OPINI
Prerogatif Ketum
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MASIH dari Rakernas II PDIP khususnya mengenai Rekomendasi soal Penetapan Calon Presiden. Seperti telah diduga PDIP tidak berani untuk mengajukan atau menyebut nama Capres meskipun dari kadernya sendiri. Alasannya Pemilu masih lama. \"Hak prerogatif Ketua Umum\" kata Ganjar Pranowo saat ditugaskan membacakan Rekomendasi tersebut. Rupanya masih disembunyikan walaupun publik menduga nama itu tentu Puan Maharani. Narasinya adalah : \"berdasarkan Keputusan Kongres V Partai, AD/ART Partai, dan tradisi demokrasi Partai adalah hak prerogatif Ketua Umum Partai Professor Doktor Honoris Causa Megawati Soekarnoputri\". Megawati pernah mengancam-ancam kader yang dinilai telah melakukan manuver dalam rangka pencapresan. Dan Ganjar Pranowo pun menjadi lunak. Sebelumnya Partai Nasdem dalam Rakernasnya telah menetapkan tiga nama yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo sebagai Capres. Untuk menentukan satu nama yang dipilih dari ketiganya diserahkan sepenuhnya kepada Surya Paloh Ketua Umum Partai. Hak prerogatif Ketua Umum. Para Ketum PAN, PPP dan Partai Golkar bermanuver dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menggadang-gadang salah satu Ketum untuk Capres. Begitu juga dengan Ketum Gerindra yang mulai gesit kesana-sini dan seperti mau berjodoh dengan Ketum PKB. PKB sendiri lompat sana-sini pula hingga berkoalisi Semut Merah dengan PKS. Pada umumnya semua berujung pada posisi Ketum sebagai penentu. Sulit melihat partai-partai politik menampilkan diri sebagai institusi yang berwajah demokratis. Sosoknya otoritarian. Kekuasaan tertinggi senantiasa berada di tangan Ketum. Inilah kecelakaan politik NKRI saat ini. Partai sebagai elemen demokrasi ternyata pamer kekuasaan di depan rakyat sebagai institusi yang jauh dari demokrasi. Suara bawah hanya menjadi etalase dari kepura-puraan dalam berdemokrasi. Fungsi partai politik di negara demokrasi adalah pendidikan politik, sosialisasi politik, penyalur aspirasi, rekrutmen, partisipasi dan agregasi politik. Partai politik tidak akan mampu mendidik warga agar berjalan di rel demokrasi jika partai itu sendiri berkarakter otoritarian. Munafik jadinya. Sosialisasi tersendat di tengah kepercayaan rendah. Jangan harap rakyat akan menyalurkan aspirasi melalui partai jika dis-trust terjadi. Partai pun miskin akan partisipasi politik selain hanya melakukan program penggiringan atau mobilisasi. Alih-alih agregasi, partai yang tidak demokratis justru menjadi tukang pecah belah. Rekrutmen pun sarat dengan nuansa kepentingan pendek atau pragmatik. Partai prerogatif Ketum mudah terkooptasi oleh kemauan pemerintah. Terutama Partai politik koalisi pendukung pemerintah. Partai politik menjadi bulan-bulanan dan tidak berwibawa. Ketum tersandera oleh jeratan atau jebakan baik hukum, politik, maupun ekonomi. Ketum yang bagai kerbau dicocok hidungnya. Partai politik yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dan tidak berkhidmat pada kedaulatan rakyat, keberadaannya tidak akan dirasakan. Ia dipandang sedang bermain-main sendiri. Sekedar untuk memperbesar kekuasaannya dari Pemilu ke Pemilu. Wajar jika dalam salah satu forum diskusi yang dihadiri oleh para mahasiswa, suara kritisnya mempertanyakan bagaimana cara mudah untuk membubarkan partai politik ? Partai politik yang keberadaannya dinilai tidak bermanfaat bahkan berkhianat. Adanya prerogatif Ketum adalah suara yang menyakitkan. Membunuh demokrasi di lingkungan partai politik yang secara tidak langsung juga membunuh aspirasi rakyat itu sendiri. Cerdik jika ada anak sekolah yang bertanya apakah Partai politik itu pilar atau perusak demokrasi? Bandung, 27 Juni 2022
Heh! RKUHP, Rejim Jokowi Contek Gaya China Komunis Memberangus Demokrasi
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 MAKSUD hati mau memperbaiki KUHP (Kitab Undang Hukum Pidana) karya penjajahan Belanda. Ternyata oh ternyata lebih kuno dari penjajahan. Kekuasaan malah menjajah bangsa sendiri. Menekan rakyat untuk langgeng dan aman nya kekuasaan. Memberangus Demokrasi. Otoriter. Pasal-pasal RKUHP penuh dengan style pemerintah China Komunis. Pemerintah punya kekuasaan penuh terhadap denyut nafas rakyatnya. Bertentangan dengan pasal UUD 45. Jelas. Jika RKUHP dibaca oleh dunia internasional, terutama Negara demokrasi. Hancur. Indonesia pasti tidak lagi masuk sebagai Negara Demokrasi terbesar. Sebelumnya pada rezim Jokowi, sudah menyajikan anjloknya indeks demokrasi. Kenapa disebut rezim Jokowi. Karena Koalisi Gendut Parpol 82% di legislatif. Tinggal mengamini semua rancangan produk hukum yang diajukan. Dukungan Parpol dengan Permen kekuasaan telah membuat anggota DPR, tinggal diatur Ketua-Ketua Partai. Partai yang telah dapat kue kekuasaan sebagai menteri, wamen, dubes dan komisaris BUMN. Apakah ada bukti? Ada banget. UU Minerba yang memanjakan oligarki ekonomi lolos. (baca ;sekelompok penguasa, mengatur segalanya). UU Cipta Kerja, UU yang heboh. Hampir seribu halaman. Berubah-ubah. Beratus aturan turunan, diatur sendiri oleh Eksekutif (baca Presiden). UU yang secara syah diputuskan inskonstitusional oleh MK. Namun banci masih memberlakukan 2 tahun oleh MK. Baru-baru ini oleh seniman unras dengan ciamik MK sebagai Mahkamah Kasur. Maksudnya mungkin Kelamin. UU IKN proyek memindahkan ibukota, UU oke nya super cepat. Hanya berdasarkan ide dan keinginan sang Presiden semata. 