya Anies Baswedan, maka akan ada pasangan Anies dan Puan akan muncul ke permukaan. Apabila PDIP ingin menempatkan Puan tetap sebagai Capres, maka ini sangat beresiko PDIP akan maju tanpa berpartner dengan partai lainnya. Sehingga, akan muncul dua Capres, sudah bisa ditebak. Peluang menarik partai lain masih sangat mungkin untuk pasangan sebagai Cawapres Puan. Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sejak lama dalam kesulitan maka mencoba berkoalisi dengan PKB. Pengamat politik banyak membaca PKB partai paling sulit diajak untuk berkoalisi karena konsistensi politiknya sangat sulit dipegang. Dapat dipastikan akan muncul tiga Capres. PS sangat merasakan formasi pasangan dengan Cawapres Muhaimin Iskandar itu sangat beresiko. Maka muncul alternatif akan berpasangan dengan Ganjar Pranowo. PKB harus ditenangkan dengan cara partainya bisa dibeli sesuai harga kesepakatan. Kalau memang Pemilu tetap akan terjadi pada tahun 2024 maka akan ada alternatif Capres: Anies Baswedan, Puan Maharani, dan Prabowo Subianto. Atau hanya akan muncul: Anies Baswedan melawan Prabowo Subianto. Oligarki pasti sudah membaca ini. Sinyal puja-puji PS kepada Jokowi selama ini tak lebih hanya ingin menenangkan Oligargi, untuk bisa bergabung dengan dirinya. Kalau akhirnya Anies Baswedan harus berpasangan dengan Puan Maharani, Oligarki akan lebih leluasa melakukan “kordinasi” dengan Puan Maharani. Keadaan rakyat yang sudah mulai paham bahwa oligarki harus dilawan oleh rakyat, maka oligarki mungkin akan bermain sangat hati-hati dengan tetap mengandalkan tawaran lobinya melalui kekuatan finansialnya. Dan, oligarki sendiri sudah mencium akan terjadinya perubahan politik Anies Baswedan akan memenangkan pertarungan Pilpres 2024. Hanya dengan adanya keajaiban apabila PS bisa berpasangan dengan Puan peluang menang masih ada. Lepas berpasangan dengan Puan dipastikan akan kalah dan terpental pada Pilpres 2024. Tokoh Nasional lainnya yang terpaksa tak bisa maju Capres karena terkendala Presidential Threshold (PT) 20 %, perjuangan yang terlihat dan terbukti tulus demi rakyat dan negara, tetap akan menempati posisi penting dalam Kabinet mendatang. Jokowi seawal mungkin harus bermain politik jangan asal cuap-cuap. Salah pilihan adalah ancaman buat durinya. Apabila Tuhan menghendaki Oligarki akan tersungkur pada Pilpres 2024. (*)

Jangan Ragu Copot Fadil Imran

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Irjen Pol Fadil Imran jelas harus bertanggung jawab dalam kasus Ferdy Sambo karena di samping beberapa perwira Metro Jaya terlibat juga memberi simpati di luar kewajaran yang ditampilkan secara emosional. Mudah diduga Kapolda mengetahui kasus sebenarnya. Sambo tidak mungkin mengadu pada Fadil Imran dengan cerita karangan. Pelukan berbicara banyak.  Jika Irjen Ferdy Sambo Kadiv Propam dicopot bahkan kemudian berstatus tersangka demikian juga dengan Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan dicopot pula, maka Irjen Fadil Imran seharusnya segera dicopot bahkan mungkin segera ditetapkan status tersangka pula karena diduga turut bertanggung jawab dalam \"obstruction of justice\" khususnya perekayasaan cerita dan alat bukti.  Dalam kasus Km 50 cerita bohong atau rekayasa  juga dikemukan oleh Kapolda Irjen  Fadil Imran yang tampil pada 7 Desember 2020 bersama Brigjen Hendra Kurniawan, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurahman dan Kabid Humas Polda Metro Kombes Yusri Yunus. Ada cerita tembak menembak, alat bukti  2 pistol, samurai dan celurit yang semuanya diragukan. Fakta di persidangan versi PN Jakarta Timur yang terjadi adalah para korban ditembak dalam posisi \"tahanan\". Irjen Fadil Imran harus bertanggungjawab mengingat lima personal Pamen Polda Metro Jaya terlibat dan ditahan. Mereka adalah AKBP Jerry Siagian, AKBP Handik Zusen, AKBP Raindra Ramadhan Syah, AKBP Pujiyarto, dan Kompol Abdul Rahim. Jerry Siagian ditahan di Mako Brimob sedang empat lainnya di Biro Provost Polda Metro. Mungkinkah keempatnya berjalan sendiri atau atas sepengetahuan dan arahan Kapolda Metro Irjen Fadil Imran  ?  Para Pamen di depan Itsus pemeriksa mengakui perbuatannya dan hal itu dilakukan atas dasar perintah atasan. Irjen Fadil Imran sendiri telah melaporkan kejadian Duren Tiga itu kepada Kapolri dengan narasi tembak menembak dan lainnya. Yang kemudian terbukti narasi itu merupakan rekayasa. Kapolri yang merasa \"tertipu\" dengan laporan Kapolda tentu harus segera mencopot Irjen Fadil Imran.  Presiden Jokowi meminta berulang-ulang peristiwa ini harus dibuka dengan seterang-terangnya dan apa adanya. Nah bagi mereka yang membuat tidak terang atau mengada-ada tentu harus mendapat sanksi tegas. Mulai dari pencopotan jabatan, lalu penahanan dan ujungnya proses hukum yang berjalan dalam status sebagai tersangka.  Di media tersiar grafik skema jaringan perjudian yang melibatkan kepolisian di bawah koordinasi Irjen Ferdy Sambo. Skema berjudul \"Kaisar Sambo dan Konsorsium 303\" ternyata menggambarkan hubungan antara AKBP Jerry Siagian dengan atasannya Irjen Fadil Imran dan hubungan Irjen Fadil Imran dengan Irjen Ferdy Sambo. Maknanya bahwa hubungan antara Fadil Imran dengan Ferdy Sambo ternyata bukan saja bersifat emosional tetapi juga fungsional.  Ruang gelap di lingkungan Fadil Imran harus dibuat terang agar terlihat siapa-siapa para pemain yang merusak institusi ini. Di Kepolisian masih banyak orang baik, tetapi di rusak oleh oknum-oknum berperilaku buruk. Selamatkan orang baik dengan menindak orang buruk.  Copot Fadil Imran, Pak Kapolri. Pembenahan yang diawali dengan langkah penertiban sudah sangat benar. Publik mendukung untuk tetap menjaga Polisi baik (good cops) dari konspirasi dan polusi para Polisi buruk (bad cops).  Bandung, 19 Agustus 2022

