Savak dan Negara Polisi
Oleh Arief Gunawan (Pemerhati Sejarah)
SEJARAWAN Harry Poeze menyebut rezim Hindia Belanda (1800-1949) sebagai era Politiestaat, alias era Negara Polisi, yang oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer kehidupan pribumi kala itu dilukiskan bagaikan tinggal di sebuah Rumah Kaca.
Politiestaat menekankan Rust en Orde (Ketenangan dan Ketertiban). Atas nama jargon ini di era 1920-an polisi kolonial menindas para tokoh pergerakan kemerdekaan. Sedangkan KNIL berperan menumpas perlawanan rakyat di sejumlah daerah.
Agresi Militer Pertama dan Kedua Belanda (1947-1948) yang dikecam oleh dunia internasional dihaluskan dengan istilah Aksi Polisionil. Sebuah eufemisme untuk menempatkan tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya, seolah kriminal belaka, yang mengganggu Rust en Orde.
Waktu Dinasti Pahlavi berkuasa di Iran, 1950-an sampai 1979, sistem Politiestaat dipraktekkan.
Savak (Sazeman-e Ettela’at va Amniyat-e Keshvar), alias dinas polisi rahasia dan intelijen Iran, dipakai buat menopang rezim yang lemah. Sekaligus untuk mengawasi dan menekan para tokoh kritis yang mengoreksi kesalahan pemerintah.
Dinas polisi rahasia ini ditakuti karena sangat terkenal dengan kebengisannya dalam menyiksa dan mengeksekusi, serta memiliki puluhan ribu agen dengan berbagai peran.
Tatkala pecah Revolusi Iran yang berujung kejatuhan Reza Pahlavi, Savak digambarkan sebagai institusi yang paling dibenci oleh rakyat, karena membekaskan banyak trauma akibat tindakan kejam yang dilakukan.
Dalam menjalankan operasinya organisasi ini dipimpin oleh seorang jenderal polisi Iran di bawah mentor dinas rahasia CIA dan Mossad Israel.
Savak yang merupakan peliharaan dinasti Pahlavi juga disebut merampas satu miliar dolar kekayaan negara yang mereka simpan di luar negeri.
Bagaimana kepolisian di era kolonial Hindia Belanda ?
Sejarawan Marieke Bloembergen di dalam buku “Polisi Zaman Hindia Belanda” mengatakan, orang Belanda memberlakukan Politik Etis tapi tetap ingin mempertahankan status quo dengan menggunakan polisi.
Manfaat sosial polisi waktu itu cukup menonjol, selain menjaga Rust en Orde, polisi juga memastikan warga untuk menjaga kebersihan pekarangan rumah, tidak membiarkan ternak berkeliaran, menjaga ketenangan jam istirahat pada malam hari, dan peran-peran lainnya, yang menggambarkan upaya untuk mengadabkan (civilize) masyarakat sipil menurut ukuran Eropa.
Pada masa itu ada banyak bentuk polisi. Antara lain cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), stands politie (polisi kota), hingga veld politie (polisi lapangan).
Sedangkan jabatan kepolisian tertinggi ialah hood agent setingkat bintara, inspecteur van politie, dan commissaris van politie yang hanya untuk orang Belanda.
Golongan pribumi hanya boleh memegang jabatan tertentu seperti mantri polisi atau wedana polisi. Kecuali anak priyayi ningrat yang diberikan privilege untuk menjadi petinggi polisi.
Polisi di Hindia Belanda, menurut Marieke Bloembergen, adalah produk yang lahir dari ketakutan dan kepedulian orang Belanda sendiri di Hindia Belanda.
Mereka was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri yang asing, di mana masyarakat di sekeliling mereka mempunyai budaya dan pemahaman lain terhadap komunitas kulit putih. Karena itu mereka membutuhkan polisi untuk mendapatkan rasa aman.
Menurut sejarawan Margreet van Till di dalam buku “Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api”, saat reorganisasi kepolisian dilakukan antara 1904 dan 1916 di kalangan bumiputera untuk pertamakalinya muncul ekspresi emansipasi politik, antara lain lahir Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Pada periode ini polisi kolonial mulai memiliki seragam secara modern, tinggal di barak-barak, mendirikan sekolah teknik kepolisian, dan semakin banyak orang Eropa yang jadi polisi.
Momentum lain ialah didirikannya PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik, Hindia Belanda, yang beranggotakan para polisi.
Di masa ini untuk pertamakalinya pula diperkenalkan daktiloskopi, yaitu ilmu tentang sidik jari. Disusul pemberlakuan Wetboek van Stafrecht, alias KUHP, pada 1918.
Cita-cita luhur berdirinya kepolisian nasional banyak bersumber dari para tokoh sipil yang merupakan pejuang kemerdekaan. Di antaranya Mohammad Yamin, Sutan Sjahrir, dan beberapa lainnya.
Sutan Sjahrir misalnya menekankan pentingnya sebuah Polisi Negara yang berorientasi kepada keamanan sipil dengan mengedepankan humanisme.
Saat meresmikan sekolah kepolisian nasional di Magelang, pada 1946, Perdana Menteri pertama RI itu mengamanatkan hal ini kepada Kepala Jawatan Kepolisian Negara Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri pertama RI).
Penekanannya adalah Polisi Negara bukan Negara Polisi (Politiestaat).
Polisi Negara adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dalam rangka terpeliharanya keamanan di dalam negeri.
Sedangkan Mohammad Yamin tak kurang pula jasa-jasanya terhadap kepolisian nasional. Dengan pengetahuannya yang luas ia menginspirasi lahirnya konsepsi tentang Bhayangkara dan sosok Gajah Mada sebagai abdi negara yang ideal.
Namun setelah gegap-gempita kemerdekaan yang melahirkan semangat dekolonisasi dan restrukturisasi terhadap kepolisian ternyata terjadi diskontinuitas.
Karena upaya untuk membentuk dan membangun organisasi kepolisian baru yang berciri humanis tidak disertai dengan perubahan fundamental. Politisasi dan karakter militeristik malah semakin terlihat kuat saat ini.
Inner world atau dunia batinnya, memakai istilah sejarawan Peter Britton, cenderung dijiwai oleh mentalitas jago.
Jago, menurut Peter Britton, adalah jawara lokal yang dalam tindakannya terhadap masyarakat dibayar oleh pihak yang punya uang. ***