2024 mau upacara 17 Agustusan di sono. Bukan keinginan rakyat. Semua tergelar di jaman now. Anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu dengan biaya besar dari APBN. Digaji tinggi oleh rakyat. Hanya duduk nyaman. Semua Tinggal Beres. Semua oke. Parah kan. Di zaman Orba DPR dikenal dengan 3 D (Datang, Duduk, Duit). Alamak enak sekalee di jaman Now. Bukan lagi duduk, bisa sembari tiduran dirumah, heh mungkin juga di hotel. (Baca, selama lebih 2 tahun covid). Duit sidang tetap dong. Rakyat?. Tidak diam. Bergelombang protes mereka sewaktu RUU tersebut. RUU KPK, RUU Cipta Kerja. Mereka unjuk rasa. Waduh sewaktu Unras yang dilindungi konsitusi. Mereka dapat kekerasan aparat secara brutal. Aparat yang digaji rakyat. Tidak segan mengejar-ngejar para pendemo. Sampai jauh dari pusat unras. Ketika rakyat para pendemo tertangkap . Menjadi bulan-bulanan. Puluhan bogem dan tendangan lars, nyasar diperut dan dikepala mereka. Polisi tidak lagi mengayomi?, Mereka “lupa” dengan tugas menjaga Unras untuk menyampaikan aspirasinya. Sadis. Kekuasaan tidak lagi mengenal anak (rakyat). Waktu itu ada yang mati, banyak yang luka, sebagian dipenjara. Aktivis yang tidak ada dilapangan unras. Di tangkap ditengah malam/ subuh, dengan hukum, pasal yang diadakan. Aktivis ditangkap ditengah malam. (baru-baru ini ternyata tidak mempan bagi artis kondang NM) Namun “kesadisan” kekuasaan rupanya ternyata tidak cukup menutup dahaga. Mereka sepertinya selalu haus untuk berkuasa secara otoriter. Memberangus demokrasi melalui peraturan hukum. Contek kepada negara China Komunis. Negara otoriter. Bukan Negara Demokrasi. Rezim Jokowi (baca eksekuti dan legislatif sudah satu paket) “mengakali” niat suci memperbarui KUHP peninggalan jaman Penjajah Belanda, untuk lebih merdeka. Melalui RKUHP yang sebentar lagi mau disahkan Juli 2022. Menyisipkan banyak pasal – pasal ancaman penjara dan sanksi denda besar. Di antaranya Pasal 273, 354 dalam penyampaian pendapat. Sebenarnya sangat dijamin UUD 45. Bahkan ada pasal yang mempidana dan sanksi denda buat rakyat yang tidak mampu membeli bendera (sudah kusam). Seharusnya Negara menyediakan. Pasal – pasal yang sangat ringan tangan terhadap ancam mengancam rakyatnya. Pidana penjara dan denda. Terlalu. Rakyat harus menolak pasal-pasal pembungkaman tersebut. Pasal yang multitafsir yang membuat aparat semakin berkuasa menindas. Terutama pasal di dalam RKUHP yang tidak sejalan dengan semangat reformasi di Indonesia. Sudah mengancam demokrasi serta persatuan kesatuan bangsa Indonesia Wakil Rakyat? di DPR sudah tidak bisa dipercaya. Elit Kekuasaan paling menyatakan kami putuskan. Silakan Judicial Review ke MK. Seniman melalui unras menyatakan Mahkamah Kelamin, eh Kasur. Kelabu semakin kelam. Perlu Perubahan. Segera. Bandung, 21 Juni 2022
Aba-Aba Oligarki
Pasca deklarasi PKS Is Not for Sale to Oligarch, PDIP membuat statemen: tidak akan berkoalisi dengan PKS. Salah seorang sahabat berkomentar, seharusnya PKS yang memutuskan untuk tidak berkoalisi dengan PDIP. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta AZYUMARDI Azra berpendapat bahwa secara objektif Calon Presiden Republik Indonesia (Capres) dalam perhelatan Pemilu 2024 yang terkuat adalah Anies Baswedan yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. Meminjam ungkapan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebaik apa pun seseorang, pasti tetap ada pihak yang tak menyukainya. Dengan kalimat lain, tentu saja ada pihak yang tidak sependapat dan/atau tidak suka dengan opini Azyumardi Azra tersebut. Berkenaan dengan bursa Capres-Cawapres 2024 jauh hari sebelumnya, Rocky Gerung, pengamat politik berpendapat bahwa bilamana Anies berpasangan dengan Puan Maharani, dia akan dikerjai Oligarki. Opini Rocky tersebut bertolak dari momentum Perlombaan Formula E di mana Puan Maharani dengan senang hati selfi bersama Anies tanpa menghiraukan Jokowi yang berada di sampingnya. Menyusul prediksi 4 koalisi partai pengusung empat pasang Cawapres yang dikeluarkan oleh Cakra Nusantara, muncul daftar pilihan favorit dari Capres-Cawapres versi media sosial bulan Juni beserta prediksi parpol pengusungnya. Pertama, Ridwan Kamil-Erick Thohir dengan pengusung Golkar-PPP-PAN. Kedua, Puan Maharani-Ganjar Pranowo dengan pengusung tunggal partai PDI Perjuangan. Ketiga, Anies Baswedan-Agus Harimurti dengan pengusung Nasdem dan Partai Demokrat. Keempat, Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar dengan pengusung Gerindra dan PKB. Membaca polarisasi parpol-parpol pengusung dan Capres-Cawapres yang diusung itu, tampaknya PKS konsisten dengan keputusannya. Rapimnas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merekomendasikan sejumlah nama Capres kepada Majelis Syura PKS, salah satunya Anies Baswedan. Dengan demikian PKS tak mungkin berkoalisi mendukung pasangan Capres-Cawapres Puan-Ganjar atau Prabowo Subianto-Muhaimin. Alternatifnya empat koalisi mengerucut menjadi tiga, yakni PKS, Gerindra, dan PKB bergabung jadi satu dengan Nasdem dan Demokrat mengusung Anies-Agus Harimurti. Pasca deklarasi PKS Is Not for Sale to Oligarch, PDIP membuat statemen: tidak akan berkoalisi dengan PKS. Salah seorang sahabat berkomentar, seharusnya PKS yang memutuskan untuk tidak berkoalisi dengan PDIP. Memperhatikan perkembangan bursa pencapresan terkini naga-naganya Aba-Aba Oligarki kepada PDIP adalah Asal Bukan Anies... Asal Bukan Anies! (*)
Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!
Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Pidato Kebangsaan Ketua DPD RI Diskusi Publik Komite Peduli Indonesia Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan Bandung, 26 Juni 2022) SAYA sampaikan terima kasih kepada Komite Peduli Indonesia (KPI), yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara Diskusi Publik Kebangsaan yang diselenggarakan hari ini. Tema yang diangkat cukup menarik. “Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan”. Ini kalau dalam kalimat yang lebih singkat, padat dan jelas adalah; “Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!” Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kalau kedaulatan ada di tangan rakyat. Tetapi hari ini kita menyaksikan kesibukan ketua umum Partai Politik melakukan rapat-rapat terbatas. Pertemuan-pertemuan tertutup. Untuk membangun koalisi. Untuk menyiapkan pergantian pemimpin nasional. Dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan ini hanya menjadi penonton. Mengapa ini semua bisa terjadi? Karena memang kita sebagai bangsa telah memberikan kewenangan penuh kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sejak kapan itu terjadi? Sejak kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu. Karena sejak saat itulah, kita sudah meninggalkan sistem Demokrasi Permusyawaratan. Dimana kedaulatan rakyat ada di Lembaga tertinggi. Yang posisinya equal dengan DPR sebagai representasi Partai Politik. Karena di situ ada Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Saya tidak mengatakan bahwa perilaku politik yang terjadi di era Orde Baru adalah baik. Tetapi sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa ini, adalah sistem yang paling sesuai dengan watak dasar bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita memang wajib untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Termasuk pembatasan masa jabatan presiden. Dan penyempurnaan itu harus dilakukan melalui Adendum. Bukan mengganti sistem secara total. Di sinilah inti dari problem fundamental bangsa ini. Karena dari penelitian akademik yang dilakukan oleh Profesor Kaelan dari UGM, Konstitusi hasil amandemen 20 tahun yang lalu itu, sudah bukan lagi konstitusi yang lahir dari semangat Proklamasi. Bahkan disebut oleh Profesor Kaelan bahwa Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu sudah tidak ada. Akibatnya Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana dulu di jaman kemerdekaan. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika, kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Bukan partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat dan Mamur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa. Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya. Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat idiologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu melemahkan perjuangan tersebut. Sehingga harapan para pendiri bangsa agar tumbuh generasi yang lebih sempurna tidak terwujud. Karena hari ini yang tumbuh subur adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi dari sini harus kita awali; Rakyat Juga Menyusun Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan Indonesia yang lebih baik. Sebelum mengakhiri pidato ini, saya ingin sampaikan, bahwa saya sebagai Ketua DPD RI yang mewakili daerah, saya sudah berkeliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya bertemu langsung dengan stakeholder yang ada di daerah. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, hingga elemen masyarakat. Baik itu akademisi, agamawan, pegiat sosial dan kerajaan nusantara. Saya menemukan satu persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit untuk dientaskan. Inilah yang menurut saya persoalan fundamental bangsa ini. Karena tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Tidak pernah bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial dan sektoral. Karena penyebabnya ada di hulu. Bukan di hilir. Yaitu negara ini yang semakin menjadi negara yang sekuler, liberal dan kapitalistik. Karena itu saya harus memutuskan untuk bertindak dan berpijak sebagai Negarawan. Sehingga saya tidak melihat persoalan ini dalam perspektif sektoral. Sehingga bagi saya, persoalan konstitusi ini tidak boleh hanya direduksi terbatas kepada penguatan peran kelembagaan DPD RI saja. Tetapi harus lebih fundamental dari itu. Saya bisa saja egois, dan hanya mendorong penguatan DPD RI melalui gagasan Amandemen berikutnya. Tetapi sebagai negarawan, saya harus adil sejak dalam pikiran. Harus jernih sejak dari hati. Dan harus memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Karena persoalan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Persoalan ini menyangkut kedaulatan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Dan persoalan inilah yang menimbulkan ketidakdilan dan kemiskinan struktural. Sehingga menyebabkan negara ini tidak bisa mewujudkan hakikat dari cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada pilihan bagi saya, untuk terus mendorong kesadaran seluruh elemen bangsa, bahwa kita harus kembali ke Pancasila. Kita harus kembalikan Konstitusi Negara ini kepada nilai-nilai Pancasila yang tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita. Kita harus kembali kepada Pancasila. Kita harus kembali kepada sistem Demokrasi yang sesuai dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa Indonesia, yang telah dirumuskan dan disusun oleh para pendiri bangsa kita. Dengan ciri utama adalah; semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Semoga ikhtiar kita untuk melakukan perubahan demi Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Sehingga ketidakadilan yang telah melampaui batas ini dapat kita akhiri dengan satu keyakinan, yaitu; Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! (*)
Miskin Ahlak dan Kefakiran Jiwa