Kehilangan

Ketika itu pula kehidupan di negeri ini jauh dari kasih sayang. Ketika itu pula semua anak bangsa merasa terbuang dan meradang. Ketika itu pula akhirnya kemerdekaan dan kedaulatan republik hanya sekedar bayang-bayang. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI SENANDUNG lagu bertajuk kehilangan dari Rhoma Irama, terasa kental dalam suasana kekinian. Kalau sudah tiada baru terasa, kehadirannya itu sungguh berharga. Dalam konteks kehidupan kebangsaan, rakyat Indonesia baru bisa merasakan pentingnya arti kemerdekaan ini, setelah merasakan kembali penjajahan, yang mirisnya dilakukan oleh bangsanya sendiri. Setelah 77 tahun merdeka, nyatanya bangsa Indonesia tak pernah merasakan kehidupan yang bebas bahkan untuk 5 tahun saja. Akumulasi penjajahan sepanjang tahun itu karena 5 tahun ada pemilihan anggota DPR, 5 tahun pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan 5 tahun pemilihan presiden beserta bonus para menteri dan pejabat lainnya. Lima tahun dalam satu periode yang menyesakkan dada rakyat ini, semakin bertambah buruk saat semua abdi negara itu minta penambahan periode. Ada yang ngotot berjibaku untuk 3 periode, 5 periode hingga perpanjangan jabatan seumur hidup, meski prestasinya hanya berupa kedzoliman terhadap rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Lima tahun yang simultan mengarah menjadi abad penjajahan Indonesia. Meski 77 tahun bebas dari penjajahan, selama itu pula penghianatan terhadap cita-cita proklamasi terus berlangsung. Perjuangan para pendiri bangsa dan pengorbanan para pahlawan seakan tiada arti, tak ada tanggungjawab moral, bahkan sekedar untuk meneruskan amanatnya. Rakyat seperti keluar dari mulut Harimau, kemudian masuk ke dalam mulut buaya. Lepas dari penjajahan bangsa asing, kemudian hidup dalam suasana penjajahan bangsanya sendiri. Jadi, pada hakekatnya, rakyat dan negara bangsa Indonesia telah kehilangan kemerdekaan yang diraihnya dengan membutuhkan pengorbanan tinggi dan terseok-seok. Negara sepertinya bisa dipahami menjadi wadah konspirasi dari segelintir bangsa sendiri yang hipokrit dan geragas serta bangsa asing yang eksploitatif dan ekspansif. Kolonialisme dan imperialisme modern itu, kini berwajah oligarki, politisi dan sistem birokrasi serta aparatur pemerintahan yang keji pada rakyat sendiri. Demi memenuhi syahwat kekuasaan dan kenikmatan dunia, para pemangku kepentingan publik berwatak kapitalis dan komunis yang terbiasa membunuh kemakmuran dan keadilan. Bukan hanya perampasan dan perampokan, penganiaan dan penyiksaan serta tak segan menghilangkan nyawa rakyat. Petinggi negara tak ubahnya menjadi penjahat dan para bajingan yang menjadi momok dan ancaman bagi siapapun. Jangankan kepada rakyat, kepada sesama koleganya sendiri para penguasa itu dapat bertindak brutal dan sadis. Insitusi negara tak ubahnya menjadi tempat berkumpulnya para penjahat berdasi yang berlindung di balik konstitusi. Rakyat tetap saja kehilangan kemerdekaan dan kedaulatannya. Semua pikiran, ucapan dan tindakan para pejabat yang tak layak disebut pemimpin itu, dipenuhi kebohongan yang disusul dengan pelbagai kejahatan institusional. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI tak lebih dari sekedar basa-basi. Negara semakin pasti mewujud organisasi kejahatan. Hanya ada praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta genosida pada kemanusiaan. Distorsi penyelenggaraan negara begitu terorganisir, terstruktur dan sistematik. Perilaku menyimpang dan cenderung psikopat menghiasi wajah kekuasaan di negeri ini. Elit politik telah lama menjadi mesin pembunuh yang begitu masif, efisien dan efektif membantai rakyatnya sendiri. Memeras keringat, mengucurkan darah, dan menghilangkan nyawa orang-orang pinggiran dan kaum lemah. Pejabat terbiasa menikmati pesta pora, makan minum dan bejoget penuh kesenangan di atas penderitaan rakyat. Mereka para mandataris rakyat menjadi serba boleh menyeru kebaikan seraya melakukan kejahatan. Tinggal rakyat saja, tetap sengsara meratapi nasibnya sambil berusaha menyadari sejatinya tetap hidup terjajah. 77 tahun usia kemerdekaan Indonesia, coba kita tanyakan pada rakyat, telah benar-benar menikmati atau kehilangan rasa itu? Sebuah kehilangan yang maha penting dan mendasar. Kemerdekaan yang telah lepas dari genggaman rakyat dan dikuasai segelintir orang. Kemerdekaan yang begitu terasa berharga ketika fakta dan obyektifnya rakyat tengah merasa kehilangan itu. Bangsa Telanjang Ketika Pancasila tidak lagi hidup dalam jiwa dan sanubari rakyat. Ketika UUD 1945 tidak lagi menjadi acuan dan melindungi kehidupan rakyat. Ketika NKRI meminggirkan agama dan tanpa sesungguhnya berketuhanan tak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi rakyat. Ketika seperti orang asing di negeri sendiri itu yang terjadi pada rakyat. Ketika kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan asing dan segelintir orang. Ketika utang negara hanya dinikmati para broker proyek segelintir orang. Ketika korupsi dan perampokan merajalela dilakukan oleh segelintir orang. Ketika kejahatan yang telah menganiaya dan menghilangkan nyawa terbuka dipertontonkan segelintir orang. Ketika politik tidak ada lagi ruang debat, semua yang berbeda disikat. Ketika ekonomi dikelola secara gegabah dan akhirnya menyebabkan kehidupan yang mudharat. Ketika hukum menempatkan pejabat beserta kroninya menjadi bermartabat meski penuh maksiat, dan menjadikan orang kecil sekarat. Ketika keamanan minggat dan tak lagi bersahabat, menimbulkan konflik dan kebiadaban hebat. Ketika itu pula kehidupan di negeri ini jauh dari kasih sayang. Ketika itu pula semua anak bangsa merasa terbuang dan meradang. Ketika itu pula akhirnya kemerdekaan dan kedaulatan republik hanya sekedar bayang-bayang. Ketika itu pula kejahatan yang masif dan sistemik disaksikan semua orang secara telanjang, ya tanpa malu dan kehormatan ketika bangsa ini sebulat-bulatnya telanjang. Munjul-Cibubur - 18 Agustus 2022. (*)

Tujuh Puluh Tujuh Tahun Merdeka, Indonesia Masih Terjajah

Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Oleh: Abdullah Hehamahua, PUKUL 10 pagi kemarin, 77 tahun lalu, berkumpul sejumlah tokoh di Jalan Pegangsaan Timur, 56 Jakarta. Namun, ada tujuh figur yang sangat berperan. Mereka adalah Soekarno, Moh. Hatta, Achmad Subardjo, Fatmawati, Soekarni, Latief Hendraningrat, dan S. Suhud. Mereka berkumpul di rumah Faradj bin Said Awad Martak, warga negara Indonesia keturunan Arab – Yaman. Bukan keturunan Jawa, Batak, Papua, apalagi China. Di pekarangan rumah yang dihibahkan keluarga Martak ke Soekarno inilah, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan. Penculikan Soekarno – Hatta Soekarno, Hatta, dan sejumlah anggota BUPK baru saja kembali dari Dalat, Vietnam, 13 Agustus 1945. Mereka berencana akan memulai lagi sidang BUPK pada bulan September. Namun, tanggal 16 Agustus dinihari, Soekarno dan Hatta diculik sekelompok anak muda dan ditempatkan di Rengasdengklok,  Kerawang. Mereka paksa Soekarno dan Hatta agar memproklamasikan Indonesia pada waktu itu juga. Soekarno dan Hatta menolak. Sebab, mereka tidak bisa melakukan hal tersebut tanpa keikutsertaan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Soekarno, sekembalinya dari Rengasdngklok, terserang penyakit beri-beri dan malaria. Said Martak memberi madu dari Hadramaut sehingga Soekarno dapat pulih dan bisa membaca teks proklamasi, besok paginya. Penyusunan Teks Proklamasi Soekarno menulis di atas selembar kertas kosong. Judul yang ditulisnya: “Proklamasi”. Judul ini diberi garis bawah dengan dua garis yang tidak terlalu lurus. Waktu itu, pukul 03.00 dinihari. Mengapa dinihari.? Sebab, masa itu, bulan Ramadhan. Semuanya muslim, sehingga harus menyantap sahur. Achmad Subardjo, putera Aceh, beribu Sunda. Beliau, salah seorang anggota Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta. Piagam tersebut yang kemudian menjadi “Pembukaan” UUD 1945. Achmad Subardjo meminta agar Soekarno menulis: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, sebagaimana yang ada di Piagam Jakarta. Bung Hatta mengusulkan kata-kata: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.  Selesailah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi Bertempat di pekarangan rumah keluarga Martak, tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul sejumlah tokoh, tua maupun muda. Mereka mengikuti peristiwa bersejarah, proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta mengenakan stelan jas putih-putih. Soekarno mengenakan peci hitam, salah satu atribut orang Islam. Mengapa? Sebab, Soekarno adalah salah satu murid sekaligus mantu dari guru bangsa, HOS Tjokroaminoto. Tidak hanya itu. Soekarno juga mantu dari Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu. Sebab, ketika berada di pembuangan (Bengkulu), Soekanrno jatuh cinta terhadap Fatmawati. Dia anak Hasan Din dan Situ Chadijah ini aktif di Aisyiyah, organ perempuan Muhammadiyah. Fatmawati, isteri ketiga dari Soekarno ini, menjahit bendera merah putih dengan tangan sendiri. Bahan bendera berwarna putih, diambil dari sprei tempat tidur. Kain merah diambil dari tukang jual soto. Namun, kisah lain menyebutkan, bahan bendera tersebut berasal dari seorang perwira Jepang, Shimizu, yang simpati dengan perjuangan Indonesia. Kisah ini menunjukkan banyaknya kesimpang-siuran sejarah. Salah satu contoh konkrit yang bekaitan dengan daerah saya (Maluku), Pattimura disebutkan beragama Nasrani. Padahal, beliau seorang muslim dengan nama asli Ahmad Lussy. Kakeknya berasal dari kampung saya, Iha, Saparua yang berhijrah ke desa Latu, Seram. Bendera Indonesia, merah putih berasal dari saran Habib Kwitang. Waktu itu, Soekarno dan isteri kedua, Inggit dalam pengejaran Belanda, bersembunyi di rumah Habib Kwitang, Jakarta. Di rumah inilah, Soekarno mendapat nasihat agar menggunakan bendera Nabi Muhammad yang berwarna merah putih. Jum’at pagi itu, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, pukul 10, Soekarno didampingi Hatta dan beberapa tokoh, membaca teks proklamasi. Selesai, Latief Hendraningrat didampingi Suhud, mengerek bendera merah putih yang dijahit sendiri dengan tangan Fatmawati. Tahun berikut, 17 Agustus 1946, Sayyid Husein Muttahar, pemuda keturunan Arab kelahiran Semarang, menciptakan Paskibraka di Istana Negara. Beliau pula yang menyelamatkan bendera pusaka saat Soekarno dan Hatta ditangkap dan dibuang Belanda ke Bangka pada masa agresi kedua. Hakikat Kemerdekaan Setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya, air mata membasahi pipiku. Sebab, setiap menyanyikan lagu itu, alam bawa sadarku menuju Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jogjakarta, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Ternate, dan kampungku sendiri di Maluku. Di daerah-daerah tersebut, timbul perlawanan para sultan, ulama, dan tokoh Islam. Mereka mengorbankan waktu, harta, pikiran, dan bahkan nyawa demi memertahankan aqidah Islam. Sebab, penjajah, selain merampas kekayaan Indonesia, juga melakukan pemurtadan terhadap penduduk pribumi yang 98 persen waktu itu beragama Islam. Itulah sebabnya, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, inti ajaran Islam yang dikenal sebagai tauhid. Sila pertama tersebut diabadikan dalam pasal 29 ayat 1 UUD 45: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, Indonesia ini negara tauhid. Bukan negara kapitalis, sekuler, apalagi komunis. Ayat 2 pasal 29 ini menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, hakikat kemerdekaan itu, secara ubudiyah bahwa umat Islam bebas melaksanakan ajaran Islam dan menjadikannya sebagai hukum positif bagi mereka. Secara muamalah, hakikat kemerdekaan, seperti tertuang dalam alinea keempat Piagam Jakarta: menjaga dan melindungi NKRI, mencitakan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, serta berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Fakta hari ini, eksistensi NKRI terancam bubar karena intervensi oligarki politik dan ekonomi, asing dan aseng. Kesejahteraan umum bak khayalan di siang bolong. Sebab, empat orang terkaya di Indonesia setara dengan apa yang dimiliki 100 juta penduduk miskin. Tragisnya, 10 persen penduduk Indonesia menguasai 70 persen aset nasional. Bahkan, gini ratio Indonesia mencapai 0,384, urutan keempat di dunia. Pada waktu yang sama, utang luar negeri mencapai 17 ribu triliun rupiah. Di bidang pendidikan, kualitas manusia Indonesia mencapai 72,29 (2021), rangking 107 dari 189 negara di dunia. Tragisnya, Indonesia berada di rangking kelima Asia Tenggara. Di dunia internasional, Indonesia sangat terpinggirkan. Salah satu kebanggaan Indonesia adalah pengekspor TKW terbesar di dunia. Bahkan, tukang las kereta api cepat Jakarta – Bandung pun didatangkan dari RRT. Simpulan Pada usia senja, 77 tahun, bangsa dan negara Indonesia masih terjajah juga. Terjajah di bidang politik, ekonomi, teknologi, dan sosial budaya. Tidak ada pilihan lain, kecuali: (1) Halau para oligarki asing dan aseng yang menggeroti eksistensi NKRI. (2) Hentikan utang luar negeri dengan cara eksplorasi sumber daya alam Indonesia oleh anak negeri sendiri, sesuai UUD 45 (asli). (3) Pendidikan nasional harus dikembalikan ke Pancasila dan UUD 45 yang asli di mana target pendidikan, terciptanya warga negara yang beriman dan bertakwa. (4) MPR segera menggelar sidang istimewa untuk kembali ke UUD 45 yang asli. Semoga !!! Depok, 17 Agustus 2022. (*)