Terlihat dan terkesan sebagai aktifis pergerakan, rajin menyemburkan kata-kata perjuangan, akan tetapi sesungguhnya yang tak tampak tapi nyata, tak lebih dari mengidap penyakit hati yang akut. Bukan hanya sekedar pendusta yang penuh hasad, dengki dan fitnah, memecah belah kalangan perlawanan. Perwujudan nilai berjuang, hanya mampu dimaknai dengan beras, baju dan uang. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI MANUSIA Indonesia, dalam kehidupan personal, saat membentuk kelompoknya, hingga membangun hubungan dalam ikatan kebangsaannya. Terasa semakin terus mengalami degradasi moral. Ada gejala merosotnya kualitas lahir batin dalam hidupnya. Interaksi sosial yang terjalin di antara sesamanya, semakin memprihatinkan dan jauh meninggalkan nilai-nilai. Norma-norma dan etika terbiasa diabaikan, semudah menerobos lampu merah dan aturan lalu-lintas lainnya. Hukum positif negara dan syariat keagamaan, layaknya lagu pop kontemporer yang mudah dinikmati dan disukai, namun semudah melupakan dan menjadikannya kenangan. Kecuali pada penguasa, sebagian besar rakyat Indonesia kerapkali mengeluh pada kenyataan-kenyataan hidup bernegara dan berbangsa. Isu dan tema-tema demokrasi, HAM, kepemimpinan nasional dan masih banyak lagi pembahasan krusial lainnya. Tak pernah berhenti menjadi bahan pergunjingan saban hari dan saban tempat. Diskusi atau musyawarah tak lagi dapat dibedakan, untuk mencari solusi atau sekedar panggung isu, intrik dan fitnah. Niat, tata-cara dan tujuan pergaulan sosial tersebut kecenderungannya telah menjadi sarana bercampurnya kebaikan dan keburukan. Ada indikator kuat betapa menjadi serba permisif ketika memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kebatilan. Harus diakui dan tak terbantahkan, bahwasanya negara sedang tidak baik-baik saja bahkan boleh dibilang dalam keadaan emergensi. Semua boleh saja menyebut kekuasaan dikendalikan oleh rezim yang dzolim. Membuat ilustrasi pemerintahan yang thogut sekalipun atau bahkan pemimpin yang tak ubahnya sosok Firaun di jaman modern. Realitas potret sosial dari publik yang melahirkan pandangan kritis dan geliat perlawanan. Tapi sayang dan miris, upaya rakyat dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu tak sekedar memunculkan konflik vertikal, perlawanan rakyat terhadap rezim yang mewakili pertarungan kelas atas dan kelas bawah.. Lebih dari itu, telah berdampak juga pada sesama kelas bawah dan sesama kelas menengah. Rasa permusuhan dan kebencian kini menyelimuti sesama anak bangsa. Bahkan perseteruan yang terjadi di antara mereka tanpa mereka sadari, sesungguhnya korban juga dan yang selama ini menjadi kaum tertindas oleh sistem. Namun jauh lebih hebat pertarungan sesamanya ketimbang kepada rezim. Dengan pembawaan pikiran dan perilaku yang penuh syak wasangka, dilumuri oleh sifat hasad dan dengki serta hati yang terbiasa senang melhat orang susah dan susah melihat orang senang. Sesama rakyat jelata dan marginal itu, pada akhirnya hanya akan menodai ruh dan semangat perjuangan pembebasan. Mencoreng marwah kekuatan pergerakan, karena menuduh yang lain tercela dan hina, sembari melupakan fakta dirinya justru diselimuti hal tersebut. Tanpa eling dan intropeksi, dipenuhi syahwat mengagungkan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Mengaku dan berkoar-koar pejuang tapi sejatinya penghianat dan pecundang. Mengumumkan ke publik dirinya revolusioner, akan tetapi sebenarnya hanyalah kontra revolusioner dan penghianat bagi rakyat, negara dan bangsa serta kemanusiaan pada umumnya. Kini, kekuasaan yang absolute dan absolut korup, semakin langgeng dan digdaya. Bukan karena rezim yang kuat dan tak bisa dikalahkan, melainkan karena lemah dan rapuhnya gerakan kesadaran kritis dan perlawanan. Kekuatan oposisi terus asyik saling mengigit sesamanya, menebarkan sikap merendahkan, dzolim dan menganiaya kemurniaan perjuangannya sendiri. Kekuasaan yang mengendalikan uang, senjata dan birokrasi, hanya bisa dihadapi dengan kebiasaan ghibah dan saling menghujat sesama aktifis pergerakan. Atau jangan-jangan banyak yang sekedar mengaku-aku dan klaim sebagai pejuang, padahal sesungguhnya membawa gen dan sifat kemudharatan dan distorsi kekuasaan. Perilaku kekuasaan yang ditentangnya dan oleh karena itu sering terlontar hujatan dari mulutnya yang penuh fitnah dan keji juga. Aduhai kasihannya, sudah hidup menganiaya dan menindas dirinya sendiri, terbelenggu pula oleh miskinnya ahlak dan kefakiran jiwa. Antara penguasa dzolim dan yang menggugatnya beda-beda tipis. Sampai kapan sanggup memakai topeng?. Munjul-Cibubur, 26 Juni 2022
Menuju “Poros Perubahan Nasional”
Selamat dan sukses pada dialog kebangsaan kedua di Bandung. Negara harus kembali ke UUD ‘45 Asli. Atas dasar itulah dialog Nasional merasa perlu untuk membentuk “Poros Perubahan Nasional”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA tanggal 26 Juni 2022 para tokoh Nasional akan melanjutkan dialog ke-2 di Bandung, untuk konsolidasi menyatukan tekad berjuang mengembalikan negara ini yang telah menyimpang dari tujuan kiblat bangsa. Pada dialog kebangsaan pertama yang dihadiri oleh beberapa tokoh Nasional bertepatan dengan Peringatan Lahirnya Mega Bintang ke-25 di Kota Solo telah sepakat untuk berjuang melalui wadah bernama Poros Perubahan Nasional. Gagasan munculnya Poros Perubahan Nasional dari dialog Nasional di Solo tersebut karena keprihatinan atas telah terjadinya ketidakadilan yang meluas yang dirasakan oleh masyarakat dan kemiskinan struktural yang diabaikan oleh penguasa negara. Negara telah berubah menjadi seluler, liberal, dan kapitalis. Kedaulatan rakyat terkikis telah hilang, bahkan negara telah lepas kendali dari Pancasila sebagai gronslag negara dan UUD 1945 diganti dengan UUD 2022. Amandemen UUD ‘45 menjadi UUD 2022 telah mengakibatkan negara berjalan tanpa arah, menimbulkan banyak masalah, negara menyimpang dari tujuan negara. Rezim saat ini seperti tidak menyadari bahayanya ketika negara telah mengganti UUD ‘45 dan melepaskan diri dari nilai nilai dasar Pancasila. Keadaan negara makin terpuruk, dan bahkan menuju pada kerusakan hingga kehancurannya adalah akibat negara telah dikendalikan oleh Oligarki sangat kuat mencengkeram, mengarahkan, dan mengendalikan tata kelola negara dan bayang bayang kekuatan China yang riil berpotensi menjadi penjajah gaya baru. Dalam kendali Oligargi, negara menyimpang jauh dari tujuan negara, yaitu: \"untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selamat dan sukses pada dialog kebangsaan kedua di Bandung. Negara harus kembali ke UUD ‘45 Asli. Atas dasar itulah dialog Nasional merasa perlu untuk membentuk “Poros Perubahan Nasional”. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak untuk menyusun Koalisi: Koalisi Rakyat Bersatu untuk Poros Perubahan Nasional menuju Indonesia Kembali UUD ‘45 Asli, musnahkan Oligarki, dan selamatkan Indonesia dari kehancurannya. Untuk memusnahkan Oligarki dan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran yang sudah di depan mata adalah kita harus segera memberlakukan kembali UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena, amandeman UUD ’45 itulah penyebab tatanan kehidupan berbangsa dan negara menjadi rusak. Berbagai produk perundangan hasil amandemen UUD ’45, seperti UU Minerba dan UU Omnibus Law, merugikan rakyat. Implementasi Pasal 33 UUD 1945, tidak ada sama sekali. Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4). Ambillah contoh implementasi pada pasal 33 ayat 2 dan di atas. Siapa yang menguasai ribuan hingga jutaan hektar lahan di Sumatera, Kalimatan, dan wilayah provinsi lainnya dengan konsesi lahan adalah Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik. Rasanya saya tidak perlu menyebut siapa saja mereka ini. Silakan googling sendiri. Di sana banyak data dan informasi mengenai penguasaan lahan oleh segelintir orang dan kelompok oligarki. Mungkikah Presiden Joko Widodo berani mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli? Rasanya tidak akan berani. Karena, salah satu penopang “investasi politik” yang menjadikan Jokowi presiden adalah oligarki. Untuk mewujudkan kembalinya UUD 1945, maka kehadiran Poros Perubahan Nasional diharapkan menjadi penggerak perubahan situasi politik Indonesia lebih baik. (*)
Memecah Mitos Mahfud
Jika orang-orang yang waras enggan atau masa bodoh atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung di sekitarnya, maka Allah SWT akan membiarkan mereka, dan doa-doa mereka tidak diijabah-Nya. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta SALAH satu stasiun televisi nasional menayangkan program dialog dalam kemasan “Mitos atau Realitas”. Misalnya, laki-laki berumur lebih panjang daripada perempuan, itu mitos; ngopi bisa mempererat persahabatan, itu realitas. Mahfud MD pernah menulis di twitter, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek, karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa menjadi iblis juga.” Dalam sebuah meme lengkap dengan foto wajah Mahfud MD tertera narasi demikian, “Malaikat sekalipun akan berubah menjadi iblis bila berani masuk ke dalam sistemnya Indonesia saat ini.” (Mahfud MD/Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2013). Pada tanggal 9 November 2017 Mahfud MD menulis lagi, “Setiap kasus bisa dicari pasal benar atau salahnya menurut hukum. Tinggal siapa yang lihai mencari atau membeli. Intelek tukang bisa mencarikan pasal-pasal sesuai dengan pesanan dan bayarannya.” Beredar juga tulisan Mahfud MD, “Saya nantang siapa saja, dimana saja, di dalam forum terbuka. Yang bisa menunjukkan kepada saya, tentang adanya khalifah atau khilafah sebagai sistem pemerintahan di dalam Al-Quran dan Hadis,” kata Mahfud MD usai jadi pembicara seminar di IAIN Salatiga, Kamis (7/12/2017). Bahwa Pak Menteri pernah mengajukan pernyataan tantangan untuk berdiskusi tentang Khilafah, karena itu pernyataan ini penting untuk ditindaklanjuti dalam kerangka berdakwah, menjelaskan esensi khilafah dari hukum hingga urgensinya. Adapun untuk waktunya, kami persilakan Pak Menteri untuk dapat mengagendakannya. Kami berusaha menyesuaikan waktunya. Untuk konfirmasi 081290774763 a/n Ahmad Khozinudin, Jakarta (19/4/2022). “Saya tak ada waktu melayani dialog yang hanya sensasi,” kata Mahfud MD (democrazy.id). Apakah ini bentuk kebohongan Pak Mahfud? Demikian kata Ahmad Khozinudin. Prof. Daniel Mohammad Rosyid menulis, “Saya ingat almarhum ayah kami alumni FH UGM 1961 melarang kami kuliah di FH. Beliau bilang, itu FH Bengkong, “dadio dokter opo tentara”. Ini karena praktek hukum di Indonesia makin memuakkan. Lalu ayah berhenti jadi pengacara, pindah jadi pedagang.” Penulis lain menyebutkan bahwa di USA memang penegakan hukum (rule of law) sangat “stricht” sekali. Keputusan pengadilan (hukum) tidak ditentukan oleh hakim, tetapi oleh “juries” ... hakim cuma sabagai moderator, bukan pengambil keputusan atas nama Tuhan seperti di Indonesia. Sistem Hukum di Indonesia memang warisan kolonial Belanda yang menempatkan hakim sebagai “wakil” Tuhan ... eh, pemerintah/penguasa. Penulis yang lain punya kawan/senior yang baik, alm Trimoelja D. Soerjadi SH, pengacara/pembela Kasus Marsinah. Pernah menasehati agar jangan sekali-kali coba berurusan dengan hukum (pengadilan) di negeri ini. “Waktu almarhum bicara begitu saya masih belum paham maksudnya, sampai suatu saat almarhum minta serta mengajak saya masuk menjadi anggota ad hoc Dewan Kehormatan Peradi (Jatim), dan di situlah saya betul-betul paham bagaimana sulitnya menegakkan kebenaran dan mencari keadilan di negeri ini.” Pledoi alm Trimoelja untuk kasus Marsinah diberi judul “The Republic of Fear”. Pembelaan yang betul-betul bikin ramai saat itu, karena harus melawan rezim Soeharto yang sangat represif, keras-menindas, waktu itu. Keberanian membela kebenaran yang berisiko hancurnya mobil almarhum yang parkir di depan rumah, ditabrak lari, dan bentuk-bentuk teror lainnya. Alhasil, terdakwa (palsu) disangkakan sebagai pembunuh Marsinah dibebaskan oleh Hakim, dan DanRem di mana kasus Marsinah terjadi dicopot dan dipindahkan. Berkenaan dengan tragedi berdarah di muka bumi kita ingat komentar Ali Syari\'ati, pemikir revolusi Iran yang ikut menjungkalkan Syahreza Pahlevi, bahwa Kabil adalah inspirator penumpahan darah di bumi. Siapa saja yang melakukan pembunuhan dapat disebut sebagai ahli waris darah dingin Kabil. Al-Quran mentahbiskan bahwa siapa saja yang membunuh jiwa tanpa kesalahan bagaikan membunuh semua insan, dan begitu sebaliknya. Motif orang melakukan kejahatan itu bermacam-macam, akan tetapi jika dilacak bisa ditemukan akarnya pada watak dan karakter negatif manusia, yakni iri, dengki, dan dorongan nafsu hewani. Al-Quran menarasikan kisah Nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya. Ketamakan manusia juga digambarkan dalam kisah dua orang yang beperkara yang mengadu kepada Nabi Daud AS. Dalam kehidupan sosial-politik, Ratu Saba\' di masa Nabi sekaligus Raja Sulaiman, putra Raja-Nabi Daud, menarasikan bahwa para raja bila memasuki suatu wilayah cenderung destruktif, merusak stabilitas dengan menistakan kalangan yang terhormat. Tidak jauh berbeda, para pemuda pada masa penguasa tertentu terpaksa menyelamatkan akidahnya dengan mengasingkan diri dalam sebuah gua. Dalam sepenggal kisah Nabi Musa menuntut ilmu, ternyata ia tidak sanggup menahan diri, bersabar untuk tidak berkomentar atas apa saja yang dilakukan oleh guru spiritualnya, yakni merusak kapal yang ditumpanginya. Tuhan memperingatkan tentang azab yang diturunkan, yakni tidak hanya menimpa para pelaku kejahatan. Karakter orang-orang beriman bertolak belakang dengan karakter orang-orang munafik. Orang-orang munafik mengajak berbuat jahat, dan mencegah berbuat baik. Akhir drama di panggung dunia adalah mahkamah Illahi pada hari akhir nanti yang menampakkan kontras kondisi orang-orang yang tidak beriman dengan mereka yang bertakwa kepada Tuhan. Rasulullah SAW jauh hari sebelumnya telah mengingatkan perlunya peduli dalam kehidupan bersama. Jika orang-orang yang waras enggan atau masa bodoh atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung di sekitarnya, maka Allah SWT akan membiarkan mereka, dan doa-doa mereka tidak diijabah-Nya. Dalam kondisi bagaimanapun orang-orang beriman tidak boleh putus asa dan menyerah pada situasi dan kondisi yang membelenggunya. Salah seorang penulis merumuskan 15 falsafah hidup KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai berikut. 