Dalam Suasana Sakral Mereka Berjoged Ria

Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih NEGARA ini akan dibawa ke mana, seperti dikatakan oleh Prof. Daniel M. Rosyid: “Para pendiri bangsa sudah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tapi kita tidak cukup bernyali memasukinya karena tidak sanggup bertanggungjawab memikul konsekuensi menjadi bangsa merdeka”. “Pembangunan dikerdilkan hanya sekedar menambah jumlah gedung dan panjang jalan, serta koleksi motor dan mobil, bukan upaya memperluas kemerdekaan. Bahkan kita sanggup kehilangan kebebasan demi keamanan dan ketertiban, serta kemakmuran semu”. Memaknai dan merasakan makna kemerdekaan telah hilang dari para petinggi negara. Pemandangan menakjubkan muncul paska upacara HUT RI ke-77 yang sangat sakral di Istana Negara yang seharusnya penuh penghayatan untuk mengenang para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan, berjoged ria persis seperti anak asuhan Oligarki yang sudah jinak, semua masuk dalam hedonis. Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai jasa para pahlawannya. Para pahlawan yang sudah terbujur di makam-makam pahlawan, bukan saja mereka lupakan tetapi sudah mereka nistakan dengan berjoget ria. Berjuang tidak harus dengan nyawa, setidaknya cipta, rasa dan karsa tetap ada dalam diri pemimpin bangsa ini, tidak terlihat makin kering dan hampa. Mereka memiliki tugas  dan tanggung jawab meneruskan perjuangan para pahlawan kita untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Seperti tidak sadar negara sedang kembali dijajah oleh para Oligarki, berubah menjadi negara liberal dan kapitalis oleh penjajah bentuk baru saat ini. UUD 1945 telah diganti, Pancasila telah dimusnahkan seperti mereka tidak sadari, tragis sekali. Renungan mendalam di saat saat upacara kemerdekaan diisi dengan berjoget ria. Apa mereka sedang menikmati sebagai anak manja Oligarki, dengan prilakunya merusak negara ini. Apakah mereka tidak sadar kondisinya makin mengerikan dan berbahaya. Apa tidak terlintas dalam getaran nurani dan rasa bahwa kemerdekaan ini kerja para Bumi Poetra bermodal nekad, dengan bambu runcing, berolah juda di antara debu mesiu, sementara sekujur badannya berlumuran darah. Hanya satu semangat merdeka atau mati, Demi keselamatan dan masa depan anak cucunya. Benturan peradaban terus berlangsung telah memasuki ruang privasi pada leluhur bangsa yang menyimpan tinta emasnya. Episode yang dibangun secara sistematis menuju masa depan untuk anak cucu telah diubah dan tanpa sadar akan dihancurkan. Ibarat orang menembak, meluruskan alat bidik pisir dan pejera ke kesadaran. Pisir menempel di mata adalah sejarah dan pejera yang berada di atas ujung Laras itulah masa depan. Telah ditempatkan ke arah yang salah. Miskin visi - miskin NKRI, kata Ihsanudin Nursi menjadi relevan dengan miskin sejarah dan kering dari penghayatan makna peringatan kemerdekaan yang sakral malah diisi dengan jogedan, tanpa rasa malu. Tragis tragis dan tragis tetapi itu benar-benar terjadi di Istana Merdeka! (*)

Mengungkap Kasus KM 50 Lewat Kasus Duren Tiga: Tuhan Tidak Diam

Oleh Ady Amar | Kolumnis  Tembak-tembakan Duren Tiga yang menewaskan Brigadir Yosua. Tokoh intelektualnya sudah dipastikan, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Tembak-tembakan--versi polisi--di KM 50 yang menewaskan 6 laskar FPI, pengawal Habib Rizieq Shihab, juga ada jejak Ferdy Sambo di sana. Tembak-tembakan anak buah Ferdy Sambo di rumah dinas Polri, itu cuma skenario yang dibuatnya. Yang benar adalah Brigadir Yosua (Brigadir J) \"diadili\" dengan ditembak berkali-kali hingga tewas. TKP dibuat seolah terjadi tembak-tembakan antara Brigadir Yosua dan Bharada Eliezer. Keduanya adalah pengawal Ferdy Sambo dan keluarga. Setelah penyelidikan dari Tim Khusus (Timsus)  yang dibentuk Kapolri, memastikan bahwa tembak-tembakan itu sekadar skenario, seolah terjadi saat Fredy Sambo sedang tidak berada di TKP. Tembak-tembakan seperti jadi skenario favorit yang dipakai. Bisa jadi itu skenario pengulangan dari kasus KM 50, yang dianggap sukses mampu menyumpal nalar publik. Pengadilan dihadirkan cuma jadi tontonan hukum sekadarnya. Pembunuhnya lolos dari jerat hukum dianggap membela diri. Setelah aksi \"tembak-tembakan\" dinihari di KM 50, siang harinya (7/12/2020), dilakukan konferensi pers. Dihadirkan di situ senjata api, pedang samurai yang nyaris berkarat, dan celurit. Disebut milik FPI. Hadir di sana Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman (jabatan saat ini sebagai Kasad), Brigjen Hendra Kurniawan, Karopaminal Divpropam Polri (saat ini ditahan terkait kasus Duren Tiga). Nalar publik disumpal untuk mempercayai tidak saja \"tembak-tembakan\", tapi juga senjata yang dituduhkan milik FPI. Padahal laskar FPI terlarang membawa senjata tajam apalagi senjata api. Tapi kisah dibuat demikian. Dipaksa dengan skenario \"tembak-tembakan\". Untuk sementara memang itu sukses. Pada kasus Duren Tiga, pada awalnya skenario itu tampak mulus-mulus saja. Tapi keluarga Brigadir Yosua tidak percaya begitu saja. Merasa ada yang janggal dari bangunan skenario yang dibuat. Berteriak kencang, bahwa anakku mati tak wajar. Teriakan campur tangisan saat peti jenazah dibuka. Ditemukan kematian tak wajar. Ditubuh Brigadir J ditemukan seperti bekas siksaan. Pada kepala belakang lubang bekas tertembus peluru. Mustahil peluru yang ditembakkan dengan saling berhadapan bisa berputar mengenai tengkorak kepala bagian belakang. Masih banyak kejanggalan lainnya. Keluarga sederhana ini tak mungkin mampu membayar jasa lawyer untuk mengungkap peristiwa kematian sang anak. Tapi para lawyer bermunculan dari etnis Batak--tidak perlu dibayar, itu pastilah rasa solidaritas sesama etnis--hadir membersamai keluarga Brigadir J. Mereka bekerja maraton tak kenal lelah. Lebih-lebih lagi tak kenal rasa takut, bahwa yang dilawan itu institusi kepolisian. Mereka terus \"bernyanyi\" dengan suara keras meminta keadilan sesungguhnya. Melihat antusiasme etnis Batak dalam membela Brigadir J, memaksa Presiden Joko Widodo meminta Kapolri untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya. Tidak ada yang boleh ditutup-tutupi. Bahkan presiden sampai perlu mengulang tiga kali, semacam \"ancaman\" pada Kapolri. Dibuatlah Timsus untuk menyelidiki kasus Duren Tiga dengan serius. Maka skenario \"tembak-tembakan\" dicoret, dan mulai terkuak dalang dari peristiwa yang sesungguhnya. Nalar publik tak lagi mampu disumpal, dan mencari kebenarannya sendiri. Spekulasi liar muncul, menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Peran Menko Polhukam, Prof Mahfud MD pada kasus Duren Tiga, seperti ada \"bersama\" keluarga korban (Irjen J). Prof Mahfud sangat aktif, ingin kasus ini terbongkar dengan sejujurnya. Komen-komen Prof Mahfud lebih dahsyat dari Kapolri. Bahkan pada beberapa bagian terkesan mendahului institusi kepolisian. Pantas saja ayah dari Brigadir J perlu mengapresiasi Presiden Jokowi dan terkhusus pada Prof Mahfud. Itu hal wajar, karena tanpa campur tangan Jokowi dan Prof Mahfud, kasus itu akan mulus dengan skenario \"tembak-tembakan\", dan dalang sebenarnya tidak terungkap. Jangan tanya peran Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Prof Mahfud MD terhadap terbunuhnya 6 laskar FPI. Presiden Jokowi tidak sampai meminta Kapolri untuk mengungkapnya, apalagi sampai tiga kali. Prof Mahfud pun tak tampak peran serius untuk mengungkapnya. Soal itu bisa dilihat dari jejak digital yang ditinggalkan. Tapi doa Habib Rizieq Shihab atas terbunuhnya 6 laskar FPI yang mengawalnya, doa yang disampaikan di hadapan majelis hakim di PN Jakarta Timur, sungguh menyayat hati, agar keadilan pada kasus KM 50 Allah hadirkan. Juga mubahalah keluarga dari 6 laskar yang terbunuh, itu sudah mulai bisa dipetik hasilnya. Tuhan Tidak Diam, mengijabah doa-doa mereka yang terzalimi. Setidaknya beberapa nama sudah terseret, Irjen Ferdy Sambo dan Brigjen Hendra Kurniawan dan yang lainnya--konon Irjen Fadil Imran sudah mulai diperiksa--dan tampaknya satu per-satu _ngantri_ untuk  mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat. Skenario Tuhan memang indah dan dahsyat, memakai kasus Duren Tiga untuk membuka dan menghukum mereka yang terlibat pada kasus KM 50. Tidak itu saja, bahkan Tuhan memberi bonus dengan membuka jaringan bisnis ilegal--melibatkan banyak petinggi polri--yang dipimpin \"kaisar\" Fredy Sambo. Jaringan kekuasaan yang dipunya, itu sebelumnya seperti tidak tersentuh hukum, hancur lumat seketika, serasa bangunan kokoh yang hancur hanya tertiup angin.Subhanallah. (*)

Sambo, Sambo, Ferdy Sambo!

Oleh M. Rizal Fadillah  | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KONVOI truk pembawa anggota Polisi yang bergerak untuk mengamankan Sidang Putusan Habib Bahar Smith di PN Bandung tanggal 16 Agustus berpapasan dengan pengendara motor. Nampak para pengendara motor itu berteriak ke arah konvoi : Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo..! Menunjukkan sikap negatif kepada para polisi dengan mengaitkan peristiwa Irjen Pol Ferdy Sambo.  Ternyata Duren Tiga aromanya ke mana-mana. Ulah Ferdy Sambo sangat mencoreng institusi Polri.  Proses hukum belum usai, penyidikan masih berlangsung, banyak perwira harus mempertanggungjawabkan penanganan tidak profesionalnya. Bahkan mungkin konspirasi jahat. Antara kerja Propam dengan Satgassus kabur karena keduanya di bawah komandan yang sama yaitu Irjen Pol Ferdy Sambo. Status tersangka yang bersangkutan dipastikan akan bergeser menjadi terdakwa  di pengadilan. Kejaksaan sudah bersiap siap untuk menerima limpahan perkara.  Publik terus mengikuti proses kejahatan yang menurut Mahfud MD \"mengerikan\" dan \"menjijikkan\" ini. Dunia juga tentu ikut terbelalak atas kejadian yang menimpa Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sambo telah membuat gara-gara dan neraka atas lembaga. Desakan agar Polri melakukan pembenahan mendasar semakin mengemuka. Terutama koreksi atas penanganan kasus dengan kekerasan oleh aparat negara. Asa kemanusiaan yang adil dan beradab terasa semakin jauh saja.  Kekejaman Sambo bakal melegenda dan menjadi goresan hitam tebal. Buktinya konvoi truk polisi diteriaki Sambo..Samboo..Ferdy Sambo  ! Di samping kekerasan ada sejuta rekayasa atau kebohongan. Tidak salah ucapan HRS bahwa Indonesia sedang mengalami kondisi darurat kebohongan. Dan kedaruratan yang terdekat ternyata ada pada instansi kepolisian.  Satgassus sudah dibubarkan dan tentu hal ini menjadi awal yang bagus meski masih dituntut adanya audit kasus dan kerja institusi. Masalahnya adalah banyak temuan yang telah  terkuak termasuk harta-harta terpendam yang diduga spektakuler nilainya. Sejak berdiri, Ferdy Sambo selalu menjadi orang penting dari badan non-struktural di kepolisian ini.  Ferdy Sambo menjadi tokoh yang layak untuk dinobatkan sebagai \"Man of the Year\". Meski disayangkan kehebatannya bukan karena prestasi konstruktif untuk bangsa dan negara. Tetapi \"sukses\" dalam memperburuk wajah bangsa dan negara.  Di tengah keruwetan dan amburadul nya penyelenggaraan negara, Sambo tampil sebagai juru sekarat. Membuat sekarat ajudan dan negara kesatuan.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo  ! Engkau bapak mafia di kepolisian.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo !  Karena nila seember rusak susu sekolam.  Sambo.. Samboo.. Ferdi Sambo !  Dengan bicara martabat keluarga kau hancurkan lembaga dan negara.  Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo ! Menghilangkan nyawa pasti berbuah penjara.  Selamat bermimpi tentang uang narkoba dan perjudian, suap dan pemerasan, penyiksaan dan pembunuhan, korupsi dan penyucian uang, menakut-nakuti bawahan dan memaksa anggota pasukan.  Sambo..Samboo.. Ferdy Sambo !  Wajah penjajah di negara merdeka.  Bandung, 18 Agustus 2022