1. “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.” 2. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu.” 3. “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi toleransinya.” 4. “Agama mengajarkan pesan-pesan damai. Tapi ekstremis memutarbalikannya. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah.” 5. “Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.” 6. “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.” 7. “Esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.” 8. “Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, maka kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.” 9. “Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apa pun perilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.” 10. “Perbedaan dalam berbagai hal, termasuk aliran dan agama, sebaiknya diterima, karena itu bukan sesuatu masalah.” 11. “Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” 12. “Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan, terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” 13. “Kepemimpian yg baik dapat membawa hasil yang baik tanpa banyak menumpahkan darah.” 14. “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” 15. “Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan.” Siapa saja yang masih mempunyai benih-benih kebaikan, sebarkanlah, walaupun kiamat sudat dekat.] Tegakkan kebenaran dan keadilan kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, walaupun langit akan runtuh. Semua manusia setara di muka hukum, demikian pula di muka Tuhan Yang Maha Esa. (*)
Sekarang Saya Jawab…
Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak menyusul Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan yang lebih baik. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia SAYA sebenarnya tidak mau menanggapi banyaknya pertanyaan dan komentar di media sosial. Baik itu di grup WA, maupun di twitter dan medsos lainnya. Yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara ini. Dulu-dulu LaNyalla ke mana saja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam. Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Di lembaga negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di awal Pandemi Covid. Dan apa yang saya temukan? Ada dua persoalan yang hampir sama. Yaitu: Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan. Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan yang fundamental. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan, ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua lembaga negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu, saya terus-menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin sekuler, liberal, dan kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation. Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk taat dan menjalankan konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir, dan Dzikir. Saya melihat ada persoalan di dalam konstitusi kita. Di mana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Dan, puncak dari semua itu adalah saat kita tiba-tiba melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM Jogjakarta dalam hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa amandemen 1999-2002 silam bukanlah amandemen atas konstitusi. Tetapi penggantian konstitusi. Saya tidak perlu mengulas panjang lebar di sini. Silakan dibaca sendiri hasil penelitiannya. Tapi yang pasti, sejak amandemen itu, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang ketidakadilan dan kemiskinan struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan sistem demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Akibatnya tidak ada lagi ruang bagi elemen civil society non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu. Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan, negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati! Sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘agar tumbuh generasi yang lebih baik’. Tetapi hari ini yang tumbuh adalah oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Bukan partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di alinea kedua pembukaan konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di alinea keempat pembukaan konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya. Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu melemahkan perjuangan tersebut. Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi, tetapi rakyat juga berhak menyusun Koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk Perubahan Indonesia yang lebih baik. Saya berharap para mantan aktivis progresif yang sekarang menjadi Komisaris-Komisaris di BUMN dan Pejabat Negara tidak berubah menjadi taqlid buta. Sehingga menjadi pejuang anti perubahan dan menjadi politisi yang berpikir keras tentang next election. Bandung, 25 Juni 2022. (*)
UUD 1945 Bukan Diamandemen Tetapi Diganti Dengan UUD Reformasi 2002