Rakyat Indonesia Belum Maharddhika ’Merdeka’

Para elit politik menunjuk (calon) presiden sesuka mereka, bagaikan penjajah menunjuk Gubernur Jenderal. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HARI ini, 77 tahun yang lalu, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan Kemerdekaannya. Dalam hal ini, kemerdekaan mengandung arti bebas dari penjajahan, atau tidak bergantung dari bangsa lain. Kalau bicara dalam konteks negara, Indonesia memang sudah terbebas dari kekuasaan bangsa asing, sudah terbebas dari penjajahan. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan, rakyat Indonesia masih jauh dari ‘merdeka’. Kata ‘merdeka’ berasal dari bahasa sansekerta, maharddhika. Yang mempunyai arti: kaya sejahtera dan kuat. Dalam arti kata ‘merdeka’ yang sesungguhnya ini, maka jelas sebagian besar rakyat Indonesia belum ‘merdeka’: belum sejahtera dan belum kuat. Banyak dari saudara-saudara kita masih sangat lemah, dan tertindas. Tidak mampu mempertahankan hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia yang ‘merdeka’. Begitu sangat lemah, tidak mampu melawan penindasan atas hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Tidak mampu melawan perampasan atas hak tanah dan sumber daya alam milik nenek moyang mereka, dirampas oleh segelintir ‘penjajah’ yang rakus, berkolusi antara penguasa-pengusaha. Rakyat Indonesia sangat lemah, tidak berdaya. Hukum dijalankan sangat tidak adil, seperti hukum penjajah kepada ‘inlander’. Mereka yang seharusnya dihukum, malah dilindungi. Bandar narkoba, bandar judi tidak tersentuh hukum, sampai akhirnya kotak pandora Satgassus mulai terbuka, membuka mata publik yang terbelalak tidak percaya. Apa bedanya penjajah bangsa asing dengan mereka: ‘penjajah lokal’? Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, mereka adalah sama-sama penjajah. Oleh karena itu, ‘merdeka’ dalam arti sesungguhnya: kaya, sejahtera dan kuat, masih jauh di luar jangkauan sebagian besar rakyat Indonesia, maharddhika hanya ilusi. Sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam serba kemiskinan, jauh dari maharddhika ‘merdeka’: kaya, sejahtera dan kuat. Jumlah rakyat miskin Indonesia menurut Bank Dunia sebanyak 150,2 juta orang (2018) atau sekitar 56,1 persen dari total penduduk 2018. Mereka, rakyat miskin tersebut, hanya mempunyai pendapatan di bawah 5,5 dolar AS (kurs PPP 2011) per orang per hari, atau setara Rp30.517 pada 2018, atau sekitar Rp1 juta per orang per bulan. Jumlah rakyat miskin Indonesia ini jauh lebih besar dari jumlah rakyat miskin Malaysia, Thailand, atau bahkan Vietnam yang baru selesai perang dan membangun ekonominya pada 1986. Belum ada tanda-tanda seluruh rakyat Indonesia akan segera menikmati ‘merdeka’, maharddhika. Bahkan semakin lama kondisi ekonomi rakyat semakin memprihatinkan, semakin memburuk. Rakyat tidak berdaya, hanya bisa pasrah, ‘penjajah lokal’ mempermainkan nasib mereka. Elit politik membuat landasan hukum yang merugikan rakyat Indonesia, dengan memberi keuntungan besar kepada para ‘penjajah lokal’. Menyerahkan eksploitasi kekayaan alam kepada segelintir orang pengusaha-penguasa. Kenaikan harga komoditas yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pasal 33 UUD, tetapi faktanya hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha-penguasa saja. Bahkan rakyat hanya mendapat derita, harga pangan dan harga energi naik, belanja subsidi dibatasi, APBN hingga Juli 2022 dibuat surplus sangat besar. Harga minyak goreng yang melonjak, di negara produsen dan eksportir terbesar dunia, sebuah cerminan ekonomi kolonial. Pandemi juga telah memberi keuntungan besar kepada penguasa-pengusaha, mereka menguasai bisnis PCR, dan menentukan harga eksploitasi. Menangguk untung abnormal. Para elit politik menunjuk (calon) presiden sesuka mereka, bagaikan penjajah menunjuk Gubernur Jenderal. Bahkan, menurut kabar, dana hitam yang dihimpun dari Satgassus Merah Putih dengan jumlah yang sangat besar, digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan mendukung dan mendanai calon presiden pilihan agar pasti terpilih. Semua ini menunjukkan, setelah 77 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih terjajah, terbelenggu di bawah kekuasaan para elit penguasa dan pengusaha: oligarki, sama seperti para penjajah asing menguasai nasib rakyat Indonesia. (*)