Makanya negara jadi ruwet, para ahli tata negara masih terus berdebat soal demokrasi 20 % presidential threshold. Gugat-menggugat, padahal demokrasi pilsung, pilpres, pilkada cocok untuk UUD 2002, bukan untuk UUD 1945. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila PAKAR hukum dari UGM Prof. Dr. Kaelan, MS, menilai UUD 1945 bukanlah diamandemen, melainkan diganti dengan UU Reformasi 2002. Prof Kaelan menjelaskan alasan penilaiannya itu di dalam FGD ‘Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat’, di Kantor DPD RI Provinsi DIY, Kamis (23/6/2022). Kegiatan ini dihadiri langsung Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Prof Kaelan menyebut, dalam kajian hukum konstitusi dikenal dua prosedur perubahan UUD. Pertama, perubahan yang telah diatur dalam suatu Undang-Undang Dasar itu sendiri, atau yang lebih dikenal dengan istilah “verfassung anderung”. “Kedua, perubahan melalui prosedur di luar ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar tersebut, atau yang dikenal dengan istilah “verfassung wandelung”, jelasnya. Pernyataan Prof Kaelan semakin gamblang, bangsa dan negara ini semakin tersesat dengan penyimpangan yang terjadi dalam amandemen UUD 1945. Perdebadan sebenarnya sudah lama terjadi tidak adanya satu kesatuan antara pembukaan dengan batang tubuh, bahkan dengan entengnya Yakob Tobing, si motor penggerak amandemen dari PDIP, melecehkan Pembukaan UUD 1945 dengan berkata: pembukaan UUD 1945 baik-baik saja. Dalam perdebadan kelompok pro UUD 2002 itu mengatakan, pembukaan UUD 1945 tidak diamandemen. Apa artinya tidak diamandemen, tetapi tidak pernah menjadi rujukan dan sumber membentuk Batang Tubuh UUD 1945. Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. Bahwa UUD 1945 itu merupakan perwujudan dari dasar ideologi negara, yaitu Pancasila. Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea yang mengandung sejumlah pokok pikiran. Pokok pikiran ini meliputi suasana kebatinan UUD Negara Indonesia yaitu mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis (konvensi). Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 itu diwujudkan secara normatif dalam pasal-pasal UUD 1945. Pokok Pikiran Pertama, yaitu: Persatuan (sesuai dengan sila ketiga Pancasila). Negara dan seluruh warga negara Indonesia wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau peorangan. Pokok Pikiran Kedua: Keadilan sosial (seusai dengan sila kelima Pancasila). Manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pokok Pikiran Ketiga: Kedaulatan rakyat (sesuai sila keempat Pancasila). Sistem negara yang terbentuk dalam UUD itu harus berlandaskan atas kedaulatan rakyat dan permusywaratan/perwakilan. Pokok Pikiran Keempat: Ketuhanan Yang Maha Esa (sesuai dengan sila pertama Pancasila) dan kemanusiaan yang adil dan beradab (sesuai dengan sila kedua Pancasila). UUD tersebut harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah memelihara budi pekeri luhur, ketakwaan kepada Tuhan, dan menjunjung tinggi harkat dan masrtabat manusia. Hubungan Kausal Organis Pembukaan dengan Batang Tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 meliputi suasana kebatinan yang diwujudkan dalam pasal-pasal dalam UUD. Dengan kata lain, suasana kebatinan UUD 1945 ini dijiwai dan bersumber dari dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Hubungan langsung antara pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuhnya bersifat kausal organis karena isi dalam pembukaan dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Sehingga, pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar filsafat negara dan UUD merupakan satu kesatuan. Meskipun dapat dipisahkan, tapi tetap merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. Pembukaan UUD 1945 tersebut mengandung pokok-pokok pikiran persatuan Indonesia, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, berdasarkan atas permusyawaratan, perwakilan, dan ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Intisari dalam pembukaan UUD 1945 itu merupakan penjelmaan dari dasar negara Pancasila. Pancasila itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang telah mampu memberikan semangat kepada UUD 1945. Dengan kata lain, UUD 1945 sebagai konstitusi negara merupakan uraian rinci dan rangkaian makna dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang bersumber dan dijiwai oleh Pancasila. Dari awal kami sudah mengkritisi bahwa UUD 2002 itu bertentangan dengan Pancasila dan pada akhirnya kesimpulan kita amandemen UUD 1945 itu yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila. Bagaimana dengan UUD Reformasi 2002, apakah bersumber dari Pembukaan UUD 1945? Apakah penjelmaan dari alinea keempat pembukaan UUD 1945? Yang berisi rumusan Pancasila? Pernyataan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri soal Visi Misi Presiden yang harusnya berlaku di seluruh negeri karena sistem kita Presidensial semakin menambah keyakinan bahwa negara yang di-Proklamasihkan 17 Agustus 1945 dengan dasar Pancasila telah diganti dengan Negara Indonesia dengan sistem Presidensial yang dasarnya Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme dengan demokrasi banyak-banyakan suara, kalah menang, pertarungan. Di dalam negara berdasarkan Pancasila itu tidak dikenal Visi Misi Presiden. Sebab, dalam pembukaan UUD 1945 sudah jelas, bahwa negara Indonesia mempunyai Visi; Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. Sedang Misi negara Indonesia adalah: Suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Sampai kapan Visi Misi itu berlaku, selama negara ini bernama Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 maka Visi dan Misi tidak boleh diganti. Jadi, TNI dan Polri yang dalam Saptamarganya menjaga Pancasila dan UUD 1945 telah kebobolan. Sebab UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002 tidak mengerti bahkan Pancasila diganti Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme juga tidak mengerti. Para pengamandemen UUD1945 telah melakukan kebohongan berbangsa dan bernegara bahwa UUD Reformasi 2002 masih dikatakan UUD1945. Bangsa dan Negara ini telah ditipu dengan mengatakan bahwa negara kita ini masih berdasarkan Pancasila dan Ideologi masih Ideologi Pancasila. Jadi, BPIP telah melakukan kebohongan. MPR dengan 4 Pilar Kebangsaan-nya juga telah melakukan kebohongan terhadap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, yang disebut Ideologi Pancasila itu UUD 1945 dari pembukaan batang tubuh dan penjelasannya itulah Ideologi negara berdasarkan Pancasila. Bangsa Indonesia itu telah diwarisi oleh pendiri negara ini. Pancasila adalah sebuah Ideologi yang sempurna dibanding ideologi Liberal, Kapitalisme, dan Komunisme. Pancasila itu bicara tentang Tuhan, Manusia, dan Alam, sedang Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme bicara tentang Manusia dan Alam yang dikapitalkan dalam kebendaan . Jadi, kalau ada partai politik belajar ke Negara Komunis pasti partai itu tidak paham apa itu Pancasila. Hal inilah yang terjadi pada bangsa ini. Mengatakan “Saya Pancasila” tetapi belajar ke negara Komunis. Berapa banyak partai politik yang mengirim para kadernya ke PKC, pasti bodoh dan Pancasilais palsu. Sebab, Pancasila