Jangan Setengah Hati, Periksa Semua Jenderal dan Kombes

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  AKAN bersihkah Polri dari kelakuan Ferdy Sambo setelah dia sekarang hancur? Bisakah dikembalikan kepercayaan publik pada Kepolisian? Sudah cukupkah bongkar habis Sambo yang saat ini dilakukan oleh Kapolri untuk memulihkan reputasi Polri? Jawabannya: tak mungkin. Sebab, reputasi Polri dari dulu sudah rusak. Kasus Sambo adalah puncak dari kebobrokan akut di Kepolisian. Di tangan Sambo-lah Polri masuk jurang. Di tangan dialah kesewenangan menjadi-jadi. Hebatnya, kesewenangan Sambo itu membuat banyak petinggi Polri senang. Sambo pintar menyuguhkan kesenangan yang menghibur para petinggi. Semuanya melimpah-ruah. Berbagai sumber menyebutkan duit haram yang terkumpul di tangan Sambo tak cukup menggunakan kalkulator miliar, melainkan triliun. Semua ini berkat Satgassus Merah Putih. Di tangan Sambo, cara kerja Satgas mirip Mafia. Adalah Tito Karnavian, sewaktu dia menjabat Kapolri, yang membentuk lembaga non-struktural ini pada 2018. Tetapi, di tangan Sambo-lah satgas khusus itu menjadi sangat agresif.   Katakanlah nanti Sambo dihukum mati atau penjara puluhan tahun. Tidak berarti “samboisme” di Polri akan lenyap. Gaya hidup dan manajemen Sambo masih akan berlanjut. Hari ini kita lihat Kapolri jungkir balik mencabut “pohon Sambo” yang telah berakar dalam di Kepolisian. Akar serabutnya menjalar ke mana-mana. Sambo hadir disemua lini. Tidak mudah melenyapkan “samboisme” itu. Sambo bagaikan dewa di Polri. Sekaligus menjadi Pangeran Dermawan (Prince of Generous) bagi para petinggi institusi ini. Hadiah yang dibagi-bagi tak pernah habis. Unlimited. Tak heran kalau orang membayangkan duit Sambo bertimbun-timbun. Karena yang harus disambanginya banyak sekali.   Berbagai sumber menduga duit cash yang disimpan Sambo mencapai angka triliunan. Dugaan kuat tentang ini muncul di mana-mana. Masalahnya, mungkinkah itu benar? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi, kalau dilihat wewenang Satgassus Merah Putih dan kasus-kasus yang mereka tangani, bisa jadi benar. Selama beberapa tahun ini Satgassus dikepalai oleh Sambo. Sebelumnya dia duduk sebagai sekretaris. Supaya tidak ada spekulasi, keraguan dan kecurigaan di tengah masyarakat, maka perlu dilakukan penyelidikan menyeluruh. Termasuklah pemeriksaan terhadap semua perwira tinggi dan menengah untuk memastikan siapa-siapa yang ikut dalam jaringan Satgassus. Jangan setengah hati membersihkan Polri dari jaringan Sambo. Satgassus yang semula dimaksudkan untuk tujuan positif, jelas disalahgunakan oleh Sambo. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa menelusuri semua aktivitas rekening para perwira tinggi dan menengah. Ada kemungkinan kelompok Sambo melakukan transaksi tunai. Mereka membagi-bagikan uang tunai langsung kepada pihak-pihak yang dituju. Boleh jadi uang kelompok Sambo disimpan di dalam koper, brankas, tas, bahkan karung untuk menghindarkan deteksi transaksi elektronik. Banyak yang menduga Brigadir J mengetahui aktivitas Satgassus yang dipimpin Sambo. Korban pembunuhan berencana ini adalah anggota Satgas. Ada sumber yang menyebutkan Brigadir J diyakini telah membocorkan banyak informasi sensitif tentang cara kerja Sambo menumpuk uang lewat Satgas Merah Putih. Salah satu dugaan motif pembunuhan Brigadir J adalah pembocoran info itu. Lalu, apa indikasi bahwa mantan Kadiv Propam itu menggunakan Satgassus sebagai kendaraan untuk mengumpulkan uang secara ilegal? Ini dapat dilihat dari langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prambowo membubarkan Satgassus Merah Putih pada 11 Agustus 2022. Kalau Satgassus baik-baik saja, tidak disalahgunakan oleh Sambo, tentu tidak ada alasan untuk membubarkannya. Pembubaran Satgassus itu malah memastikan penyalahgunaan satuan ini oleh Sambo. Atas dasar ini pula, kesimpulan tentang pembunuhan Brigadir J jangan disempitkan hanya ke motif pelecehan seksual atau pencederaan martabat istri Sambo, Putri Candrawathi. Publik berhak mengetahui semua aspek yang menyulut tindakan Sambo menghabisi Brigadir Yoshua. Sepak terjang Satgassus Merah Putih di bawah komando Sambo harus juga dibuka secara transparan. Jangan ada  yang ditutup-tutupi. Terutama soal pengumpulan uang besar dan penyalurannya.[]

Listrik Terancam Padam: Rakyat Melawan Oligarki Kekuasaan (2)