jauh lebih sempurna dari Komunis. Jika UUD 1945 itu ternyata diganti dengan UUD 2002 ini menjadi masalah besar. Karena di dalam UUD itu MPR tidak punya kewenangan mengganti UUD 1945. Apa ada pasal UUD 1945 kewenangan MPR Menganti UUD 1945? Jadi, telah terjadi kudeta terhadap konstitusi, oleh sebab itu harus segera MPR dibubarkan, bentuk MPRS (Sementara) dan melakukan Sidang Umum Istimewa untuk mengembalikan UUD 1945. Serta mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Membubarkan lembaga-lembaga yang tidak ada dalam UUD 1945. Kemudian membentuk DPA (Dewan Pertimbangan Agung), mengembalikan GBHN sebagai penunjuk arah berbangsa dan bernegara. Sebab GBHN adalah Uraian Visi Misi Negara Indonesia yang dibuat oleh MPR dan dijalankan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Kemudian menjadikan Pancasila sebagai meja statis dan bintang penunjuk arah. UUD 1945 itu bukan sekedar rangkaian kata/kalimat yang ditulis bagian dari UUD 1945. Tetapi berisi tentang Filosofi/ideologi bernegara, cita-cita negara/ Visi Misi negara, Aliran pemikiran, dan paradikmatika/konsepsi/konstruksi pemikiran. Inilah yang fundamental dari UUD 1945, bagaimana fundamental dari UUD Reformasi 2002? Sumbernya dari mana? Paradikmatika bagaimana dan Filosofinya apa? Tentu bukan ngawur sak enaknya, bukan? Kita harus berani mengutarakan para pengamandemen itu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap bangsa dan pahlawan pendiri negeri ini. Jika saja para pakar tatanegara jeli terhadap UUD 1945 maka akan lahir ilmu ilmu baru tentang Negara, Kenegaraan, Politik, Ekonomi, Hukum, dan tentang Pertahanan Keamanan, Sumber Daya Manusia, serta tentang Pendidikan. Contoh tidak perlu membuat sistem pendidikan yang aneh-aneh seperti yang dilakukan Menteri Pendidikan hari ini. Tapi, cukup merujuk pada sila kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab. Maka, tujuan pendidikan nasional adalah terbangunnya manusia Indonesia yang berani menegakkan keadilan dan mampu membangun peradaban. Tujuan Allah SWT menciptakan manusia sebagai Khalifahtulloh adalah yang beraklaq kulkarimah yaitu manusia yang berani menegakkan keadilan dan membangun peradaban. Maka hanya orang berilmu yang bisa membangun peradaban. Manusia Indonesa berdasarkan Pancasila adalah manusia yang berilmu, agar mampu menegakkan keadilan dan peradaban. Pengertian dasar dari keadilan, mengerti baik dan buruk, salah dan benar, serta berani memilih dan mempertahankan yang baik dan benar. Oleh sebab itu manusia Indonesia harus dipimpin oleh hikmah (kebenaran) kebijaksanaan (kebaikan). Maka dalam permusyawaratan akan menghasilan mufakat yang maslahat untuk “semua buat semua”. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi konsensus yang harusnya berlaku di Indonesia. Bukan demokrasi banyak-banyakan suara, kalah-menang, kuat-kuatan, Oligarki, yang menang yang paling punya negara. Kemudian presiden dijadikan petugas partai politik seakan negara berada di bawah partai politik. Ini keblinger dan penyimpangan. Makanya negara jadi ruwet, para ahli tata negara masih terus berdebat soal demokrasi 20 % presidential threshold. Gugat-menggugat, padahal demokrasi pilsung, pilpres, pilkada cocok untuk UUD 2002, bukan untuk UUD 1945. Aneh ngomongnya ingin kembali ke UUD1945 tetapi ribut ikut pilpres. Untuk menyelesaikan keruwetan dalam ketatanegaraan, maka jalan keluarnya anggota MPR periode 2002-2004 yang jumlahnya 700 orang yang masih hidup yang dipimpin Ketua MPR saat itu Prof Amin Rais harus melakukan tobatan nasuha dengan membuat pernyataan terjadi kekeliruan dan mengganti, serta memberlakukan kembali UUD 1945. Dengan demikian akan terjadi renkonsiliasi nasional menuju Indonesia yang lebih baik. Beranikah dari 700 orang pengamandemen itu mengambil inisiatif tersebut? Sebab kalau tidak, masa depan anak cucu kita akan menjadi jongos di negerinya sendiri. (*)
Waduh, Pancasila yang Mana Mas Ganjar?
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM Rakernas ll PDIP di Lenteng Agung Jakarta kemarin telah dibacakan Rekomendasi Rakernas. Ganjar Pranowo membacakan bagian Ideologi, Sistem Politik, dan Pemilu. Hal yang menarik dari Rekomendasi bacaan Ganjar di antaranya adalah soal pembumian Pancasila. Berkaitan dengan masalah tersebut Harian Umum Republika memberitakan : Ganjar menuturkan, Rakernas ll PDIP juga menegaskan pentingnya pembumian Pancasila berdasarkan falsafah dan spirit kelahirannya pada 1 Juni 1945. Pancasila sebagai ideologi, falsafah, landasan dan bintang penuntun seluruh kebijakan strategis pemerintahan dan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari narasi di atas penting untuk dipertanyakan apa yang dimaksud dengan \"pembumian Pancasila berdasarkan falsafah dan spirit kelahirannya 1 Juni 1945\"? Bukankah kita semua seharusnya berpegang pada falsafah dan spirit Pancasila 18 Agustus 1945? Betapa bahaya jika yang dimaksud Pancasila 1 Juni 1945 itu berfungsi \"sebagai ideologi, falsafah, landasan dan bintang penuntun seluruh kebijakan strategis pemerintahan dan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara\". Ganjar atau PDIP harus menjelaskan hal ini agar tidak diinterpretasi bahwa misi partai adalah makar ideologi, yaitu ingin mengubah Pancasila dari rumusan sebagaimana yang ditetapkan PPKI 18 Agustus 1945 menjadi Pancasila dengan rumusan 1Juni 1945 dimana Kebangsaan adalah sila pertama dan Ketuhanan sebagai sila terakhir. Penting juga klarifikasi relevansi dengan narasi Mukadimah AD PDIP: \"PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945\" Juga Pasal 10 AD tentang Tugas Partai butir g berbunyi :\"mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih dan berwibawa\". Tanpa klarifikasi maka perjuangan PDIP sama saja dengan gerakan yang mengarah pada makar ideologi. Ideologi dan falsafah negara itu adalah Pancasila 18 Agustus 1945, bukan Pancasila yang lain. \"Berkaitan dengan hal tersebut kurikulum pendidikan nasional di seluruh strata pendidikan harus memasukkan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib\" tutur Ganjar. Nah, Pancasila mana yang harus masuk dalam kurikulum seluruh strata pendidikan itu, mas Ganjar? Jika yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945 maka hal itu adalah subversi ideologi. Dan untuk ini Negara tidak boleh memberi toleransi. Seluruh elemen bangsa harus peduli dan waspada bahwa ideologi Pancasila benar-benar sedang terancam. Pancasila 18 Agustus 1945. Bandung, 25 Juni 2022