Oleh Marwan Batubara, IRESS Untuk mengantisipasi terulangnya krisis pasokan batubara yang dapat berdampak padamnya listrik puluhan juta pelanggan seperti terjadi pada awal 2022, pemerintah telah menerbitkan Kepmen ESDM No.13/2022 dan berencana membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Batubara. Dengan terus meningkatnya harga batubara global, tampaknya pemadaman listrik bisa terjadi. Sebab, para pengusaha batubara mengutamakan ekspor dibanding memenuhi kewajiban DMO, sementara aturan pengaman pasokan batubara PLN tak memadai. Payung hukum implementasi BLU yang rencananya terbit Juli 2022, hingga sekarang tak jelas statusnya. Di sisi lain, Kepmen ESDM No.13/2022 yang bertujuan mengamankan pasokan PLN berapa pun kenaikan harga batubara global (ceiling price US$ 70/ton), ternyata memuat ketentuan bernuansa moral hazard. Kepmen No.13/2022 telah menyediakan “celah” bagi pengusaha untuk bisa ekspor batubara tanpa memenuhi kewajiban DMO 25%. Moral Hazard Payung Hukum BLU Setelah digagas Menko Marves LBP enam bulan lalu, BLU Batubara belum juga jalan. Keterlambatan bisa saja karena konsep BLU oleh KESDM tidak sama dengan yang semula digagas LBP. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pembentukan BLU Batubara masih dibahas. Dikatakan izin prakarsa masih dibahas dan diperlukan penjelasan tambahan (9/8/22). Sebelumnya, pada diskusi publik Majalah Tambang di Jakarta, Kamis (4/8/2022), Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif mengatakan usul draft Perpres BLU sudah disampaikan ke Kemenkeu. Dikatakan, usul tersebut telah ditanggapi dan disebutkan *(oleh Kemenkeu atau entah siapa)* akan dirubah menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Kata Irwandy, akan butuh waktu lebih lama jika dasar hukum BLU berbentuk PP. IRESS mencurigai ada upaya mengulur waktu, sebab dalam enam bulan terakhir, harga batubara global tetap tinggi (harga Newcastle 15/8/2022: US$ 407/ton). Dalam diskusi publik Majalah Tambang di atas (4/8/2022), IRESS menyatakan payung hukum BLU cukup dengan Perpres. Sebab untuk BLU ekspor CPO dan program Biodiesel B30, payung hukum yang digunakan hanya berupa Permen, yaitu antara lain PMK No.113/2015.  Ternyata Komisi VII DPR pun telah bersikap. Dalam Rapat Kerja dengan Menteri ESDM (9/8/2022), Komisi VII meminta pemerintah segera merealisasikan pembentukan BLU Batubara dengan payung hukum Perpres. Karena itu, jika Perpres BLU yang telah diusulkan dan dibahas sejak Maret 2022 dan dibahas kembali Mei 2022 tak kunjung terbit, maka kredibilitas pemerintah bermasalah. Peraturan Yang Diterbitkan Sendiri Dipersoalkan!? Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, Menteri ESDM Arifin mengatakan harga batubara yang naik membuat para pengusaha mengutamakan ekspor guna mengejar untung besar. Sehingga industri dalam negeri, termasuk PLN mengalami kekurangan (9/8/2022). Dikatakan, pinalti bertarif rendah bagi yang tidak memenuhi kewajiban DMO, menyebabkan para pengusaha memilih membayar kompensasi dibanding memasok PLN (UD$ 70/ton). Kata Arifin: \"Untuk itu ada kecenderungan menghindari kontrak dengan industri dalam negeri. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibentuk BLU Batubara”. Padahal, sebelum BLU dibentuk pun, jika peraturan yang disusun memadai dan bebas moral hazard, maka masalah kekurangan pasok tidak akan terjadi. Yang jadi masalah, kenapa Arifin mempertanyakan aturan kompensasi yang rendah, padahal aturan tersebut, yakni Kepmen ESDM No.13/2022), pejabat pemerintah yang menandatangani adalah Menteri ESDM sendiri? Beberapa ketentuan termuat dalam Kepmen No.13/2022 antara lain: 1) Perusahaan yang berkontrak dengan PLN akan terkena pinalti, denda sebesar harga pasar ekspor (misalnya $400) dikurangi harga DMO $70 per ton. Jika kalori batubara yang dibutuhkan PLN 4600 kcal/kg, maka diperkirakan besarnya denda sekitar $188 per ton; 2) Penambang yang tidak berkontrak dengan PLN walaupuan spesifikasi batubaranya sesuai kebutuhan PLN, hanya dikenai pinalti berupa kompensasi yang sangat rendah. Besaran kompensasi, tergantung nilai kalori, berkisar antara US$ 15-25 per ton (untuk kalori berkisar antara 4000-6000).  Ketentuan Kepmen ESDM No.13/2022 jelas sangat tidak adil dan sarat moral hazard. Sebab, justru mengorbankan para penambang yang PATUH berkontrak dengan PLN, termasuk BUMN/PTBA, namun sekaligus memberi untung BESAR bagi yang tidak berkontrak dengan PLN. Bahkan setelah melanggar hukum atas kewajiban DMO, sanksi hukumnya pun diperhalus dengan istilah “kompensasi”. Konon “kompensasi” yang dibayar perusahaan oligarkis tersebut malah tidak pula masuk ke APBN. Dana kompensasi yang tidak masuk APBN bisa dipakai mendanai kepentingan melanggengkan kekuasan oligarkis. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang patuh DMO, justru dikorbankan. Mereka harus menjual dengan harga DMO (US$ 70), kehilangan kesempatan menikmati harga global yang tinggi, dan bahkan terpaksa menjual dengan volume lebih dari 25% kewajiban DMO. Ternyata Kementrian ESDM pun tidak menerapkan kewajiban DMO 25% secara pro-rated kepada seluruh perusahaan batubara sesuai volume produksi (dan bobot harganya), serta tidak pula menerapkan “settlement” yang berkeadilan terhadap seluruh perusahaan tersebut di akhir tahun. Artinya, para kontraktor pembangkang DMO “dibiarkan” melenggang menikmati untung BESAR, sedangkan yang patuh justru didesain untuk BUNTUNG, bahkan tidak memperoleh kesempatan “settlement” melalui kewajiban DMO pro-rated yang berkeadilan. Termasuk yang BUNTUNG adalah Badan Usaha Milik Negara, PTBA. Kembali ke pernyataan Arifin Tasrif tentang “sanksi yang rendah” di atas, tampaknya Arifin mengalami fenomena *“I did not read what I signed”*. Meskipun sangat kecil kemungkinannya, rakyat bisa berspekulasi kalau Arifin sedang berpura-pura. Atau bisa juga telah terjadi penyeludupan “narasi” oleh oknum-oknum pro oligarki, sehingga beberapa ketentuan Kepmen ESDM No.13/2022 menyediakan “celah” bagi para pengusaha oligarkis tetap bisa ekspor tanpa kewajiban DMO, cukup dengan membayar kompensasi *alakadarnya*.  Apa pun yang menjadi motif di balik ketidakadilan Kepmen No.13/2022, pemerintah dan terutama Menteri ESDM harus bertanggungjawab. Jika Menteri ESDM serius mengatasi masalah, Menteri ESDM pun bisa saja segera menerbitkan koreksi/adendum atas Kepmen No.13/2022 yang disebut Arifin sendiri bermasalah. Selain itu Presiden Jokowi harus membuktikan kemampuan dan otoritas melawan oligarki dan menertibkan Menteri ESDM.  Uraian di atas menunjukkan oligarki sedang beraksi menikmati untung BESAR dari naiknya harga batubara global secara egois, melanggar prinsip keadilan, dan mengangkangi konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu, penerbitan BLU terus diulur-ulur dan peraturan berbau busuk bernama Kepmen No.13/2022 tetap dipertahankan. Para pejabat dan lembaga terkait yang mengatur hajat hidup orang banyak, sekaligus berpotensi membuat aliran listrik puluhan juta pelanggan padam, justru bersandiwara dan tidak merasa penting untuk menerbitkan aturan yang legal, adil, konstitusional, berkelanjutan dan memihak rakyat. Akhirnya, tulisan kedua ini ingin mengingatkan pemerintah, terutama Kementrian ESDM dan Presiden Jokowi untuk memihak negara dan rakyat. Saat ini akibat ulah oligarki, diperkirakan stok batubara PLN hanya berkisar 50% dari yang seharusnya. BUMN batubara pun dirugikan. Jika langkah korektif dan preventif tidak segera diambil pemadaman listrik bisa saja terjadi, bahkan saat berlangsungnya Sidang G20, Oktober 2022. Berhentilah memihak atau menjadi bagian dari oligarki.[] Jakarta, 16 Agustus 2022